. 9/1975 o f marriage and Law No. 41/2004 o f
religious endowment, book two o f the KHI have no other
supporting legislation whilst articles available in the book two are
very limited. Hence, there are many jurisprudential questions left
by the KHI with regards o f Islamic inheritance in negara kita .
K a t a K u n c i : Hukum Kewarisan Islam, Kompilasi Hukum Islam, Kepastian
Hukum
Pendahuluan
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat
Islam di dunia. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan
kehidupan di negara atau daerah itu memberi pengaruh atas hukum
kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu terbatas pada perkara yang bukan
merupakan hal pokok atau esensial dalam ketentuan waris Islam.
Khusus hukum kewarisan Islam di negara kita , ada beberapa perbedaan
dikalangan para fuqaha yang pada garis besarnya terbagi menjadi dua
golongan, yaitu: pertama, yang lazim disebut dengan madzhab sunny
(madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) yang cenderung bersifat
patrilineal dan kedua, ajaran Hazairin yang cenderung bilateral.
Dalam perkembangan hukum Islam di negara kita selanjutnya lahirlah
Kompilasi Hukum Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui
dengan hadirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI
yaitu kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh, serta
bahan-bahan lainnya yang merupakan hokum materil PA dalam
meyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf. Kehadiran KHI
ini dilatarbelakangi antara lain karena ketidakpastian dan kesimpangsiuran
putusan PA terhadap masalah-masalah yang menjadi kewenangannya,
dipicu dasar acuan putusannya yaitu pendapat para ulama yang ada
dalam kitab- kitab fiqh yang sering berbeda tentang hal yang sama antara
yang satu dengan lainnya. Sehingga sering terjadi putusan yang berbeda
antara satu PA dengan PA lainnya dalam masalah yang sama.
Tema utama penyusunan KHI ialah mempositifkan hukum Islam di
negara kita , yang dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan
tugasnya sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum. Sebab
untuk dapat berlakunya hukum Islam di negara kita , harus ada antara lain
hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan
warga . Dengan lahirnya KHI, semua hakim di lingkungan PA
diarahkam kepada persepsi penegakan hukum yang sama.
KHI terdiri atas tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II
tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan. Pasal-pasal hukum
perkawinan dalam Buku I yang terdiri dari 170 pasal, telah memuat materi
hukum yang rinci. Di samping itu selain Buku I KHI juga telah ada UU lain
yang mengatur tentang perkawinan, sepert i UU no. 1 th. 1974 dan PP no.9
tahun 1975. Berbeda dengan hukum kewarisan dalam Buku II yang begitu
singkat jika dibandingkan dengan hukum perkawinan. Hukum kewarisan
hanya terdiri dari 23 pasal (pasal 171-193). Hukum perwakafan dalam
Buku III juga singkat, yaitu 15 pasal, namun hukum perwakafan namun
telah ada perundang - undangan lain yang mengaturnya, yaitu PP no. 28
tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
Dari uraian di atas tampaknya Buku II KHI ini memerlukan penjelasan
lebih lanjut, karena banyak hal -hal yang tampaknya belum jelas dan belum
dijelaskan. Hal ini seperti terlihat dalam perincian kelompok ahli waris,
belum jelas siapa-siapa orangnya, bagaimana bagian masing-masing dan
bagaimana tentang konsep pengganti ahi waris. Hal ini dikaitkan dengan
tujuan dari penyusunan KHI itu sendiri, yaitu untuk terciptanya kesatuan
pemahaman menuju kesatuan dan terciptanya kepastian hukum.
Dalam KHI buku II ini, walaupun singkat namun memuat beberapa
masalah. Selain tentang kewarisan dalam Buku II KHI ini juga diatur tentang
wasiat dan hibah. Adapun dalam tulisan ini hanya dibatasi pada pembahasan
yang mengatur tentang kewarisan dan hal-hal yang berhubungan dengan
kewarisan itu , terutama tentang kelompok ahli waris dan bagiannya
masing-masing. Di sini juga akan dibahas tentang konsep pengganti ahli
waris, hal ini karena terkait erat dengan masalah kewarisan.
Pengertian Hukum Kewarisan
Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada pasal 171
ayat (a) yang berbunyi : "Hukum kewarisan yaitu hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing."
Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris
2. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris
3. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan
4. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan
dari pewaris kepada ahli waris
5. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.
Dari definisi ini juga tampak unsur-unsur pewarisan, yaitu; pewaris,
ahli waris dan harta warisan atau tirkah.
Pewaris
Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b): "Pewaris yaitu
orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasar putusan pengadilan beragama Islam, meniggalkan ahli waris
dan harta peninggalan."
Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan
disyaratkan untuk pewaris yaitu telah meninggal dunia, baik secara hakiki
ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang
syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik
secara hakiki, hukum atau takdiri.
Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan
beragama Islam dan memiliki ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-
syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.
Ahli Waris
Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal 171 ayat ( c ):
"Ahli waris yaitu orang yang pada saat meninggal dunia memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris"
Dari pasal 171 ayat (c) ini, pertama, menurut penulis perlu adanya
penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan redaksi itu seakan-
akan yang meninggal itu yaitu ahli waris, padahal yang dimaksud tentunya
bukan demikian. Kedua, dari pengertian ahli waris di atas tidak disebutkan
apakah ahli waris itu disyaratkan hidup atau tidak seperti telah
diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris bahwa salah satu syarat terjadinya
pewarisan yaitu hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara
hakiki maupun hukum. Untuk yang kedua ini perlu penjelasan, karena hal
ini akan terkait dengan pasal 185 tentang ahli waris pengganti, apakah
mereka mewaris karena imperatif atau sebagai alternatif untuk mencapai
keadilan seperti ditempuh oleh wasiat wajibah atau secara otomatis dan
seharusnya mereka mendapatkannya seperti pendapat Hazairin.
Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi itu yaitu : "Ahli
waris yaitu orang yang masih hidup atau dinyatakan masih hidup oleh
putusan pengadilan pada saat meninggalnya pewaris memiliki hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."
Selanjutnya ahli waris yang ada pada KHI seperti itu di atas
pada dasarnya sama dengan ahli waris dalam kitab-kitab fiqh Islam, dengan
pengecualian laki-laki dan perempuan yang memerdekakan budak, karena
di negara kita tidak ada perbudakan, namun dimungkinkan ada penambahan
ahli waris pengganti seperti cucu laki-laki maupun perempuan dari anak
perempuan bersamaan anak laki-laki, di mana anak perempuan itu telah
meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.
Dari pasal-pasal 174, 181, 182 dan 185, dapat dilihat bahwa ahli waris
itu terdiri atas :
1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman, kakek dan suami.
2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan,
nenek dan isteri
3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti yaitu
seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki- laki atau
perempuan. Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat
disimpulkan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris yaitu ; memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan; beragama Islam. Tentang
beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam pasal 172
194
KHI: "Ahli waris dipandang beragama Islam bila diketahui dari
kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedang
bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut
ayahnya atau lingkungannya."
4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Adapun
tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya pewaris, seperti
disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak dalam ketentuan ini, dan
menurut penulis hal ini perlu ditegaskan.
A d a n y a H a r t a P e n i n g g a l a n ( T i r k a h ) .
Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan
terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ulama ada
beberapa pendapat. Ada yang menyamakan dengan pengertian maurus (harta
waris) ada juga yang memisahknnya, yaitu bahwa tirkah memiliki arti
yang lebih luas dari maurus. KHI yang merupakan intisari dari berbagai
pendapat para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah, yaitu
seperti dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan yaitu harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi
miliknya maupun hak-haknya."
sedang tentang harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat (e)
'"Harta waris yaitu harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah dipakai untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat."
Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum harta
peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia yaitu berupa :
1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang,
termasuk piutang yang akan ditagih.
2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar pada saat
seseorang meninggal dunia
3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-
masing.
