Rabu, 29 Januari 2025

hukum islam 6


 . 9/1975 o f marriage and Law No. 41/2004 o f  

religious endowment, book two o f the KHI have no other 

supporting legislation whilst articles available in the book two are 

very limited. Hence, there are many jurisprudential questions left 

by the KHI with regards o f Islamic inheritance in negara kita .

K a t a  K u n c i : Hukum Kewarisan Islam, Kompilasi Hukum Islam, Kepastian 

Hukum

Pendahuluan

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat 

Islam di dunia. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan 

kehidupan di negara atau daerah itu  memberi pengaruh atas hukum 

kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu terbatas pada perkara yang bukan 

merupakan hal pokok atau esensial dalam ketentuan waris Islam.

Khusus hukum kewarisan Islam di negara kita , ada beberapa perbedaan 

dikalangan para fuqaha yang pada garis besarnya terbagi menjadi dua 

golongan, yaitu: pertama, yang lazim disebut dengan madzhab sunny 

(madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) yang cenderung bersifat 

patrilineal dan kedua, ajaran Hazairin yang cenderung bilateral.

Dalam perkembangan hukum Islam di negara kita  selanjutnya lahirlah 

Kompilasi Hukum Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui 

dengan hadirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI 

yaitu  kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh, serta 

bahan-bahan lainnya yang merupakan hokum materil PA dalam 

meyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf. Kehadiran KHI 

ini dilatarbelakangi antara lain karena ketidakpastian dan kesimpangsiuran 

putusan PA terhadap masalah-masalah yang menjadi kewenangannya,

dipicu  dasar acuan putusannya yaitu  pendapat para ulama yang ada 

dalam kitab- kitab fiqh yang sering berbeda tentang hal yang sama antara 

yang satu dengan lainnya. Sehingga sering terjadi putusan yang berbeda 

antara satu PA dengan PA lainnya dalam masalah yang sama.

Tema utama penyusunan KHI ialah mempositifkan hukum Islam di 

negara kita , yang dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan 

tugasnya sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum. Sebab 

untuk dapat berlakunya hukum Islam di negara kita , harus ada antara lain 

hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan 

warga . Dengan lahirnya KHI, semua hakim di lingkungan PA 

diarahkam kepada persepsi penegakan hukum yang sama.

KHI terdiri atas tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II 

tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan. Pasal-pasal hukum 

perkawinan dalam Buku I yang terdiri dari 170 pasal, telah memuat materi 

hukum yang rinci. Di samping itu selain Buku I KHI juga telah ada UU lain 

yang mengatur tentang perkawinan, sepert i UU no. 1 th. 1974 dan PP no.9 

tahun 1975. Berbeda dengan hukum kewarisan dalam Buku II yang begitu 

singkat jika dibandingkan dengan hukum perkawinan. Hukum kewarisan 

hanya terdiri dari 23 pasal (pasal 171-193). Hukum perwakafan dalam 

Buku III juga singkat, yaitu 15 pasal, namun hukum perwakafan namun 

telah ada perundang - undangan lain yang mengaturnya, yaitu PP no. 28 

tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.

Dari uraian di atas tampaknya Buku II KHI ini memerlukan penjelasan 

lebih lanjut, karena banyak hal -hal yang tampaknya belum jelas dan belum 

dijelaskan. Hal ini seperti terlihat dalam perincian kelompok ahli waris, 

belum jelas siapa-siapa orangnya, bagaimana bagian masing-masing dan 

bagaimana tentang konsep pengganti ahi waris. Hal ini dikaitkan dengan 

tujuan dari penyusunan KHI itu sendiri, yaitu untuk terciptanya kesatuan 

pemahaman menuju kesatuan dan terciptanya kepastian hukum.

Dalam KHI buku II ini, walaupun singkat namun memuat beberapa 

masalah. Selain tentang kewarisan dalam Buku II KHI ini juga diatur tentang 

wasiat dan hibah. Adapun dalam tulisan ini hanya dibatasi pada pembahasan 

yang mengatur tentang kewarisan dan hal-hal yang berhubungan dengan 

kewarisan itu , terutama tentang kelompok ahli waris dan bagiannya 

masing-masing. Di sini juga akan dibahas tentang konsep pengganti ahli 

waris, hal ini karena terkait erat dengan masalah kewarisan.

Pengertian Hukum Kewarisan

Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada pasal 171 

ayat (a) yang berbunyi : "Hukum kewarisan yaitu  hukum yang mengatur 

tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, 

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa 

bagiannya masing-masing."

Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup 

ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris

2. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris

3. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan

4. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan 

dari pewaris kepada ahli waris

5. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.

Dari definisi ini juga tampak unsur-unsur pewarisan, yaitu; pewaris, 

ahli waris dan harta warisan atau tirkah.

Pewaris

Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b): "Pewaris yaitu  

orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal 

berdasar  putusan pengadilan beragama Islam, meniggalkan ahli waris 

dan harta peninggalan."

Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan 

disyaratkan untuk pewaris yaitu  telah meninggal dunia, baik secara hakiki 

ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang 

syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik 

secara hakiki, hukum atau takdiri.

Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan 

beragama Islam dan memiliki  ahli waris dan harta peninggalan. Syarat- 

syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.

Ahli Waris

Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal 171 ayat ( c ): 

"Ahli waris yaitu  orang yang pada saat meninggal dunia memiliki 

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama 

Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris"

Dari pasal 171 ayat (c) ini, pertama, menurut penulis perlu adanya 

penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan redaksi itu  seakan- 

akan yang meninggal itu yaitu  ahli waris, padahal yang dimaksud tentunya 

bukan demikian. Kedua, dari pengertian ahli waris di atas tidak disebutkan 

apakah ahli waris itu  disyaratkan hidup atau tidak seperti telah 

diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris bahwa salah satu syarat terjadinya 

pewarisan yaitu  hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara 

hakiki maupun hukum. Untuk yang kedua ini perlu penjelasan, karena hal 

ini akan terkait dengan pasal 185 tentang ahli waris pengganti, apakah 

mereka mewaris karena imperatif atau sebagai alternatif untuk mencapai 

keadilan seperti ditempuh oleh wasiat wajibah atau secara otomatis dan 

seharusnya mereka mendapatkannya seperti pendapat Hazairin.

Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi itu  yaitu  : "Ahli 

waris yaitu  orang yang masih hidup atau dinyatakan masih hidup oleh 

putusan pengadilan pada saat meninggalnya pewaris memiliki  hubungan 

darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan 

tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."

Selanjutnya ahli waris yang ada  pada KHI seperti itu  di atas 

pada dasarnya sama dengan ahli waris dalam kitab-kitab fiqh Islam, dengan 

pengecualian laki-laki dan perempuan yang memerdekakan budak, karena 

di negara kita  tidak ada perbudakan, namun dimungkinkan ada penambahan 

ahli waris pengganti seperti cucu laki-laki maupun perempuan dari anak 

perempuan bersamaan anak laki-laki, di mana anak perempuan itu  telah 

meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.

Dari pasal-pasal 174, 181, 182 dan 185, dapat dilihat bahwa ahli waris 

itu  terdiri atas :

1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, 

paman, kakek dan suami.

2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, 

nenek dan isteri

3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti yaitu  

seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki- laki atau 

perempuan. Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat 

disimpulkan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris yaitu ; memiliki  

hubungan darah atau hubungan perkawinan; beragama Islam. Tentang 

beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam pasal 172

194

KHI: "Ahli waris dipandang beragama Islam bila  diketahui dari 

kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedang  

bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut 

ayahnya atau lingkungannya."

4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Adapun 

tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya pewaris, seperti 

disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak dalam ketentuan ini, dan 

menurut penulis hal ini perlu ditegaskan.

A d a n y a  H a r t a  P e n i n g g a l a n  ( T i r k a h ) .

Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan 

terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ulama ada 

beberapa pendapat. Ada yang menyamakan dengan pengertian maurus (harta 

waris) ada juga yang memisahknnya, yaitu bahwa tirkah memiliki  arti 

yang lebih luas dari maurus. KHI yang merupakan intisari dari berbagai 

pendapat para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah, yaitu 

seperti dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan yaitu  harta yang 

ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi 

miliknya maupun hak-haknya."

sedang  tentang harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat (e) 

'"Harta waris yaitu  harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama 

setelah dipakai  untuk keperluan pewaris selama sakit sampai 

meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan 

pemberian untuk kerabat."

Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum harta 

peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia yaitu  berupa :

1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang, 

termasuk piutang yang akan ditagih.

2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar pada saat 

seseorang meninggal dunia

3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing- 

masing.

4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami atau isteri, 

misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa sebagai modal 

pertama dalam perkawinan yang harus kembali pada asalnya, yaitu 

suku itu .

195

Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan 

peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara induvidual kepada ahli waris, 

yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan 

suami atau isteri, harta bawaan dari klan dikurangi lagi dengan biaya untuk 

keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran 

hutang si mati dan wasiat.

Dari pengertian ini tampaknya KHI membedakan antara pengertian 

tirkah dan maurus .

Halangan Menjadi Ahli Waris

Salah satu syarat terjadinya pewarisan yaitu  tidak adanya halangan 

pewarisan. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris dalam KHI 

disebutkan pada pasal 173, yang berbunyi sebagai berikut:

"Seorang terhalang menjadi ahli waris bila  dengan putusan hakim yang 

telah memiliki  ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena :

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau 

menganiaya berat pada pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa 

pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan 

hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat".

