aan
dengan garis silsilah ‘Abd al-Ra’uf dan Muhyi al-Din Karang. Adi Kusuma
PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF — 173
juga malu-malu dalam kaitannya dengan kemampuannya sendiri, mengakui
bahwa manuskripnya yang berharga lebih mirip “pusaka” sakti ketimbang
panduan yang berguna. Tampaknya Snouck sepakat isebab dia kembali ke
halaman tentang Cirebon dan mencatat bahwa kota itu dan Pekalongan
mempertahankan pengajaran “prinsip-prinsip ilmu pengetahuan lama”.13
Mengenali bahwa saat itu yaitu masa transisi, Snouck belakangan
mengingat betapa dia berhasil mendapatkan banyak buku panduan dari kulit
kayu yang dimiliki ayah dan kakek para guru “ortodoks” yang sesekali merasa
malu. Salah satu kasus demikian terjadi di Cikalong pada Agustus 1889 saat
Kiai Sahwi memberinya lembaran-lembaran buku panduan kakeknya yang
berisi silsilah Syattari ‘Abd al-Muhyi. Selain silsilah ini , semua teksnya
(‘Awamil, Ajurrumiyya, Sittin, Samarqandi, Miftah, dan Mufid) yaitu karya-
karya yang tetap disukai. Barangkali keadaan manuskrip yang menyedihkan
membuat Kiai Sahwi bersedia menyerahkan pusakanya. isebab , ada banyak
karya cetakan baru untuk dimiliki dan murah harganya.14
Akan namun , pada umumnya murid-murid dari segala tradisi menuju
sekolah-sekolah terkenal di pesisir utara, seperti sekolah milik Salih Darat dari
Semarang, yang peraturannya diberikan kepada Snouck. Rujukan-rujukan
ini kalah pamor jika dibandingkan Surabaya sebagai tujuan keilmuan.
Ke mana pun Snouck pergi di Jawa Barat—dia menghabiskan lebih banyak
waktu di sana ketimbang di tempat lain sesudah menikahi putri Penghulu
Kepala Ciamis—semakin jelas bahwa sebagian besar jalan mengarah ke
Surabaya. Tampaknya sebagian murid akan pulang dengan puas isebab
dikenal sebagai santri Surabaya. Lagi pula, kota itu sudah semakna dengan
‘Ubayda isebab seluruh generasi Kiai Garut belajar di bawah bimbingannya
di Sidosremo. Namun, Snouck tidak tahu banyak tentang ‘Ubayda selain
bahwa orang ini terkenal sebagai keturunan Sunan Ampel, yang kemudian
digantikan seseorang bernama Zubayr sesudah kematiannya, barangkali sekitar
1874. Van den Berg menegaskan bahwa lembaga itu diwariskan ke tangan
‘Abd al-Qahhar yang memimpinnya sampai kebakaran melalap bangunan
yang sudah reyot pada 1885.15
Menjadi jelas bagi Snouck bahwa pesantren-pesantren seperti Sidosremo,
bagi sebagian orang, yaitu tempat antara untuk menuju Mekah, tempat
mereka akan menghabiskan waktu rata-rata enam tahun dan sesudah itu
dilanjutkan dengan mempelajari tata bahasa di Madura. Juga menjadi lebih
jelas bahwa berbagai edisi cetak yang baru yaitu hal penting bagi orang-
orang Jawa. Edisi cetak itu mendorong penggunaan karya-karya berbahasa
Arab tingkat lanjut ketimbang buku-buku pengantar berbahasa Melayu yang
lebih disukai orang-orang Syattari. Namun, bahasa Melayu tetap penting di
Jawa Barat dan sebagian sekolah di pesisir utara. Mendiang ‘Abd al-Ghani
dari Cikohkol, yang mengklaim keturunan ‘Abd al-Muhyi Pamijahan, konon
174 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
pernah belajar di Aceh, Kedah, dan Palembang. Demikian pula karya-karya
‘Abd al-Samad al-Falimbani ataupun Da’ud al-Fatani masih diperdebatkan
di Cianjur dan Kendal.16 Banyak kiai Cianjur pernah belajar di Mekah di
bawah bimbingan Zayn al-Din al-Sumbawi. Begitu juga dua putra Raden
Haji Yahya dari istri Minangkabau-nya pernah belajar di bawah bimbingan
orang Sumbawa itu, lalu keduanya mengajarkan karya-karyanya di Cilegon
sebelum meletus yang oleh Snouck disebut sebagai khawf atau “teror”.17
Gambar 7. Halaman judul Majmu‘at mawlud (Bombay: Muhammadiyya, 1324), sebuah
bunga rampai teks yang dicetak di India untuk pasar Asia Tenggara, sekitar 1900.
Jadi, bagaimanapun, pengalaman Mekah—meski membuat Belanda
ketakutan—tampaknya memainkan peranan dalam menciptakan rasa
PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF — 175
komunalitas Jawi yang langgeng. Zayn al-Din sama sekali bukan cendekiawan
kelahiran Sumbawa pertama yang menarik minat orang-orang Melayu, Sunda,
dan Jawa. Catatan-catatan Leiden Snouck menyebutkan beberapa kiai di
sekitar Surabaya yang belajar pada ‘Abd al-Ghani Bima, yang masih dikenang
sebagai syekh bagi Jawa secara umum. Jalur-jalur yang dicatat Snouck bukan
sekadar menceritakan berbagai silsilah kecendekiawanan. Jalur-jalur ini juga
merupakan ikatan darah. Contoh lain dari hubungan semacam ini bisa dilihat
kembali pada catatan-catatan Snouck dari Garut. saat melewati kota itu,
Snouck bertemu Kiai Mulabaruk, yang pernah belajar di Tegalsari di bawah
bimbingan Hasan Besari, guru yang diperlakukan dengan sangat tidak
hormat oleh Jan Brumund. Jelas bahwa Mulabaruk mendapati lebih banyak
hal di Tegalsari ketimbang yang diperlihatkan kepada Brumund. Seperti yang
dituturkan Hasan Mustafa dan pihak-pihak lain kepada Snouck, Mulabaruk
mengkhususkan diri dalam tafsir Al-Quran karya al-Baydawi (w. 1286) serta
karya-karya penting oleh Imam Nawawi dan al-Firuzabadi. Daftar Snouck
juga memperlihatkan bahwa Mulabaruk mampu menempatkan para mantan
muridnya di seluruh Priangan sesudah mereka menyelesaikan masa studi
lanjutan dari Mekah hingga Madura.18
Banyak lagi daftar semacam itu memenuhi halaman-halaman buku harian
Snouck saat dia pergi ke arah timur. Daftar-daftar ini memberikan
wawasan yang sangat mendetail mengenai ikatan perkawinan dan kunjungan
yang membentuk jaringan pesantren. Namun, meski daftar-daftar ini juga
menegaskan bahwa Khalidiyyah menanamkan akar yang dalam di Jawa,
keberadaan tarekat-tarekat lain juga terbukti. Kita bisa mendapati penyebutan
para kiai yang sudah mempelajari Khalwatiyyah di bawah bimbingan ‘Abd al-
Syakur Surabaya di Mekah, atau Muhammad Maghribi di Madinah. Juga ada
berbagai indikasi mengenai tantangan yang diajukan oleh para tokoh seperti
Imampura dari Bagelan, yang menyebarkan Syattariyyah versinya sendiri
kepada ribuan peziarah sekitar 1885. Selain ini, terdapat bukti mengenai
penggabungan-penggabungan baru. Dua teks yang disalin untuk Snouck di
Jawa Barat (salah satunya dimiliki oleh Patih Menes) tampaknya menyatukan
unsur-unsur Naqsyabandiyyah dan Khalwatiyyah. Keduanya menggunakan
silsilah nonstandar langsung dari Ahmad al-Qusyasyi ke Muhammad Tahir
dari Bogor dan sebenarnya lebih merupakan kumpulan berbagai teknik
ketimbang program yang koheren untuk memadukan dua metode praktik
tarekat.19
Walaupun begitu, penilaian yang samar-samar seperti itu tidak sesuai bagi
sebuah tarekat yang mengalami kemajuan pesat. Yang secara konsisten dikenali
Snouck sebagai Qadiriyyah, ternyata identifikasi yang lebih tepat yaitu
“Qadiriyyah wa-Naqsyabandiyyah” Ahmad Khatib Sambas. Salah seorang
perwakilannya yang paling dikenal di Priangan yaitu Muhammad Garut,
176 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
salah seorang guru Hasan Mustafa yang juga putra murid Mulabaruk, yaitu
Hasan Basri dari istri Jawa-nya di Mekah. Snouck pastinya sudah mendengar
tentang penutur bahasa Arab yang fasih, yang namanya kerap disebutkan
oleh para informan berbarengan dengan nama ‘Ubayda.20 Muhammad Garut
mendapatkan pendidikan awalnya dari sang ayah di Kiara Kareng. Pada usia
sekitar dua puluh, dia pergi ke Mekah dan tinggal selama tujuh tahun di
bawah bimbingan Syekh Zahid dari Solo, ‘Ali Rahbani al-Misri, Muhammad
Salih al-Zawawi, dan Muhammad Hasab Allah. Muhammad Garut akhirnya
mengaitkan diri dengan Ahmad Khatib Sambas. Dia kemudian ke Garut
pada 1879 sebelum kembali ke Mekah pada sekitar 1882. sesudah itu, dia
pergi bolak-balik ke Kota Suci, menunjuk wakil-wakilnya sendiri, seperti
Muhammad Salih di Sukabumi.21
Yang lebih menarik yaitu hubungan mendalam antara Muhammad
Garut dan Hasan Mustafa melalui calon penerus Muhammad Garut, Adra‘i.
