bah ilmu tambah pula kesombongan. Bahkan
harus sebaliknya, semakin banyak ilmu semakin rendah hati. Karena
di antara ilmu yang ia baca adalah budi pekerti Nabi Sf, dan semua
tindak-tanduk beliau menggambarkan ketundukan kepada kebenaran
dan kerendahan hati kepada sesama makhluk.Namun bila ketundukan kepada kebenaran berbenturan dengan
kerendahan hati kepada makhluk, manakah yang diutamakan? Jawabnya, ketundukan kepada kebenaran harus didahulukan. Misalnya, andai
seseorang mencela kebenaran dan gemar memusuhi orang yang menjalankannya, dalam kondisi ini jangan rendah hati kepadanya. Tunduklah kepada kebenaran dan lawanlah orang ini. Meskipun ia melecehkanmu dan menjelek-jelekkan dirimu, jangan pedulikan. Kebenaran harus
dibela.1l2)
4. Fanatik pada Mazhab atau Pendapat Tertentu
Penuntut ilmu harus melepaskan diri dari sikap fanatik golongan
dan partai, di mana ia memberikan loyalitas dan permusuhan berdasar
golongan atau partai tertentu. Tak disangsikan, tindakan ini berseberangan dengan manhaj salaf. Generasi salafush shalih tidak berkelompokkelompok, tapi mereka bersatu dalam satu golongan. Mereka bersatu di
bawah firman Allah, "...Dia (Allnh) telah mennmai knlinn orang-orang muslim dari dahulu..." (Al-Hajj I22l:7$.
Tak ada semangat golongan, tak ada keragaman kelompok, tak ada
loyalitas dan tak ada permusuhan kecuali berdasarkan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Di antara manusia, misalnya, ada
yang berafiliasi ke kelompok tertentu. Ia mendukung perjuangannya
dan menguatkannya dengan dalil-dalil yang bisa jadi sebenarnya justru menyudutkan dirinya. Ia membela kelompok ini dan menyalahkan
selain kelompoknya meskipun mereka lebih dekat kepada kebenaran.
Ia menerapkan prinsip : Siapa tidak bersamaku ia lawanku. Ini prinsip
yang buruk. Sebab ada sikap moderat antara menjadi kawan atau lawanmu.Bila seseorang menjadi lawanmu, biarlah ia menjadi lawanmu, tapi
sebenarnya ia kawanmu. Karena Nabi n bersabda, "Tolonglah saudaramu
baikberbunt zhalim atau dizhaliml." Menolong orang zhalim adalah dengan
mencegahnya melakukan kezhaliman. Jadi tak ada fanatisme golongan
dalam Islam. Oleh karena itu, ketika muncul berbagai kelompok di tengah-tengah kaum muslimin, jalan-jalan beragam, umat terkotak-kotak,
saling menyesatkan yang lain dan'memangsa daging bangkai saudara
sendiri' (baca : membicarakan keburukan sesama muslim) mereka menemui kegagalan. Persis seperti ungkapan dalam firman Allah, "...Dan
janganlnh kalian berbnntah-ltantahan yang menyebnbknn knlisn menlndi gentnr
dnn hilnng kekuatsn." (Al-Anfal [8] : 46).
Karena itu kita mendapati sebagian penuntut ilmu berguru pada
seorang syaikh. Ia pun membela gurunya ini, tidak peduli benar ataupun salah, dan memusuhi selainnya, menyesatkan dan menudingnya
berbuatbid'ah.Ia memandang gurunya ini ulama reformis, sedang lainnya bodoh atau pembuat onar. Sikap ini keliru besar. Tapi ia wajib mengambil ucapan orang yang sesuai Al-Quran, As-Sunnah dan pendapat
para sahabat.la3)
5. Berani Tampil Sebelum Memiliki Kemampuan yang
Memadai
Pelajar harus berhati-hati untuk tidak menampilkan diri sebelum
memiliki kapabilitas ilmu syar'i yang memadai. Sebab bila ia nekat melakukannya, itu menandakan hal-hal berikut : Pertama, sifat bangga terhadap diri sendiri lantaran berani menampilkan diri. Seolah ia melihat
dirinya seorang ulama berwawasan luas. Kedua, tindakan itu mengindikasikan ia kurang memahami dan mengetahui berbagai persoalan.