4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami atau isteri,
misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa sebagai modal
pertama dalam perkawinan yang harus kembali pada asalnya, yaitu
suku itu .
195
Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan
peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara induvidual kepada ahli waris,
yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan
suami atau isteri, harta bawaan dari klan dikurangi lagi dengan biaya untuk
keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran
hutang si mati dan wasiat.
Dari pengertian ini tampaknya KHI membedakan antara pengertian
tirkah dan maurus .
Halangan Menjadi Ahli Waris
Salah satu syarat terjadinya pewarisan yaitu tidak adanya halangan
pewarisan. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris dalam KHI
disebutkan pada pasal 173, yang berbunyi sebagai berikut:
"Seorang terhalang menjadi ahli waris bila dengan putusan hakim yang
telah memiliki ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat".
Ketentuan terhalangnya seorang ahli waris sebagaimana disebutkan di
atas, merupakan perluasan dari ketentuan mawani' al irs menurut para ulama
dalam fiqh mawaris. Ketentuan di atas tampaknya diadopsi dari BW pasal
838 tentang ketentuan orang-orang yang tidak pantas (onwardig) untuk
menerima warisan bagi kelompok ahli waris karena kematian (wettelijk
erfrecht).
Jika dibandingkan terhalangnya seseorang menjadi ahli waris menurut
KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh mawaris tampak bahwa yang
terkandung dalam pasal 173 ini hanya pembunuhan. Adapun perbudakan dan
berlainan agama tidak ada. Untuk perbudakan mungkin dapat diterima,
karena di negara kita tidak ada perbudakan. Adapun tentang berbeda agama
walaupun tidak dicantumkan dalam pasal 173 yang mengatur tentang
halangan seseorang menjadi ahli waris, namun sebenarnya KHI juga
mengakui bahwa perbedaan agama menjadi penghalang pewarisan juga. Hal
ini seperti diatur dalam pasal 171 ayat (b) dan ayat (c) tentang pewaris dan
ahli waris yang harus beragama Islam. Dari kedua ayat ini dapat diketahui
196
bahwa beragama Islam menjadi salah satu syarat bagi pewaris dan ahli waris
agar terjadi pewarisan. Karena beragama Islam menjadi salah satu syarat
terjadi pewarisan, maka berbeda agama menjadi salah satu penghalang
pewarisan. Jadi akan lebih baik bila 173 yang mengatur tentang
terhalangnya seseorang menjadi ahli waris ditambah dengan berbeda agama.
Kelompok Ahli Waris
Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada pasal 174,
selengkapnya pasal itu berbunyi:
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,
anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan
perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan
dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
2. bila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan
hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Pengelompokan ahli waris seperti di atas, merupakan pengelompokan
berdasar sebab-sebab terjadinya pewarisan, yaitu karena hubungan darah
(nasabiyah), dan karena perkawinan (sababiyah). Jika dibandingkan dengan
pengelompokan ahli waris menurut fiqh mawaris, tampaknya KHI tidak
mencantumkan ahli waris karena hubungan wala atau perbudakan, ini karena
di negara kita tidak mengenal perbudakan. Selanjutnya menurut para ulama,
dalam fiqh mawaris pengelompokan ahli waris itu juga terbagi atas tiga
kelompok lain, yaitu: dzawi al furudh, ashabah dan dzawi al arham.
Jadi menurut para ulama dalam fiqh mawaris ada pengelompokan
yang jelas tentang ahli waris dan bagiannya serta cara membagikan bagian
itu kepada masing-masing ahli waris.
Hal ini jika dibandingkan dengan KHI, seperti yang tercantum dalam
pasal 174, tampak bahwa pengelompokan ahli waris dalam fiqh mawaris
lebih jelas dari pengelompokan ahli waris dalam KHI pasal 174. KHI hanya
menyebutkan ahli waris berdasar nasabiyah dan sababiyah saja. Adapun
istilah dzawi al furudh dan ashabah tidak disebutkan dalam pengelompokan
ahli waris tetapi disebutkan dalam pasal tentang aul dan radd ll Sedang
tentang dzawi al arham, KHI tidak pernah menyebut istilah ini, baik dalam
pasal-pasal maupun dalam penjelasannya.
197
Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa walaupun KHI tidak menyebutkan
dzawi al furudh dan ashabah dalam pasal yang mengatur tentang
pengelompokan ahli waris namun secara eksplisit KHI mengakuinya, seperti
tercantum dalam pasal 192 dan 193, namun di sini masih belum jelas siapa-
siapa saja yang termasuk dalam kedua kelompok itu dan bagaimana
penentuan bagian masing-masing.
Selanjutnya dalam pasal 174 ini, masih ada beberapa hal yang menjadi
pertanyaan berkenaan dengan pengelompokan ahli waris, seperti kakek dan
nenek, siapakah yang dimaksud? Karena menurut ulama sunni dalam fiqh
mawaris kakek dan nenek itu tidak semua sama. Mereka dibedakan antara
kakek dan nenek yang shahih yaitu termasuk dzawi al furudh atau ashabah
dan kakek dan nenek ghair ash shaih yang termasuk dalam dzawi al arham.
Ataukah KHI tidak membedakan kakek dan nenek seperti penggolongan
sunni itu , seperti yang dianut oleh madzhab Ja'fariyah.
Dari uraian di atas, nampak bahwa KHI tidak menyebut istilah dzawi al
arham. KHI juga tidak mengatur secara jelas apa nama kelompok bagi ahli
waris yang termasuk dzawi al arham itu . Mereka yang termasuk dzawi
al arham ini antara lain yaitu kakek ghair ash shaih seperti ayah dari ibu
pewaris, anak-anak dari saudara perempuan dan saudara perempuan dari
ayah. Dari sini dapat diketahui bahwa KHI belum secara jelas mengatur
pengelompokan ahli waris itu . Demikian juga urutan prioritas
penerimaannya.
Ketidakjelasan pengelompokan itu akan menimbulkan persepsi
yang berbeda dalam penyelesaian kasus kewarisan. Pemahaman ini mungkin
akan berbenturan antara penyelesaian menurut fiqh mawaris sebagaimana
dikemukakan oleh para ulama, dengan yang diinginkan oleh KHI itu sendiri,
atau dengan dugaan bahwa KHI tidak mengenal kelompok dzawi al arham.
Karena dalam madzhab Syi'ah yaitu Ja'fariyah tidak mengenal
pengelompokan ahli waris atas tiga kelompok seperti ulama sunni di atas,
demikian pula kewarisan Islam yang pernah ditawarkan Hazairin.
Beberapa contoh kasus yang mungkin menimbulkan permasalahan
dalam penyelesaiannya antara lain sebagai berikut:
1. Ahli waris terdiri dari nenek, yaitu ibu dari ibu pewaris (ummu ummi al
mayyit) dan kakek, yaitu ayah dari ibu pewaris (Abu ummi al mayyit).
Nenek dalam contoh di atas termasuk dzawi al furudh (jaddat
shahihat), sedang kakek termasuk dzawi al arham (Jadd ghair shahih).
Menurut para ulama dalam fiqh mawaris, harta warisan seluruhnya
jatuh ke tangan nenek melalui jalur r add, sedang kakek tidak mendapat
bagian sama sekali. Dalam hal ini KHI tidak jelas mengaturnya, apakah
198
terhadap kakek yang termasuk dzawi al arham itu KHI memberi
bagian atau tidak.
2. Ahli waris terdiri dari nenek, yaitu ibu dari ayah dari ibu pewaris
(;ummu abi ummi al mayyit) dan cucu laki-laki dari saudara laki-laki
kakek shahih (Ibnu ibni akhi al j add ash shahih). Dalam contoh ini
nenek termasuk dzawi al arham (jaddat ghair ash shahihat), sedang
cucu dari saudara kakek termasuk kelompok ashabah. Jadi harta
warisan jatuh seluruhnya kepada cucu dari saudara kakek itu ,
sedang nenek tidak mendapat bagian. KHI dalam contoh di atas tidak
jelas mengaturnya, sebab tidak menyebutkan secara jelas rincian nenek
dan urutan prioritas penerimaan ahli waris.