Adra‘i yaitu salah seorang guru Hasan Mustafa di Garut. Mereka melakukan
perjalanan ke Mekah bersama dan, sesudah tinggal enam tahun, kembali
bersama-sama. sesudah nya Hasan Mustafa menikahi keponakan Muhammad
Garut. Dengan demikian, Hasan Mustafa yaitu informan yang ideal pada
beberapa tingkatan pengajaran, mulai tata bahasa sampai mistis. Kontak
personal mereka barangkali telah membuka mata Snouck secara berbeda
terhadap para praktisi tarekat, dan barangkali memberinya alasan untuk
memikirkan kembali, atau setidaknya mengimbangi, ramalan bahaya untuk
publik yang dia ajukan sebelumnya.
Ada guru-guru lain yang bisa jadi memiliki pengaruh yang sama
terhadap Snouck. Dia paling terkesan dengan seorang “Qadiri” lain di
Cirebon, yaitu Muhammad Talha dari Kalisapu putra Penghulu Kepala
Cianjur. Talha pernah belajar di daerah setempat pada Muhammad Sahih (w.
1886)—seorang murid Mulabaruk dan ‘Ubayda—dan pada Hasan Mustafa
di Mekah sebelum kembali ke kampung halamannya sebagai guru Qadiriyyah
wa-Naqsyabandiyyah. Latar belakang Talha pastinya telah memengaruhi arah
yang dia ambil isebab tampaknya ayah Talha berperan dalam menjelek-
jelekkan dan mengusir Kiai Lengkong, yang pesantrennya dicemooh oleh
van Sevenhoven pada 1839. Meskipun putra-putra Kiai Lengkong sejak saat
itu mendapat dukungan pemerintah kolonial, Snouck memandang rendah
Hasan Absari dari Cianjur dan orang-orang yang sejenis dengan mereka. Dia
juga tidak menghargai banyak orang Akmali di Cilacap, menyatakan bahwa
kota ini “tidak memiliki cendekiawan”.22
saat dijajarkan dengan para guru semacam itu, Talha benar-benar
terlihat memiliki standar yang lebih tinggi. Snouck jelas terkesan kali pertama
bertemu dengan Talha di Kalisapu pada 24 Agustus 1889. Pesantrennya
sama sekali bukanlah kumpulan pondok-pondok bambu. Talha memiliki
PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF — 177
rumah batu, balairung shalat, masjid untuk shalat Jumat, dan asrama bagi
para murid yang berkunjung. Dari apa yang bisa dikumpulkan Snouck, Talha
kerap menasihati para pejabat setempat mengenai hukum Islam (dia dikenal
isebab fatwa-fatwanya “yang berguna” mengenai brendi dan poligami). Dia
juga merupakan produk pendidikan tarekat yang sangat beragam. Selama
sembilan tahun di Mekah, tempat dia belajar kepada Hasan Mustafa, Talha
memilih mengikatkan diri secara langsung dengan Khalidiyyah melalui ayah
mertua Sulayman Afandi. Talha juga berbaiat pada Haddadiyyah via Ahmad
Dahlan dan pada Qadiriyyah wa-Naqsyabandiyyah-nya Ahmad Khatib
Sambas. Yang terakhir inilah yang paling dikenang dari dirinya. Snouck
punya kesan bahwa Talha-lah yang membaiat sang Bupati ke dalam tarekat
ini . Snouck merasa yakin meski pihak-pihak lain menegaskan bahwa
sang Bupati dan keluarganya setia kepada tokoh Syattari, ‘Abd al-‘Aziz dari
Cirebon, yang juga konon telah mengambil tarekat Khalwatiyyah dari ‘Abd
al-Syakur Surabaya di Mekah.23
Pastinya bukan hanya mereka guru multitarekat. Muhammad Ilyas
dari Sukapura, seorang veteran yang dua puluh tahun tinggal di Mekah,
mengajarkan baik dzikr Syattari maupun Naqsyabandi kepada murid-
muridnya. Di Tegal terdapat bukti serupa mengenai transisi yang tengah
berlangsung saat para guru yang sebelumnya Syattariyyah mulai mengajarkan
ritus-ritus Naqsyabandiyyah dengan alasan bahwa Syattariyyah sebenarnya
merupakan basis bagi Naqsyabandiyyah.24 Lagi pula, pendekatan multitarekat
ala Talha dan para koleganya bertentangan dengan berbagai pengandaian
akademis mengenai watak reformisme “neo-Sufi” pada abad kesembilan
belas, dan ijazah-ijazah kesarjanaannya menunjukkan campuran yang juga
beragam. Di antara manuskrip-manuskripnya ada beberapa teks karya putra
Sultan Cirebon, termasuk sebuah salinan Tuhfa karya Burhanpuri. Dia juga
memiliki karya-karya cetakan yang bergengsi, seperti dua volume edisi karya
Ibrahim al-Jaylani, Insan al-kamil, yang terbit di Kairo pada 1876, dan sebuah
edisi kumpulan risalah karya Sulayman Afandi yang dilitografi di Istanbul
pada 1883–84—kemungkinan besar karya-karya yang sama diperintahkan
untuk dikuburkan di Mekah. Ini sama sekali tidak aneh. Ilyas Sukapura
juga memiliki karya-karya Sulayman Afandi dalam bentuk manuskrip dan
cetakan. Yang benar-benar membuatnya istimewa yaitu Talha mengajarkan
pendekatan Syafi‘i untuk fiqh sekaligus menampilkan diri sebagai seorang
Hanafi yang terdidik dan menyatakan bahwa fatwa semua mazhab haruslah
dipertimbangkan. Hubungan apa yang barangkali dimilikinya dengan kaum
“Hanafi” terdahulu di Asia Tenggara, seperti Da’ud dari Sunur dan Muhammad
dari Silungkang, untuk saat ini tetap menjadi pertanyaan terbuka. Namun,
bagi Snouck, persoalannya yaitu mengomunikasikan temuan-temuannya
kepada publik yang masih khawatir.25
178 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
SNOUCK SEBAGAI WEDANA
Snouck berusaha menyamai sumber terdahulunya, Poensen, dalam artikel-
artikel surat kabar yang ditujukan kepada publik kolonial. Namun, di
sisi lain, dia memerankan sosok seorang pejabat junior atau wedana, dan
menempatkan dirinya di atas desaman “si orang desa”-nya Poensen. Artikel-
artikel ini mulai muncul secara bersambung dalam koran progresif De
Locomotief pada awal Januari 1891 dan berlanjut hingga Desember tahun
berikutnya, pada saat Snouck sedang melaksanakan penyelidikan langsung
mengenai pemberontakan Aceh. Dalam surat-surat yang diyakini terdorong
oleh perhatian penuh kasih seorang pengawas yang sangat banyak tahu, Snouck
memberi para pembacanya sebuah gambaran nyata mengenai kehidupan
orang Jawa mulai ayunan hingga pondok, dan seterusnya. Gambaran ini
yaitu sebuah kisah, yang dituturkan dengan nada merendahkan diri,
mengenai sebuah perjumpaan antara Timur yang spiritual dan Barat yang
rasional, tempat kebijaksanaan intuitif orang-orang lokal yang menjalani
hidup dalam sebuah dunia yang dipenuhi ruh-ruh terlalu sering diabaikan
oleh para mandor Eropa yang kasar dan kerap kali mabuk.