sebab bila ia menampilkan diri sebagai orang berilmu tinggi, boleh jadi
ia menemui satu permasalahan yang ia tak sanggup melepaskan diri
darinya. Pasalnya, bila masyarakat mengetahuinya berbuat seperti ini,
mereka akan mengajukan berbagai permasalahan yang mengungkap
aib-aibnya. Ketiga, bila ia menampilkan diri sebelum memiliki keahlian yang cukup, ia tak dapat menghindari membuat-buat perkataan terhadap Allah yang tak ia ketahui. Sebab biasanya, orang yang memiliki
ambisi seperti ini tak memedulikan berbagai konsekuensi ucapannya,
gegabah menjawab segala yang ditanyakan dan mempertaruhkan agama serta keberanian membuat perkataan terhadap Allah tanpa dasar
rlm:;^. Keempat,blIa seseorang menampilkan diri, pada umumnya enggan menerima kebenaran. sebab dengan kedunguannya ia berpikir bila
dirinya tunduk pada orang lain meskipun orang itu benar, ini menunjukkan dirinya bukan orang alim.laa)6. Buruk Sangka
Penuntut ilmu wajib menghindari buruk sangka terhadap orang
lain. Misalnya mengatakan, "Orang ini bersedekah hanya karena pamer"; "Murid itu bertanyakeuali agar dikenai sebagai murid yang pintar". Orang-orang munafik dulu ketika seorang mukmin datang membawa sedekah banyak mereka mengatakan, "Ia pamer", namun bila ada
yang menyedekahkan sedikit, mereka berucap, 'Allah tidak membutuhkan sedekahnya." Ini sebagaimana Allah firmankary "(Orang-ornng munafik) ynitu orang-orong ynng ftIenceln orang-ornng mukmin yong memberi
sedeknh dengan suknrela don (mencela) ornng-orang yang tidak memperoleh (tmtnk disedekahknn) selain sekedar kesnnggupannyn, maka lrang-orang munnfik
ittt menghinn merekn. Allah akan membalns penghinaan mereka itu, dan untuk
merekn ndzab ynng pedih." (At-Taubah [9]:79\.
jangan buruk sangka terhadap orang yang lahirnya lurus. Tidak
ada bedanya antara berprasangka buruk terhadap guru atau kawanmu,
semuanya berdosa. Yang wajib bagi orang beriman adalah berprasangka
baik kepada orang yang sisi lahirnya baik. Sedang orang yang tidak tampak baik secara lahiriyah, tak mengapa engkau menaruh curiga kepadanya. Namun demikian, engkau harus berusaha mencari kepastian agar
prasangka dalam dirimu tersebut hilang. Sebab sebagian orang terkadang prasangka buruk seseorang hanya didasari dugaan keliru yang
jauh dari kenyataan.
|adi, bila engkau menaruh curiga kepada seseorang, baik sesama
pelajar atau bukan, yang harus engkau lakukan adalah memperhatikan
apakah ada alasan-alasan kuat yang membolehkanmu curiga. Bila ada,
ini tidak mengapa. Namun jika sekedar dugaan belaka tanpa disertai
alasan kuat, maka engkau tidak dibenarkan berprasangka buruk kepada seorang muslim yang secara lahir bisa dipercaya' Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, iauhilnh kebanyaknn dari prasangka..."