Ketentuan terhalangnya seorang ahli waris sebagaimana disebutkan di 

atas, merupakan perluasan dari ketentuan mawani' al irs menurut para ulama 

dalam fiqh mawaris. Ketentuan di atas tampaknya diadopsi dari BW pasal 

838 tentang ketentuan orang-orang yang tidak pantas (onwardig)  untuk 

menerima warisan bagi kelompok ahli waris karena kematian (wettelijk 

erfrecht).

Jika dibandingkan terhalangnya seseorang menjadi ahli waris menurut 

KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh mawaris tampak bahwa yang 

terkandung dalam pasal 173 ini hanya pembunuhan. Adapun perbudakan dan 

berlainan agama tidak ada. Untuk perbudakan mungkin dapat diterima, 

karena di negara kita  tidak ada perbudakan. Adapun tentang berbeda agama 

walaupun tidak dicantumkan dalam pasal 173 yang mengatur tentang 

halangan seseorang menjadi ahli waris, namun sebenarnya KHI juga 

mengakui bahwa perbedaan agama menjadi penghalang pewarisan juga. Hal 

ini seperti diatur dalam pasal 171 ayat (b) dan ayat (c) tentang pewaris dan 

ahli waris yang harus beragama Islam. Dari kedua ayat ini dapat diketahui

196

bahwa beragama Islam menjadi salah satu syarat bagi pewaris dan ahli waris 

agar terjadi pewarisan. Karena beragama Islam menjadi salah satu syarat 

terjadi pewarisan, maka berbeda agama menjadi salah satu penghalang 

pewarisan. Jadi akan lebih baik bila  173 yang mengatur tentang 

terhalangnya seseorang menjadi ahli waris ditambah dengan berbeda agama.

Kelompok Ahli Waris

Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada pasal 174, 

selengkapnya pasal itu  berbunyi:

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, 

anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan 

perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan 

dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

2. bila  semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan

hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Pengelompokan ahli waris seperti di atas, merupakan pengelompokan 

berdasar  sebab-sebab terjadinya pewarisan, yaitu karena hubungan darah 

(nasabiyah), dan karena perkawinan (sababiyah). Jika dibandingkan dengan 

pengelompokan ahli waris menurut fiqh mawaris, tampaknya KHI tidak 

mencantumkan ahli waris karena hubungan wala atau perbudakan, ini karena 

di negara kita  tidak mengenal perbudakan. Selanjutnya menurut para ulama, 

dalam fiqh mawaris pengelompokan ahli waris itu juga terbagi atas tiga 

kelompok lain, yaitu: dzawi al furudh, ashabah dan dzawi al arham.

Jadi menurut para ulama dalam fiqh mawaris ada  pengelompokan 

yang jelas tentang ahli waris dan bagiannya serta cara membagikan bagian 

itu  kepada masing-masing ahli waris.

Hal ini jika dibandingkan dengan KHI, seperti yang tercantum dalam 

pasal 174, tampak bahwa pengelompokan ahli waris dalam fiqh mawaris 

lebih jelas dari pengelompokan ahli waris dalam KHI pasal 174. KHI hanya 

menyebutkan ahli waris berdasar  nasabiyah dan sababiyah saja. Adapun 

istilah dzawi al furudh dan ashabah tidak disebutkan dalam pengelompokan 

ahli waris tetapi disebutkan dalam pasal tentang aul dan radd ll Sedang 

tentang dzawi al arham, KHI tidak pernah menyebut istilah ini, baik dalam 

pasal-pasal maupun dalam penjelasannya.

197

Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa walaupun KHI tidak menyebutkan 

dzawi al furudh dan ashabah dalam pasal yang mengatur tentang 

pengelompokan ahli waris namun secara eksplisit KHI mengakuinya, seperti 

tercantum dalam pasal 192 dan 193, namun di sini masih belum jelas siapa- 

siapa saja yang termasuk dalam kedua kelompok itu  dan bagaimana 

penentuan bagian masing-masing.

Selanjutnya dalam pasal 174 ini, masih ada beberapa hal yang menjadi 

pertanyaan berkenaan dengan pengelompokan ahli waris, seperti kakek dan 

nenek, siapakah yang dimaksud? Karena menurut ulama sunni dalam fiqh 

mawaris kakek dan nenek itu tidak semua sama. Mereka dibedakan antara 

kakek dan nenek yang shahih yaitu  termasuk dzawi al furudh atau ashabah 

dan kakek dan nenek ghair ash shaih yang termasuk dalam dzawi al arham. 

Ataukah KHI tidak membedakan kakek dan nenek seperti penggolongan 

sunni itu , seperti yang dianut oleh madzhab Ja'fariyah.

Dari uraian di atas, nampak bahwa KHI tidak menyebut istilah dzawi al 

arham. KHI juga tidak mengatur secara jelas apa nama kelompok bagi ahli 

waris yang termasuk dzawi al arham itu . Mereka yang termasuk dzawi 

al arham ini antara lain yaitu  kakek ghair ash shaih seperti ayah dari ibu 

pewaris, anak-anak dari saudara perempuan dan saudara perempuan dari 

ayah. Dari sini dapat diketahui bahwa KHI belum secara jelas mengatur 

pengelompokan ahli waris itu . Demikian juga urutan prioritas 

penerimaannya.

Ketidakjelasan pengelompokan itu  akan menimbulkan persepsi 

yang berbeda dalam penyelesaian kasus kewarisan. Pemahaman ini mungkin 

akan berbenturan antara penyelesaian menurut fiqh mawaris sebagaimana 

dikemukakan oleh para ulama, dengan yang diinginkan oleh KHI itu sendiri, 

atau dengan dugaan bahwa KHI tidak mengenal kelompok dzawi al arham. 

Karena dalam madzhab Syi'ah yaitu Ja'fariyah tidak mengenal 

pengelompokan ahli waris atas tiga kelompok seperti ulama sunni di atas, 

demikian pula kewarisan Islam yang pernah ditawarkan Hazairin.

Beberapa contoh kasus yang mungkin menimbulkan permasalahan 

dalam penyelesaiannya antara lain sebagai berikut:

1. Ahli waris terdiri dari nenek, yaitu ibu dari ibu pewaris (ummu ummi al 

mayyit) dan kakek, yaitu ayah dari ibu pewaris (Abu ummi al mayyit). 

Nenek dalam contoh di atas termasuk dzawi al furudh (jaddat 

shahihat), sedang kakek termasuk dzawi al arham (Jadd ghair shahih). 

Menurut para ulama dalam fiqh mawaris, harta warisan seluruhnya 

jatuh ke tangan nenek melalui jalur r add, sedang kakek tidak mendapat 

bagian sama sekali. Dalam hal ini KHI tidak jelas mengaturnya, apakah

198

terhadap kakek yang termasuk dzawi al arham itu  KHI memberi 

bagian atau tidak.

2. Ahli waris terdiri dari nenek, yaitu ibu dari ayah dari ibu pewaris 

(;ummu abi ummi al mayyit) dan cucu laki-laki dari saudara laki-laki 

kakek shahih (Ibnu ibni akhi al j  add ash shahih). Dalam contoh ini 

nenek termasuk dzawi al arham (jaddat ghair ash shahihat), sedang  

cucu dari saudara kakek termasuk kelompok ashabah. Jadi harta 

warisan jatuh seluruhnya kepada cucu dari saudara kakek itu , 

sedang nenek tidak mendapat bagian. KHI dalam contoh di atas tidak 

jelas mengaturnya, sebab tidak menyebutkan secara jelas rincian nenek 

dan urutan prioritas penerimaan ahli waris.

Sehubungan dengan uraian di atas, dalam KHI perlu dipertegas tentang 

pengelompokan ahli waris dan perioritas penerimaannya. Hal ini sangat 

penting untuk tidak menimbulkan perbedaan penafsiran dalam rangka 

kesatuan persepsi menuju kejelasan dan kesatuan serta kepastian hukum. 

Sebagai acuan pengelompokan itu , bisa dipakai pengelompokan ahli 

waris menurut pendapat para ulama dalam fiqh mawaris, terutama dari flqh 

sunni yang telah lama dianut oleh umat Islam di negara kita  termasuk prioritas 

penerimaannya.

Ahli Waris Pengganti

Tentang ahli waris pengganti ini dalam KHI diatur dalam pasal 185 

KHI. Adapun bunyi lengkapnya yaitu  sebagai berikut:

1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dibandingkan  si pewaris maka 

kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang 

itu  dalam pasal 173.

2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli 

waris yang sederajat dengan yang digantikan.

Ketentuan ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam pasal 185 

itu  merupakan hal yang baru dalam hukum kewarisan Islam di 

negara kita . Menurut Yahya Harahap bahwa ketentuan ini merupakan 

terobosan terhadap penyelewengan hak cucu atas harta warisan ayah, bila  

ayah meninggal lebih dahulu dari pada kakek.

Dari pengertian ahli waris pengganti yang diberikan oleh Yahya 

Harahap itu , menurut penulis KHI tidak memberi batasan yang jelas,

199

maka pemahaman tentang ahli waris pengganti seperti dimaksud pasal 185 

ayat (1) itu dapat diartikan secara luas. Sehingga pengertian ahli waris yang 

digantikan itu meliputi garis lurus ke bawah dan juga dari garis 

menyamping. Jadi pasal ini selain bisa menampung cucu dari pewaris baik 

dari anak laki-laki atau perempuan juga bisa menampung anak-anak 

(keturunan) saudara-saudara yang lebih dahulu meninggal dunia dengan 

tentunya tetap memperhatikan aturan hijab menghijab antara derajat yang 

lebih tinggi dengan yang lebih rendah.