Selagi wedana-nya Snouck menggambarkan berbagai ritus di seputar
kehamilan, kelahiran, dan peristiwa-peristiwa kehidupan lainnya, dia juga
mencatat bahwa zaman sedang berubah. Para santri yang keras menghilangkan
banyak hidangan ritual terdahulu, doa-doa lebih sering terdengar dalam
bahasa Arab ketimbang bahasa Jawa, terdapat semakin banyak orang Arab
dan haji yang terlihat, dan bahkan kelompok elite priayi memilih nama-nama
bahasa Arab untuk anak-anak mereka. Haji dan orang Arab masih menjadi
momok menakutkan bagi anak-anak kebanyakan (di samping orang Belanda
dan priayi). Namun, banyak orang bercita-cita mengirimkan anak-anak
mereka ke pondok untuk dibimbing sang guru sebagai orangtua pengganti.
Di sini murid terlibat pembelajaran sebaya yang intensif, teks-teks yang sudah
diselesaikan disahkan secara pribadi oleh guru dan ijazahnya memungkinkan
sang murid untuk melanjutkan perjalanan ke pesantren berikutnya tempat
mereka kerap akan diminta terlibat dalam kerja pertanian, paling sering
menanam kopi. Mengulangi komentar-komentar Verkerk Pistorius mengenai
Sumatra, Snouck mengamati bahwa perjalanan semacam itu memberi para
santri Jawa pengetahuan geografis mengenai pulau yang jauh lebih unggul
dibandingkan pengetahuan para pejabat yang semestinya mengawasi mereka.
Akan namun , persoalannya beranjak lebih jauh. Wedana-nya Snouck
tidak hanya menyesalkan kebodohan para pejabat Belanda yang dicetak di
Belanda, tapi juga menyayangkan sikap umum yang mereka miliki terhadap
Islam. Sikap itu sudah terlalu jauh sehingga seorang priayi yang menolak
minum alkohol dianggap fanatik, dan mereka yang hendak bershalat harus
melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Akibatnya, para pejabat priayi,
PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF — 179
yang dipaksa meninggalkan agama mereka sendiri, tidak berguna bagi
Belanda saat butuh nasihat mengenai perkembangan di dalam pondok,
tempat perkataan guru yaitu hukum.
Secara teknis, hukum yang demikian akan ditegakkan dengan lebih
kuat jika syekh bersangkutan yaitu guru tarekat. Untuk menggambarkan
poin ini, Snouck membuat wedana-nya mengenang sebuah insiden dari masa
mudanya saat seluruh keluarganya menjadi “Syattariyyah”:
Pertama-tama saya harus membaca Fatihah di hadapan guru, yaitu surat
pertama Koer’an yang diulang-ulang dalam setiap bagian setiap sembahjang;
dan kemudian formula lain, bernama tasjahoed, yang juga diucapkan dalam
sembahjang, dan yang memuat syahadat kami, di antara hal-hal lain. sesudah itu,
sang goeroe menekankan bahwa tidak baik melewatkan lima shalat harian, dan
agar saya tidak mengabaikannya selama bulan suci puasa, apalagi isebab saya
sedang belajar tarèkat. Akhirnya, dia mengajari saya, sesudah tiap sembahjang
petang, sesudah magrib dan ngiso, untuk mengucapkan seratus kali: la iláha illa
‘lláh “tiada tuhan selain Tuhan”, selama itu saya harus duduk dengan cara yang
ditentukan secara sangat saksama oleh goeroe. sesudah berlatih dengan goeroe
selama tiga hari, tiap hari selama satu jam, saya diizinkan melakukan bé’at atau
bèngat. Apa artinya, tidak jelas bagi saya pada saat itu. sesudah pertama-tama
mandi dan mengenakan wewangian, saya harus duduk di depan guru dengan
postur yang diajarkan. Dia memegang secarik kain putih pada salah satu
sudutnya, sedangkan saya memegang sudutnya yang lain dengan tangan kanan.
Dia kemudian mengucapkan beberapa formula berbahasa Arab, yang saya
ulangi. Kain itu dijatuhkan, doa diucapkan, dan perkara ini pun selesai. Hanya
pada tahun-tahun belakangan saya tahu bahwa bèngat sebenarnya yaitu pakta
suci antara moerid dan goeroe, tempat sang murid berjanji sejak saat itu untuk
memperlakukan sang goeroe sebagai perwakilan Allah, dan tidak mengingkari
apa pun perintahnya.26
Tentu saja Snouck menunjukkan berbagai keberatan pihak ortodoks
terhadap para guru semacam itu, mengklaim bahwa sementara para ulama
terkemuka menerima bahwa Wali Sanga yaitu orang-orang suci, mayoritas
guru tarekat yang baru yaitu penipu, dan, lebih jauh, bahwa para guru
mistisisme Jawa sama sekali tidak memiliki silsilah yang sahih.27 Dengan
mengesampingkan skeptisisme yang jelas yang mendasari narasi Snouck,
kita bisa bertanya apakah pandangan metropolitan Snouck sebelumnya yang
agak “ortodoks” mengenai para Sufi tarekat hingga tingkat tertentu telah
dimoderatkan oleh kontaknya dengan beragam praktisi di Jawa. berdasar
yang menyusul dalam artikelnya, nya pasti ya isebab Snouck
menempatkan di mulut sang wedana kata-kata yang dia sendiri tak mudah
mengucapkannya:
180 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
Saya kerap ditanyai apakah tarèkat-tarèkat ini bisa bekerja sama untuk membuat
penduduk tidak menyukai pemerintah atau menimbulkan kebencian terhadap
orang-orang dengan orientasi yang berbeda. Jawaban saya seperti ini: dalam
semua kasus, ini bergantung kepada sang goeroe. Jika dia bodoh dan buruk, dia
pun mengajari si orang desa yang percaya takhayul bukan agar menjadi orang
baik dan taat beragama, melainkan agar melaksanakan setiap perintahnya;
bahkan ada sebagian yang mengajari maling ilmu menghilang dan kekebalan
untuk melakukan berbagai rencana mereka terhadap pihak-pihak lain. Jika dia
bodoh namun tidak memiliki niat jahat, dia akan mengajarkan ilmu sihir palsu,
atau hal-hal yang tidak akan dimengerti oleh murid-muridnya, dan dia sendiri
pun hanya sedikit memahaminya. Sementara itu, seorang guru tarèkat yang
pandai dan baik, membimbing orang-orang berdasar yang dia ketahui di
jalan agama sehingga mereka akan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap
hati [orang-orang] ketimbang guru kita [yang biasa]. Di Jawa sini, dia akan
menjadi penuh curiga terhadap pemerintah hanya jika merasa dirinya dicurigai.
