Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 10

 


aan 

dengan garis silsilah ‘Abd al-Ra’uf dan Muhyi al-Din Karang. Adi Kusuma 

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  173

juga malu-malu dalam kaitannya dengan kemampuannya sendiri, mengakui 

bahwa manuskripnya yang berharga lebih mirip “pusaka” sakti ketimbang 

panduan yang berguna. Tampaknya Snouck sepakat isebab  dia kembali ke 

halaman tentang Cirebon dan mencatat bahwa kota itu dan Pekalongan 

mempertahankan pengajaran “prinsip-prinsip ilmu pengetahuan lama”.13

Mengenali bahwa saat itu yaitu  masa transisi, Snouck belakangan 

mengingat betapa dia berhasil mendapatkan banyak buku panduan dari kulit 

kayu yang dimiliki ayah dan kakek para guru “ortodoks” yang sesekali merasa 

malu. Salah satu kasus demikian terjadi di Cikalong pada Agustus 1889 saat  

Kiai Sahwi memberinya lembaran-lembaran buku panduan kakeknya yang 

berisi silsilah Syattari ‘Abd al-Muhyi. Selain silsilah ini , semua teksnya 

(‘Awamil, Ajurrumiyya, Sittin, Samarqandi, Miftah, dan Mufid) yaitu  karya-

karya yang tetap disukai. Barangkali keadaan manuskrip yang menyedihkan 

membuat Kiai Sahwi bersedia menyerahkan pusakanya. isebab , ada banyak 

karya cetakan baru untuk dimiliki dan murah harganya.14

Akan namun , pada umumnya murid-murid dari segala tradisi menuju 

sekolah-sekolah terkenal di pesisir utara, seperti sekolah milik Salih Darat dari 

Semarang, yang peraturannya diberikan kepada Snouck. Rujukan-rujukan 

ini  kalah pamor jika dibandingkan Surabaya sebagai tujuan keilmuan. 

Ke mana pun Snouck pergi di Jawa Barat—dia menghabiskan lebih banyak 

waktu di sana ketimbang di tempat lain sesudah  menikahi putri Penghulu 

Kepala Ciamis—semakin jelas bahwa sebagian besar jalan mengarah ke 

Surabaya. Tampaknya sebagian murid akan pulang dengan puas isebab  

dikenal sebagai santri Surabaya. Lagi pula, kota itu sudah semakna dengan 

‘Ubayda isebab  seluruh generasi Kiai Garut belajar di bawah bimbingannya 

di Sidosremo. Namun, Snouck tidak tahu banyak tentang ‘Ubayda selain 

bahwa orang ini terkenal sebagai keturunan Sunan Ampel, yang kemudian 

digantikan seseorang bernama Zubayr sesudah  kematiannya, barangkali sekitar 

1874. Van den Berg menegaskan bahwa lembaga itu diwariskan ke tangan 

‘Abd al-Qahhar yang memimpinnya sampai kebakaran melalap bangunan 

yang sudah reyot pada 1885.15

Menjadi jelas bagi Snouck bahwa pesantren-pesantren seperti Sidosremo, 

bagi sebagian orang, yaitu  tempat antara untuk menuju Mekah, tempat 

mereka akan menghabiskan waktu rata-rata enam tahun dan sesudah  itu 

dilanjutkan dengan mempelajari tata bahasa di Madura. Juga menjadi lebih 

jelas bahwa berbagai edisi cetak yang baru yaitu  hal penting bagi orang-

orang Jawa. Edisi cetak itu mendorong penggunaan karya-karya berbahasa 

Arab tingkat lanjut ketimbang buku-buku pengantar berbahasa Melayu yang 

lebih disukai orang-orang Syattari. Namun, bahasa Melayu tetap penting di 

Jawa Barat dan sebagian sekolah di pesisir utara. Mendiang ‘Abd al-Ghani 

dari Cikohkol, yang mengklaim keturunan ‘Abd al-Muhyi Pamijahan, konon 

174  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

pernah belajar di Aceh, Kedah, dan Palembang. Demikian pula karya-karya 

‘Abd al-Samad al-Falimbani ataupun Da’ud al-Fatani masih diperdebatkan 

di Cianjur dan Kendal.16 Banyak kiai Cianjur pernah belajar di Mekah di 

bawah bimbingan Zayn al-Din al-Sumbawi. Begitu juga dua putra Raden 

Haji Yahya dari istri Minangkabau-nya pernah belajar di bawah bimbingan 

orang Sumbawa itu, lalu keduanya mengajarkan karya-karyanya di Cilegon 

sebelum meletus yang oleh Snouck disebut sebagai khawf atau “teror”.17

Gambar 7. Halaman judul Majmu‘at mawlud (Bombay: Muhammadiyya, 1324), sebuah 

bunga rampai teks yang dicetak di India untuk pasar Asia Tenggara, sekitar 1900.