(Al-Hujura t [49] : 12). Allah tidak mengatakan'semua prasangka' sebab
sebagian prasangka memiliki dasar dan alasan pembenar. "'..Sesungguhnyn sebagian prasnngka itu ndnlnh dosa...," artinya tidak seluruhnya. Dugaan yang menghasilkan kesewenang-wenangan terhadap orang lain,
tidak diragukan adalah dosa. Demikian pula dugaan yang tak berdasar.
Adapun bila prasangka itu memiliki sandaran, tidak mengapa engkau
berprasangka buruk sesuai alasan-alasan penguat dan bukti-bukti.Oleh karena itu, seyogianya setiap orang menempatkan diri pada
posisinya dan tidak menodainya dengan kotoran. Ia harus menjauhi kesalahan-kesalahan yang telah disebutkan ini. Sebab penuntut ilmu syar'i
telah dimuliakan Allah dengan ilmu dan dijadikan panutan. Bahkan saat
terjadi sengketa di antara manusia Allah mengembalikan urusan mereka kepada ulama. Dia berfirman, "...Maka tanyakanlnh kepnda orang-orang
yang berilmu, jikn kalian tidak mengetahui." (Al-Anbiya' t21l : 7). FirmanNya, "Dan apabila datang kepada mereka suntu berita tentang keamnnnn atnupun ketakutan, mereka lalu menyinrkannya. Dan kalau mereka menyerahknnnyn
kepadn Rasul dan ulil nmri di nntara mereka, tentulah oranS-orang ynng ingin
mengetahui kebenarannya (nkan dapat) mengetnhuinya dnri mereka (Rasul dan
ulil amri)..." (An Nisa'[4] :83).
Intinya, engkau wahai penuntut ilmu syar'i adalah orang terhormat. Karena itu, jangan engkau menjerumuskan dirimu ke dalamlubang
kerendahan dan kehinaan. Tapi jadilah sebagaimana mestinya dirimu.la5)
7. Mendiskreditkan ulama
Para ulama, tak diragukan, adakalanya benar dan adakalanya keliru. Tak seorang pun di antara mereka yang terbebas dari kesalahan.
Namun tak sepantasnya, bahkan tidak boleh, kita memanfaatkan kesalahan ulama sebagai celah untuk mencelanya. Sebab kekeliruan adalah tabiat manusia, semua orang mengalaminya bila tidak dibimbing Allah ke
jalan kebenaran. Akan tetapi bila kita mendengar satu kekeliruan dari
seorang ulama, da'i atau imam masjid kita harus menghubungi mereka
untuk klarifikasi. Sebab bisa jadi itu disebabkan kesalahan pemberitaan
saja, atau kekeliruan dalam memahami ucaPan meteka, atau ada niat
jahat untuk mencemarkan reputasi sumber berita itu. Yang pasti, siapa
di antara kalian mendengar dari seorang ulama, da'i, imam masjid atau
siapa pun yang memegang kewenangan; siapa mendengar dari orangorang ini sesuatu yang tak sepantasnya maka ia harus menghubunginya
dan menanyakan apakah benar sesuatu itu bersumber darinya atau ti
dak. Kemudian jika berita itu benar, hendaknya ia menjelaskan apa yang
dipandangnya keliru. Boleh jadi ia memang salah lalu mencabut pendapat kelirunya itu dan boleh jadi dia yang benar, lalu ia menjelaskan sisi-
sisi ketepatan pandangannya sampai tak ada lagi kesalahpahaman yang
terkadang kita lihat, utamanya di antara para pemuda.