Sehubungan dengan uraian di atas, dalam KHI perlu dipertegas tentang
pengelompokan ahli waris dan perioritas penerimaannya. Hal ini sangat
penting untuk tidak menimbulkan perbedaan penafsiran dalam rangka
kesatuan persepsi menuju kejelasan dan kesatuan serta kepastian hukum.
Sebagai acuan pengelompokan itu , bisa dipakai pengelompokan ahli
waris menurut pendapat para ulama dalam fiqh mawaris, terutama dari flqh
sunni yang telah lama dianut oleh umat Islam di negara kita termasuk prioritas
penerimaannya.
Ahli Waris Pengganti
Tentang ahli waris pengganti ini dalam KHI diatur dalam pasal 185
KHI. Adapun bunyi lengkapnya yaitu sebagai berikut:
1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dibandingkan si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
itu dalam pasal 173.
2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang digantikan.
Ketentuan ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam pasal 185
itu merupakan hal yang baru dalam hukum kewarisan Islam di
negara kita . Menurut Yahya Harahap bahwa ketentuan ini merupakan
terobosan terhadap penyelewengan hak cucu atas harta warisan ayah, bila
ayah meninggal lebih dahulu dari pada kakek.
Dari pengertian ahli waris pengganti yang diberikan oleh Yahya
Harahap itu , menurut penulis KHI tidak memberi batasan yang jelas,
199
maka pemahaman tentang ahli waris pengganti seperti dimaksud pasal 185
ayat (1) itu dapat diartikan secara luas. Sehingga pengertian ahli waris yang
digantikan itu meliputi garis lurus ke bawah dan juga dari garis
menyamping. Jadi pasal ini selain bisa menampung cucu dari pewaris baik
dari anak laki-laki atau perempuan juga bisa menampung anak-anak
(keturunan) saudara-saudara yang lebih dahulu meninggal dunia dengan
tentunya tetap memperhatikan aturan hijab menghijab antara derajat yang
lebih tinggi dengan yang lebih rendah.
Pengaturan tentang cucu yang terhalang oleh saudara orang tuanya
yang masih hidup inipun telah diatur di negara-negara Islam lainnya. Seperti
Mesir yang memberlakukan wasiat wajibah, yang diikuti oleh Sudan,
Suriah, Maroko, dan Tunisia dengan beberapa variasi. 15 Menurut Yusuf
Qardhawi, pemerintah Mesir menjadikan wasiat wajibah dalam perundang-
undangan merupakan perpaduan ijtihad iniqa’I (selektif) dan insya’I
(kreatif).
Abu Zahrah menambahkan kenyataan sering anak-anak yang kematian
ayah itu hidup dalam kemiskinan, sedang saudara-saudara ayahnya
hidup dalam kecukupan. Anak yatim itu menderita karena kehilangan
ayah dan kehilangan hak kewarisan. Memang biasanya seseorang berwasiat
untuk cucu yatim itu. Tetapi sering pula ia meninggal sebelum
melakukannya, karena itulah Undang-Undang mengambil alih aturan yang
tidak dikenal dalam madzhab-madzhab empat, tetapi menjadi pendapat
beberapa ulama lain.
Kalau negara-negara Islam, seperti Mesir, Suriah, Maroko dan Tunisia
memasukkan cucu atau cucu-cucu dalam kasus itu dengan wasiat
wajibah dengan beberapa variasi. sedang Pakistan dan negara kita
memakai konsep ahli waris pengganti.
Hal yang perlu diperhatikan dari pasal 185 ini yaitu bahwa isi pasal
itu tidak bersifat imperatif (selalu digantikan) oleh anaknya. 18 Tetapi
pasal ini bersifat tentatif atau altematf. Hal mana diserahkan kepada
pertimbangan hakim Peradilan Agama menurut kasus demi kasus. Hal ini
bisa dilihat dari kata d a p a t dalam pasal itu . Sifat alternatif atau tidak
imperatif dalam pasal 185 sudah tepat, sebab tujuan dimasukkannya ahli
waris pengganti dalam KHI karena melihat pada kenyataan dalam beberapa
kasus, kasihan terhadap cucu atau cucu-cucu pewaris.
Hal lain yang perlu diingat yaitu bahwa bagian ahli waris pengganti
tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti,
bahwa pengganti ahli waris sebenarnya bukan ahli waris, tetapi mendapat
waris karena keadaan atau pertimbangan tertentu. Kalau mereka itu sejak
200
dari semula dianggap sebagai ahli waris yang kini menjadi pengganti ahli
waris, tentu tidak diperlukan pembahasan khusus seperti yang disebutkan
dalam ayat (2). Adanya ayat (2) ini sudah tepat sekali sehingga ahli waris
yang sesungguhnya tidak akan terlalu dirugikan.
Penutup
Materi pengaturan hukum kewarisan dalam Buku IIKHI di samping memuat
hal-hal baru dalam pewarisan Islam juga ada kekurang sempumaan dan
tampak masih banyak yang belum jelas, sehingga masih perlu
disempurnakan. Namun demikian, ketentuan muatan hukum kewarisan
sebagai bagian dari fiqh negara kita yang juga berdimensi q a n u n (hukum
positif) bagi negara negara kita perlu dipertahankan dan dikembangkan untuk
diterapkan. Terutama bagi instansi terkait dan warga yang memerlu
kannya. Hal ini sangat penting untuk mengisi kekosongan hukum yang
selama ini dibutuhkan oleh warga muslim negara kita .
201
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di negara kita , Jakarta: Akademi
Pressindo, 1992
Abu Bakar, Al Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan
Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fiqh Madzhab, Jakarta :
IN IS ,1998
Ash Shabuni, M. Ali Al Mawarits Fi Syariat al Islamiyyah 'ala Dhau'i
Kitabi Wa as Sunnah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979
Coulson, The Succession In The Muslim Famili, Cambridge University
Press, 1967
Fathurrahman, Hukum Waris, Bandung: Al Ma'arif, 1975
Harahap,Yahya, Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum
Islam" Dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 5
(Jakarta: Al Hikmah, 1992
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an Dan Hadith, Jakarta:
Tintamas, 1982
Mahluf, Husnain Muhammad, Al Mawarits Fi Syari'at al Islamiyyah, Kairo:
Mathbah al Madani, 1976
Qardhawi,Yusuf, Ijtihad Kotemporer, Terjemahan Abu Barzani, Surabaya:
Risalah Guti, 1995
Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
Dengan Kewarisan KUH Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 1995
Rasyid, Raihan A. “Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat Wajibah” dalam
Mimbar Hukum, No. 23, Jakarta: al Hikmah dan Depag RI, 1995
Sabiq, Sayid, Fiqh as Sunnah, Juz III, Semarang: Toha Putra, 1980
Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam dan perkembangannya Di Seluruh
Dunia, Jakarta: Wijaya, 1984
Subekti R. dan Tjitrosudibjo R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982
Zahrah, M. Abu, A t Tirkah wa alMirats, (Kairo : Dar al Fikr,1975),
-------------------_5 jii Mirats 'Inda Ja'fariah, (Kairo: Dar al Fikr, tt),
202
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG
WAKAF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
Menimbang : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang
memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola
secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan
untuk memajukan kesejahteraan umum;
b. bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah
lama hidup dan dilaksanakan dalam warga , yang
pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan;
c. bahwa berdasar pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu
membentuk Undang-Undang tentang Wakaf;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita
DAN
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
203
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Wakaf yaitu perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.
2. Wakif yaitu pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3. Ikrar Wakaf yaitu pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara
lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda
miliknya.