Jadi, bagaimanapun, pengalaman Mekah—meski membuat Belanda 

ketakutan—tampaknya memainkan peranan dalam menciptakan rasa 

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  175

komunalitas Jawi yang langgeng. Zayn al-Din sama sekali bukan cendekiawan 

kelahiran Sumbawa pertama yang menarik minat orang-orang Melayu, Sunda, 

dan Jawa. Catatan-catatan Leiden Snouck menyebutkan beberapa kiai di 

sekitar Surabaya yang belajar pada ‘Abd al-Ghani Bima, yang masih dikenang 

sebagai syekh bagi Jawa secara umum. Jalur-jalur yang dicatat Snouck bukan 

sekadar menceritakan berbagai silsilah kecendekiawanan. Jalur-jalur ini juga 

merupakan ikatan darah. Contoh lain dari hubungan semacam ini bisa dilihat 

kembali pada catatan-catatan Snouck dari Garut. saat  melewati kota itu, 

Snouck bertemu Kiai Mulabaruk, yang pernah belajar di Tegalsari di bawah 

bimbingan Hasan Besari, guru yang diperlakukan dengan sangat tidak 

hormat oleh Jan Brumund. Jelas bahwa Mulabaruk mendapati lebih banyak 

hal di Tegalsari ketimbang yang diperlihatkan kepada Brumund. Seperti yang 

dituturkan Hasan Mustafa dan pihak-pihak lain kepada Snouck, Mulabaruk 

mengkhususkan diri dalam tafsir Al-Quran karya al-Baydawi (w. 1286) serta 

karya-karya penting oleh Imam Nawawi dan al-Firuzabadi. Daftar Snouck 

juga memperlihatkan bahwa Mulabaruk mampu menempatkan para mantan 

muridnya di seluruh Priangan sesudah  mereka menyelesaikan masa studi 

lanjutan dari Mekah hingga Madura.18

Banyak lagi daftar semacam itu memenuhi halaman-halaman buku harian 

Snouck saat  dia pergi ke arah timur. Daftar-daftar ini  memberikan 

wawasan yang sangat mendetail mengenai ikatan perkawinan dan kunjungan 

yang membentuk jaringan pesantren. Namun, meski daftar-daftar ini juga 

menegaskan bahwa Khalidiyyah menanamkan akar yang dalam di Jawa, 

keberadaan tarekat-tarekat lain juga terbukti. Kita bisa mendapati penyebutan 

para kiai yang sudah mempelajari Khalwatiyyah di bawah bimbingan ‘Abd al-

Syakur Surabaya di Mekah, atau Muhammad Maghribi di Madinah. Juga ada 

berbagai indikasi mengenai tantangan yang diajukan oleh para tokoh seperti 

Imampura dari Bagelan, yang menyebarkan Syattariyyah versinya sendiri 

kepada ribuan peziarah sekitar 1885. Selain ini, terdapat bukti mengenai 

penggabungan-penggabungan baru. Dua teks yang disalin untuk Snouck di 

Jawa Barat (salah satunya dimiliki oleh Patih Menes) tampaknya menyatukan 

unsur-unsur Naqsyabandiyyah dan Khalwatiyyah. Keduanya menggunakan 

silsilah nonstandar langsung dari Ahmad al-Qusyasyi ke Muhammad Tahir 

dari Bogor dan sebenarnya lebih merupakan kumpulan berbagai teknik 

ketimbang program yang koheren untuk memadukan dua metode praktik 

tarekat.19

Walaupun begitu, penilaian yang samar-samar seperti itu tidak sesuai bagi 

sebuah tarekat yang mengalami kemajuan pesat. Yang secara konsisten dikenali 

Snouck sebagai Qadiriyyah, ternyata identifikasi yang lebih tepat yaitu  

“Qadiriyyah wa-Naqsyabandiyyah” Ahmad Khatib Sambas. Salah seorang 

perwakilannya yang paling dikenal di Priangan yaitu  Muhammad Garut, 

176  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

salah seorang guru Hasan Mustafa yang juga putra murid Mulabaruk, yaitu 

Hasan Basri dari istri Jawa-nya di Mekah. Snouck pastinya sudah mendengar 

tentang penutur bahasa Arab yang fasih, yang namanya kerap disebutkan 

oleh para informan berbarengan dengan nama ‘Ubayda.20 Muhammad Garut 

mendapatkan pendidikan awalnya dari sang ayah di Kiara Kareng. Pada usia 

sekitar dua puluh, dia pergi ke Mekah dan tinggal selama tujuh tahun di 

bawah bimbingan Syekh Zahid dari Solo, ‘Ali Rahbani al-Misri, Muhammad 

Salih al-Zawawi, dan Muhammad Hasab Allah. Muhammad Garut akhirnya 

mengaitkan diri dengan Ahmad Khatib Sambas. Dia kemudian ke Garut 

pada 1879 sebelum kembali ke Mekah pada sekitar 1882. sesudah  itu, dia 

pergi bolak-balik ke Kota Suci, menunjuk wakil-wakilnya sendiri, seperti 

Muhammad Salih di Sukabumi.21

Yang lebih menarik yaitu  hubungan mendalam antara Muhammad 

Garut dan Hasan Mustafa melalui calon penerus Muhammad Garut, Adra‘i. 

Adra‘i yaitu  salah seorang guru Hasan Mustafa di Garut. Mereka melakukan 

perjalanan ke Mekah bersama dan, sesudah  tinggal enam tahun, kembali 

bersama-sama. sesudah nya Hasan Mustafa menikahi keponakan Muhammad 

Garut. Dengan demikian, Hasan Mustafa yaitu  informan yang ideal pada 

beberapa tingkatan pengajaran, mulai tata bahasa sampai mistis. Kontak 

personal mereka barangkali telah membuka mata Snouck secara berbeda 

terhadap para praktisi tarekat, dan barangkali memberinya alasan untuk 

memikirkan kembali, atau setidaknya mengimbangi, ramalan bahaya untuk 

publik yang dia ajukan sebelumnya.

Ada guru-guru lain yang bisa jadi memiliki pengaruh yang sama 

terhadap Snouck. Dia paling terkesan dengan seorang “Qadiri” lain di 

Cirebon, yaitu Muhammad Talha dari Kalisapu putra Penghulu Kepala 

Cianjur. Talha pernah belajar di daerah setempat pada Muhammad Sahih (w. 