Pengaturan tentang cucu yang terhalang oleh saudara orang tuanya 

yang masih hidup inipun telah diatur di negara-negara Islam lainnya. Seperti 

Mesir yang memberlakukan wasiat wajibah, yang diikuti oleh Sudan, 

Suriah, Maroko, dan Tunisia dengan beberapa variasi. 15 Menurut Yusuf 

Qardhawi, pemerintah Mesir menjadikan wasiat wajibah dalam perundang- 

undangan merupakan perpaduan ijtihad iniqa’I  (selektif) dan insya’I  

(kreatif).

Abu Zahrah menambahkan kenyataan sering anak-anak yang kematian 

ayah itu  hidup dalam kemiskinan, sedang saudara-saudara ayahnya 

hidup dalam kecukupan. Anak yatim itu  menderita karena kehilangan 

ayah dan kehilangan hak kewarisan. Memang biasanya seseorang berwasiat 

untuk cucu yatim itu. Tetapi sering pula ia meninggal sebelum 

melakukannya, karena itulah Undang-Undang mengambil alih aturan yang 

tidak dikenal dalam madzhab-madzhab empat, tetapi menjadi pendapat 

beberapa ulama lain.

Kalau negara-negara Islam, seperti Mesir, Suriah, Maroko dan Tunisia 

memasukkan cucu atau cucu-cucu dalam kasus itu  dengan wasiat 

wajibah dengan beberapa variasi. sedang  Pakistan dan negara kita  

memakai konsep ahli waris pengganti.

Hal yang perlu diperhatikan dari pasal 185 ini yaitu  bahwa isi pasal 

itu  tidak bersifat imperatif (selalu digantikan) oleh anaknya. 18 Tetapi 

pasal ini bersifat tentatif atau altematf. Hal mana diserahkan kepada 

pertimbangan hakim Peradilan Agama menurut kasus demi kasus. Hal ini 

bisa dilihat dari kata d a p a t  dalam pasal itu . Sifat alternatif atau tidak 

imperatif dalam pasal 185 sudah tepat, sebab tujuan dimasukkannya ahli 

waris pengganti dalam KHI karena melihat pada kenyataan dalam beberapa 

kasus, kasihan terhadap cucu atau cucu-cucu pewaris.

Hal lain yang perlu diingat yaitu  bahwa bagian ahli waris pengganti 

tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, 

bahwa pengganti ahli waris sebenarnya bukan ahli waris, tetapi mendapat 

waris karena keadaan atau pertimbangan tertentu. Kalau mereka itu sejak

200

dari semula dianggap sebagai ahli waris yang kini menjadi pengganti ahli 

waris, tentu tidak diperlukan pembahasan khusus seperti yang disebutkan 

dalam ayat (2). Adanya ayat (2) ini sudah tepat sekali sehingga ahli waris 

yang sesungguhnya tidak akan terlalu dirugikan.

Penutup

Materi pengaturan hukum kewarisan dalam Buku IIKHI di samping memuat 

hal-hal baru dalam pewarisan Islam juga ada  kekurang sempumaan dan 

tampak masih banyak yang belum jelas, sehingga masih perlu 

disempurnakan. Namun demikian, ketentuan muatan hukum kewarisan 

sebagai bagian dari fiqh negara kita  yang juga berdimensi q a n u n  (hukum 

positif) bagi negara negara kita  perlu dipertahankan dan dikembangkan untuk 

diterapkan. Terutama bagi instansi terkait dan warga  yang memerlu­

kannya. Hal ini sangat penting untuk mengisi kekosongan hukum yang 

selama ini dibutuhkan oleh warga  muslim negara kita .

201

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di negara kita , Jakarta: Akademi 

Pressindo, 1992

Abu Bakar, Al Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan 

Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fiqh Madzhab, Jakarta : 

IN IS ,1998

Ash Shabuni, M. Ali Al Mawarits Fi Syariat al Islamiyyah 'ala Dhau'i 

Kitabi Wa as Sunnah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979

Coulson, The Succession In The Muslim Famili, Cambridge University 

Press, 1967

Fathurrahman, Hukum Waris, Bandung: Al Ma'arif, 1975

Harahap,Yahya, Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum 

Islam" Dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 

(Jakarta: Al Hikmah, 1992

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an Dan Hadith, Jakarta: 

Tintamas, 1982

Mahluf, Husnain Muhammad, Al Mawarits Fi Syari'at al Islamiyyah, Kairo: 

Mathbah al Madani, 1976

Qardhawi,Yusuf, Ijtihad Kotemporer, Terjemahan Abu Barzani, Surabaya: 

Risalah Guti, 1995

Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam 

Dengan Kewarisan KUH Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 1995

Rasyid, Raihan A. “Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat Wajibah” dalam 

Mimbar Hukum, No. 23, Jakarta: al Hikmah dan Depag RI, 1995

Sabiq, Sayid, Fiqh as Sunnah, Juz III, Semarang: Toha Putra, 1980

Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam dan perkembangannya Di Seluruh 

Dunia, Jakarta: Wijaya, 1984

Subekti R. dan Tjitrosudibjo R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 

Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982

Zahrah, M. Abu, A t Tirkah wa alMirats, (Kairo : Dar al Fikr,1975),

-------------------_5 jii Mirats 'Inda Ja'fariah, (Kairo: Dar al Fikr, tt),

202

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita  

NOMOR 41 TAHUN 2004 

TENTANG 

WAKAF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,

Menimbang : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang 

memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola 

secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan 

untuk memajukan kesejahteraan umum;

b. bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah 

lama hidup dan dilaksanakan dalam warga , yang 

pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar 

dalam berbagai peraturan perundang-undangan;

c. bahwa berdasar  pertimbangan sebagaimana 

dimaksud pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu 

membentuk Undang-Undang tentang Wakaf;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang-

Undang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama :

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita 

DAN

PRESIDEN REPUBLIK negara kita 

203

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.

BAB I

KETENTUAN UMUM  

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Wakaf yaitu  perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau 

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan 

selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan 

kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum 

menurut syariah.

2. Wakif yaitu  pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.

3. Ikrar Wakaf yaitu  pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara 

lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda 

miliknya.

4. Nazhir yaitu  pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif 

untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

5. Harta Benda Wakaf yaitu  harta benda yang memiliki daya tahan lama 

dan/atau manfaat jangka panjang serta memiliki  nilai ekonomi 

menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif.

6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, 

yaitu  pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk 

membuat akta Ikrar wakaf.

7. Badan Wakaf negara kita  yaitu  lembaga independen untuk 

mengembangkan perwakafan di negara kita .

8. Pemerintah yaitu  perangkat Negara Kesatuan Republik negara kita  

yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.

9. Menteri yaitu  menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.

204

BABU

DASAR-DASAR WAKAF

Bagian Pertama 

Umum

Pasal 2

Wakaf sah bila  dilaksanakan menurut syariah.

Pasal 3

Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.

Bagian Kedua 

Tujuan dan Fungsi Wakaf

Pasal 4

Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.

Pasal 5

Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda 

wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan 

umum.

Bagian Ketiga 

Unsur Wakaf

Pasal 6

Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:

a. Wakif;

b. Nazhir;

c. Harta Benda Wakaf;

d. Ikrar Wakaf;

e. peruntukan harta benda wakaf;

f. jangka waktu wakaf.

205

Bagian Keempat 

Wakif

Pasal 7

Wakif meliputi:

a. perseorangan;

b. organisasi;

c. badan hukum.

Pasal 8

(1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a 

hanya dapat melakukan wakaf bila  memenuhi persyaratan :

a. dewasa;

b. berakal sehal;

c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan

d. pemilik sah harta benda wakaf.

(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya 

dapat melakukan wakaf bila  memenuhi ketentuan organisasi untuk 

mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan 

anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.

(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c 

hanya dapat melakukan wakaf bila  memenuhi ketentuan badan 

hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum 

sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

Bagian Kelima 

Nazhir

Pasal 9

Nazhir meliputi:

a. perseorangan;

b. organisasi;

c. badan hukum.

206

Pasal 10

(1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya

dapat menjadi Nazhir bila  memenuhi persyaratan :

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. dewasa;

d. amanah;

e. mampu secara jasmani dan rohani; dan

f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat

menjadi Nazhir bila  memenuhi persyaratan :

a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan 

nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, 

kewarga an, dan/atau keagamaan Islam.

(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya

dapat menjadi Nazhir bila  memenuhi persyaratan :

a. pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan 

nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b. badan hukum negara kita  yang dibentuk sesuai dengan peraturan 

perundang-undangan yang berlaku; dan

c. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, 

pendidikan, kewarga an, dan/atau keagamaan Islam.

Pasal 11

Nazhir memiliki  tugas :

a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan 

tujuan, fungsi, dan peruntukannya;

c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf negara kita .

Pasal 12

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir 

dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan

207

pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% 

(sepuluh persen).

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, 

Nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf negara kita .

Pasal 14

(1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, 

Nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf negara kita .

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nazhir sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13, diatur dengan 

Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam 

Harta Benda Wakaf

Pasal 15

Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan bila  dimiliki dan 

dikuasai oleh Wakif secara sah.

Pasal 16

(1) Harta benda wakaf terdiri dari:

a. benda tidak bergerak; dan

b. benda bergerak.

(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

meliputi:

a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- 

undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum 

terdaftar;

b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah 

sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

208

d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu  

harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:

a. uang;

b. logam mulia;

c. surat berharga;

d. kendaraan;

e. hak atas kekayaan intelektual;

f. hak sewa; dan

g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan 

perundang-undangan yang bertaku.