Langkah yang wajib diambil para pemuda dan selain mereka apabila mendengar berita miring seperti ini adalah mengendalikan lisan
mereka, berusaha memberi nasihat dan berkomunikasi dengan sumber
berita agar permasalahannya benar-benar gamblang. Adapun memperbincangkannya di forum-forum, apalagi di forum umum, dengan mengatakan, "Bagaimana pendapatmu tentang si Fulan? Bagaimana pandanganmu tentang si Fulan yang berani berpendapat beda dengan orang
lain?" Ini satu hal yang sama sekali tak pantas disebarluaskan. Sebab
hanya akan menimbulkan fitnah dan kesemrawutan. Jadi, lidah wajib
dijaga. Nabi M bersabda pada Mu'ad zbinJabal, "Maukah aku beri tahuknn
p a d nmu kun ci s emu a itu? " Aku menj awab, " Y a, w ahai Rasulullah." Lantas
beliau memegang lidah dan bersabda, "Tahankh ini olehmu!" Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kami akan disiksa lantaran apa yang
kami ucapkan? " Beliau menj awab, " C el aka kam u, t ia dal ah y nng menj ungkir -
kan manusia pada wajah-wajah -atau hidung-hidung- mereka di dalam neraka
s elain do s a- do sn lidah mer eko.'
t
1 I 6 )
Saya nasihatkan kepada para penuntut ilmu dan lainnya agar mereka bertakwa kepada Allah dan tidak menjadikan kehormatan ulama
dan pemimpin sebagai kendaraan yang dapat ditunggangi sesuka mereka. Sebab, bila ghibah pada manusia secara umum termasuk dosa besar, maka terhadap ulama dan penguasa lebih besar lagi. Semoga Allah
menjaga saya dan Anda semua dari apa yang dapat mengundang murkaNya, dan memelihara kita dari tindakan yang mengandung kesewenangwenangan pada saudara-saudara kita. Sesungguhnya Dia Maha Dermawan lagai Maha Pemurah.laT)
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang sebagian orang
yang suka mendiskreditkan ulama, mencela dan menghibah mereka.
Lantas beliau menjawab, "Tak diragukan, mendiskreditkan ulama
yang dikenal bertujuan baik, gemar menyebarkan ilmu, dan mengajak
pada agama Allah termasuk jenis ghibah paling berbahaya yang tergolong dosa besar. Mendiskreditkan para ulama seperti mereka ini, tidakseperti menyudutkan orang selain mereka. Sebab memfitnah para ulama
berkonsekuensi menebarkan kebencian pada mereka dan syariat Allah
yang mereka emban dan sebarkan. Sehingga menciptakan kebencian
pada mereka sama dengan memunculkan ketidaksukaan pada syariat Allah. Ini berarti menghalang-halangi jalan Allah yang mengakibatkan seseorang memikul kesalahan dan dosa sangat besar. Kemudian penolakan
masyarakat pada ahli ilmu seperti mereka ini secara pasti menyebabkan
mereka beralih kepada orang-orang bodoh yang malah menyesatkan
manusia tanpa dasar ilmu. Sebab masyarakat harus memiliki pemimpin
yang mereka ikuti dan patuhi. Adakalanya mereka ini para pemimpin
yang membimbing dengan perintah Allah atau para pemimpin yang
mengajak ke neraka. Maka bila masyarakat berpaling dari salah satu di
antara dua jenis pemimpin ini, pasti mereka cenderung pada yang lainnya.
Orang yang mencemarkan reputasi ulama seperti mereka ini harus
melihat kekurangan-kekurangan dirinya. Aib pertama yang mencederai
dirinya adalah perbuatannya mendiskreditkan para ulama tersebut. Ditambah aib-aib lain yang tak dimiliki ahlu ilmi dan mereka membebaskan diri dari terjerumus ke dalam aib-aib tersebut.la8)
Saya berpendapat, membicarakan keburukan ulama adalah perbuatan haram. Bila seseorang tidak boleh menghibah saudaranya sesama
mukmin, bagaimana ia dibenarkan menghibah saudara-saudaranya dari
kalangan ulama yang notabene juga kaum mukminin? Seorang insanberiman wajib menahan lidahnya dari membicarakan keburukan saudarasaudaranya seiman. Allah berfirman :
"=.