1886)—seorang murid Mulabaruk dan ‘Ubayda—dan pada Hasan Mustafa 

di Mekah sebelum kembali ke kampung halamannya sebagai guru Qadiriyyah 

wa-Naqsyabandiyyah. Latar belakang Talha pastinya telah memengaruhi arah 

yang dia ambil isebab  tampaknya ayah Talha berperan dalam menjelek-

jelekkan dan mengusir Kiai Lengkong, yang pesantrennya dicemooh oleh 

van Sevenhoven pada 1839. Meskipun putra-putra Kiai Lengkong sejak saat 

itu mendapat dukungan pemerintah kolonial, Snouck memandang rendah 

Hasan Absari dari Cianjur dan orang-orang yang sejenis dengan mereka. Dia 

juga tidak menghargai banyak orang Akmali di Cilacap, menyatakan bahwa 

kota ini  “tidak memiliki cendekiawan”.22

saat  dijajarkan dengan para guru semacam itu, Talha benar-benar 

terlihat memiliki standar yang lebih tinggi. Snouck jelas terkesan kali pertama 

bertemu dengan Talha di Kalisapu pada 24 Agustus 1889. Pesantrennya 

sama sekali bukanlah kumpulan pondok-pondok bambu. Talha memiliki 

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  177

rumah batu, balairung shalat, masjid untuk shalat Jumat, dan asrama bagi 

para murid yang berkunjung. Dari apa yang bisa dikumpulkan Snouck, Talha 

kerap menasihati para pejabat setempat mengenai hukum Islam (dia dikenal 

isebab  fatwa-fatwanya “yang berguna” mengenai brendi dan poligami). Dia 

juga merupakan produk pendidikan tarekat yang sangat beragam. Selama 

sembilan tahun di Mekah, tempat dia belajar kepada Hasan Mustafa, Talha 

memilih mengikatkan diri secara langsung dengan Khalidiyyah melalui ayah 

mertua Sulayman Afandi. Talha juga berbaiat pada Haddadiyyah via Ahmad 

Dahlan dan pada Qadiriyyah wa-Naqsyabandiyyah-nya Ahmad Khatib 

Sambas. Yang terakhir inilah yang paling dikenang dari dirinya. Snouck 

punya kesan bahwa Talha-lah yang membaiat sang Bupati ke dalam tarekat 

ini . Snouck merasa yakin meski pihak-pihak lain menegaskan bahwa 

sang Bupati dan keluarganya setia kepada tokoh Syattari, ‘Abd al-‘Aziz dari 

Cirebon, yang juga konon telah mengambil tarekat Khalwatiyyah dari ‘Abd 

al-Syakur Surabaya di Mekah.23

Pastinya bukan hanya mereka guru multitarekat. Muhammad Ilyas 

dari Sukapura, seorang veteran yang dua puluh tahun tinggal di Mekah, 

mengajarkan baik dzikr Syattari maupun Naqsyabandi kepada murid-

muridnya. Di Tegal terdapat bukti serupa mengenai transisi yang tengah 

berlangsung saat  para guru yang sebelumnya Syattariyyah mulai mengajarkan 

ritus-ritus Naqsyabandiyyah dengan alasan bahwa Syattariyyah sebenarnya 

merupakan basis bagi Naqsyabandiyyah.24 Lagi pula, pendekatan multitarekat 

ala Talha dan para koleganya bertentangan dengan berbagai pengandaian 

akademis mengenai watak reformisme “neo-Sufi” pada abad kesembilan 

belas, dan ijazah-ijazah kesarjanaannya menunjukkan campuran yang juga 

beragam. Di antara manuskrip-manuskripnya ada beberapa teks karya putra 

Sultan Cirebon, termasuk sebuah salinan Tuhfa karya Burhanpuri. Dia juga 

memiliki karya-karya cetakan yang bergengsi, seperti dua volume edisi karya 

Ibrahim al-Jaylani, Insan al-kamil, yang terbit di Kairo pada 1876, dan sebuah 

edisi kumpulan risalah karya Sulayman Afandi yang dilitografi di Istanbul 

pada 1883–84—kemungkinan besar karya-karya yang sama diperintahkan 

untuk dikuburkan di Mekah. Ini sama sekali tidak aneh. Ilyas Sukapura 

juga memiliki karya-karya Sulayman Afandi dalam bentuk manuskrip dan 

cetakan. Yang benar-benar membuatnya istimewa yaitu  Talha mengajarkan 

pendekatan Syafi‘i untuk fiqh sekaligus menampilkan diri sebagai seorang 

Hanafi yang terdidik dan menyatakan bahwa fatwa semua mazhab haruslah 

dipertimbangkan. Hubungan apa yang barangkali dimilikinya dengan kaum 

“Hanafi” terdahulu di Asia Tenggara, seperti Da’ud dari Sunur dan Muhammad 

dari Silungkang, untuk saat ini tetap menjadi pertanyaan terbuka. Namun, 

bagi Snouck, persoalannya yaitu  mengomunikasikan temuan-temuannya 

kepada publik yang masih khawatir.25

178  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

SNOUCK SEBAGAI WEDANA

Snouck berusaha menyamai sumber terdahulunya, Poensen, dalam artikel-

artikel surat kabar yang ditujukan kepada publik kolonial. Namun, di 

sisi lain, dia memerankan sosok seorang pejabat junior atau wedana, dan 

menempatkan dirinya di atas desaman “si orang desa”-nya Poensen. Artikel-

artikel ini mulai muncul secara bersambung dalam koran progresif De 

Locomotief pada awal Januari 1891 dan berlanjut hingga Desember tahun 

berikutnya, pada saat Snouck sedang melaksanakan penyelidikan langsung 

mengenai pemberontakan Aceh. Dalam surat-surat yang diyakini terdorong 

oleh perhatian penuh kasih seorang pengawas yang sangat banyak tahu, Snouck 

memberi para pembacanya sebuah gambaran nyata mengenai kehidupan 

orang Jawa mulai ayunan hingga pondok, dan seterusnya. Gambaran ini  

yaitu  sebuah kisah, yang dituturkan dengan nada merendahkan diri, 

mengenai sebuah perjumpaan antara Timur yang spiritual dan Barat yang 

rasional, tempat kebijaksanaan intuitif orang-orang lokal yang menjalani 

hidup dalam sebuah dunia yang dipenuhi ruh-ruh terlalu sering diabaikan 

oleh para mandor Eropa yang kasar dan kerap kali mabuk.

Selagi wedana-nya Snouck menggambarkan berbagai ritus di seputar 

kehamilan, kelahiran, dan peristiwa-peristiwa kehidupan lainnya, dia juga 

mencatat bahwa zaman sedang berubah. Para santri yang keras menghilangkan 

banyak hidangan ritual terdahulu, doa-doa lebih sering terdengar dalam 

bahasa Arab ketimbang bahasa Jawa, terdapat semakin banyak orang Arab 

dan haji yang terlihat, dan bahkan kelompok elite priayi memilih nama-nama 

bahasa Arab untuk anak-anak mereka. Haji dan orang Arab masih menjadi 

momok menakutkan bagi anak-anak kebanyakan (di samping orang Belanda 

dan priayi). Namun, banyak orang bercita-cita mengirimkan anak-anak 

mereka ke pondok untuk dibimbing sang guru sebagai orangtua pengganti. 

Di sini murid terlibat pembelajaran sebaya yang intensif, teks-teks yang sudah 

diselesaikan disahkan secara pribadi oleh guru dan ijazahnya memungkinkan 

sang murid untuk melanjutkan perjalanan ke pesantren berikutnya tempat 

mereka kerap akan diminta terlibat dalam kerja pertanian, paling sering 

menanam kopi. Mengulangi komentar-komentar Verkerk Pistorius mengenai 

Sumatra, Snouck mengamati bahwa perjalanan semacam itu memberi para 

santri Jawa pengetahuan geografis mengenai pulau yang jauh lebih unggul 

dibandingkan pengetahuan para pejabat yang semestinya mengawasi mereka.

Akan namun , persoalannya beranjak lebih jauh. Wedana-nya Snouck 

tidak hanya menyesalkan kebodohan para pejabat Belanda yang dicetak di 

Belanda, tapi juga menyayangkan sikap umum yang mereka miliki terhadap 

Islam. Sikap itu sudah terlalu jauh sehingga seorang priayi yang menolak 

minum alkohol dianggap fanatik, dan mereka yang hendak bershalat harus 

melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Akibatnya, para pejabat priayi, 

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  179

yang dipaksa meninggalkan agama mereka sendiri, tidak berguna bagi 

Belanda saat  butuh nasihat mengenai perkembangan di dalam pondok, 

tempat perkataan guru yaitu  hukum.

Secara teknis, hukum yang demikian akan ditegakkan dengan lebih 

kuat jika syekh bersangkutan yaitu  guru tarekat. Untuk menggambarkan 

poin ini, Snouck membuat wedana-nya mengenang sebuah insiden dari masa 

mudanya saat  seluruh keluarganya menjadi “Syattariyyah”:

Pertama-tama saya harus membaca Fatihah di hadapan guru, yaitu surat 

pertama Koer’an yang diulang-ulang dalam setiap bagian setiap sembahjang; 

dan kemudian formula lain, bernama tasjahoed, yang juga diucapkan dalam 

sembahjang, dan yang memuat syahadat kami, di antara hal-hal lain. sesudah  itu, 

sang goeroe menekankan bahwa tidak baik melewatkan lima shalat harian, dan 

agar saya tidak mengabaikannya selama bulan suci puasa, apalagi isebab  saya 

sedang belajar tarèkat. Akhirnya, dia mengajari saya, sesudah  tiap sembahjang 

petang, sesudah  magrib dan ngiso, untuk mengucapkan seratus kali: la iláha illa 

‘lláh “tiada tuhan selain Tuhan”, selama itu saya harus duduk dengan cara yang 

ditentukan secara sangat saksama oleh goeroe. sesudah  berlatih dengan goeroe 

selama tiga hari, tiap hari selama satu jam, saya diizinkan melakukan bé’at atau 

bèngat. Apa artinya, tidak jelas bagi saya pada saat itu. sesudah  pertama-tama 

mandi dan mengenakan wewangian, saya harus duduk di depan guru dengan 

postur yang diajarkan. Dia memegang secarik kain putih pada salah satu 

sudutnya, sedangkan saya memegang sudutnya yang lain dengan tangan kanan. 

Dia kemudian mengucapkan beberapa formula berbahasa Arab, yang saya 

ulangi. Kain itu dijatuhkan, doa diucapkan, dan perkara ini pun selesai. Hanya 

pada tahun-tahun belakangan saya tahu bahwa bèngat sebenarnya yaitu  pakta 

suci antara moerid dan goeroe, tempat sang murid berjanji sejak saat itu untuk 

memperlakukan sang goeroe sebagai perwakilan Allah, dan tidak mengingkari 

apa pun perintahnya.26

Tentu saja Snouck menunjukkan berbagai keberatan pihak ortodoks 

terhadap para guru semacam itu, mengklaim bahwa sementara para ulama 

terkemuka menerima bahwa Wali Sanga yaitu  orang-orang suci, mayoritas 

guru tarekat yang baru yaitu  penipu, dan, lebih jauh, bahwa para guru 

mistisisme Jawa sama sekali tidak memiliki silsilah yang sahih.27 Dengan 

mengesampingkan skeptisisme yang jelas yang mendasari narasi Snouck, 

kita bisa bertanya apakah pandangan metropolitan Snouck sebelumnya yang 

agak “ortodoks” mengenai para Sufi tarekat hingga tingkat tertentu telah 

dimoderatkan oleh kontaknya dengan beragam praktisi di Jawa. berdasar  

yang menyusul dalam artikelnya,   nya pasti ya isebab  Snouck 

menempatkan di mulut sang wedana kata-kata yang dia sendiri tak mudah 

mengucapkannya:

180  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

Saya kerap ditanyai apakah tarèkat-tarèkat ini bisa bekerja sama untuk membuat 

penduduk tidak menyukai pemerintah atau menimbulkan kebencian terhadap 

orang-orang dengan orientasi yang berbeda. Jawaban saya seperti ini: dalam 

semua kasus, ini bergantung kepada sang goeroe. Jika dia bodoh dan buruk, dia 

pun mengajari si orang desa yang percaya takhayul bukan agar menjadi orang 

baik dan taat beragama, melainkan agar melaksanakan setiap perintahnya; 

bahkan ada sebagian yang mengajari maling ilmu menghilang dan kekebalan 

untuk melakukan berbagai rencana mereka terhadap pihak-pihak lain. Jika dia 

bodoh namun  tidak memiliki niat jahat, dia akan mengajarkan ilmu sihir palsu, 

atau hal-hal yang tidak akan dimengerti oleh murid-muridnya, dan dia sendiri 

pun hanya sedikit memahaminya. Sementara itu, seorang guru tarèkat yang 

pandai dan baik, membimbing orang-orang berdasar  yang dia ketahui di 

jalan agama sehingga mereka akan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap 

hati [orang-orang] ketimbang guru kita [yang biasa]. Di Jawa sini, dia akan 

menjadi penuh curiga terhadap pemerintah hanya jika merasa dirinya dicurigai. 