Bagian Ketujuh 

Ikrar Wakaf

Pasal 17

(1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan 

PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

(2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara 

lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh 

PPAIW.

Pasal 18

Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak 

dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena atasan yang dibenarkan 

oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang 

diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.

Pasal 19

Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakaf atau kuasanya menyerahkan 

surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.

209

Pasal 20

Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan :

a. dewasa;

b. beragama Islam;

c. berakal sehat;

d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Pasal 21

(1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.

(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 

memuat:

a. nama dan identitas Wakif;

b. nama dan identitas Nazhir;

c. data dan keterangan harta benda wakaf;

d. peruntukan harta benda wakaf;

e. jangka waktu wakaf.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana 

dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan 

Peruntukan Harta Benda Wakaf

Pasal 22

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya 

dapat diperuntukan b ag i:

a. sarana dan kegiatan ibadah;

b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;

d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau

e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan 

dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

210

Pasal 23

(1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 22 dilakukan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf.

(2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, 

Nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang 

dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

Bagian Kesembilan 

Wakaf dengan Wasiat

Pasal 24

Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara tertulis hanya dapat 

dilakukan bila  disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang 

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.

Pasal 25

Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu 

pertiga) dari jumlah harta warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat, 

kecuali dengan persetujuan seluruh ahli waris.

Pasal 26

(1) Wakaf dengan wasiat dilaksanakan oleh penerima wasiat setelah 

pewasiat yang bersangkutan meninggal dunia.

(2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak 

sebagai kuasa wakaf.

(3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat 

(2) dilaksanakan sesuai dengan tata cara perwakafan yang diatur dalam 

Undang-undang ini.

Pasal 27

Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat, 

atas permintaan pihak yang berkepentingan, pengadilan dapat 

memerintahkan penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan 

wasiat.

211

Bagian Kesepuluh

Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang 

Pasal 28

Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga 

keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 29

(1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

28 dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang 

dilakukan secara tertulis.

(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.

(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 

diterbitkan dan disampaikan oleh Lembaga keuangan syariah kepada 

Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.

Pasal 30

Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda 

wakaf berupa uang kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari 

kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan 

Peraturan Pemerintah.

BAB III

PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN 

HARTA BENDA WAKAF

Pasal 32

PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi 

yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf 

ditandatangani.

212

Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

32, PPAIW menyerahkan:

a. salinan akta ikrar wakaf;

b. surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait 

lainnya.

Pasal 33

Pasal 34

Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.

Pasal 35

Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 

disampaikan oleh PPAIW kepada Nazhir.

Pasal 36

Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir 

melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan 

Badan Wakaf negara kita  atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah 

peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara 

pendaftaran harta benda wakaf.

Pasal 37

Menteri dan Badan Wakaf negara kita  mengadministrasikan pendaftaran harta 

benda wakaf.

Pasal 38

Menteri dan Badan Wakaf negara kita  mengumumkan kepada warga  

harta benda wakaf yang telah terdaftar.

Pasal 39

Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan 

pengumuman harta benda wakaf diatur dengan Peraturan Pemerintah.

213

BAB IV

PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF

Pasal 40

Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :

a. dij adikan j aminan;

b. disita;

c. dihibahkan;

d. dijual;

e. diwariskan;

f. ditukar; atau

g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Pasal 41

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f  dikecualikan 

bila  harta benda wakaf yang telah diwakafkan dipakai  untuk 

kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) 

berdasar  ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan 

tidak bertentangan dengan syariah.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya 

dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas 

persetujuan Badan Wakaf negara kita .

(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan 

pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar 

dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya 

sama dengan harta benda wakaf semula.

(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut 

dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF

Pasal 42

Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai

dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.

214

Pasal 43

(1) Rengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan 

prinsip syariah.

(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.

(3) Dalam hal pengetolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang 

dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka dipakai  lembaga 

penjamin syariah.

Pasal 44

(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir 

dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali 

atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf negara kita .

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan bila  

harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan 

peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.

Pasal 45

(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir 

diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain bila  Nazhir yang 

bersangkutan:

a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;

b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan 

perundang-undanga’n yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau 

Nazhir badan hukum;

c. atas permintaan sendiri;

d. tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan/atau melanggar 

ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta 

benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- 

undangan yang berlaku;

e. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah memiliki  

kekuatan hukum tetap.

(2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Wakaf negara kita .

(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh 

Nazhir lain karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan

215

dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang 

ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.

Pasal 46

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta 

benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan 

Pasal 45 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

BADAN WAKAF negara kita  

Bagian Pertama 

Kedudukan dan Tugas

Pasal 47

(1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, 

dibentuk Badan Wakaf negara kita .

(2) Badan Wakaf negara kita  merupakan lembaga independen dalam 

melaksanakan tugasnya.

Pasal 48

Badan Wakaf negara kita  berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik 

negara kita  dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau 

Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 49

(1) Badan Wakaf negara kita  memiliki  tugas dan wewenang :

a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan 

mengembangkan harta benda wakaf;

b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf 

berskala nasional dan internasional;

c. Memberi  persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan 

dan status harta benda wakaf;

d. memberhentikan dan mengganti Nazhir;

e. Memberi  persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;

216

f. Memberi  saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam 

penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan 

Wakaf negara kita  dapat bekeijasama dengan instansi Pemerintah baik 

Pusat maupun Daerah, organisasi warga , para ahli, badan 

internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.

Pasal 50

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan 

Wakaf negara kita  memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan 

Majelis Ulama negara kita .

Bagian Kedua 

Organisasi

Pasal 51

(1) Badan Wakaf negara kita  terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan 

Pertimbangan.

(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan 

unsur pelaksana tugas Badan Wakaf negara kita .

(3) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita .

Pasal 52

(1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf negara kita  

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1 

(satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari 

dan oleh para anggota.

(2) Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan 

Pertimbangan Badan Wakaf negara kita  sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) ditetapkan oleh para anggota.

217

Bagian Ketiga 

Anggota

Pasal 53

Jumlah anggota Badan Wakaf negara kita  terdiri dari paling sedikit 20 (dua 

puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari 

unsur warga .

Pasal 54

(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf negara kita , setiap 

calon anggota harus memenuhi persyaratan :

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. dewasa;

d. amanah;

e. mampu secara jasmani dan rohani;

f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;

g. memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di 

bidang perwakafan dan/atau ekonomi, khususnya di bidang 

ekonomi syariah; dan

h. memiliki  komitmen yang tinggi untuk mengembangkan 

perwakafan nasional.

(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan 

mengenai persyaratan lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf 

negara kita  ditetapkan oleh Badan Wakaf negara kita .

Bagian Keempat

Pengangkatan dan Pemberhentian 

Pasal 55

(1) Keanggotaan Badan Wakaf negara kita  diangkat dan diberhentikan oleh 

Presiden.

(2) Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf negara kita  di daerah diangkat 

dan diberhentikan oleh Badan Wakaf negara kita .

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan 

pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 

ayat (2) diatur dengan peraturan Badan Wakaf negara kita .

218

Pasal 56

Keanggotaan Badan Wakaf negara kita  diangkat untuk masa jabatan selama 

3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Pasal 57

(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf 

negara kita  diusulkan kepada Presiden oleh Menteri.

(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf negara kita  kepada 

Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf negara kita .

(3) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan 

Wakaf negara kita  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh 

Badan Wakaf negara kita , yang pelaksanaannya terbuka untuk umum.

Pasal 58

Keanggotaan Badan Wakaf negara kita  yang berhenti sebelum berakhirnya 

masa j abatan diatur oleh Badan Wakaf negara kita .

Bagian Kelima 

Pembiayaan

Pasal 59

Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita , Pemerintah 

wajib membantu biaya operasional.

Bagian Keenam 

Ketentuan Pelaksanaan

Pasal 60

Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi, per­

syaratan, dan tata cara pemilihan anggota serta susunan keanggotaan dan tata 

kerja Badan Wakaf negara kita  diatur oleh Badan Wakaf negara kita .

219

Bagian Ketujuh 

Pertanggungjawaban

Pasal 61

(1) Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita  

dilakukan melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit 

independen dan disampaikan kepada Menteri.

(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan 

kepada warga .

BAB VII

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 62

(1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah 

untuk mencapai mufakat.

(2) bila  penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, 

atau pengadilan.

BAB VIII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 63

(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap 

penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tu juan dan fungsi wakaf.

(2) Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

Menteri mengikutsertakan Badan Wakaf negara kita .

(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 

ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan 

Majelis Ulama negara kita .

Pasal 64

Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf negara kita  dapat 

melakukan kerja sama dengan organisasi warga , para ahli, badan 

internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.

220

Dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat memakai  akuntan 

publik.

Pasal 65

Pasal 66

Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan oleh

Menteri dan Badan Wakaf negara kita  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63,

Pasal 64, dan Pasal 65 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA 

DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Pertama 

Ketentuan Pidana

Pasal 67

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, 

menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak 

lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf 

yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/  

atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta 

rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda 

wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana 

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana 

denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja memakai  atau mengambil 

fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf 

melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ 

atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta 

rupiah).

221

Bagian Kedua 

Sanksi Administratif

Pasal 68

(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak 

didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan 

PPAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 32.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang 

wakaf bagi lembaga keuangan syariah;

c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan 

PPAIW.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan 

Peraturan Pemerintah.

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 69

(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, wakaf yang dilakukan 

berdasar  ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 

sebelum diundangkannya Undang-undang ini, dinyatakan sah sebagai 

wakaf menurut Undang-undang ini.