4. Nazhir yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif
untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5. Harta Benda Wakaf yaitu harta benda yang memiliki daya tahan lama
dan/atau manfaat jangka panjang serta memiliki nilai ekonomi
menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif.
6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW,
yaitu pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk
membuat akta Ikrar wakaf.
7. Badan Wakaf negara kita yaitu lembaga independen untuk
mengembangkan perwakafan di negara kita .
8. Pemerintah yaitu perangkat Negara Kesatuan Republik negara kita
yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
9. Menteri yaitu menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.
204
BABU
DASAR-DASAR WAKAF
Bagian Pertama
Umum
Pasal 2
Wakaf sah bila dilaksanakan menurut syariah.
Pasal 3
Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.
Bagian Kedua
Tujuan dan Fungsi Wakaf
Pasal 4
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
Pasal 5
Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda
wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan
umum.
Bagian Ketiga
Unsur Wakaf
Pasal 6
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
a. Wakif;
b. Nazhir;
c. Harta Benda Wakaf;
d. Ikrar Wakaf;
e. peruntukan harta benda wakaf;
f. jangka waktu wakaf.
205
Bagian Keempat
Wakif
Pasal 7
Wakif meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi;
c. badan hukum.
Pasal 8
(1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a
hanya dapat melakukan wakaf bila memenuhi persyaratan :
a. dewasa;
b. berakal sehal;
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan
d. pemilik sah harta benda wakaf.
(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya
dapat melakukan wakaf bila memenuhi ketentuan organisasi untuk
mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan
anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c
hanya dapat melakukan wakaf bila memenuhi ketentuan badan
hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum
sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
Bagian Kelima
Nazhir
Pasal 9
Nazhir meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi;
c. badan hukum.
206
Pasal 10
(1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya
dapat menjadi Nazhir bila memenuhi persyaratan :
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani; dan
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat
menjadi Nazhir bila memenuhi persyaratan :
a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kewarga an, dan/atau keagamaan Islam.
(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya
dapat menjadi Nazhir bila memenuhi persyaratan :
a. pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. badan hukum negara kita yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
c. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial,
pendidikan, kewarga an, dan/atau keagamaan Islam.
Pasal 11
Nazhir memiliki tugas :
a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi, dan peruntukannya;
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf negara kita .
Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir
dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan
207
pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%
(sepuluh persen).
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf negara kita .
Pasal 14
(1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf negara kita .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nazhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Harta Benda Wakaf
Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan bila dimiliki dan
dikuasai oleh Wakif secara sah.
Pasal 16
(1) Harta benda wakaf terdiri dari:
a. benda tidak bergerak; dan
b. benda bergerak.
(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum
terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
208
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu
harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang bertaku.
Bagian Ketujuh
Ikrar Wakaf
Pasal 17
(1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan
PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara
lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh
PPAIW.
Pasal 18
Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak
dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena atasan yang dibenarkan
oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang
diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.
Pasal 19
Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakaf atau kuasanya menyerahkan
surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.
209
Pasal 20
Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan :
a. dewasa;
b. beragama Islam;
c. berakal sehat;
d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Pasal 21
(1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.
(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. nama dan identitas Wakif;
b. nama dan identitas Nazhir;
c. data dan keterangan harta benda wakaf;
d. peruntukan harta benda wakaf;
e. jangka waktu wakaf.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Peruntukan Harta Benda Wakaf
Pasal 22
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya
dapat diperuntukan b ag i:
a. sarana dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
210
Pasal 23
(1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dilakukan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf.
(2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf,
Nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang
dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Bagian Kesembilan
Wakaf dengan Wasiat
Pasal 24
Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara tertulis hanya dapat
dilakukan bila disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Pasal 25
Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu
pertiga) dari jumlah harta warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat,
kecuali dengan persetujuan seluruh ahli waris.
Pasal 26
(1) Wakaf dengan wasiat dilaksanakan oleh penerima wasiat setelah
pewasiat yang bersangkutan meninggal dunia.
(2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak
sebagai kuasa wakaf.
(3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan tata cara perwakafan yang diatur dalam
Undang-undang ini.
Pasal 27
Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat,
atas permintaan pihak yang berkepentingan, pengadilan dapat
memerintahkan penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan
wasiat.
211
Bagian Kesepuluh
Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang
Pasal 28
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga
keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang
dilakukan secara tertulis.
(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterbitkan dan disampaikan oleh Lembaga keuangan syariah kepada
Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
Pasal 30
Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda
wakaf berupa uang kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN
HARTA BENDA WAKAF
Pasal 32
PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi
yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf
ditandatangani.
212
Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32, PPAIW menyerahkan:
a. salinan akta ikrar wakaf;
b. surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait
lainnya.
Pasal 33
Pasal 34
Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 35
Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
disampaikan oleh PPAIW kepada Nazhir.
Pasal 36
Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir
melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan
Badan Wakaf negara kita atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah
peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara
pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 37
Menteri dan Badan Wakaf negara kita mengadministrasikan pendaftaran harta
benda wakaf.
Pasal 38
Menteri dan Badan Wakaf negara kita mengumumkan kepada warga
harta benda wakaf yang telah terdaftar.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan
pengumuman harta benda wakaf diatur dengan Peraturan Pemerintah.
213
BAB IV
PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF
Pasal 40
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :
a. dij adikan j aminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
e. diwariskan;
f. ditukar; atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Pasal 41
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan
bila harta benda wakaf yang telah diwakafkan dipakai untuk
kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)
berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan syariah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas
persetujuan Badan Wakaf negara kita .
(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan
pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar
dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya
sama dengan harta benda wakaf semula.
(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF
Pasal 42
Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai
dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.
214
Pasal 43
(1) Rengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan
prinsip syariah.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.
(3) Dalam hal pengetolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang
dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka dipakai lembaga
penjamin syariah.
Pasal 44
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir
dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali
atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf negara kita .
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan bila
harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan
peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.
Pasal 45
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir
diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain bila Nazhir yang
bersangkutan:
a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;
b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undanga’n yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau
Nazhir badan hukum;
c. atas permintaan sendiri;
d. tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan/atau melanggar
ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
e. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap.
(2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Wakaf negara kita .
(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh
Nazhir lain karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan
215
dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang
ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan
Pasal 45 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
BADAN WAKAF negara kita
Bagian Pertama
Kedudukan dan Tugas
Pasal 47
(1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional,
dibentuk Badan Wakaf negara kita .
(2) Badan Wakaf negara kita merupakan lembaga independen dalam
melaksanakan tugasnya.
Pasal 48
Badan Wakaf negara kita berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik
negara kita dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau
Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 49
(1) Badan Wakaf negara kita memiliki tugas dan wewenang :
a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf;
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
berskala nasional dan internasional;
c. Memberi persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf;
d. memberhentikan dan mengganti Nazhir;
e. Memberi persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
216
f. Memberi saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam
penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan
Wakaf negara kita dapat bekeijasama dengan instansi Pemerintah baik
Pusat maupun Daerah, organisasi warga , para ahli, badan
internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.
Pasal 50
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan
Wakaf negara kita memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan
Majelis Ulama negara kita .
Bagian Kedua
Organisasi
Pasal 51
(1) Badan Wakaf negara kita terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan
Pertimbangan.
(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
unsur pelaksana tugas Badan Wakaf negara kita .
(3) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita .
Pasal 52
(1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf negara kita
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1
(satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari
dan oleh para anggota.
(2) Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan
Pertimbangan Badan Wakaf negara kita sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh para anggota.
217
Bagian Ketiga
Anggota
Pasal 53
Jumlah anggota Badan Wakaf negara kita terdiri dari paling sedikit 20 (dua
puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari
unsur warga .