Para guru yang pintar dengan niat yang kurang baik yaitu  berbahaya, meski 

penduduk memperlakukan ajaran-ajaran mereka seolah-olah hampir bersifat 

Ilahiah.28

Di sini kemudian Snouck mendukung penilaian terhadap para guru 

berdasar  basis individual. Dia melakukan hal itu selama sisa karier 

resminya. Bahkan, dia sesekali berperan sebagai pendukung bagi para 

guru malang yang dianiaya oleh para “pribumi yang lebih ortodoks”, yang 

menggunakan hubungan mereka dengan Belanda untuk mengklaim para 

guru berbahaya bagi publik. Pada 1892 Snouck mengingatkan bahwa jika 

membiarkan negara diubah menjadi penganiaya panteisme dan mistisisme, 

negara sebenarnya mengubah sang guru desa menjadi orang yang jauh lebih 

penting daripada yang sebenarnya.29

Selain itu, jelas bahwa Snouck menganggap berbagai keadaan yang 

mengakibatkan pembantaian Cilegon sebagai gejala dari masalah kelembagaan. 

Bukannya mengaitkan pembunuhan-pembunuhan di sana dengan hubungan 

internasional berbagai tarekat, sebagaimana yang diduga, kesalahan lebih 

terletak pada pertemuan berbagai gerakan internal para imigran “fanatik” 

dari Banten Utara menuju Priangan, dipadukan dengan ketidakmampuan 

dan kebodohan para pejabat setempat yang patut disesalkan. Pastinya Snouck 

mengadopsi sikap negatif, kadang dengan cerewet, terhadap para pejabat 

seperti insinyur kolonial, van Sandick, yang memanfaatkan sebuah laporan 

yang diserialkan pada Juli 1891—serta informasi dari van den Berg dan sekutu 

lamanya Piepers—untuk mengidentifikasi ‘Abd al-Karim sebagai inspirasi 

peristiwa Cilegon dalam Leed en lief uit Bantam-nya. Dalam sebuah artikel yang 

menyimpulkan bahwa pengawasan pamong praja yang kuat selalu dibutuhkan 

untuk menjaga api Islam yang terus membara, van Sandick mengklaim bahwa 

Cilegon akan menjadi yang pertama dari banyak peristiwa sejenis pada masa 

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  181

depan. Snouck sendiri pada praktiknya pernah mengambil posisi yang sama. 

Usaha van Sandick memberi Snouck sebuah ulasan yang merendahkan dari 

sang Penasihat, yang menulis dengan menyamar sebagai seorang pensiunan 

pejabat. Namun, topeng (dan sarung tangannya) terlepas saat  van Sandick 

berani bertanya berapa banyak “pemimpin agama” Aceh telah tunduk pada 

negara sejak laporan klasik Snouck dari 1894 (lihat di bawah). isebab , sejak 

1892 Snouck telah memainkan peran paling kontroversialnya tepat di garis 

depan kolonialisme Belanda.30

SKETSA DARI ACEH DAN LOMBOK

Orang-orang Aceh, beberapa ditemani para pemuda penari (sedati’), duduk 

membentuk lingkaran besar di lantai dan berseru lantang “la Kaoula oula Kouata 

bi Allah”, [sic] yakni: “hanya dengan Tuhan-lah daya dan kekuatan”, kepala-

kepala mereka bergerak ke depan dan ke belakang secara teratur, semakin cepat 

dan cepat, sampai mereka berubah seakan menjadi kubah dari tubuh. sesudah  

melakukannya dalam jumlah tertentu, orang-orang itu menjulurkan lengan 

dan meletakkannya di pundak orang di sebelah kanan dan kiri mereka. Dengan 

salam “la illaha ill Allah” mereka melemparkan tubuh bagian atas ke lantai 

sebagai satu kesatuan, melakukan gerakan itu layaknya satu orang namun  ke arah 

sebaliknya, yakni ke belakang. Senam ini dilakukan dengan kecepatan yang 

terus meningkat dan seruan tiada henti. Ini yaitu  tontonan yang fantastik. 

Dengan sinar obor, sosok-sosok gelap diterangi dengan tubuh bagian atas 

telanjang, rambut acak-acakan dan wajah menjadi liar isebab  kelelahan saraf.31 

(V.S., “Mohammedaansche-godsdienstige broederschappen,” 1891)

Tak diragukan bahwa Aceh yaitu  tempat yang menggairahkan pada 1891, 

namun  tidak aman bagi Belanda. Saat itu delapan belas tahun sejak ekspedisi 

pertama terhadap yang disebut negara bajak laut ini. Dengan begitu banyak 

kegagalan militer dan parlemen di Tanah Air, kebingungan mengenai hal 

yang harus dilakukan terhadap bangsa yang benar-benar menolak untuk 

menyerah, paling banter yang bisa dilakukan Belanda yaitu  menciptakan 

“garis konsentrasi” mengitari kawasan pesisir yang mereka kendalikan. Maka, 

dibuatlah jalur kereta yang menghubungkan serangkaian pos bersenjata 

sepanjang jalan. Di seberang sana, terbentang daerah pedalaman tempat 

para pemimpin tradisional dan pemimpin agama bersaing memperebutkan 

pengaruh dan senjata. Apabila pengunjung di dalam garis kendali bisa 

menjumpai praktik Sufi dalam bentuk hiburan publik, di wilayah seberang 

urusannya lebih serius: azimat dan silsilah Sufi dipercaya memberi pemiliknya 

kekebalan dari peluru Belanda serta golok Ambon dan Jawa.

Selalu mencari-cari kesempatan, Snouck—yang hubungannya sebatas 

dengan mantan mediator Aceh Habib ‘Abd al-Rahman al-Zahir di Mekah—

182  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

kali pertama menawarkan untuk mengulangi perannya sebagai ‘Abd al-

Ghaffar sewaktu perjalanan menuju Jawa pada 1889. Tawarannya ditolak 

isebab  jasanya dianggap lebih baik digunakan di Jawa. sesudah  menyelesaikan 

berbagai surveinya mengenai ulama dan pesantren, Snouck tetap bersedia 

mengalihkan perhatian ke Aceh. Dia pun melapor ke Kota Raja pada Juli 

1891. Meskipun belakangan dia menggambarkan tindakan beberapa orang 

senegaranya dengan sedikit ironi, dari surat-surat kepada gurunya, Theodor 

Nöldeke (1836–1930), jelas bahwa Snouck menikmati pengalaman bergerak 

di antara serdadu; terutama persahabatannya dengan J.B. Van Heutsz (1851–

1924) yang saat itu berpangkat mayor.