i€3 i't;:;ti "r\.'3i\tfiii';#^f34 fi
"Hai orang-orang yanlg beriman, jauhilnh kebanya*nn Aori prororgt o,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian
mencari-cari kesalahnn orang lain dan janganlah sebagian dari knlianmenggLuljittg sfuagiotl ytTttg l(lin. Suknknh salnh seornng di nrttnrn lulinn mcmnknn dnging saudarnnyn ynng strdnh mnti? Makn tentulnh kalinn merasa jijik kepadanya. Dnn bertskzunlnh kepnda Allnh. Sesungguhnqn Allnh MnhLt Perrcrinn tnubat lngi Maln Perrynynng." (Al-Hujurat
1491 12)
Hendaknya orailg yang mengidap penyakit suka menghibah ulama ini menvadari, bahwa bila ia mencemarkan nama t-raik seorang ulama berarti dirinya akan menjadi sebab ditolaknya kebenaran yang disampaikan ulama itu. Sehingga akibat dan dosa penolakan ini dipikul
si pencemar nama baik ini. Sebab pada hakikatnya, mendiskreditkan
seorang ulama bukan hanya menvudutkannya secara pribadi, tapi juga
mendiskreditkan warisan Muhammad U\.
Ulama adalah pewaris paranabi. Makabilapara ulama difitnah dan
reputasi mereka dinodai, masyarakat tak lagi percaya pada ilmu yang
mereka rniliki dan cliwarisi dari Rasulullah +:;. Ketika itulah, masyarakat tak lagi mempercayai sesuatu pun dari syariat yang disampaikan
ulama yang nama baiknya telah tercemar ini. Saya tidak mengatakan
setiap ulama rtu nttt'shutn. Sebaliknya, setiap manusia berisikcl melakukan kesalahan. Namun bila engkau yakin melihat satu kesalahan dari
seorang ulama, hubungi ia dan minta klarifikasi padanya. Bila setelah
itu engkau tahu kebenaran ada di pihaknya, engkau wajib mengikutinya. Bila engkau tidak tahu secara pasti, tapi engkau mendapati ada
kemungkinan pendapatnya benar, engkau hirrus menahan diri untuk
tidak menyalahkannya. Dan jika engkau tak menemukan kemungkinan
pendapatnya benar, ingatkanlah pendapatnyir tersebut, sebab rnembiarkan kesalahan itu tidak boleh. Tapi jangan mencelanya, sementara engkar"r tahu bahwa ia seorang ulama yang diketahui memiliki niat baik.
Andai kita ingin mencela para ulama yang diketahui memiliki
niat baik lantaran satu kesalahan yang mereka lakukan dalam masalahmasalah fikih, pasti kita akan rnencela para ulama besar. Yang harus
dilakr"rkan adalah seperti yang telah sava sampaikan. Yakni bila engkau melihat satu kekeliruan dari seorang ulama, ajak ia berdiskusi dan
bicaralahbaik-baik dengannya. Jika kebenararl nampak jelas di pihaknya
engkau mengikutinya atau cli pihakmu ia mengikutimu. Atau permasalahan tak terlihat gatnblang dan perbedaan pandang di antara kalian berdua tergolong khilaf (perselisihan) yang boleh. Ketika itu, engkau harusmenahan diri untuk tidak menyalahkannya. Silahkan ia mengikuti pendapatnya, dan silahkan engkau memegang pendapatmu.
Segala puji milik Allah. Perselisihan pendapat tak hanya terjadi di
masa ini saja. Khilaf sudah ada sejak masa para sahabat hingga zaman
ini. Adapun bila kesalahan tampak jelas akan tetapi ia tetap membela
pendapatnya yang keliru, engkau harus menjelaskan titik kesalahan itu
dan membuatnya menjauhinya. Namun bukan dengan asas mencemarkan nama baik ulama ini dan niat menghttkumnya. Sebab tokoh ini telah mengatakan pendapat yang benar di luar masalah yang engkau perdebatkan.
Intinya, saya memperingatkan saudara-saudaraku dari ujian ini.