Para guru yang pintar dengan niat yang kurang baik yaitu berbahaya, meski
penduduk memperlakukan ajaran-ajaran mereka seolah-olah hampir bersifat
Ilahiah.28
Di sini kemudian Snouck mendukung penilaian terhadap para guru
berdasar basis individual. Dia melakukan hal itu selama sisa karier
resminya. Bahkan, dia sesekali berperan sebagai pendukung bagi para
guru malang yang dianiaya oleh para “pribumi yang lebih ortodoks”, yang
menggunakan hubungan mereka dengan Belanda untuk mengklaim para
guru berbahaya bagi publik. Pada 1892 Snouck mengingatkan bahwa jika
membiarkan negara diubah menjadi penganiaya panteisme dan mistisisme,
negara sebenarnya mengubah sang guru desa menjadi orang yang jauh lebih
penting daripada yang sebenarnya.29
Selain itu, jelas bahwa Snouck menganggap berbagai keadaan yang
mengakibatkan pembantaian Cilegon sebagai gejala dari masalah kelembagaan.
Bukannya mengaitkan pembunuhan-pembunuhan di sana dengan hubungan
internasional berbagai tarekat, sebagaimana yang diduga, kesalahan lebih
terletak pada pertemuan berbagai gerakan internal para imigran “fanatik”
dari Banten Utara menuju Priangan, dipadukan dengan ketidakmampuan
dan kebodohan para pejabat setempat yang patut disesalkan. Pastinya Snouck
mengadopsi sikap negatif, kadang dengan cerewet, terhadap para pejabat
seperti insinyur kolonial, van Sandick, yang memanfaatkan sebuah laporan
yang diserialkan pada Juli 1891—serta informasi dari van den Berg dan sekutu
lamanya Piepers—untuk mengidentifikasi ‘Abd al-Karim sebagai inspirasi
peristiwa Cilegon dalam Leed en lief uit Bantam-nya. Dalam sebuah artikel yang
menyimpulkan bahwa pengawasan pamong praja yang kuat selalu dibutuhkan
untuk menjaga api Islam yang terus membara, van Sandick mengklaim bahwa
Cilegon akan menjadi yang pertama dari banyak peristiwa sejenis pada masa
PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF — 181
depan. Snouck sendiri pada praktiknya pernah mengambil posisi yang sama.
Usaha van Sandick memberi Snouck sebuah ulasan yang merendahkan dari
sang Penasihat, yang menulis dengan menyamar sebagai seorang pensiunan
pejabat. Namun, topeng (dan sarung tangannya) terlepas saat van Sandick
berani bertanya berapa banyak “pemimpin agama” Aceh telah tunduk pada
negara sejak laporan klasik Snouck dari 1894 (lihat di bawah). isebab , sejak
1892 Snouck telah memainkan peran paling kontroversialnya tepat di garis
depan kolonialisme Belanda.30
SKETSA DARI ACEH DAN LOMBOK
Orang-orang Aceh, beberapa ditemani para pemuda penari (sedati’), duduk
membentuk lingkaran besar di lantai dan berseru lantang “la Kaoula oula Kouata
bi Allah”, [sic] yakni: “hanya dengan Tuhan-lah daya dan kekuatan”, kepala-
kepala mereka bergerak ke depan dan ke belakang secara teratur, semakin cepat
dan cepat, sampai mereka berubah seakan menjadi kubah dari tubuh. sesudah
melakukannya dalam jumlah tertentu, orang-orang itu menjulurkan lengan
dan meletakkannya di pundak orang di sebelah kanan dan kiri mereka. Dengan
salam “la illaha ill Allah” mereka melemparkan tubuh bagian atas ke lantai
sebagai satu kesatuan, melakukan gerakan itu layaknya satu orang namun ke arah
sebaliknya, yakni ke belakang. Senam ini dilakukan dengan kecepatan yang
terus meningkat dan seruan tiada henti. Ini yaitu tontonan yang fantastik.
Dengan sinar obor, sosok-sosok gelap diterangi dengan tubuh bagian atas
telanjang, rambut acak-acakan dan wajah menjadi liar isebab kelelahan saraf.31
(V.S., “Mohammedaansche-godsdienstige broederschappen,” 1891)
Tak diragukan bahwa Aceh yaitu tempat yang menggairahkan pada 1891,
namun tidak aman bagi Belanda. Saat itu delapan belas tahun sejak ekspedisi
pertama terhadap yang disebut negara bajak laut ini. Dengan begitu banyak
kegagalan militer dan parlemen di Tanah Air, kebingungan mengenai hal
yang harus dilakukan terhadap bangsa yang benar-benar menolak untuk
menyerah, paling banter yang bisa dilakukan Belanda yaitu menciptakan
“garis konsentrasi” mengitari kawasan pesisir yang mereka kendalikan. Maka,
dibuatlah jalur kereta yang menghubungkan serangkaian pos bersenjata
sepanjang jalan. Di seberang sana, terbentang daerah pedalaman tempat
para pemimpin tradisional dan pemimpin agama bersaing memperebutkan
pengaruh dan senjata. Apabila pengunjung di dalam garis kendali bisa
menjumpai praktik Sufi dalam bentuk hiburan publik, di wilayah seberang
urusannya lebih serius: azimat dan silsilah Sufi dipercaya memberi pemiliknya
kekebalan dari peluru Belanda serta golok Ambon dan Jawa.
Selalu mencari-cari kesempatan, Snouck—yang hubungannya sebatas
dengan mantan mediator Aceh Habib ‘Abd al-Rahman al-Zahir di Mekah—
182 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
kali pertama menawarkan untuk mengulangi perannya sebagai ‘Abd al-
Ghaffar sewaktu perjalanan menuju Jawa pada 1889. Tawarannya ditolak
isebab jasanya dianggap lebih baik digunakan di Jawa. sesudah menyelesaikan
berbagai surveinya mengenai ulama dan pesantren, Snouck tetap bersedia
mengalihkan perhatian ke Aceh. Dia pun melapor ke Kota Raja pada Juli
1891. Meskipun belakangan dia menggambarkan tindakan beberapa orang
senegaranya dengan sedikit ironi, dari surat-surat kepada gurunya, Theodor
Nöldeke (1836–1930), jelas bahwa Snouck menikmati pengalaman bergerak
di antara serdadu; terutama persahabatannya dengan J.B. Van Heutsz (1851–
1924) yang saat itu berpangkat mayor.