Tugas resmi Snouck yaitu  untuk mendokumentasikan sebuah 

warga  dengan tujuan memberangusnya. Namun, kita bisa dengan mudah 

melihat dalam bukunya The Achehnese, yang merupakan hasil kunjungannya 

bahwa dia selalu merupakan sang sejarawan dan etnografer yang tertarik untuk 

memahami bagaimana sebuah bangsa menerima Islam, bagaimana filsafat 

Sufi menjadi perhatian para cendekiawannya, dan bagaimana para sultannya 

berusaha memonopoli esoteria tarekat-tarekat. Buku itu juga memungkinkan 

Snouck melacak berbagai silsilah Syattari Jawa Barat hingga ke ‘Abd al-Ra’uf 

dan menerbitkan banyak pengamatan yang sudah dilakukannya di Jawa, 

meski hanya dalam bentuk catatan kaki tempat praktik Jawa berfungsi sebagai 

kontrol yang digunakan untuk mengukur penyimpangan bentuk-bentuk lain. 

Banyak hal yang ditemukan Snouck—atau diberikan kepadanya—di Aceh 

mengecewakan. Kesejahteraan dan kesarjanaan telah merosot dari tingkatan 

yang dicapai di bawah kekuasaan Iskandar Muda. Aceh, di mata Snouck, 

yaitu  negeri yang tengah mengalami kemerosotan. Istana kehilangan sisa-

sisa terakhir kekayaan dan kekuasaannya dan sang Sultan merosot menjadi 

panglima perang daerah, hanya salah seorang di antara banyak panglima.

Snouck mencurahkan banyak ruang dalam studinya untuk apa yang 

sudah diketahui tentang praksis Sufi, yang diyakininya dibawa ke Aceh dari 

India. Kemudian, dia mempertimbangkan Hamzah Fansuri “yang panteistik”, 

Syams al-Din yang “bidah”, dan gema ajaran-ajaran Ahmad al-Qusyasyi yang 

“heterodoks” yang mengikuti jejak perdebatan termasyhur yang dimulai 

oleh Nur al-Din al-Raniri. Untuk merefleksikan pengalamannya mengenai 

Jawa, dia menggambarkan “kerusakan” Syattari sebagai terjadi di bawah 

tantangan tarekat-tarekat “Qadiri dan Naqsyabandi” dari Mekah, meskipun 

dia menganggap para perwakilan Aceh sebagai “tidak penting” dibandingkan 

mereka yang ada di Jawa Barat, atau Deli dan Langkat. Sebaliknya, dia 

mengulangi argumen-argumen terdahulu yang menggemakan pengamatan 

Lane di Mesir dan tuduhan Sayyid ‘Utsman terhadap musuh-musuhnya, dan 

menyatakan bahwa ritual tarekat kadang-kadang merosot menjadi hiburan 

publik atau, lebih buruk lagi, memberi peluang bagi sebagian orang untuk 

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  183

memuaskan hasrat terhadap homoseksualitas; meski dia sama sekali tak yakin 

bahwa keadaannya selalu demikian. Snouck dengan puas mengejek van den 

Berg yang mengaitkan tarian sadati dengan dzikr Naqsyabandi.32

Seperti sudah kita catat, penilaian Snouck mengenai keadaan Aceh 

didasarkan pengamatan-pengamatannya di Jawa ataupun pada apa pun yang 

kebetulan ditemuinya di lapangan atau tiba di mejanya di Batavia. Dalam 

catatan-catatannya, kita sering mendapati rujukan pada berbagai pengalaman 

atau    yang dihasilkannya di pulau ini , barangkali disarikan dari 

sebuah buku yang hendak dia tulis. Perbedaannya yaitu  bahwa dia memiliki 

tugas lain yang lebih mendesak untuk dilakukan, yang pernah dinyatakan 

sebagai urusan Jawa. Snouck lebih suka mengikuti pandangan teman baiknya, 

J.L.A. Brandes (1857–1905).33 Entah benar atau tidak, sebagaimana Jawa, 

Aceh menyajikan simpanan teks yang kaya untuk dikoleksi, dan silsilah untuk 

dilacak sebagai bahan bakar bagi studi masa depan mengenai permulaan dan 

perubahan Islam di Nusantara.

Studi Snouck mengenai Aceh dan Dataran Tinggi Gayo serta nasihat 

yang terus-menerus pada negara kolonial tidak mungkin terjadi tanpa mediasi 

para informan kunci. Hasan Mustafa sekali lagi terbukti penting dengan 

aliran laporan dari Kota Raja, tempat dia diangkat sebagai Penghulu Kepala 

pada Januari 1893.34 Laporan-laporan ini meliputi perincian mengenai 

pergerakan sekutu temporer mereka Teuku Umar (1854–99), laporan-laporan 

mengenai ancaman terhadap van Langen (Residen untuk Urusan-Urusan 

Aceh yang tetap mengumpulkan bahan untuk Snouck), dan berita mengenai 

berbagai urusan internal Belanda. Juga terdapat perincian mengenai budaya 

dan praksis agama, seperti gambaran mengenai ratib yang digambarkan oleh 

seorang Aceh perwakilan sebuah tarekat pada Mei 1893.35

Sebagian besar materi diproses oleh Snouck untuk laporannya sendiri. 