Pasal 54
(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf negara kita , setiap
calon anggota harus memenuhi persyaratan :
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani;
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;
g. memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di
bidang perwakafan dan/atau ekonomi, khususnya di bidang
ekonomi syariah; dan
h. memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan
perwakafan nasional.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan
mengenai persyaratan lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf
negara kita ditetapkan oleh Badan Wakaf negara kita .
Bagian Keempat
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 55
(1) Keanggotaan Badan Wakaf negara kita diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
(2) Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf negara kita di daerah diangkat
dan diberhentikan oleh Badan Wakaf negara kita .
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan
pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan peraturan Badan Wakaf negara kita .
218
Pasal 56
Keanggotaan Badan Wakaf negara kita diangkat untuk masa jabatan selama
3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 57
(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf
negara kita diusulkan kepada Presiden oleh Menteri.
(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf negara kita kepada
Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf negara kita .
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan
Wakaf negara kita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh
Badan Wakaf negara kita , yang pelaksanaannya terbuka untuk umum.
Pasal 58
Keanggotaan Badan Wakaf negara kita yang berhenti sebelum berakhirnya
masa j abatan diatur oleh Badan Wakaf negara kita .
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 59
Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita , Pemerintah
wajib membantu biaya operasional.
Bagian Keenam
Ketentuan Pelaksanaan
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi, per
syaratan, dan tata cara pemilihan anggota serta susunan keanggotaan dan tata
kerja Badan Wakaf negara kita diatur oleh Badan Wakaf negara kita .
219
Bagian Ketujuh
Pertanggungjawaban
Pasal 61
(1) Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita
dilakukan melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit
independen dan disampaikan kepada Menteri.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan
kepada warga .
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 62
(1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah
untuk mencapai mufakat.
(2) bila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase,
atau pengadilan.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 63
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tu juan dan fungsi wakaf.
(2) Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Menteri mengikutsertakan Badan Wakaf negara kita .
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan
Majelis Ulama negara kita .
Pasal 64
Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf negara kita dapat
melakukan kerja sama dengan organisasi warga , para ahli, badan
internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.
220
Dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat memakai akuntan
publik.
Pasal 65
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan oleh
Menteri dan Badan Wakaf negara kita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63,
Pasal 64, dan Pasal 65 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 67
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan,
menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak
lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf
yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda
wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja memakai atau mengambil
fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
221
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 68
(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak
didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan
PPAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 32.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang
wakaf bagi lembaga keuangan syariah;
c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan
PPAIW.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, wakaf yang dilakukan
berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum diundangkannya Undang-undang ini, dinyatakan sah sebagai
wakaf menurut Undang-undang ini.
(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan
diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini
diundangkan.
Pasal 70
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti
dengan peraturan yang baru berdasar Undang-undang ini.
222
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 71
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
negara kita .
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
ttd..
Dr. H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK negara kita ,
ttd.
PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita TAHUN 2004 NOMOR 159
223
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG
WAKAF
L UMUM
Tujuan Negara Kesatuan Republik negara kita sebagaimana diamanatkan
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945 antara lain yaitu memajukan kesejahteraan umum. Untuk
mencapai tujuan itu , perlu menggali dan mengembangkan potensi
yang ada dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat
ekonomis.
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum,
perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak
hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi
juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk
memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan
pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan warga belum
sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus
harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar
atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum.
Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau
ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf tetapi karena juga sikap warga yang kurang peduli
atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya
224
dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan,
fungsi, dan peruntukan wakaf.
berdasar pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan
hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional perlu dibentuk
Undang-undang tentang Wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai
perwakafan berdasar syariah dan peraturan perundang-undangan
dicantumkan kembali dalam Undang-undang ini, namun ada pula
berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain sebagai berikut:
1. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna
melindungi harta benda wakaf, Undang-undang ini menegaskan
bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam
akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
wakaf dan harus dilaksanakan. Undang-undang ini tidak
memisahkan antara wakaf-ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan
harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan
wakaf-khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan warga
umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum
cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah
dan bangunan, menurut Undang-undang ini Wakif dapat pula
mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta benda wakaf
bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam
mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intetektual, hak
sewa, dan benda bergerak lainnya.
Dalam hal benda bergerak berupa uang, Wakif dapat mewakafkan
melalui Lembaga Keuangan Syariah.
Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah yaitu badan
hukum negara kita yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang
keuangan syariah, misalnya badan hukum di bidang perbankan
syariah.
Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa uang melalui
Lembaga Keuangan Syariah dimaksudkan agar memudahkan Wakif
untuk mewakafkan uang miliknya.
3. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan
sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan
225
kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat
ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan
harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi
dalam arti luas sepanjang pengelolaan itu sesuai dengan
prinsip manajemen dan ekonomi Syariah.
4. Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak
ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan
kemampuan profesional Nazhir.
5. Undang-Undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf
negara kita yang dapat memiliki perwakafan di daerah sesuai
dengan kebutuhan. Badan itu merupakan lembaga independen
yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan
pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional, Memberi persetujuan atas perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf, dan Memberi saran dan
pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di
bidang perwakafan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan
hukum yaitu perseorangan warga negara negara kita atau warga
negara asing, organisasi negara kita atau organisasi asing dan/atau
badan hukum negara kita atau badan hukum asing.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan
hukum yaitu perseorangan warga negara negara kita , organisasi
negara kita dan/atau badan hukum negara kita .
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Dalam rangka pendaftaran Nazhir, Menteri harus proaktif untuk
mendaftar para Nazhir yang sudah ada dalam warga .
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud benda bergerak lain sesuai dengan syariah
dan peraturan yang berlaku, antara lain mushaf, buku, dan
kitab.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Penyerahan surat-surat atau dokumen kepemilikan atas harta benda
wakaf oleh Wakif atau kuasanya kepada PPAIW dimaksudkan agar
diperoleh kepastian keberadaan harta benda wakaf dan kebenaran
adanya hak Wakif atas harta benda wakaf dimaksud.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan pengadilan yaitu pengadilan agama.
Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan antara lain para
ahli waris, saksi, dan pihak penerima peruntukan wakaf.
Pasal 28
Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah yaitu badan
hukum negara kita yang bergerak di bidang keuangan syariah.
Pasal 29
Ayat (1)
Pernyataan kehendak Wakif secara tertulis itu dilakukan
kepada Lembaga Keuangan Syariah dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu Badan
Pertanahan Nasional.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yaitu instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d g o o d s ) yaitu Badan Wakaf
negara kita .
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu Badan
Pertanahan Nasional.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yaitu instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d g o o d s ) yaitu Badan Wakaf
negara kita .
Yang dimaksud dengan bukti pendaftaran harta benda wakaf yaitu
surat keterangan yang dikeluarkan oleh instansi Pemerintah yang
berwenang yang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan
tercatat pada negara dengan status sebagai harta benda wakaf.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu Badan
Pertanahan Nasional.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yaitu instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d g o o d s ) yaitu Badan Wakaf
negara kita .
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan mengumumkan harta benda wakaf yaitu
dengan memasukan data tentang harta benda wakaf dalam register
umum. Dengan dimasukannya data tentang harta benda wakaf dalam
register umum, maka terpenuhi asas publisitas dari wakaf sehingga
warga dapat mengakses data itu .
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan
secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi,
penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis,
pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi,
pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar
swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun
sarana kesehatan, dan usaha-usaha yang tidak bertentangan
dengan syariah.