(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan 

diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini 

diundangkan.

Pasal 70

Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan 

masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti 

dengan peraturan yang baru berdasar  Undang-undang ini.

222

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 71

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- 

undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 

negara kita .

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 27 Oktober 2004

PRESIDEN REPUBLIK negara kita 

ttd..

Dr. H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta 

pada tanggal 27 Oktober 2004

MENTERI SEKRETARIS NEGARA 

REPUBLIK negara kita ,

ttd.

PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita  TAHUN 2004 NOMOR 159

223

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita  

NOMOR 41 TAHUN 2004 

TENTANG 

WAKAF

L UMUM

Tujuan Negara Kesatuan Republik negara kita  sebagaimana diamanatkan 

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita  

Tahun 1945 antara lain yaitu  memajukan kesejahteraan umum. Untuk 

mencapai tujuan itu , perlu menggali dan mengembangkan potensi 

yang ada  dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat 

ekonomis.

Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, 

perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak 

hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi 

juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk 

memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan 

pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.

Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan warga  belum 

sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus 

harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar 

atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. 

Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau 

ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta 

benda wakaf tetapi karena juga sikap warga  yang kurang peduli 

atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya

224

dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, 

fungsi, dan peruntukan wakaf.

berdasar  pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan 

hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional perlu dibentuk 

Undang-undang tentang Wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai 

perwakafan berdasar  syariah dan peraturan perundang-undangan 

dicantumkan kembali dalam Undang-undang ini, namun ada  pula 

berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain sebagai berikut:

1. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna 

melindungi harta benda wakaf, Undang-undang ini menegaskan 

bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam 

akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang 

pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur 

dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai 

wakaf dan harus dilaksanakan. Undang-undang ini tidak 

memisahkan antara wakaf-ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan 

harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan 

wakaf-khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan warga  

umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum 

cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah 

dan bangunan, menurut Undang-undang ini Wakif dapat pula 

mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta benda wakaf 

bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam 

mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intetektual, hak 

sewa, dan benda bergerak lainnya.

Dalam hal benda bergerak berupa uang, Wakif dapat mewakafkan 

melalui Lembaga Keuangan Syariah.

Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah yaitu  badan 

hukum negara kita  yang dibentuk sesuai dengan peraturan 

perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang 

keuangan syariah, misalnya badan hukum di bidang perbankan 

syariah.

Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa uang melalui 

Lembaga Keuangan Syariah dimaksudkan agar memudahkan Wakif 

untuk mewakafkan uang miliknya.

3. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan 

sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan

225

kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat 

ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan 

harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi 

dalam arti luas sepanjang pengelolaan itu  sesuai dengan 

prinsip manajemen dan ekonomi Syariah.

4. Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak 

ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan 

kemampuan profesional Nazhir.

5. Undang-Undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf 

negara kita  yang dapat memiliki  perwakafan di daerah sesuai 

dengan kebutuhan. Badan itu  merupakan lembaga independen 

yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan 

pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan 

pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan 

internasional, Memberi  persetujuan atas perubahan peruntukan 

dan status harta benda wakaf, dan Memberi  saran dan 

pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di 

bidang perwakafan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan 

hukum yaitu  perseorangan warga negara negara kita  atau warga

negara asing, organisasi negara kita  atau organisasi asing dan/atau 

badan hukum negara kita  atau badan hukum asing.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan 

hukum yaitu  perseorangan warga negara negara kita , organisasi 

negara kita  dan/atau badan hukum negara kita .

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14 

Ayat (1)

Dalam rangka pendaftaran Nazhir, Menteri harus proaktif untuk 

mendaftar para Nazhir yang sudah ada dalam warga .

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16 

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Yang dimaksud benda bergerak lain sesuai dengan syariah 

dan peraturan yang berlaku, antara lain mushaf, buku, dan 

kitab.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Penyerahan surat-surat atau dokumen kepemilikan atas harta benda 

wakaf oleh Wakif atau kuasanya kepada PPAIW dimaksudkan agar 

diperoleh kepastian keberadaan harta benda wakaf dan kebenaran 

adanya hak Wakif atas harta benda wakaf dimaksud.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Yang dimaksud dengan pengadilan yaitu  pengadilan agama.

Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan antara lain para 

ahli waris, saksi, dan pihak penerima peruntukan wakaf.

Pasal 28

Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah yaitu  badan 

hukum negara kita  yang bergerak di bidang keuangan syariah.

Pasal 29

Ayat (1)

Pernyataan kehendak Wakif secara tertulis itu  dilakukan 

kepada Lembaga Keuangan Syariah dimaksud.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu  Badan 

Pertanahan Nasional.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yaitu  instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d  g o o d s )  yaitu  Badan Wakaf 

negara kita .

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu  Badan 

Pertanahan Nasional.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yaitu  instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d  g o o d s )  yaitu  Badan Wakaf 

negara kita .

Yang dimaksud dengan bukti pendaftaran harta benda wakaf yaitu  

surat keterangan yang dikeluarkan oleh instansi Pemerintah yang 

berwenang yang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan 

tercatat pada negara dengan status sebagai harta benda wakaf.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu  Badan 

Pertanahan Nasional.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yaitu  instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d  g o o d s )  yaitu  Badan Wakaf 

negara kita .

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Yang dimaksud dengan mengumumkan harta benda wakaf yaitu  

dengan memasukan data tentang harta benda wakaf dalam register

umum. Dengan dimasukannya data tentang harta benda wakaf dalam

register umum, maka terpenuhi asas publisitas dari wakaf sehingga

warga  dapat mengakses data itu .

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan 

secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, 

penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, 

pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, 

pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar 

swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun 

sarana kesehatan, dan usaha-usaha yang tidak bertentangan 

dengan syariah.

Yang dimaksud dengan lembaga penjamin syariah yaitu  badan 

hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu 

kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim 

asuransi syariah atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.


Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Pembentukan perwakilan Badan Wakaf negara kita  di daerah 

dilakukan setelah Badan Wakaf negara kita  berkonsultasi dengan 

pemerintah daerah setempat.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.


Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan mediasi yaitu  penyelesaian sengketa 

dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh 

para pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil 

menyelesaikan sengketa, maka sengketa itu  dapat dibawa 

kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase 

syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa 

itu  dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah 

syar'iyah.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.


Pasal 71

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita  NOMOR 4459


PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita  

NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG

PERADILAN AGAMA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,

Menimbang : a. bahwa Negara Republik negara kita , sebagai negara 

hukum yang berdasar  Pancasila dan Undang-Undang 

Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan 

bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;

b. bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan itu  dan 

menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam 

hukum diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, 

kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang 

mampu Memberi  pengayoman kepada warga ;

c. bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, 

kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum itu  

yaitu  melalui Peradilan Agama sebagaimana yang 

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan 

Kehakiman;

d. bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan, dan 

hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan 

Agama yang selama ini masih beraneka karena 

didasarkan pada:

1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan 

Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152

dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 

116 dan 610);

2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan 

Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan 

Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 

638 dan 639);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 

tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ 

Mahkamah Syar'iyah di Luar Jawa dan Madura 

(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).

e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan itu , dan 

untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 

1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan 

Kehakiman dipandang perlu menetapkan undang- 

undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum 

aeara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;

Mengingat : L Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) Pasal 24, dan Pasal 25 

Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 

(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan 

Lembaran Negara Nomor 2951);

3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985 

Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita  

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.


BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama 

Pengertian

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Peradilan Agama yaitu  peradilan bagi orang-orang yang beragama 

Islam.

2. Pengadilan yaitu  Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di 

lingkungan Peradilan Agama.

3. Hakim yaitu  Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada 

Pengadilan Tinggi Agama.

4. Pegawai Pencatat Nikah yaitu  Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor 

Urusan Agama.

5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti yaitu  Juru Sita dan atau Juru 

Sita Pengganti pada Pengadilan Agama.

Bagian Kedua 

Kedudukan

Pasal 2

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan 

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai 

perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 3

(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan 

o leh :

a. Pengadilan Agama;

b. Pengadilan Tinggi Agama.

(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada 

Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.


Bagian Ketiga 

Tempat Kedudukan

Pasal 4

(1) Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota 

kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau 

kabupaten.

(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi, dan 

daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.

Bagian Keempat 

Pembinaan

Pasal 5

(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah 

Agung.

(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan 

dilakukan oleh Menteri Agama.

(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) 

tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan 

memutus perkara.

BABU

SUSUNAN PENGADILAN

Bagian Pertama 

Umum

Pasal 6

Pengadilan terdiri dari:

1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;

2. Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat 

Banding.


Pasal 7

Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.

Pasal 8

Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang.

Pasal 9

(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, 

Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.

(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim 

Anggota, Panitera, dan Sekretaris.

Pasal 10

(1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang 

Wakil Ketua.

(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan 

seorang Wakil Ketua.

(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama yaitu  Hakim Tinggi.

Bagian Kedua

Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, dan Juru Sita 

Paragraf 1

Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim 

Pasal 11

(1) Hakim yaitu  pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.

(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan 

tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Pasal 12

(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai 

negeri dilakukan oleh Menteri Agama.

239

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 

(1) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan 

memutus perkara.

Pasal 13

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang 

calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

e. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis 

negara kita , termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang 

yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan 

Kontra Revolusi G.30.S/PKI", atau organisasi terlarang yang lain;

f. pegawai negeri;

g. sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;

h. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;

i. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan 

Agama diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun 

sebagai Hakim Pengadilan Agama.