Selain itu, Hasan Mustafa memainkan peranan sebagai penengah sukarela 

antara Belanda dan orang-orang Aceh. Sebuah surat melaporkan perbincangan 

Hasan Mustafa dengan para pemimpin Aceh mengenai berbagai kemungkinan 

praktik keagamaan yang aman di bawah pemerintahan Belanda. Urusan-

urusan perkawinan, perceraian, dan shalat berada pada urutan teratas di 

antara berbagai keprihatinan lokal, sementara Hasan Mustafa sendiri ingin 

tahu bagaimana prinsip kekuasaan sultan hadir dalam imajinasi Aceh. saat  

ditanya tentang berapa lama Sultan Jawa hidup di bawah “VOC”, kondisi 

para ulama, dan kemungkinan adanya “Penguasa Adil” di sana, Hasan 

Mustafa dengan niat membantu menyatakan bahwa Belanda sudah lama 

memiliki kebijakan mengizinkan praktik agama secara bebas, asalkan tidak 

membahayakan kesejahteraan publik.36

Kesediaan untuk melibatkan ulama seperti itu tampaknya membuat 

sebagian atasannya curiga sehingga Hasan Mustafa ditempatkan di bawah 

184  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

pengawasan. Si orang Sunda itu merasa dizalimi dan menyusun risalah panjang 

yang memasukkan fatwa mengenai kewajiban setia pada negara. Pada Desember 

1894 Hasan Mustafa juga menyusun panduan singkat yang mengajari para 

sejawatnya tentang bagaimana menghadapi para pengawas Eropa. Bersama 

petuah bijak lainnya, dia menasihatkan agar mereka tidak mengubah substansi 

dokumen apa pun yang diminta untuk mereka terjemahkan.37

Yang juga aktif yaitu  Teungku Kota Karang (w. 1895) yang agak 

unik. sesudah  pernah menjadi salah seorang polemikus Aceh paling agresif, 

dia menarik diri dari kehidupan publik pasca-penyerahan diri Teuku 

Umar. Tampaknya dia sudah tenang dan sangat ingin melihat pembaruan 

perdagangan di pelabuhan. Dia bahkan berhasil meyakinkan Hasan Mustafa 

tentang ketertarikannya terhadap penyebaran lebih luas karya-karya cetakan, 

termasuk buku-buku astronomi, geografi, dan ilmu alam, apalagi Taj al-

muluk (Mahkota para Raja) edisinya sendiri.38 Meskipun dia mendukung 

pembukaan kembali perdagangan, sebagaimana beberapa sayyid di kawasan 

ini—di antara mereka ‘Abdallah al-‘Attas, yang berkunjung pada April 1893, 

dan Sayyid Qasim yang sketsanya sampai ke arsip Snouck—banyak pemimpin 

Aceh dari “pihak perang” pedalaman tetap teguh menentang gencatan senjata 

atau bentuk kerja sama apa pun.39

Pada Juli 1887 Syekh Samman (w. 1891) selaku Teungku di Tiro sejak 

Desember 1885 mengirimkan surat kepada orang-orang Arab Kampung 

Jawa. Dia mengutuk siapa pun yang berani bekerja bersama Belanda. Dia 

juga mengajak mereka ke sebuah pertemuan di makam Teungku di Anjong 

(Sayyid Abu Bakr, w. 1782), sebuah monumen yang sebagaimana dinyatakan 

Snouck, mulai mengalahkan pamor makam ‘Abd al-Ra’uf.40 Pada 1891 seorang 

komandan Aceh lain mengeluh bahwa para pemimpin Aceh bergabung satu 

per satu, sementara Konsul Utsmani di Singapura tidak mampu turun tangan 

atas nama mereka dan para syekh Mekah tampaknya hanya tertarik datang ke 

kawasan ini untuk mendapatkan istri “orang Belanda”.41

Bahkan, orang-orang Aceh yang jelas merupakan kolaborator, seperti 

Teuku Umar, berbalik melawan Belanda saat  saatnya terlihat tepat. Namun, 

berbekal informasi dari orang-orang seperti Hasan Mustafa yang diolah oleh 

Snouck, Belanda akhirnya membalikkan keadaan sehingga menguntungkan 

meski harus mengorbankan nyawa ribuan orang Aceh. Strategi mereka 

melibatkan penggabungan para panglima perang turun-temurun yang tersisa, 

pengejaran tak kenal ampun terhadap gerombolan ulama pemberontak yang 

masih selamat, dan penghancuran besar-besaran terhadap basis dukungan 

musuh. Keseluruhan afair kotor ini dinyatakan berakhir oleh Van Heutsz pada 

1903 saat  dia menerima penyerahan diri pengklaim takhta Aceh. Namun, 

ini yaitu  pertunjukan untuk pers. Pertempuran—dan kekejian—berlanjut 

hingga tahun-tahun sebelum Perang Dunia Pertama.

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  185

Mengesampingkan berbagai persoalan inheren dalam historiografi 

nasionalis yang menampilkan perang Aceh sebagai model untuk kisah benturan 

antara Islam dan kolonialisme di seluruh Nusantara, terdapat persoalan lebih 

jauh dengan pemberian nilai modern yang khas terhadap perlawanan Sufi dan 

bahkan Arab setempat. Dalam sebuah kasus penting di ujung lain Nusantara, 

pemerintah Belanda justru dianggap penyelamat kaum Muslim atas musuh 

mereka: pemberontakan muslim Sasak Timur pada 1894 melawan para tuan 

Bali yang Hindu dimanfaatkan untuk membenarkan sebuah invasi yang 

memulihkan sebagian besar kebanggaan militer Belanda. Pemberontakan itu 

bermula, sebagiannya, isebab  orang-orang Bali mengeksekusi seorang Arab 

pada 1892. Orang ini, Sayyid ‘Abdallah, berperan sebagai raja dan secara 

rahasia menjadi agen perdagangan Belanda. Dia dihormati oleh kalangan elite 

Sasak yang hampir semuanya yaitu  anggota jaringan Sufi pimpinan ‘Abd al-

Karim dari Banten.

berdasar  yang kita tahu tentang Qadiriyyah wa-Naqsyabandiyyah 

di Cilegon, dan memperhitungkan nasihat Snouck, yaitu  ironis bahwa 

deputi ‘Abd al-Karim yakni Guru Bangkol menjadi orang yang meminta 

campur tangan Belanda. Pihak Belanda jelas sangat senang isebab  punya 

alasan kemanusiaan untuk melanjutkan rencana menguasai Lombok. Bagi 

Belanda, hanya sedikit keprihatinan (kalaupun ada) bagi Naqsyabandiyyah. 

Telah disebutkan bahwa Naqsyabandiyyah muncul di kalangan orang-orang 

Sasak pada 1880-an dan segera hilang saat  banyak pemimpinnya menjadi 

bawahan para tuan tanah Lombok.42 Bisa jadi persoalan tarekat tidak terlalu 

menjadi perhatian kedua pihak. Ketimbang menghilang, tarekat hanya lolos 

dari penglihatan pemerintah. Yang pernah dikirimkan kepada Snouck dari 

pulau itu tampaknya hanyalah gambar-gambar masjid dan istana Kelayar, 

serta sketsa seorang wali yang memegang tombak (lihat gambar muka).43 

Sketsa ini mungkin dibuat oleh qadi kota ini , yang sebagaimana Sayyid 

Qasim di Aceh, telah mengatur agar sketsa-sketsanya dikirimkan kepada 

seorang “mufti” terkenal dari Batavia, yaitu ‘Abd al-Ghaffar.

  

berdasar  usaha yang mendefinisikan bidangnya di Mekah, Snouck 

memanfaatkan koneksi yang sudah dia jalin di sana serta badai politik di 

Cilegon untuk berkeliling ke pesantren-pesantren Jawa. Dia melakukannya 

secara sadar sebagai abdi imperium, meski abdi yang yakin bisa memainkan 

peranan mengangkat rakyat imperium. Sepanjang perjalanan, dan perjalanan-

perjalanan lain di perbatasan Aceh yang bermasalah, Snouck melepaskan jubah 

sang peramal bencana dan menasihatkan lebih banyak kesabaran, perhatian, 

dan penghormatan terhadap Islam sebagai agama sebuah bangsa yang 

186  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

menderita. Islam, menurutnya, perlu dimodernisasi. Kaum Muslim harus 

disapih dari kepercayaan mereka terhadap jihad dan dari para guru mistik yang 

entah diremehkan atau dihormati oleh Snouck, bergantung pada perjumpaan 

pribadinya dengan mereka. Beberapa ulama dan manuskrip-manuskrip mereka 

(terutama di Jawa) lebih merupakan sumber minat antikuarian ketimbang 

intelijen kontrapemberontakan bagi Snouck saat  dia turun ke lapangan 

dalam sosok ‘Abd al-Ghaffar atau menyiarkan pesannya dengan penyamaran 

sebagai pensiunan pejabat rendahan. Sepanjang perjalanan-perjalanannya, 

identitas muslim Snouck dan otoritas kuasi-kolonialnya dimanfaatkan oleh 

dirinya sendiri ataupun orang lain. Mereka juga ditantang oleh pihak lain lagi, 

yang khawatir kepentingan mereka di Hindia terancam. 

PARA MUFTI BATAVIA

Menulis tepat sebelum pemberontakan Cilegon, Sayyid ‘Utsman meminta Snouck mengiriminya salinan-salinan tulisan tempat polemik-polemik 

mengenai tarekat mendapat pujian. Dia baru saja mengajukan diri sebagai 

calon mufti (pro-Belanda) yang bisa menasihati muslim setempat mengenai 

soal-soal hukum keluarga. Ini bukan kali pertamanya dia memosisikan diri 

di pihak pemerintah. Risalah-risalah anti-Naqsyabandi-nya membuatnya 

dihormati di kalangan pejabat penting. Pada 1881 dia menyusun buku 

panduan yurisprudensi yang ditujukan untuk pengadilan agama yang baru. 

Tentu saja sudah ada buku panduan yang dicetak sebelumnya, dari Tuhfa-

nya Taco Roorda hingga Minhaj-nya van den Berg, yang diremehkan oleh 

Snouck isebab  dia memberikan dukungan kepada tujuan Sayyid ‘Utsman. 