Yang dimaksud dengan lembaga penjamin syariah yaitu badan
hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu
kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim
asuransi syariah atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Pembentukan perwakilan Badan Wakaf negara kita di daerah
dilakukan setelah Badan Wakaf negara kita berkonsultasi dengan
pemerintah daerah setempat.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mediasi yaitu penyelesaian sengketa
dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh
para pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil
menyelesaikan sengketa, maka sengketa itu dapat dibawa
kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase
syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa
itu dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah
syar'iyah.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita NOMOR 4459
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
Menimbang : a. bahwa Negara Republik negara kita , sebagai negara
hukum yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan
bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;
b. bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan itu dan
menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam
hukum diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan,
kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang
mampu Memberi pengayoman kepada warga ;
c. bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan,
kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum itu
yaitu melalui Peradilan Agama sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman;
d. bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan, dan
hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama yang selama ini masih beraneka karena
didasarkan pada:
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan
Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152
dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor
116 dan 610);
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan
Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan
Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor
638 dan 639);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957
tentang Pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar'iyah di Luar Jawa dan Madura
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).
e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan itu , dan
untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dipandang perlu menetapkan undang-
undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum
aeara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;
Mengingat : L Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) Pasal 24, dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Peradilan Agama yaitu peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.
2. Pengadilan yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di
lingkungan Peradilan Agama.
3. Hakim yaitu Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada
Pengadilan Tinggi Agama.
4. Pegawai Pencatat Nikah yaitu Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor
Urusan Agama.
5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti yaitu Juru Sita dan atau Juru
Sita Pengganti pada Pengadilan Agama.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 3
(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan
o leh :
a. Pengadilan Agama;
b. Pengadilan Tinggi Agama.
(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 4
(1) Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota
kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten.
(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan
dilakukan oleh Menteri Agama.
(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
BABU
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
Pengadilan terdiri dari:
1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;
2. Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat
Banding.
Pasal 7
Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Pasal 8
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang.
Pasal 9
(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.
(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim
Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
Pasal 10
(1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang
Wakil Ketua.
(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan
seorang Wakil Ketua.
(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama yaitu Hakim Tinggi.
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, dan Juru Sita
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal 11
(1) Hakim yaitu pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan
tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai
negeri dilakukan oleh Menteri Agama.
239
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
negara kita , termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang
yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan
Kontra Revolusi G.30.S/PKI", atau organisasi terlarang yang lain;
f. pegawai negeri;
g. sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
h. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
i. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan
Agama diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Agama.
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf a, b, c, d, e, f, g, dan i;
b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua
atau Wakil Ketua Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Agama.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama
diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat
Ketua Pengadilan Agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama
diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau, sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat
Ketua Pengadilan Agama.
Pasal 15
(1) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara
atas usul Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua Mahkamah
Agung.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib
mengucapkan sumpah menurut agama Islam yang berbunyi sebagai
berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan memakai nama atau
cara apa pun juga, tidak Memberi atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapa pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung
atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-
undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik
negara kita ".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan
orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil
Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan".
(2) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh
Ketua Pengadilan Agama.
(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua
Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi
Agama.
(4) Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh Ketua
Mahkamah Agung.
Pasal 17
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar undang-undang, Hakim
tidak boleh merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan Pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya;
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua,
dan Hakim Pengadilan Agama, dan 63 (enam puluh tiga) tahun
bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan
sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden
selaku Kepala Negara.
Pasal 19
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat
dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah j abatan;
e. melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan e
dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya
untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta
tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung
bersama-sama dengan Menteri Agama.
Pasal 20
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri.
Pasal 21
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan
hormat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala
Negara atas usul Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Pasal 22
(1) bila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang
diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim itu
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) bila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam perkara
pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa
ditahan, maka ia dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan
hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara
serta hak-hak pejabat yang dikenakan pemberhentian, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
(2) Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua,
dan Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 25
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya
atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Agama, kecuali dalam h a l:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana mati, atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
negara.
Paragraf 2
Panitera
Pasal 26
(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin
oleh seorang Panitera.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu
oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa
orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Juru Sita.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi Agama
dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda,
dan beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah atau sarjana muda
hukum yang menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil
Panitera atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Agama,
atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
dan d;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil
Panitera atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan
Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Pengadilan
Agama.
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera
Muda atau 6 (enam) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan
Agama.
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
dan d;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera
Muda atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan
Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan
Agama, atau menjabat Panitera Pengadilan Agama.
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Agama.
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai
Panitera Muda atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Agama, atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Agama.
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Agama.
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Agama atau 10 (sepuluh) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 35
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar undang-undang, Panitera
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai
Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut oleh Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua Mahkamah
Agung.
Pasal 36
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
Pengadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Agama.
Pasal 37
Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpahnya menurut agama Islam
oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Bunyi sumpah yaitu sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya
ini, langsung atau tidak langsung dengan memakai nama atau cara apa
pun juga, tidak Memberi atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa
pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-
Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang
berlaku bagi Negara Republik negara kita ".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan
hukum dan keadilan".
Paragraf 3
Juru Sita
Pasal 38
Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita
Pengganti.
Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita, seorang calon harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Juru
Sita Pengganti.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita Pengganti, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
b, c, d, dan e;
248
Pasal 40
(1) Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama atas usul
Ketua Pengadilan Agama.
(2) Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan
Agama.
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
pegawai negeri pada Pengadilan Agama.
Pasal 41
Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita dan Juru Sita Pengganti
diambil sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan Agama.
Bunyi sumpah yaitu sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya
ini, langsung atau tidak langsung, dengan memakai nama atau cara apa
pun juga, tidak Memberi atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa
pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesusatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-
Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang
berlaku bagi Negara Republik negara kita ".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita Pengganti yang
berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 42
(1) Kecuali ditentutakan lain oleh atau berdasar undang-undang, Juru
Sita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
(2) Juni Sita tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
249
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain jabatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih
lanjut oleh Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua Mahkamah
Agung.
Bagian Ketiga
Sekretaris
Pasal 43
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin
oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Pasal 44
Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.
Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah, atau sarjana muda
hukum yang menguasai hukum Islam atau sarjana muda administrasi;
f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.
Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, b, c,
d, dan f;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam.
Pasal 47
Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Agama.
Pasal 48
Sebelum memangku jabatannya Wakil Sekretaris diambil sumpahnya
menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Bunyi sumpah yaitu sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah :
bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan
Pemerintah;
bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya
dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara,
Pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa
mengutamakan kepentingan negara dibandingkan kepentingan saya sendiri,
seseorang atau golongan;
bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau
menurut perintah harus saya rahasiakan;
bahwa saya, akan bekeija dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat
untuk kepentingan negara".
KEKUASAAN PENGADILAN
Pasal 49
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang :
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasar hukum
Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
251
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasar undang-undang
mengenai perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b
ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan itu .
Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain
dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka
khusus mengenai objek yang menjadi sengketa itu harus diputus lebih
dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di
tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar-
Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pasal 52
(1) Pengadilan dapat Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya,
bila diminta.
(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain
oleh atau berdasar undang-undang.
Pasal 53
(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di daerah
hukumnya.
(2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), Ketua
Pengadilan Tinggi Agama di daerah hukumnya melakukan pengawasan
252
terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga
agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat Memberi petunjuk,
teguran, dan peringatan, yang dipandang perlu.
(4) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ayat (2), dan
ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara.
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 54
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama yaitu Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimuali sesudah diajukannya
suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah
dipanggil menurut ketentuan yang berlaku.
Pasal 56
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang
jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup
kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.
Pasal 57
(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN berdasar
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
253
(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI
KEADILAN berdasar KETUHANAN YANG MAHA ESA.
(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 58
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.
(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-
kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 59
(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali bila
undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan
penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa
pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan
sidang tertutup.
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau
putusannya batal menurut hukum.
(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.
Pasal 60
Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan
hukum bila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 61
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan
banding oleh pihak yang berperkara, kecuali bila undang-undang
menentukan lain.
Pasal 62
(1) Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus memuat alasan-
alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangai oleh Ketua dan
Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada
waktu penetapan dan putusan itu diucapkan.
(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua dan
Panitera yang bersidang.
Pasal 63
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.