Pasal 14

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) 

huruf a, b, c, d, e, f, g, dan i;

b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;

c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua 

atau Wakil Ketua Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun 

sebagai Hakim Pengadilan Agama.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama 

diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai 

Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 5 (lima) 

tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat 

Ketua Pengadilan Agama.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama 

diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun sebagai 

Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau, sekurang-kurangnya 3 (tiga) 

tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat 

Ketua Pengadilan Agama.

Pasal 15

(1) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara 

atas usul Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua Mahkamah 

Agung.

(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh 

Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 16

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib 

mengucapkan sumpah menurut agama Islam yang berbunyi sebagai 

berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan 

saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan memakai  nama atau 

cara apa pun juga, tidak Memberi  atau menjanjikan barang sesuatu 

kepada siapa pun juga".

"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan 

sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung 

atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian". 

"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan 

mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan 

ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang- 

undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik 

negara kita ".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan 

saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan 

orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik- 

baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil 

Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam 

menegakkan hukum dan keadilan".

(2) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh 

Ketua Pengadilan Agama.

(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua 

Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi 

Agama.

(4) Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh Ketua 

Mahkamah Agung.

Pasal 17

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar  undang-undang, Hakim 

tidak boleh merangkap menjadi:

a. pelaksana putusan Pengadilan;

b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara 

yang diperiksa olehnya;

c. pengusaha.

(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan 

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih 

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari 

jabatannya karena:

a. permintaan sendiri;

b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;

c. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, 

dan Hakim Pengadilan Agama, dan 63 (enam puluh tiga) tahun 

bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama;

d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan 

sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden 

selaku Kepala Negara.

Pasal 19

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat 

dari jabatannya dengan alasan :

a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;

b. melakukan perbuatan tercela;

c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas 

pekerjaannya;

d. melanggar sumpah j abatan;

e. melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17.

(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan 

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan e 

dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya 

untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.

(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta 

tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung 

bersama-sama dengan Menteri Agama.

Pasal 20

Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya

diberhentikan sebagai pegawai negeri.

Pasal 21

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan 

hormat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat 

diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala 

Negara atas usul Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua 

Mahkamah Agung.

(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana yang 

dimaksud dalam ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana yang 

dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

Pasal 22

(1) bila  terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang 

diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim itu  

diberhentikan sementara dari jabatannya.

(2) bila  seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam perkara 

pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang- 

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa 

ditahan, maka ia dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.


Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan 

hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara 

serta hak-hak pejabat yang dikenakan pemberhentian, diatur dengan 

Peraturan Pemerintah.

Pasal 24

(1) Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.

(2) Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, 

dan Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 25

Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya

atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah

Agung dan Menteri Agama, kecuali dalam h a l:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau

b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam 

dengan pidana mati, atau

c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan 

negara.

Paragraf 2

Panitera

Pasal 26

(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin 

oleh seorang Panitera.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu 

oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa 

orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Juru Sita.

(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi Agama 

dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, 

dan beberapa orang Panitera Pengganti.


Pasal 27

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Agama, seorang 

calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah atau sarjana muda 

hukum yang menguasai hukum Islam;

f. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil 

Panitera atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Agama, 

atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama.

Pasal 28

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

dan d;

b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum 

Islam;

c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil 

Panitera atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan 

Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Pengadilan 

Agama.

Pasal 29

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

d, dan e;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera 

Muda atau 6 (enam) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan 

Agama.


Pasal 30

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi 

Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

dan d;

b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum 

Islam;

c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera 

Muda atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan 

Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan 

Agama, atau menjabat Panitera Pengadilan Agama.

Pasal 31

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

d, dan e;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera 

Pengganti Pengadilan Agama.

Pasal 32

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi 

Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

d, dan e;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera 

Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai 

Panitera Muda atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Pengganti 

Pengadilan Agama, atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Agama.

Pasal 33

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

d, dan e;


b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai

negeri pada Pengadilan Agama.

Pasal 34

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi 

Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

d, dan e;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Panitera 

Pengganti Pengadilan Agama atau 10 (sepuluh) tahun sebagai pegawai 

negeri pada Pengadilan Tinggi Agama.

Pasal 35

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar  undang-undang, Panitera 

tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang 

berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai 

Panitera.

(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan 

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih 

lanjut oleh Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua Mahkamah 

Agung.

Pasal 36

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti 

Pengadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Agama.

Pasal 37

Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera 

Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpahnya menurut agama Islam 

oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Bunyi sumpah yaitu  sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya 

ini, langsung atau tidak langsung dengan memakai  nama atau cara apa 

pun juga, tidak Memberi  atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa 

pun juga".


"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan 

sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau 

tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan 

serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang- 

Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang 

berlaku bagi Negara Republik negara kita ".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini 

dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan 

berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil- 

adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera 

Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan 

hukum dan keadilan".

Paragraf 3 

Juru Sita

Pasal 38

Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita 

Pengganti.

Pasal 39

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita, seorang calon harus memenuhi 

syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

e. berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas;

f. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Juru 

Sita Pengganti.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita Pengganti, seorang calon harus 

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a, 

b, c, d, dan e;

248

Pasal 40

(1) Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama atas usul 

Ketua Pengadilan Agama.

(2) Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan 

Agama.

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai

pegawai negeri pada Pengadilan Agama.

Pasal 41

Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita dan Juru Sita Pengganti 

diambil sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan Agama.

Bunyi sumpah yaitu  sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya 

ini, langsung atau tidak langsung, dengan memakai  nama atau cara apa 

pun juga, tidak Memberi  atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa 

pun juga".

"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan 

sesusatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau 

tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan 

serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang- 

Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang 

berlaku bagi Negara Republik negara kita ".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini 

dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan 

berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil- 

adilnya seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita Pengganti yang 

berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

Pasal 42

(1) Kecuali ditentutakan lain oleh atau berdasar  undang-undang, Juru 

Sita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang 

berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.

(2) Juni Sita tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.

249

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain jabatan 

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih 

lanjut oleh Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua Mahkamah 

Agung.

Bagian Ketiga 

Sekretaris

Pasal 43

Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin 

oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.

Pasal 44

Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.

Pasal 45

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah, atau sarjana muda 

hukum yang menguasai hukum Islam atau sarjana muda administrasi;

f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.

Pasal 46

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi 

Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, b, c, 

d, dan f;

b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum 

Islam.


Pasal 47

Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri 

Agama.

Pasal 48

Sebelum memangku jabatannya Wakil Sekretaris diambil sumpahnya 

menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Bunyi sumpah yaitu  sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah :

bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan taat 

sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan 

Pemerintah;

bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang 

berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya 

dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;

bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, 

Pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa 

mengutamakan kepentingan negara dibandingkan  kepentingan saya sendiri, 

seseorang atau golongan;

bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau 

menurut perintah harus saya rahasiakan;

bahwa saya, akan bekeija dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat 

untuk kepentingan negara".



KEKUASAAN PENGADILAN 

Pasal 49

(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan 

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang 

yang beragama Islam di bidang :

a. perkawinan;

b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasar  hukum 

Islam;

c. wakaf dan shadaqah.

251

(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a 

ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasar  undang-undang 

mengenai perkawinan yang berlaku.

(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b 

ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan 

mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli 

waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan itu .

Pasal 50

Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain

dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka

khusus mengenai objek yang menjadi sengketa itu  harus diputus lebih

dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Pasal 51

(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara 

yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.

(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di 

tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar- 

Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

Pasal 52

(1) Pengadilan dapat Memberi  keterangan, pertimbangan, dan nasihat 

tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, 

bila  diminta.

(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 

49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain 

oleh atau berdasar  undang-undang.

Pasal 53

(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan 

tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di daerah 

hukumnya.

(2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), Ketua 

Pengadilan Tinggi Agama di daerah hukumnya melakukan pengawasan

252

terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga 

agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam 

ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat Memberi  petunjuk, 

teguran, dan peringatan, yang dipandang perlu.

(4) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ayat (2), dan 

ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa 

dan memutus perkara.



HUKUM ACARA

Bagian Pertama 

Umum

Pasal 54

Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan 

Peradilan Agama yaitu  Hukum Acara Perdata yang berlaku pada 

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur 

secara khusus dalam Undang-undang ini.

Pasal 55

Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimuali sesudah diajukannya 

suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah 

dipanggil menurut ketentuan yang berlaku.

Pasal 56

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu 

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang 

jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup 

kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.

Pasal 57

(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN berdasar  

KETUHANAN YANG MAHA ESA.

253

(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI

KEADILAN berdasar  KETUHANAN YANG MAHA ESA.

(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 58

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan 

orang.

(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras- 

kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya 

peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 59

(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali bila  

undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan 

penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa 

pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan 

sidang tertutup.

(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat

(1) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau 

putusannya batal menurut hukum.

(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.

Pasal 60

Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan memiliki  kekuatan 

hukum bila  diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 61

Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan 

banding oleh pihak yang berperkara, kecuali bila  undang-undang 

menentukan lain.

Pasal 62

(1) Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus memuat alasan- 

alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari

peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis 

yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangai oleh Ketua dan 

Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada 

waktu penetapan dan putusan itu diucapkan.

(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua dan 

Panitera yang bersidang.

Pasal 63

Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat 

dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.

Pasal 64

Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau 

kasasi, pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali bila  dalam amarnya 

menyatakan penetapan atau putusan itu  dapat dijalankan lebih dahulu 

meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi.