Snouck dan ‘Utsman bagaikan dua sisi mata uang. Penulis biografi ‘Utsman 

melihat sang cendekiawan Arab ini jelas menganggap posisi barunya sebagai 

mufti semiresmi yaitu  analog dengan seorang “Penasihat” Barat, dan kita 

bisa mengandaikan bahwa Snouck menerima sebutan muslim.1

beberapa  besar surat yang dikirimkan kepada Snouck selama jabatannya 

di Batavia menuturkan kisah ini . Pada Oktober 1893 Imam Tanjung 

Beringin, di Deli, mengajukan permohonan fatwa pada “kantor paduka yang 

mulia, guru kami yang agung, Syekh Islam”, yang menunjuk dua orang syekh 

yaitu ‘Utsman dan ‘Abd al-Ghaffar. Pada Maret 1898 Pangeran ‘Abd al-Majid 

menyapanya sebagai “Mufti Negeri Hindia Belanda”, sementara sekelompok 

orang Arab dari Cirebon menyanjungnya sebagai “syekh Islam yang mulia 

untuk Jawi, Haji ‘Abd al-Ghaffar”.2

Snouck jelas disebut sebagai mufti, baik bersama maupun tanpa Sayyid 

‘Utsman, oleh beraneka ragam pihak di seluruh kawasan. namun , tampaknya 

dia tidak pernah menganggapnya demikian atau memberikan fatwa kepada 

para pemohonnya. Sebaliknya, tugas-tugas semacam itu akan jatuh ke tangan 

S E M B I L A N

PARA MUFTI BAYANGAN, 

MODERN KRISTEN

1 8 9 2 – 1 9 0 6

188  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

antek Hadrami-nya, yang kerap menghasilkan sebuah pamflet mengenai 

persoalan ini  untuk menciptakan preseden bagi wilayah kekuasaan 

Belanda yang lebih luas. Sebuah peristiwa, perselisihan mengenai masjid 

untuk shalat Jumat di Palembang, merupakan contoh mengenai bagaimana 

persoalan-persoalan semacam ini ditangani.

Seperti tercantum dalam Bab 2, Palembang yaitu  tempat kelahiran 

‘Abd al-Samad, yang afiliasinya dengan tarekat Sammaniyyah bisa dibilang 

menaikkan gengsi tarekat ini  di kalangan istana pada abad kedelapan belas. 

Sammaniyyah menjadi begitu penting. Para pengikutnya berada di garis depan 

perlawanan saat  kesultanan diserang Inggris dan Belanda secara bergantian 

yang berpuncak pada diturunkannya Sultan Badr al-Din pada 1822 dan 

penjarahan perpustakaan istana. Peristiwa semacam itu memunculkan ingatan 

yang kuat mengenai peran penting para sultan dalam penyebaran dan pembelaan 

Islam. Lambang abadi atas keberanian sultan yaitu  masjid utama kota itu. 

Masjid yang dinamai Masjid Sultan itu berfungsi sebagai tempat utama ritual 

shalat Jumat untuk komunitas yang bersatu. Masjid ini  merupakan tempat 

bagi staf yang terdiri atas imam, khatib, serta ahli hukum, yang otoritasnya 

diakui oleh masjid-masjid yang lebih kecil. Tak berbeda dengan saudara 

mereka di Jawa, yang mengawasi dengan ketat pengumpulan dan pembagian 

keuangan masjid. (Belanda-lah yang telah merestorasi jendela-jendela besar dan 

kubah berhias permata di masjid ini  pada 1823.) Oleh isebab  itu, para 

pejabat sangat khawatir oleh ancaman terhadap otoritas dan keamanan mereka 

sewaktu sebuah masjid baru didirikan oleh Mas Agus Haji ‘Abd al-Hamid, 

mulai berfungsi untuk shalat Jumat. Sekelompok orang yang merasa dizalimi 

menulis surat pada Juli 1893 kepada Snouck, alias ‘Abd al-Ghaffar, sebagai 

“Mufti Agung Batavia dan Wali Pemerintah”. Isinya mengeluhkan permusuhan 

besar yang meletus isebab  Penghulu Kepala yang bodoh telah memberikan izin 

untuk pembangunan masjid yang baru. Izin ini  pastinya diberikan isebab  

‘Abd al-Hamid yaitu  guru si Penghulu Kepala sendiri (mungkin guru Sufi).3

Sementara ‘Abd al-Hamid menikmati dukungan banyak haji pribumi 

Palembang (yang barangkali Khalidi?), para pemohon Snouck menyatakan 

adanya koneksi yang kuat dengan keprihatinan ‘Alawi. Mereka dipimpin 

oleh Haji ‘Abd al-Rahman b. Ahmad b. Jamal al-Layl, seorang khatib dan 

ahli hukum keturunan Arab sekaligus anggota Raad Agama yang ditunjuk 

Belanda. Dia didukung dua orang sayyid, ‘Abdallah b. ‘Aydarus b. Syahab 

dan ‘Alwi b. ‘Aqil b. Marzuq. Ada pula Kemas Haji ‘Abdallah b. Azhari, yang 

barangkali yaitu  kerabat sang pencetak perintis, Haji Muhammad Azhari. 

Menurut surat pertama mereka kepada Snouck, mereka sudah menulis 

surat kepada Sayyid ‘Utsman yang ditanggapi dengan sebuah fatwa dan dua 

pamflet mengenai persoalan ini. Namun, fatwa dan pamflet itu tidak dipatuhi 

oleh mufti setempat yang mengklaim bahwa Batavia yaitu  yurisdiksi yang 

PARA MUFTI BAYANGAN, MODERN KRISTEN  —  189

terpisah. Para mufti setempat segera memulai aksi untuk menurunkan para 

pemohon dari jabatannya. Hal ini berujung pada dikirimnya permohonan 

kepada pengklaim takhta Palembang dan Gubernur Jenderal untuk 

mengutus Snouck ke Palembang. ‘Abd al-Rahman yang putus asa bersikeras 

membutuhkan sesuatu lebih dari sekadar karya-karya tercetak Sayyid ‘Utsman 

dan berharap bahwa melalui “penafsiran rasional” Snouck, keadilan dan 

kebenaran akan “muncul secara nyata”.4

Para penuntut jelas menerima gagasan bahwa, secara yuridis, Batavia 

yaitu  ibu kota Palembang. Meski begitu, surat mereka tidak segera menerima 

jawaban, apalagi kunjungan Snouck. Maka, surat lain pun menyusul, isinya 

sama, tapi dengan penuturan yang lebih dramatis. Meskipun catatannya tidak 

lengkap, terlihat dari rekomendasi resmi Snouck bahwa perkara ini akhirnya 

diselesaikan dengan menguntungkan para penggugat sesudah  penyebaran 

lebih jauh risalah-risalah lain yang ditulis oleh Sayyid ‘Utsman. Namun, faksi 

penentang tidak tinggal diam tanpa melawan. Mereka berusaha mendanai 

sendiri kunjungan Snouck ke Palembang dan mengirim surat kepada 

seseorang yang otoritasnya dianggap akan mengalahkan apa pun yang datang 

dari Batavia. Orang ini yaitu  Ahmad Khatib al-Minankabawi (1860–1916), 

seorang ahli hukum terkemuka yang bintangnya sedang bersinar di Mekah. 