Pasal 64
Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau
kasasi, pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali bila dalam amarnya
menyatakan penetapan atau putusan itu dapat dijalankan lebih dahulu
meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Sengketa Perkawinan
Paragaraf1
Umum
Pasal 65
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
Paragraf 2
Cerai Talak
Pasal 66
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon, kecuali bila termohon dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri,
maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Pasal 67
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas
memuat:
a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan
termohon, yaitu istri;
a. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 69
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan
Pasal 79, Pasal 80 ayat (2), Pasal 82, dan Pasal 83.
Pasal 70
(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak
mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka
Pengadilan menetapkan bahwa permohonan itu dikabulkan.
256
(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri
dapat mengajukan banding.
(3) Setelah penetapan itu memperoleh kekuatan hukum tetap,
Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan
memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang
itu .
(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam
suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar
talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak
datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami
atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau
wakilnya.
(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari
sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau
tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara
sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan itu , dan
perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasar alasan yang sama.
Pasal 71
(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar
talak.
(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan
putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan itu tidak dapat
dimintakan banding atau kasasi.
Pasal 72
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71 berlaku
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
serta Pasal 85.
Paragraf 3
Cerai Gugat
Pasal 73
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali bila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Pasal 74
bila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak
mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian,
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan
yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 75
bila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat
mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk
memeriksakan diri kepada dokter.
Pasal 76
(1) bila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi
yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami
istri.
(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat
persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih
dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi
hakam.
Pasal 77
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan
penggugat atau tergugat atau berdasar pertimbangan bahaya yang
mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri itu
untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Pasal 78
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan peng
gugat, Pengadilan dapat :
a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak;
c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Pasal 79
Gugatan perceraian gugur bila suami atau istri meninggal sebelum
adanya putusan Pengadilan.
Pasal 80
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 81
(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya
terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 82
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian itu , suami istri harus datang secara
pribadi, kecuali bila salah satu pihak bertempat kediaman di luar
negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili
oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
259
(3) bila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka
penggugat pada sidang perdamaian itu harus menghadap secara
pribadi.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 83
bila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasar alasan yang ada dan telah diketahui oleh
penggugat sebelum perdamaian tercapai.
Pasal 84
(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk
berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan
satu helai salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk
mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang.disediakan
untuk itu.
(2) bila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah
Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu
helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan
pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan
dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah itu dicatat pada
bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3) bila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai
salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat
didaftarkannya perkawinan mereka di negara kita .
(4) Panitera berkewajiban Memberi akta cerai sebagai surat bukti cerai
kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah
putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap itu diberitahukan
kepada para pihak.
Pasal 85
Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau
pejabat Pengadilan yang ditunjuk, bila yang demikian itu mengakibatkan
kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.
Pasal 86
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih
dahulu perkara harta bersama itu sampai ada putusan Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap tentang hal itu.
Paragraf 4
Cerai Dengan Alasan Zina
Pasal 87
(1) bila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu
pihak melakukan zina, sedang pemohon atau penggugat tidak dapat
melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan
itu , dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu
bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti
tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat
maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya
dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk mene
guhkan sanggahannya dengan cara yang sama.
Pasal 88
(1) bila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan
dengan cara li'an.
261
(2) bila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum
acara yang berlaku.
Bagian Ketiga
Biaya Perkara
Pasal 89
(1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat
atau pemohon.
(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan
merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam
penetapan atau putusan akhir.
Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk
perkara itu;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya
pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat
dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan oleh Pengadilan dalam
perkara itu;
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah
Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu.
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan
Mahkamah Agung.
Pasal 91
(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90
harus dimuat dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.
(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu pihak
berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam perkara itu,
harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan
Pengadilan.
262
BAB V
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 92
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.
Pasal 93
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat-
surat lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan
kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan.
Pasal 94
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasar
nomor urut, tetapi bila ada perkara tertentu yang karena menyangkut
kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan.
Pasal 95
Ketua Pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan
penetapan atau putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Pasal 96
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara
dan mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
Pasal 97
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
bertugas membantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang
Pengadilan.
Pasal 98
Panitera bertugas melaksanakan penetapan atau putusan Pengadilan.
263
Pasal 99
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di
Kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tiap
perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.
Pasal 100
Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan
Pengadilan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 101
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, penetapan
atau putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan
pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lain
yang disimpan di Kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak
boleh dibawa keluar dari ruangan Kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua
Pengadilan berdasar ketentuan undang-undang.
(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan penetapan atau
putusan, risalah, berita acara, akta, dan surat-surat lain diatur oleh
Mahkamah Agung.
Pasal 102
Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja Kepaniteraan Pengadilan
diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Pasal 103
(1) Juru Sita bertugas :
a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan
pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara-
cara berdasar ketentuan undang-undang,
c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
264
(2) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan
yang bersangkutan.
Pasal 104
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Juru Sita diatur
oleh Mahkamah Agung.
Pasal 105
(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum
Pengadilan.
(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja
Sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini;
1. semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai
Badan Peradilan Agama menurut Undang-undang ini;
2. semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan
Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasar
Undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 107
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura
(Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937
Nomor 116 dan Nomor 610);
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar
untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
(Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);
265
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar
Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99), dan
d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3019), dinyatakan tidak berlaku.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a Reglemen
negara kita yang diperbaharui (RIB), Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44,
mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di
luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yangdilakukan
berdasar hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 108
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
negara kita .
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
ttd..
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK negara kita ,
ttd.
MOERDIONO
266
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
UMUM
1. Dalam Negara Hukum Republik negara kita yang berdasar Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan
kepastian hukum dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan
hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana
perikehidupan yang aman, tenteram, dan, tertib seperti yang
diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu,
untuk mewujudkan hal-hal itu dibutuhkan adanya lembaga yang
bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna
menegakkan hukum dan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga
untuk menegakkan hukum dalam mencapai keadilan, kebenaran,
ketertiban, dan kepastian hukum yaitu badan-badan peradilan
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
masing-masing memiliki lingkup kewenangan mengadili perkara
atau sengketa di bidang tertentu dan salah satunya yaitu Badan
Peradilan Agama.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum Badan
Peradilan Agama sebelum Undang-undang ini yaitu :
267
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura
(Staatsblad 1882 Nomor 152 dan Staatsblad 1937 Nomor 116 dan
Nomor 610);
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar
untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
(Staatsblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar
Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).
Keragaman dasar hukum Peradilan Agama itu mengaki
batkan beragamnya pula susunan, kekuasaan, dan hukum acara
Peradilan Agama.
Dalam rangka penerapan Wawasan Nusantara di bidang hukum
yang merupakan pengejawantahan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum, maka keragaman itu perlu segera diakhiri
demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama
dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional yang berdasar
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar
terhadap segala peraturan perundang-undangan yang mengatur Badan
Peradilan Agama itu di atas dan menyesuaikannya dengan
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang merupakan induk dan kerangka umum serta
mempakan asas dan pedoman bagi semua lingkungan peradilan.
Dengan demikian, Undang-undang yang mengatur Susunan,
Kekuasaan, dan Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Agama ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas yang
tercantum dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970,
Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2951).
2. Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Agama, dalam
Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung,
sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970.
268
Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum
acara, kedudukan para Hakim, dan segi-segi administrasi lain pada
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf, dan shadaqah berdasar hukum Islam.
Bidang perkawinan yang dimaksud disini yaitu hal-hal yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3019).
Bidang kewarisan yaitu mengenai penentuan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta
peninggalan itu , bilamana pewarisan itu dilakukan
berdasar hukum Islam.
Sehubungan dengan hal itu , para pihak sebelum berperkara
dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan
dipergunakan dalam pembagian warisan.
Dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan Pengadilan
dalam Lingkungan Peradilan Agama di seluruh wilayah Nusantara,
maka oleh Undang-undang ini kewenangan Pengadilan Agama di Jawa
dan Madura serta sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
mengenai perkara kewarisan yang dicabut pada tahun 1937,
dikembalikan dan disamakan dengan kewenangan Pengadilan Agama
di daerah-daerah yang lain.
Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding
terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan
merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa
mengadili antar-Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
3. Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya beban yang hams
dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar
terhadap tata cara dan pengelolaan administrasi Pengadilan. Hal ini
sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek ketertiban dalam
menyelenggarakan administrasi, baik di bidang perkara maupun
kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan lain-lain, tetapi
juga akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Peradilan itu
sendiri. Oleh karena itu, penyelenggaraan administrasi Peradilan dalam
Undang-undang ini dibedakan menumt jenisnya dan dipisahkan
269
penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggung
jawaban tetap dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu Panitera yang
merangkap sebagai Sekretaris.
Selaku Panitera, ia menangani administrasi perkara dan hal-hal
administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial). Dalam
pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang Wakil Panitera dan
beberapa orang Panitera Muda.
Selaku Sekretaris, ia menangani administrasi umum seperti
administrasi kepegawaian dan sebagainya. Dalam pelaksanaan
tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Dengan demikian, staf Kepaniteraan dapat memusatkan perhatian
terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam bidang
peradilan, sedang tugas administrasi yang lain dapat dilaksanakan
oleh staf Sekretariat.
4. Hakim yaitu unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan
peradilan. Oleh karena itu, maka syarat-syarat pengangkatan dan
pemberhentian serta tata cara pengangkatan dan pemberhentiannya
diatur dalam Undang-undang ini.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala
Negara atas usul Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
Agar Pengadilan sebagai penyelenggara Kekuasaan Kehakiman
bebas dalam Memberi keputusan, perlu adanya jaminan bahwa, baik
Pengadilan maupun Hakim dalam melaksanakan tugas terlepas dari
pengaruh Pemerintah dan pengaruh yang lain.
Agar tugas penegakan hukum dan keadilan itu dapat dilaksanakan
oleh Pengadilan, maka dalam Undang-undang ini dicantumkan
persyaratan yang senantiasa harus dipenuhi oleh seorang Hakim, seperti
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berwibawa, jujur, adil, dan
berkelakuan tidak tercela.
Untuk memperoleh hal itu di atas maka dalam setiap
pengangkatan, pemberhentian, mutasi, kenaikan pangkat, tindakan atau
hukuman administrasi terhadap Hakim Pengadilan Agama perlu adanya
kerjasama, konsultasi, dan koordinasi antara Mahkamah Agung dan
Departemen Agama.
Agar para pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril
maupun materiil, maka perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai
270
tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan, khususnya
para Hakim; demikian pula mengenai kepangkatan dan gajinya.
Untuk lebih mengukuhkan kehormatan dan kewibawaan Hakim
serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian) para Hakim
dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakim yang
diatur dalam Undang-undang ini.
Selain itu, diadakan juga larangan-larangan bagi para Hakim
untuk merangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan
pengadilan, wali, pengampu, dan setiap jabatan yang bersangkutan
dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili olehnya.
Namun, belum cukup hanya dengan memerinci larangan-larangan
seperti itu di atas. Agar Peradilan dapat beijalan dengan efektif,
maka Pengadilan Tinggi Agama diberi tugas pengawasan terhadap
Pengadilan Agama di dalam daerah hukumnya. Hal ini akan
meningkatkan koordinasi antar-Pengadilan Agama dalam daerah
hukum suatu Pengadilan Tinggi Agama, yang pasti akan bermanfaat
dalam kesatuan putusan yang dijatuhkan, karena Pengadilan Tinggi
Agama dalam melakukan pengawasan itu dapat Memberi
teguran, peringatan, dan petunjuk. Kecuali itu, perbuatan dan kegiatan
Hakim secara langsung dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang
sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan akan teijamin.
Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan sangkaan keras, bahwa
Hakim melakukan perbuatan tercela, melakukan kejahatan dan
kelalaian yang terus menerus dalam menjalankan tugas pekerjaannya,
dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh
Presiden selaku Kepala Negara setelah diberi kesempatan membela
diri.
Hal itu dicantumkan dengan tegas dalam Undang-undang ini,
mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim, sedang dalam
kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya tetap berlaku ancaman-
ancaman terhadap perbuatan tercela sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50).
5. Undang-undang ini selain mengatur susunan dan kekuasaan juga
mengatur Hukum Acara Peradilan Agama.
Bagaimanapun sempurnanya lembaga peradilan itu dengan
penataan susunan organisasinya dan penegasan kekuasaannya, namun
bila alat untuk dapat menegakkan dan mempertahankan
271
kekuasaannya itu belum jelas, maka lembaga peradilan itu tidak
akan dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik. Oleh
karena itu maka pengaturan Hukum Acara Peradilan Agama itu sangat
penting dan karenanya pula maka sekaligus diatur dalam Undang-
undang ini.
Hukum Acara Peradilan Agama selama ini masih ada dalam
berbagai peraturan dan surat edaran, baik dalam Staatsblad, Peraturan
Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah Agung dan Departemen Agama
maupun dalam Undang-undang Perkawinan dan segala peraturan
pelaksanaannya.
Prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, antara lain ketentuan bahwa
sidang pengadilan harus terbuka untuk umum, setiap keputusan dimulai
dengan DEMI KEADILAN berdasar KETUHANAN YANG
MAHA ESA, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan dan ketentuan-ketentuan yang lain, dalam Undang-undang ini
lebih ditegaskan dan dicantumkan kembali.
Karena Peradilan Agama merupakan peradilan khusus dengan
kewenangan mengadili perkara-perkara tertentu dan untuk golongan
rakyat tertentu sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 10
ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu mengenai
perkara perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam, maka
hukum acara perdata pada Peradilan Umum oleh Undang-undang ini
dinyatakan berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Agama, kecuali mengenai hal-hal yang secara khusus diatur oleh
Undang-undang ini.
6. Peradilan Agama yaitu salah satu dari empat lingkungan peradilan
negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara-perkara
tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu, yaitu mereka yang
beragama Islam, sejajar dengan peradilan yang lain. Oleh karena itu,
hal-hal yang dapat mengurangi kedudukan Peradilan Agama oleh
Undang-undang ini dihapus, seperti pengukuhan keputusan Pengadilan
Agama oleh Pengadilan Negeri.
Sebaliknya untuk memantapkan kemandirian Peradilan Agama
oleh Undang-undang ini diadakan Juru Sita, sehingga Pengadilan
272
Agama dapat melaksanakan keputusannya sendiri, dan tugas-tugas
kepaniteraan dan kesekretariatan tidak terganggu oleh tugas-tugas
kejurusitaan.
7. Di samping itu perkara-perkara di bidang perkawinan merupakan
sengketa keluarga yang memerlukan penanganan secara khusus sesuai
dengan amanat Undang-undang Perkawinan. Oleh karena itu, maka
dalam Undang-undang ini diatur secara khusus hal-hal yang berkenaan
dengan sengketa perkawinan itu dan sekaligus untuk
meningkatkan pengaturan hukum acara sengketa perkawinan yang
sampai saat diundangkannya Undang-undang ini masih diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Undang-undang Perkawinan bertujuan antara lain melindungi
kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya, namun
dalam hal gugatan perceraian yang diajukan oleh istri, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa gugatan harus
diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat sesuai dengan prinsip hukum acara perdata umum.
Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam
Undang-undang ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediman
penggugat.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
273
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di
kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya
meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup
kemungkinan adanya pengecualian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Usul pembentukan Pengadilan Agama diajukan oleh Menteri Agama
berdasar persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
274
Ayat (3)
Cukup jelas
A ya t (2)
C ukup je la s
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Hakim yaitu pegawai negeri sehingga baginya berlaku Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Oleh karena itu, Menteri Agama wajib melakukan pemb