Tugas resmi Snouck yaitu untuk mendokumentasikan sebuah
warga dengan tujuan memberangusnya. Namun, kita bisa dengan mudah
melihat dalam bukunya The Achehnese, yang merupakan hasil kunjungannya
bahwa dia selalu merupakan sang sejarawan dan etnografer yang tertarik untuk
memahami bagaimana sebuah bangsa menerima Islam, bagaimana filsafat
Sufi menjadi perhatian para cendekiawannya, dan bagaimana para sultannya
berusaha memonopoli esoteria tarekat-tarekat. Buku itu juga memungkinkan
Snouck melacak berbagai silsilah Syattari Jawa Barat hingga ke ‘Abd al-Ra’uf
dan menerbitkan banyak pengamatan yang sudah dilakukannya di Jawa,
meski hanya dalam bentuk catatan kaki tempat praktik Jawa berfungsi sebagai
kontrol yang digunakan untuk mengukur penyimpangan bentuk-bentuk lain.
Banyak hal yang ditemukan Snouck—atau diberikan kepadanya—di Aceh
mengecewakan. Kesejahteraan dan kesarjanaan telah merosot dari tingkatan
yang dicapai di bawah kekuasaan Iskandar Muda. Aceh, di mata Snouck,
yaitu negeri yang tengah mengalami kemerosotan. Istana kehilangan sisa-
sisa terakhir kekayaan dan kekuasaannya dan sang Sultan merosot menjadi
panglima perang daerah, hanya salah seorang di antara banyak panglima.
Snouck mencurahkan banyak ruang dalam studinya untuk apa yang
sudah diketahui tentang praksis Sufi, yang diyakininya dibawa ke Aceh dari
India. Kemudian, dia mempertimbangkan Hamzah Fansuri “yang panteistik”,
Syams al-Din yang “bidah”, dan gema ajaran-ajaran Ahmad al-Qusyasyi yang
“heterodoks” yang mengikuti jejak perdebatan termasyhur yang dimulai
oleh Nur al-Din al-Raniri. Untuk merefleksikan pengalamannya mengenai
Jawa, dia menggambarkan “kerusakan” Syattari sebagai terjadi di bawah
tantangan tarekat-tarekat “Qadiri dan Naqsyabandi” dari Mekah, meskipun
dia menganggap para perwakilan Aceh sebagai “tidak penting” dibandingkan
mereka yang ada di Jawa Barat, atau Deli dan Langkat. Sebaliknya, dia
mengulangi argumen-argumen terdahulu yang menggemakan pengamatan
Lane di Mesir dan tuduhan Sayyid ‘Utsman terhadap musuh-musuhnya, dan
menyatakan bahwa ritual tarekat kadang-kadang merosot menjadi hiburan
publik atau, lebih buruk lagi, memberi peluang bagi sebagian orang untuk
PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF — 183
memuaskan hasrat terhadap homoseksualitas; meski dia sama sekali tak yakin
bahwa keadaannya selalu demikian. Snouck dengan puas mengejek van den
Berg yang mengaitkan tarian sadati dengan dzikr Naqsyabandi.32
Seperti sudah kita catat, penilaian Snouck mengenai keadaan Aceh
didasarkan pengamatan-pengamatannya di Jawa ataupun pada apa pun yang
kebetulan ditemuinya di lapangan atau tiba di mejanya di Batavia. Dalam
catatan-catatannya, kita sering mendapati rujukan pada berbagai pengalaman
atau yang dihasilkannya di pulau ini , barangkali disarikan dari
sebuah buku yang hendak dia tulis. Perbedaannya yaitu bahwa dia memiliki
tugas lain yang lebih mendesak untuk dilakukan, yang pernah dinyatakan
sebagai urusan Jawa. Snouck lebih suka mengikuti pandangan teman baiknya,
J.L.A. Brandes (1857–1905).33 Entah benar atau tidak, sebagaimana Jawa,
Aceh menyajikan simpanan teks yang kaya untuk dikoleksi, dan silsilah untuk
dilacak sebagai bahan bakar bagi studi masa depan mengenai permulaan dan
perubahan Islam di Nusantara.
Studi Snouck mengenai Aceh dan Dataran Tinggi Gayo serta nasihat
yang terus-menerus pada negara kolonial tidak mungkin terjadi tanpa mediasi
para informan kunci. Hasan Mustafa sekali lagi terbukti penting dengan
aliran laporan dari Kota Raja, tempat dia diangkat sebagai Penghulu Kepala
pada Januari 1893.34 Laporan-laporan ini meliputi perincian mengenai
pergerakan sekutu temporer mereka Teuku Umar (1854–99), laporan-laporan
mengenai ancaman terhadap van Langen (Residen untuk Urusan-Urusan
Aceh yang tetap mengumpulkan bahan untuk Snouck), dan berita mengenai
berbagai urusan internal Belanda. Juga terdapat perincian mengenai budaya
dan praksis agama, seperti gambaran mengenai ratib yang digambarkan oleh
seorang Aceh perwakilan sebuah tarekat pada Mei 1893.35
Sebagian besar materi diproses oleh Snouck untuk laporannya sendiri.
Selain itu, Hasan Mustafa memainkan peranan sebagai penengah sukarela
antara Belanda dan orang-orang Aceh. Sebuah surat melaporkan perbincangan
Hasan Mustafa dengan para pemimpin Aceh mengenai berbagai kemungkinan
praktik keagamaan yang aman di bawah pemerintahan Belanda. Urusan-
urusan perkawinan, perceraian, dan shalat berada pada urutan teratas di
antara berbagai keprihatinan lokal, sementara Hasan Mustafa sendiri ingin
tahu bagaimana prinsip kekuasaan sultan hadir dalam imajinasi Aceh. saat
ditanya tentang berapa lama Sultan Jawa hidup di bawah “VOC”, kondisi
para ulama, dan kemungkinan adanya “Penguasa Adil” di sana, Hasan
Mustafa dengan niat membantu menyatakan bahwa Belanda sudah lama
memiliki kebijakan mengizinkan praktik agama secara bebas, asalkan tidak
membahayakan kesejahteraan publik.36
Kesediaan untuk melibatkan ulama seperti itu tampaknya membuat
sebagian atasannya curiga sehingga Hasan Mustafa ditempatkan di bawah
184 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
pengawasan. Si orang Sunda itu merasa dizalimi dan menyusun risalah panjang
yang memasukkan fatwa mengenai kewajiban setia pada negara. Pada Desember
1894 Hasan Mustafa juga menyusun panduan singkat yang mengajari para
sejawatnya tentang bagaimana menghadapi para pengawas Eropa. Bersama
petuah bijak lainnya, dia menasihatkan agar mereka tidak mengubah substansi
dokumen apa pun yang diminta untuk mereka terjemahkan.37
Yang juga aktif yaitu Teungku Kota Karang (w. 1895) yang agak
unik. sesudah pernah menjadi salah seorang polemikus Aceh paling agresif,
dia menarik diri dari kehidupan publik pasca-penyerahan diri Teuku
Umar. Tampaknya dia sudah tenang dan sangat ingin melihat pembaruan
perdagangan di pelabuhan. Dia bahkan berhasil meyakinkan Hasan Mustafa
tentang ketertarikannya terhadap penyebaran lebih luas karya-karya cetakan,
termasuk buku-buku astronomi, geografi, dan ilmu alam, apalagi Taj al-
muluk (Mahkota para Raja) edisinya sendiri.38 Meskipun dia mendukung
pembukaan kembali perdagangan, sebagaimana beberapa sayyid di kawasan
ini—di antara mereka ‘Abdallah al-‘Attas, yang berkunjung pada April 1893,
dan Sayyid Qasim yang sketsanya sampai ke arsip Snouck—banyak pemimpin
Aceh dari “pihak perang” pedalaman tetap teguh menentang gencatan senjata
atau bentuk kerja sama apa pun.39
Pada Juli 1887 Syekh Samman (w. 1891) selaku Teungku di Tiro sejak
Desember 1885 mengirimkan surat kepada orang-orang Arab Kampung
Jawa. Dia mengutuk siapa pun yang berani bekerja bersama Belanda. Dia
juga mengajak mereka ke sebuah pertemuan di makam Teungku di Anjong
(Sayyid Abu Bakr, w. 1782), sebuah monumen yang sebagaimana dinyatakan
Snouck, mulai mengalahkan pamor makam ‘Abd al-Ra’uf.40 Pada 1891 seorang
komandan Aceh lain mengeluh bahwa para pemimpin Aceh bergabung satu
per satu, sementara Konsul Utsmani di Singapura tidak mampu turun tangan
atas nama mereka dan para syekh Mekah tampaknya hanya tertarik datang ke
kawasan ini untuk mendapatkan istri “orang Belanda”.41
Bahkan, orang-orang Aceh yang jelas merupakan kolaborator, seperti
Teuku Umar, berbalik melawan Belanda saat saatnya terlihat tepat. Namun,
berbekal informasi dari orang-orang seperti Hasan Mustafa yang diolah oleh
Snouck, Belanda akhirnya membalikkan keadaan sehingga menguntungkan
meski harus mengorbankan nyawa ribuan orang Aceh. Strategi mereka
melibatkan penggabungan para panglima perang turun-temurun yang tersisa,
pengejaran tak kenal ampun terhadap gerombolan ulama pemberontak yang
masih selamat, dan penghancuran besar-besaran terhadap basis dukungan
musuh. Keseluruhan afair kotor ini dinyatakan berakhir oleh Van Heutsz pada
1903 saat dia menerima penyerahan diri pengklaim takhta Aceh. Namun,
ini yaitu pertunjukan untuk pers. Pertempuran—dan kekejian—berlanjut
hingga tahun-tahun sebelum Perang Dunia Pertama.
PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF — 185
Mengesampingkan berbagai persoalan inheren dalam historiografi
nasionalis yang menampilkan perang Aceh sebagai model untuk kisah benturan
antara Islam dan kolonialisme di seluruh Nusantara, terdapat persoalan lebih
jauh dengan pemberian nilai modern yang khas terhadap perlawanan Sufi dan
bahkan Arab setempat. Dalam sebuah kasus penting di ujung lain Nusantara,
pemerintah Belanda justru dianggap penyelamat kaum Muslim atas musuh
mereka: pemberontakan muslim Sasak Timur pada 1894 melawan para tuan
Bali yang Hindu dimanfaatkan untuk membenarkan sebuah invasi yang
memulihkan sebagian besar kebanggaan militer Belanda. Pemberontakan itu
bermula, sebagiannya, isebab orang-orang Bali mengeksekusi seorang Arab
pada 1892. Orang ini, Sayyid ‘Abdallah, berperan sebagai raja dan secara
rahasia menjadi agen perdagangan Belanda. Dia dihormati oleh kalangan elite
Sasak yang hampir semuanya yaitu anggota jaringan Sufi pimpinan ‘Abd al-
Karim dari Banten.
berdasar yang kita tahu tentang Qadiriyyah wa-Naqsyabandiyyah
di Cilegon, dan memperhitungkan nasihat Snouck, yaitu ironis bahwa
deputi ‘Abd al-Karim yakni Guru Bangkol menjadi orang yang meminta
campur tangan Belanda. Pihak Belanda jelas sangat senang isebab punya
alasan kemanusiaan untuk melanjutkan rencana menguasai Lombok. Bagi
Belanda, hanya sedikit keprihatinan (kalaupun ada) bagi Naqsyabandiyyah.
Telah disebutkan bahwa Naqsyabandiyyah muncul di kalangan orang-orang
Sasak pada 1880-an dan segera hilang saat banyak pemimpinnya menjadi
bawahan para tuan tanah Lombok.42 Bisa jadi persoalan tarekat tidak terlalu
menjadi perhatian kedua pihak. Ketimbang menghilang, tarekat hanya lolos
dari penglihatan pemerintah. Yang pernah dikirimkan kepada Snouck dari
pulau itu tampaknya hanyalah gambar-gambar masjid dan istana Kelayar,
serta sketsa seorang wali yang memegang tombak (lihat gambar muka).43
Sketsa ini mungkin dibuat oleh qadi kota ini , yang sebagaimana Sayyid
Qasim di Aceh, telah mengatur agar sketsa-sketsanya dikirimkan kepada
seorang “mufti” terkenal dari Batavia, yaitu ‘Abd al-Ghaffar.
berdasar usaha yang mendefinisikan bidangnya di Mekah, Snouck
memanfaatkan koneksi yang sudah dia jalin di sana serta badai politik di
Cilegon untuk berkeliling ke pesantren-pesantren Jawa. Dia melakukannya
secara sadar sebagai abdi imperium, meski abdi yang yakin bisa memainkan
peranan mengangkat rakyat imperium. Sepanjang perjalanan, dan perjalanan-
perjalanan lain di perbatasan Aceh yang bermasalah, Snouck melepaskan jubah
sang peramal bencana dan menasihatkan lebih banyak kesabaran, perhatian,
dan penghormatan terhadap Islam sebagai agama sebuah bangsa yang
186 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
menderita. Islam, menurutnya, perlu dimodernisasi. Kaum Muslim harus
disapih dari kepercayaan mereka terhadap jihad dan dari para guru mistik yang
entah diremehkan atau dihormati oleh Snouck, bergantung pada perjumpaan
pribadinya dengan mereka. Beberapa ulama dan manuskrip-manuskrip mereka
(terutama di Jawa) lebih merupakan sumber minat antikuarian ketimbang
intelijen kontrapemberontakan bagi Snouck saat dia turun ke lapangan
dalam sosok ‘Abd al-Ghaffar atau menyiarkan pesannya dengan penyamaran
sebagai pensiunan pejabat rendahan. Sepanjang perjalanan-perjalanannya,
identitas muslim Snouck dan otoritas kuasi-kolonialnya dimanfaatkan oleh
dirinya sendiri ataupun orang lain. Mereka juga ditantang oleh pihak lain lagi,
yang khawatir kepentingan mereka di Hindia terancam.
PARA MUFTI BATAVIA
Menulis tepat sebelum pemberontakan Cilegon, Sayyid ‘Utsman meminta Snouck mengiriminya salinan-salinan tulisan tempat polemik-polemik
mengenai tarekat mendapat pujian. Dia baru saja mengajukan diri sebagai
calon mufti (pro-Belanda) yang bisa menasihati muslim setempat mengenai
soal-soal hukum keluarga. Ini bukan kali pertamanya dia memosisikan diri
di pihak pemerintah. Risalah-risalah anti-Naqsyabandi-nya membuatnya
dihormati di kalangan pejabat penting. Pada 1881 dia menyusun buku
panduan yurisprudensi yang ditujukan untuk pengadilan agama yang baru.
Tentu saja sudah ada buku panduan yang dicetak sebelumnya, dari Tuhfa-
nya Taco Roorda hingga Minhaj-nya van den Berg, yang diremehkan oleh
Snouck isebab dia memberikan dukungan kepada tujuan Sayyid ‘Utsman.