Bagian Kedua

Pemeriksaan Sengketa Perkawinan

Paragaraf1 

Umum

Pasal 65

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah 

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan 

kedua belah pihak.

Paragraf 2 

Cerai Talak

Pasal 66

(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya 

mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang 

guna menyaksikan ikrar talak.

(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan 

kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman 

termohon, kecuali bila  termohon dengan sengaja meninggalkan 

tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan 

diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat 

kediaman pemohon.

(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, 

maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya 

meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada 

Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta 

bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan 

cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

Pasal 67

Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas

memuat:

a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan 

termohon, yaitu istri;

a. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.

Pasal 68

(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim 

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat 

permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 69

Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan

Pasal 79, Pasal 80 ayat (2), Pasal 82, dan Pasal 83.

Pasal 70

(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak 

mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka 

Pengadilan menetapkan bahwa permohonan itu  dikabulkan.

256

(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri 

dapat mengajukan banding.

(3) Setelah penetapan itu  memperoleh kekuatan hukum tetap, 

Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan 

memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang 

itu .

(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam 

suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar 

talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.

(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak 

datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami 

atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau 

wakilnya.

(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari 

sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau 

tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara 

sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan itu , dan 

perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasar  alasan yang sama.

Pasal 71

(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar 

talak.

(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan 

putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan itu  tidak dapat 

dimintakan banding atau kasasi.

Pasal 72

Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71 berlaku

ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),

serta Pasal 85.

Paragraf 3 

Cerai Gugat

Pasal 73

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada 

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman

penggugat, kecuali bila  penggugat dengan sengaja meninggalkan 

tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan 

perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi 

tempat kediaman tergugat.

(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, 

maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya 

meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada 

Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Pasal 74

bila  gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak 

mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, 

sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan 

yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang 

menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 75

bila  gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat 

mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan 

kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk 

memeriksakan diri kepada dokter.

Pasal 76

(1) bila  gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk 

mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi 

yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami 

istri.

(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat 

persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih 

dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi 

hakam.

Pasal 77

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan 

penggugat atau tergugat atau berdasar  pertimbangan bahaya yang

mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri itu  

untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

Pasal 78

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan peng­

gugat, Pengadilan dapat :

a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;

b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan 

pendidikan anak;

c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang- 

barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang 

menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Pasal 79

Gugatan perceraian gugur bila  suami atau istri meninggal sebelum 

adanya putusan Pengadilan.

Pasal 80

(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim 

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat 

gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 81

(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam 

sidang terbuka untuk umum.

(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya 

terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 82

(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha 

mendamaikan kedua pihak.

(2) Dalam sidang perdamaian itu , suami istri harus datang secara 

pribadi, kecuali bila  salah satu pihak bertempat kediaman di luar 

negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili 

oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

259

(3) bila  kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka 

penggugat pada sidang perdamaian itu  harus menghadap secara 

pribadi.

(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan 

pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 83

bila  tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan

perceraian baru berdasar  alasan yang ada dan telah diketahui oleh

penggugat sebelum perdamaian tercapai.

Pasal 84

(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk 

berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan 

satu helai salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan 

hukum tetap, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang 

wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk 

mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang.disediakan 

untuk itu.

(2) bila  perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah 

Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu 

helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang 

telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan 

pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan 

dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah itu  dicatat pada 

bagian pinggir daftar catatan perkawinan.

(3) bila  perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai 

salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) 

disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat 

didaftarkannya perkawinan mereka di negara kita .

(4) Panitera berkewajiban Memberi  akta cerai sebagai surat bukti cerai 

kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah 

putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap itu  diberitahukan 

kepada para pihak.


Pasal 85

Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud 

dalam Pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau 

pejabat Pengadilan yang ditunjuk, bila  yang demikian itu mengakibatkan 

kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.

Pasal 86

(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta 

bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan 

perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan 

hukum tetap.

(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih 

dahulu perkara harta bersama itu  sampai ada putusan Pengadilan 

dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan 

hukum tetap tentang hal itu.

Paragraf 4

Cerai Dengan Alasan Zina 

Pasal 87

(1) bila  permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu 

pihak melakukan zina, sedang  pemohon atau penggugat tidak dapat 

melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan 

itu , dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu 

bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti 

tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat 

maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya 

dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.

(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk mene­

guhkan sanggahannya dengan cara yang sama.

Pasal 88

(1) bila  sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) 

dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan 

dengan cara li'an.

261

(2) bila  sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) 

dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum 

acara yang berlaku.

Bagian Ketiga 

Biaya Perkara

Pasal 89

(1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat 

atau pemohon.

(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan 

merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam 

penetapan atau putusan akhir.

Pasal 90

(1) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:

a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk 

perkara itu;

b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya 

pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu;

c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat 

dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan oleh Pengadilan dalam 

perkara itu;

d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah 

Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu.

(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan 

Mahkamah Agung.

Pasal 91

(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 

harus dimuat dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.

(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu pihak 

berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam perkara itu, 

harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan 

Pengadilan.

262

BAB V

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN 

Pasal 92

Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.

Pasal 93

Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat- 

surat lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan 

kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan.

Pasal 94

Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasar  

nomor urut, tetapi bila  ada  perkara tertentu yang karena menyangkut 

kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan.

Pasal 95

Ketua Pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan 

penetapan atau putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum 

tetap.

Pasal 96

Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara 

dan mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.

Pasal 97

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti 

bertugas membantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang 

Pengadilan.

Pasal 98

Panitera bertugas melaksanakan penetapan atau putusan Pengadilan.

263

Pasal 99

(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di 

Kepaniteraan.

(2) Dalam daftar perkara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tiap 

perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.

Pasal 100

Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan 

Pengadilan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 101

(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, penetapan 

atau putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan 

pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lain 

yang disimpan di Kepaniteraan.

(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak 

boleh dibawa keluar dari ruangan Kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua 

Pengadilan berdasar  ketentuan undang-undang.

(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan penetapan atau 

putusan, risalah, berita acara, akta, dan surat-surat lain diatur oleh 

Mahkamah Agung.

Pasal 102

Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja Kepaniteraan Pengadilan 

diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

Pasal 103

(1) Juru Sita bertugas :

a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;

b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan 

pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara- 

cara berdasar  ketentuan undang-undang,

c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan;

d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan 

kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

264

(2) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan 

yang bersangkutan.

Pasal 104

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Juru Sita diatur 

oleh Mahkamah Agung.

Pasal 105

(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum 

Pengadilan.

(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja 

Sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 106

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini;

1. semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai 

Badan Peradilan Agama menurut Undang-undang ini;

2. semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan 

Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasar  

Undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak 

bertentangan dengan Undang-undang ini.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP 

Pasal 107

(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:

a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura 

(Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 

Nomor 116 dan Nomor 610);

b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar 

untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur 

(Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);

265

c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang 

Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar 

Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99), dan

d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) 

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 

(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran 

Negara Nomor 3019), dinyatakan tidak berlaku.

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a Reglemen 

negara kita  yang diperbaharui (RIB), Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, 

mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di 

luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yangdilakukan 

berdasar  hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 108

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- 

undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 

negara kita .

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 29 Desember 1989

PRESIDEN REPUBLIK negara kita 

ttd..

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta 

pada tanggal 29 Desember 1989

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA 

REPUBLIK negara kita ,

ttd.

MOERDIONO

266

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita  

NOMOR 7 TAHUN 1989 

TENTANG

PERADILAN AGAMA

UMUM

1. Dalam Negara Hukum Republik negara kita  yang berdasar  Pancasila 

dan Undang-Undang Dasar 1945, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan 

kepastian hukum dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan 

hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana 

perikehidupan yang aman, tenteram, dan, tertib seperti yang 

diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu, 

untuk mewujudkan hal-hal itu  dibutuhkan adanya lembaga yang 

bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna 

menegakkan hukum dan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga 

untuk menegakkan hukum dalam mencapai keadilan, kebenaran, 

ketertiban, dan kepastian hukum yaitu  badan-badan peradilan 

sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 

1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang 

masing-masing memiliki  lingkup kewenangan mengadili perkara 

atau sengketa di bidang tertentu dan salah satunya yaitu  Badan 

Peradilan Agama.

Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum Badan 

Peradilan Agama sebelum Undang-undang ini yaitu  :

267

a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura 

(Staatsblad 1882 Nomor 152 dan Staatsblad 1937 Nomor 116 dan 

Nomor 610);

b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar 

untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur 

(Staatsblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);

c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang 

Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar 

Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).

Keragaman dasar hukum Peradilan Agama itu  mengaki­

batkan beragamnya pula susunan, kekuasaan, dan hukum acara 

Peradilan Agama.

Dalam rangka penerapan Wawasan Nusantara di bidang hukum 

yang merupakan pengejawantahan Pancasila sebagai sumber dari 

segala sumber hukum, maka keragaman itu  perlu segera diakhiri 

demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama 

dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional yang berdasar  

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya 

ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 14 

Tahun 1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar 

terhadap segala peraturan perundang-undangan yang mengatur Badan 

Peradilan Agama itu  di atas dan menyesuaikannya dengan 

Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan 

Kehakiman yang merupakan induk dan kerangka umum serta 

mempakan asas dan pedoman bagi semua lingkungan peradilan.

Dengan demikian, Undang-undang yang mengatur Susunan, 

Kekuasaan, dan Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan 

Agama ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas yang 

tercantum dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok 

Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, 

Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara 

Nomor 2951).

2. Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Agama, dalam 

Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan 

Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung, 

sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh Undang-undang 

Nomor 14 Tahun 1970.

268

Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum 

acara, kedudukan para Hakim, dan segi-segi administrasi lain pada 

Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk 

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang- 

orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, 

hibah, wakaf, dan shadaqah berdasar  hukum Islam.

Bidang perkawinan yang dimaksud disini yaitu  hal-hal yang 

diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 

(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara 

Nomor 3019).

Bidang kewarisan yaitu  mengenai penentuan siapa-siapa yang 

menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian 

masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta 

peninggalan itu , bilamana pewarisan itu  dilakukan 

berdasar  hukum Islam.

Sehubungan dengan hal itu , para pihak sebelum berperkara 

dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan 

dipergunakan dalam pembagian warisan.

Dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan Pengadilan 

dalam Lingkungan Peradilan Agama di seluruh wilayah Nusantara, 

maka oleh Undang-undang ini kewenangan Pengadilan Agama di Jawa 

dan Madura serta sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur 

mengenai perkara kewarisan yang dicabut pada tahun 1937, 

dikembalikan dan disamakan dengan kewenangan Pengadilan Agama 

di daerah-daerah yang lain.

Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding 

terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan 

merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa 

mengadili antar-Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

3. Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya beban yang hams 

dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar 

terhadap tata cara dan pengelolaan administrasi Pengadilan. Hal ini 

sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek ketertiban dalam 

menyelenggarakan administrasi, baik di bidang perkara maupun 

kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan lain-lain, tetapi 

juga akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Peradilan itu 

sendiri. Oleh karena itu, penyelenggaraan administrasi Peradilan dalam 

Undang-undang ini dibedakan menumt jenisnya dan dipisahkan

269

penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggung­

jawaban tetap dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu Panitera yang 

merangkap sebagai Sekretaris.

Selaku Panitera, ia menangani administrasi perkara dan hal-hal 

administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial). Dalam 

pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang Wakil Panitera dan 

beberapa orang Panitera Muda.

Selaku Sekretaris, ia menangani administrasi umum seperti 

administrasi kepegawaian dan sebagainya. Dalam pelaksanaan 

tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.

Dengan demikian, staf Kepaniteraan dapat memusatkan perhatian 

terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam bidang 

peradilan, sedang  tugas administrasi yang lain dapat dilaksanakan 

oleh staf Sekretariat.

4. Hakim yaitu  unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan 

peradilan. Oleh karena itu, maka syarat-syarat pengangkatan dan 

pemberhentian serta tata cara pengangkatan dan pemberhentiannya 

diatur dalam Undang-undang ini.

Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala 

Negara atas usul Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua 

Mahkamah Agung.

Agar Pengadilan sebagai penyelenggara Kekuasaan Kehakiman 

bebas dalam Memberi  keputusan, perlu adanya jaminan bahwa, baik 

Pengadilan maupun Hakim dalam melaksanakan tugas terlepas dari 

pengaruh Pemerintah dan pengaruh yang lain.

Agar tugas penegakan hukum dan keadilan itu dapat dilaksanakan 

oleh Pengadilan, maka dalam Undang-undang ini dicantumkan 

persyaratan yang senantiasa harus dipenuhi oleh seorang Hakim, seperti 

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berwibawa, jujur, adil, dan 

berkelakuan tidak tercela.

Untuk memperoleh hal itu  di atas maka dalam setiap 

pengangkatan, pemberhentian, mutasi, kenaikan pangkat, tindakan atau 

hukuman administrasi terhadap Hakim Pengadilan Agama perlu adanya 

kerjasama, konsultasi, dan koordinasi antara Mahkamah Agung dan 

Departemen Agama.

Agar para pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril 

maupun materiil, maka perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai

270

tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan, khususnya 

para Hakim; demikian pula mengenai kepangkatan dan gajinya.

Untuk lebih mengukuhkan kehormatan dan kewibawaan Hakim 

serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian) para Hakim 

dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakim yang 

diatur dalam Undang-undang ini.

Selain itu, diadakan juga larangan-larangan bagi para Hakim 

untuk merangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan 

pengadilan, wali, pengampu, dan setiap jabatan yang bersangkutan 

dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili olehnya.

Namun, belum cukup hanya dengan memerinci larangan-larangan 

seperti itu  di atas. Agar Peradilan dapat beijalan dengan efektif, 

maka Pengadilan Tinggi Agama diberi tugas pengawasan terhadap 

Pengadilan Agama di dalam daerah hukumnya. Hal ini akan 

meningkatkan koordinasi antar-Pengadilan Agama dalam daerah 

hukum suatu Pengadilan Tinggi Agama, yang pasti akan bermanfaat 

dalam kesatuan putusan yang dijatuhkan, karena Pengadilan Tinggi 

Agama dalam melakukan pengawasan itu  dapat Memberi  

teguran, peringatan, dan petunjuk. Kecuali itu, perbuatan dan kegiatan 

Hakim secara langsung dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang 

sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan akan teijamin.

Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan sangkaan keras, bahwa 

Hakim melakukan perbuatan tercela, melakukan kejahatan dan 

kelalaian yang terus menerus dalam menjalankan tugas pekerjaannya, 

dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh 

Presiden selaku Kepala Negara setelah diberi kesempatan membela 

diri.

Hal itu dicantumkan dengan tegas dalam Undang-undang ini, 

mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim, sedang  dalam 

kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya tetap berlaku ancaman- 

ancaman terhadap perbuatan tercela sebagaimana ditetapkan dalam 

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin 

Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50).

5. Undang-undang ini selain mengatur susunan dan kekuasaan juga 

mengatur Hukum Acara Peradilan Agama.

Bagaimanapun sempurnanya lembaga peradilan itu dengan 

penataan susunan organisasinya dan penegasan kekuasaannya, namun 

bila  alat untuk dapat menegakkan dan mempertahankan

271

kekuasaannya itu belum jelas, maka lembaga peradilan itu  tidak 

akan dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik. Oleh 

karena itu maka pengaturan Hukum Acara Peradilan Agama itu sangat 

penting dan karenanya pula maka sekaligus diatur dalam Undang- 

undang ini.

Hukum Acara Peradilan Agama selama ini masih ada  dalam 

berbagai peraturan dan surat edaran, baik dalam Staatsblad, Peraturan 

Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah Agung dan Departemen Agama 

maupun dalam Undang-undang Perkawinan dan segala peraturan 

pelaksanaannya.

Prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah ditetapkan dalam 

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, antara lain ketentuan bahwa 

sidang pengadilan harus terbuka untuk umum, setiap keputusan dimulai 

dengan DEMI KEADILAN berdasar  KETUHANAN YANG  

MAHA ESA, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya 

ringan dan ketentuan-ketentuan yang lain, dalam Undang-undang ini 

lebih ditegaskan dan dicantumkan kembali.

Karena Peradilan Agama merupakan peradilan khusus dengan 

kewenangan mengadili perkara-perkara tertentu dan untuk golongan 

rakyat tertentu sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 10 

ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu mengenai 

perkara perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam, maka 

hukum acara perdata pada Peradilan Umum oleh Undang-undang ini 

dinyatakan berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan 

Agama, kecuali mengenai hal-hal yang secara khusus diatur oleh 

Undang-undang ini.

6. Peradilan Agama yaitu  salah satu dari empat lingkungan peradilan 

negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya 

sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan- 

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara-perkara 

tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu, yaitu mereka yang 

beragama Islam, sejajar dengan peradilan yang lain. Oleh karena itu, 

hal-hal yang dapat mengurangi kedudukan Peradilan Agama oleh 

Undang-undang ini dihapus, seperti pengukuhan keputusan Pengadilan 

Agama oleh Pengadilan Negeri.

Sebaliknya untuk memantapkan kemandirian Peradilan Agama 

oleh Undang-undang ini diadakan Juru Sita, sehingga Pengadilan

272

Agama dapat melaksanakan keputusannya sendiri, dan tugas-tugas 

kepaniteraan dan kesekretariatan tidak terganggu oleh tugas-tugas 

kejurusitaan.

7. Di samping itu perkara-perkara di bidang perkawinan merupakan 

sengketa keluarga yang memerlukan penanganan secara khusus sesuai 

dengan amanat Undang-undang Perkawinan. Oleh karena itu, maka 

dalam Undang-undang ini diatur secara khusus hal-hal yang berkenaan 

dengan sengketa perkawinan itu  dan sekaligus untuk 

meningkatkan pengaturan hukum acara sengketa perkawinan yang 

sampai saat diundangkannya Undang-undang ini masih diatur dalam 

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Undang-undang Perkawinan bertujuan antara lain melindungi 

kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya, namun 

dalam hal gugatan perceraian yang diajukan oleh istri, Peraturan 

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa gugatan harus 

diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat 

kediaman tergugat sesuai dengan prinsip hukum acara perdata umum.

Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam 

Undang-undang ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke Pengadilan 

yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke 

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediman 

penggugat.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

273

Pasal 4

Ayat (1)

Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di 

kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya 

meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup 

kemungkinan adanya pengecualian.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Usul pembentukan Pengadilan Agama diajukan oleh Menteri Agama 

berdasar  persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas

274

Ayat (3)

Cukup jelas

A ya t (2)

C ukup  je la s

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

Hakim yaitu  pegawai negeri sehingga baginya berlaku Undang- 

undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. 

Oleh karena itu, Menteri Agama wajib melakukan pemb