Dia menguji nyali Sayyid ‘Utsman selama komunikasi yang berlangsung 

selama lima tahun berikutnya.5

Satu dekade kemudian kita mendapati korespondensi yang lebih santai 

tapi tegas, dari ‘Abd al-Rahman yang dulu siap bertempur dan sekarang sangat 

ingin dipromosikan menjabat Penghulu Kepala sesudah  tujuh belas tahun setia 

mengabdi. Pada saat itu, kedudukan Snouck di puncak otoritas hukum Islam 

yang direstui Belanda di Hindia tak dapat disangkal. Pada Mei 1905 jurnalis 

ternama Dja Endar Moeda (1861–?) meminta Snouck memutuskan sebuah 

persoalan yang memecah ulama sesudah  percetakannya sendiri menghasilkan 

sebuah buku pengantar karya seorang syekh lokal yang bertentangan dengan 

Sayyid ‘Utsman.6

Akan namun , semuanya tidak baik-baik saja. Persoalan masjid Palembang 

berkobar lagi pada 1906 dan, seperti yang akan kita lihat, mendung pembawa 

badai menggelayuti Snouck dan ‘Utsman isebab  negara dan agama Kristen 

dianggap tak terpisahkan. Ini terlepas dari kenyataan bahwa Snouck sudah 

sangat sering bertindak di belakang layar menentang para penerbit artikel-

artikel yang menghina Islam, seperti saat  Selompret Malajoe di Semarang 

menerbitkan “hikayat para pembantu” pada 1896 yang mengklaim bahwa 

Muhammad yaitu  anak haram seorang guru. Ibunya, Khadija [sic], melarikan 

diri ke Mesir dan mengabdi kepada seorang pendeta Kristen.7

Sikap para misionaris terhadap Snouck yang awalnya positif juga 

berubah. Sebagaimana sebagian orang Kristen masih sangat sedikit memahami 

190  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

Islam, jelaslah bahwa ada banyak orang yang sangat sedikit menghargai niat 

Snouck, terutama saat  kabar angin tentang keislamannya menyebar cepat. 

saat  keraguan demikian disuarakan, Snouck menanggapi baik secara 

pribadi maupun lewat pers. Segera sesudah  pernikahannya pada 1890 di 

Priangan, misalnya, dia membuat De Locomotief membungkam kabar angin 

mengenai hal itu dan dia langsung menyangkal fakta pernikahannya kepada 

teman teolognya, Herman Bavinck. Pada Februari 1897 sesudah  menulis 

kepada Aboe Bakar untuk memastikan rahasianya di Mekah aman, dia juga 

membuat Soerabaiasch Handelsblad memperbaiki pernyataan-pernyataan 

yang menyiratkan bahwa dia yaitu  seorang cendekiawan di-balik-meja 

dengan sedikit pemahaman mengenai bahaya Islam. Bahkan, dia selalu bisa 

menemukan kolom untuk bantahan-bantahannya, terutama yang ditujukan 

kepada para kritikus seperti van Sandick.8

Terlepas dari berbagai pertanyaan yang diajukan, pada 1900 jaringan 

Snouck sebagian besarnya tetap tak terancam. Dengan wafatnya Nawawi di 

Mekah pada 1896, seorang cendekiawan Jawi lain, ‘Abd al-Hamid dari Kudus, 

mengambil alih tugas mengumpulkan buku-buku untuk Snouck yang dikirim 

lewat Aboe Bakar.9 Seperti Nawawi, ‘Abd al-Hamid menjadi terkenal isebab  

karya-karya berbahasa Arab-nya. Sebagian orang menganggapnya sebagai 

penghubung penting bagi perkembangan gerakan-gerakan baru Islam di Jawa 

pada abad kedua puluh, atau sebagai saluran bagi reformisme dan nasionalisme. 

Di sisi lain, dia dikeluarkan dari kisah tentang yang modern isebab  kehormatan 

ini diklaim oleh orang-orang yang agak berbeda, yang sebagiannya memandang 

“Mufti” ‘Abd al-Ghaffar dengan mata yang kian menyipit.

DARI AL-QURAN KE INJIL

Satu lagi unsur yang perlu ditekankan sebelum beralih untuk memeriksa 

masa depan para Sufi, pembaharu, dan cendekiawan yang saling berkelindan 

pada abad kedua puluh: yaitu, prospek (atau momok) Kristenisasi. Julukan 

“Nasrani” merupakan bagian dari bahasa percakapan di Asia Tenggara jauh 

lebih lama daripada “Padri”. Namun, akan terlihat bahwa pada pengujung 

1800-an para misionaris akhirnya mendapatkan hasil yang diperoleh dengan 

susah payah di pedalaman Sumatra serta pesisir selatan Jawa, dan di antara 

pulau-pulau kecil yang terletak lebih jauh tempat mereka diberi izin masuk. 

Dalam beberapa kasus, kegiatan para misionaris mendapatkan hasil yang 

tak diinginkan. Di Bagelan pada 1882, seorang santri yang menjadi pendeta 

mengklaim bahwa keimanan kepada Yesus menempatkan orang-orang Jawa 

sejajar dengan orang-orang Kristen kulit putih dan membebaskan mereka dari 

kewajiban bekerja untuk negara kolonial. Para pejabat setempat dan kerabat 

misionaris mereka tidak senang.10

PARA MUFTI BAYANGAN, MODERN KRISTEN  —  191

Sementara itu, di Jawa Barat terdapat perlawanan yang lebih besar 

terhadap agama Kristen sebagai unsur kolonialisme. Ini terlihat dari kisah 

Kartawidjaja, setidaknya seperti yang disajikannya dalam autobiografinya, 

Van Koran tot Bijbel, yang ditulis atas perintah A. Vermeer dari Misi 

Djoentikebon. Meski Kartawidjaja mengawali dengan laporan tahun-tahun 

awalnya di pesantren, bab-bab ini dihilangkan oleh para editor yang tidak 

ingin membingungkan para pembaca dengan berbagai catatan mengenai 

begitu banyak “kata dan nama asing”. Untuk lebih menyederhanakannya, 

banyak lawan Kartawidjaja diberi inisial, yang tentu saja hanya memperumit 

identifikasinya. Terlepas dari berbagai sentuhan yang membingungkan, kisah 

Kartawidjaja memberikan wawasan mengenai hubungan antarkomunitas di 

perbatasan Jawa Barat dan Tengah pada peralihan abad.11

Kartawidjaja dilahirkan sekitar 1850 dan meninggal di Djoentikebon 4 

Oktober 1914. Kakeknya, Haji Patih Mas Muhammad Salih, yaitu  seorang 

pejabat dan guru agama di Indramayu, tempat dia mengajari dua calon bupati. 

Salah seorangnya barangkali yaitu  Raden Tumenggong Soerianataningrat 

dari Lebak, yang laporan-laporannya mengenai pesantren digunakan Snouck 

pada 1885. Muhammad Salih tetap menjadi anggota Landraad lokal hingga 

tua, sebuah posisi yang memberinya kontak berharga dalam warga  

Belanda. Meski begitu, selagi teman-temannya dikirim ke sekolah-sekolah 

Eropa yang baru untuk kalangan elite pribumi, Kartawidjaja muda memulai 

pendidikannya di Pesantren Babakan di Cirebon. Dia diajari oleh seorang 

murid ayahnya yang lain. Namun, tiga bulan kemudian, Kartawidjaja jatuh 

sakit dan pulang, dan tak pernah kembali. Saat itu, ayahnya telah memutuskan 

bahwa Kartawidjaja cukup dididik untuk menjadi pegawai dalam birokrasi 

kolonial.

Menurut Kartawidjaja, pengetahuannya mengenai tulisan Arab sama 

sekali tidak berguna untuk pekerjaan ini. Meskipun hatinya mengatakan 

dia tetap seorang santri, dia memutuskan untuk belajar aksara “Hollandse” 

dan Jawa.12 Pada tahun-tahun antara 1872 dan 1891 dia menduduki banyak 

jabatan yang terus meningkat hingga ke Demang Luwung Malang. Terlepas 

dari berbagai kemajuan ini, dedikasi total Kartawidjaja terhadap pekerjaan 

tampaknya menimbulkan sebuah krisis spiritual. Dia pun menarik diri 

ke Indramayu. Di sana dia mengalihkan perhatian terhadap karya-karya 

tafsir kanonis yang dia punya, tenggelam dalam shalat, dan secara rutin 

mengunjungi pesantren sekitar, yakni pesantren Wot Bogor dan “Kak Sepoeh” 

(barangkali pesantren Syekh Talha), tempat dia menyatakan menerima ritual-

ritual Naqsyabandiyyah.

Tinggal di kawasan Arab yang seba