Snouck dan ‘Utsman bagaikan dua sisi mata uang. Penulis biografi ‘Utsman
melihat sang cendekiawan Arab ini jelas menganggap posisi barunya sebagai
mufti semiresmi yaitu analog dengan seorang “Penasihat” Barat, dan kita
bisa mengandaikan bahwa Snouck menerima sebutan muslim.1
beberapa besar surat yang dikirimkan kepada Snouck selama jabatannya
di Batavia menuturkan kisah ini . Pada Oktober 1893 Imam Tanjung
Beringin, di Deli, mengajukan permohonan fatwa pada “kantor paduka yang
mulia, guru kami yang agung, Syekh Islam”, yang menunjuk dua orang syekh
yaitu ‘Utsman dan ‘Abd al-Ghaffar. Pada Maret 1898 Pangeran ‘Abd al-Majid
menyapanya sebagai “Mufti Negeri Hindia Belanda”, sementara sekelompok
orang Arab dari Cirebon menyanjungnya sebagai “syekh Islam yang mulia
untuk Jawi, Haji ‘Abd al-Ghaffar”.2
Snouck jelas disebut sebagai mufti, baik bersama maupun tanpa Sayyid
‘Utsman, oleh beraneka ragam pihak di seluruh kawasan. namun , tampaknya
dia tidak pernah menganggapnya demikian atau memberikan fatwa kepada
para pemohonnya. Sebaliknya, tugas-tugas semacam itu akan jatuh ke tangan
S E M B I L A N
PARA MUFTI BAYANGAN,
MODERN KRISTEN
1 8 9 2 – 1 9 0 6
188 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
antek Hadrami-nya, yang kerap menghasilkan sebuah pamflet mengenai
persoalan ini untuk menciptakan preseden bagi wilayah kekuasaan
Belanda yang lebih luas. Sebuah peristiwa, perselisihan mengenai masjid
untuk shalat Jumat di Palembang, merupakan contoh mengenai bagaimana
persoalan-persoalan semacam ini ditangani.
Seperti tercantum dalam Bab 2, Palembang yaitu tempat kelahiran
‘Abd al-Samad, yang afiliasinya dengan tarekat Sammaniyyah bisa dibilang
menaikkan gengsi tarekat ini di kalangan istana pada abad kedelapan belas.
Sammaniyyah menjadi begitu penting. Para pengikutnya berada di garis depan
perlawanan saat kesultanan diserang Inggris dan Belanda secara bergantian
yang berpuncak pada diturunkannya Sultan Badr al-Din pada 1822 dan
penjarahan perpustakaan istana. Peristiwa semacam itu memunculkan ingatan
yang kuat mengenai peran penting para sultan dalam penyebaran dan pembelaan
Islam. Lambang abadi atas keberanian sultan yaitu masjid utama kota itu.
Masjid yang dinamai Masjid Sultan itu berfungsi sebagai tempat utama ritual
shalat Jumat untuk komunitas yang bersatu. Masjid ini merupakan tempat
bagi staf yang terdiri atas imam, khatib, serta ahli hukum, yang otoritasnya
diakui oleh masjid-masjid yang lebih kecil. Tak berbeda dengan saudara
mereka di Jawa, yang mengawasi dengan ketat pengumpulan dan pembagian
keuangan masjid. (Belanda-lah yang telah merestorasi jendela-jendela besar dan
kubah berhias permata di masjid ini pada 1823.) Oleh isebab itu, para
pejabat sangat khawatir oleh ancaman terhadap otoritas dan keamanan mereka
sewaktu sebuah masjid baru didirikan oleh Mas Agus Haji ‘Abd al-Hamid,
mulai berfungsi untuk shalat Jumat. Sekelompok orang yang merasa dizalimi
menulis surat pada Juli 1893 kepada Snouck, alias ‘Abd al-Ghaffar, sebagai
“Mufti Agung Batavia dan Wali Pemerintah”. Isinya mengeluhkan permusuhan
besar yang meletus isebab Penghulu Kepala yang bodoh telah memberikan izin
untuk pembangunan masjid yang baru. Izin ini pastinya diberikan isebab
‘Abd al-Hamid yaitu guru si Penghulu Kepala sendiri (mungkin guru Sufi).3
Sementara ‘Abd al-Hamid menikmati dukungan banyak haji pribumi
Palembang (yang barangkali Khalidi?), para pemohon Snouck menyatakan
adanya koneksi yang kuat dengan keprihatinan ‘Alawi. Mereka dipimpin
oleh Haji ‘Abd al-Rahman b. Ahmad b. Jamal al-Layl, seorang khatib dan
ahli hukum keturunan Arab sekaligus anggota Raad Agama yang ditunjuk
Belanda. Dia didukung dua orang sayyid, ‘Abdallah b. ‘Aydarus b. Syahab
dan ‘Alwi b. ‘Aqil b. Marzuq. Ada pula Kemas Haji ‘Abdallah b. Azhari, yang
barangkali yaitu kerabat sang pencetak perintis, Haji Muhammad Azhari.
Menurut surat pertama mereka kepada Snouck, mereka sudah menulis
surat kepada Sayyid ‘Utsman yang ditanggapi dengan sebuah fatwa dan dua
pamflet mengenai persoalan ini. Namun, fatwa dan pamflet itu tidak dipatuhi
oleh mufti setempat yang mengklaim bahwa Batavia yaitu yurisdiksi yang
PARA MUFTI BAYANGAN, MODERN KRISTEN — 189
terpisah. Para mufti setempat segera memulai aksi untuk menurunkan para
pemohon dari jabatannya. Hal ini berujung pada dikirimnya permohonan
kepada pengklaim takhta Palembang dan Gubernur Jenderal untuk
mengutus Snouck ke Palembang. ‘Abd al-Rahman yang putus asa bersikeras
membutuhkan sesuatu lebih dari sekadar karya-karya tercetak Sayyid ‘Utsman
dan berharap bahwa melalui “penafsiran rasional” Snouck, keadilan dan
kebenaran akan “muncul secara nyata”.4
Para penuntut jelas menerima gagasan bahwa, secara yuridis, Batavia
yaitu ibu kota Palembang. Meski begitu, surat mereka tidak segera menerima
jawaban, apalagi kunjungan Snouck. Maka, surat lain pun menyusul, isinya
sama, tapi dengan penuturan yang lebih dramatis. Meskipun catatannya tidak
lengkap, terlihat dari rekomendasi resmi Snouck bahwa perkara ini akhirnya
diselesaikan dengan menguntungkan para penggugat sesudah penyebaran
lebih jauh risalah-risalah lain yang ditulis oleh Sayyid ‘Utsman. Namun, faksi
penentang tidak tinggal diam tanpa melawan. Mereka berusaha mendanai
sendiri kunjungan Snouck ke Palembang dan mengirim surat kepada
seseorang yang otoritasnya dianggap akan mengalahkan apa pun yang datang
dari Batavia. Orang ini yaitu Ahmad Khatib al-Minankabawi (1860–1916),
seorang ahli hukum terkemuka yang bintangnya sedang bersinar di Mekah.
Dia menguji nyali Sayyid ‘Utsman selama komunikasi yang berlangsung
selama lima tahun berikutnya.5
Satu dekade kemudian kita mendapati korespondensi yang lebih santai
tapi tegas, dari ‘Abd al-Rahman yang dulu siap bertempur dan sekarang sangat
ingin dipromosikan menjabat Penghulu Kepala sesudah tujuh belas tahun setia
mengabdi. Pada saat itu, kedudukan Snouck di puncak otoritas hukum Islam
yang direstui Belanda di Hindia tak dapat disangkal. Pada Mei 1905 jurnalis
ternama Dja Endar Moeda (1861–?) meminta Snouck memutuskan sebuah
persoalan yang memecah ulama sesudah percetakannya sendiri menghasilkan
sebuah buku pengantar karya seorang syekh lokal yang bertentangan dengan
Sayyid ‘Utsman.6
Akan namun , semuanya tidak baik-baik saja. Persoalan masjid Palembang
berkobar lagi pada 1906 dan, seperti yang akan kita lihat, mendung pembawa
badai menggelayuti Snouck dan ‘Utsman isebab negara dan agama Kristen
dianggap tak terpisahkan. Ini terlepas dari kenyataan bahwa Snouck sudah
sangat sering bertindak di belakang layar menentang para penerbit artikel-
artikel yang menghina Islam, seperti saat Selompret Malajoe di Semarang
menerbitkan “hikayat para pembantu” pada 1896 yang mengklaim bahwa
Muhammad yaitu anak haram seorang guru. Ibunya, Khadija [sic], melarikan
diri ke Mesir dan mengabdi kepada seorang pendeta Kristen.7
Sikap para misionaris terhadap Snouck yang awalnya positif juga
berubah. Sebagaimana sebagian orang Kristen masih sangat sedikit memahami
190 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
Islam, jelaslah bahwa ada banyak orang yang sangat sedikit menghargai niat
Snouck, terutama saat kabar angin tentang keislamannya menyebar cepat.
saat keraguan demikian disuarakan, Snouck menanggapi baik secara
pribadi maupun lewat pers. Segera sesudah pernikahannya pada 1890 di
Priangan, misalnya, dia membuat De Locomotief membungkam kabar angin
mengenai hal itu dan dia langsung menyangkal fakta pernikahannya kepada
teman teolognya, Herman Bavinck. Pada Februari 1897 sesudah menulis
kepada Aboe Bakar untuk memastikan rahasianya di Mekah aman, dia juga
membuat Soerabaiasch Handelsblad memperbaiki pernyataan-pernyataan
yang menyiratkan bahwa dia yaitu seorang cendekiawan di-balik-meja
dengan sedikit pemahaman mengenai bahaya Islam. Bahkan, dia selalu bisa
menemukan kolom untuk bantahan-bantahannya, terutama yang ditujukan
kepada para kritikus seperti van Sandick.8
Terlepas dari berbagai pertanyaan yang diajukan, pada 1900 jaringan
Snouck sebagian besarnya tetap tak terancam. Dengan wafatnya Nawawi di
Mekah pada 1896, seorang cendekiawan Jawi lain, ‘Abd al-Hamid dari Kudus,
mengambil alih tugas mengumpulkan buku-buku untuk Snouck yang dikirim
lewat Aboe Bakar.9 Seperti Nawawi, ‘Abd al-Hamid menjadi terkenal isebab
karya-karya berbahasa Arab-nya. Sebagian orang menganggapnya sebagai
penghubung penting bagi perkembangan gerakan-gerakan baru Islam di Jawa
pada abad kedua puluh, atau sebagai saluran bagi reformisme dan nasionalisme.
Di sisi lain, dia dikeluarkan dari kisah tentang yang modern isebab kehormatan
ini diklaim oleh orang-orang yang agak berbeda, yang sebagiannya memandang
“Mufti” ‘Abd al-Ghaffar dengan mata yang kian menyipit.
DARI AL-QURAN KE INJIL
Satu lagi unsur yang perlu ditekankan sebelum beralih untuk memeriksa
masa depan para Sufi, pembaharu, dan cendekiawan yang saling berkelindan
pada abad kedua puluh: yaitu, prospek (atau momok) Kristenisasi. Julukan
“Nasrani” merupakan bagian dari bahasa percakapan di Asia Tenggara jauh
lebih lama daripada “Padri”. Namun, akan terlihat bahwa pada pengujung
1800-an para misionaris akhirnya mendapatkan hasil yang diperoleh dengan
susah payah di pedalaman Sumatra serta pesisir selatan Jawa, dan di antara
pulau-pulau kecil yang terletak lebih jauh tempat mereka diberi izin masuk.
Dalam beberapa kasus, kegiatan para misionaris mendapatkan hasil yang
tak diinginkan. Di Bagelan pada 1882, seorang santri yang menjadi pendeta
mengklaim bahwa keimanan kepada Yesus menempatkan orang-orang Jawa
sejajar dengan orang-orang Kristen kulit putih dan membebaskan mereka dari
kewajiban bekerja untuk negara kolonial. Para pejabat setempat dan kerabat
misionaris mereka tidak senang.10
PARA MUFTI BAYANGAN, MODERN KRISTEN — 191
Sementara itu, di Jawa Barat terdapat perlawanan yang lebih besar
terhadap agama Kristen sebagai unsur kolonialisme. Ini terlihat dari kisah
Kartawidjaja, setidaknya seperti yang disajikannya dalam autobiografinya,
Van Koran tot Bijbel, yang ditulis atas perintah A. Vermeer dari Misi
Djoentikebon. Meski Kartawidjaja mengawali dengan laporan tahun-tahun
awalnya di pesantren, bab-bab ini dihilangkan oleh para editor yang tidak
ingin membingungkan para pembaca dengan berbagai catatan mengenai
begitu banyak “kata dan nama asing”. Untuk lebih menyederhanakannya,
banyak lawan Kartawidjaja diberi inisial, yang tentu saja hanya memperumit
identifikasinya. Terlepas dari berbagai sentuhan yang membingungkan, kisah
Kartawidjaja memberikan wawasan mengenai hubungan antarkomunitas di
perbatasan Jawa Barat dan Tengah pada peralihan abad.11
Kartawidjaja dilahirkan sekitar 1850 dan meninggal di Djoentikebon 4
Oktober 1914. Kakeknya, Haji Patih Mas Muhammad Salih, yaitu seorang
pejabat dan guru agama di Indramayu, tempat dia mengajari dua calon bupati.
Salah seorangnya barangkali yaitu Raden Tumenggong Soerianataningrat
dari Lebak, yang laporan-laporannya mengenai pesantren digunakan Snouck
pada 1885. Muhammad Salih tetap menjadi anggota Landraad lokal hingga
tua, sebuah posisi yang memberinya kontak berharga dalam warga
Belanda. Meski begitu, selagi teman-temannya dikirim ke sekolah-sekolah
Eropa yang baru untuk kalangan elite pribumi, Kartawidjaja muda memulai
pendidikannya di Pesantren Babakan di Cirebon. Dia diajari oleh seorang
murid ayahnya yang lain. Namun, tiga bulan kemudian, Kartawidjaja jatuh
sakit dan pulang, dan tak pernah kembali. Saat itu, ayahnya telah memutuskan
bahwa Kartawidjaja cukup dididik untuk menjadi pegawai dalam birokrasi
kolonial.
Menurut Kartawidjaja, pengetahuannya mengenai tulisan Arab sama
sekali tidak berguna untuk pekerjaan ini. Meskipun hatinya mengatakan
dia tetap seorang santri, dia memutuskan untuk belajar aksara “Hollandse”
dan Jawa.12 Pada tahun-tahun antara 1872 dan 1891 dia menduduki banyak
jabatan yang terus meningkat hingga ke Demang Luwung Malang. Terlepas
dari berbagai kemajuan ini, dedikasi total Kartawidjaja terhadap pekerjaan
tampaknya menimbulkan sebuah krisis spiritual. Dia pun menarik diri
ke Indramayu. Di sana dia mengalihkan perhatian terhadap karya-karya
tafsir kanonis yang dia punya, tenggelam dalam shalat, dan secara rutin
mengunjungi pesantren sekitar, yakni pesantren Wot Bogor dan “Kak Sepoeh”
(barangkali pesantren Syekh Talha), tempat dia menyatakan menerima ritual-
ritual Naqsyabandiyyah.
Tinggal di kawasan Arab yang seba