Yakni mendiskreditkan ulama dan provokasi untuk menjauhi mereka.
Semoga Allah menjauhkan diriku dan mereka dari segala yang menimbulkan aib dan madharat pada agama dan dunia kita.lre)
Contohnya, dua ulama besar Imam Nawawi dan Ibnu Hajar. Keduanya memiliki posisi terhormat dan jasa besar untuk umat Islam.
Bila keduanya keliru dalam menafsirkan sebagian nash-nash sifat itu
dimaafkan, mengingat berbagai keutamaan dan manfaat tak terhingga
yang keduanya berikan. Kami yakin kesalahan yang diperbuat keduanya muncul sebagai hasil ijtihad dan penafsiran yang dibolehkan, meskipun itu menurut keduanya. Aku berharap pada Allah semoga itu termasuk kesalahan yang diampuni, sedang kebaikan dan manfaat yang
keduanya berikan tergolong upaya yang diapresiasi. Dan semoga berlaku pada keduanya firman Allah ini, "...Sesungguhruln perbuatnn-perbuntnn yang baik itr.t menghnpusknn 6osn) perbuntnn-perbuntan ynng btmrk...."
(Hud [11] :1141.
Menurut kami, kedua ulama besar ini termasuk Ahlus Sunnah
wal Jamaah. Sebagai buktinya adalah khidmat keduanya terhadap sunnah Rasulullah g dan keseriusan keduanya dalam mensterilkan sunnah dari noda-noda yang dinisbatkan kepadanya dan dalam meneliti
hukum-hukum yang ditunjukkannya. Akan tetapi, Imam Nawawi dan
Ibnu Hajar menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah terkait ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah atau sebagian darinya, berdasarkan ijtihadyang keduanya lakukan secara salah. Kita berharap pada Allah semoga
Dia memaafkan keduanya.
Adapun kesalahan dalam masalah akidah, jika kesalahan itu berseberangan dengan jalan generasi salaf shalih, tak diragukary itu sesat.
Tapi pelakunya tidak lantas divonis sesat sampai hujjah disampaikan
padanya. Bila hujjah telah sampai dan ia tetap mempertahankan kesalahan dan kesesatannya, ia dianggap sebagai ahli bidhh terkait keyakinannya yang menyelisihi kebenaran. Meskipun ia bermanhaj salaf dalam
masalah-masalah yang lain. Jadi ia tidak dicap sebagai ahli bidhh mutlak, tidak pula disebut penganut manhaj salaf secara mutlak. Tetapi, ia
dianggap bermanhaj salaf dalam hal-hal yang sejalan dengan generasi
salaf shalih dan ahli bid'ah terkait masalah yang berseberangan dengan
mereka. Persis seperti pendapat Ahlus Sunnah tentang orang fasik; ia
mukmin dengan keimanan yang dimilikinya dan fasik lantaran kemaksiatan yang diperbuatnya.Ia tidak disebut mukmin atau fasik secara total, pun sifat ini tidak dihilangkan darinya secara keseluruhan. Inilah
keadilan yang diperintahkan Allah. Kecuali bila perbuatan ahli bid'ah
itu mencapai batas yang mengeluarkannya dari agama, ia tak lagi memiliki kehormatan dalam kondisi ini.
Selanjutnya, perbedaan antara kesalahan dalam perkara ilmiah
dan amaliah, saya tak mengetahui satu dasar untuk membedakan antara
kesalahan dalam dua hal ini. Akan tetapi, karena generasi salaf sepakat
-sepanjang pengetahuan kami- mengimani perkara-perkara ilmiah
yang krusial dan perselisihan dalam masalah ini hanya terkait cabangcabangnya saja, bukan pokoknya, maka orang yang berbeda pendapat
dalam perkara ini jumlahnya lebih sedikit dan sangat dikecam. Generasi salaf berbeda pendapat dalam beberapa masalah cabang perkaraperkara ilmiah, seperti perbedaan pendapat mereka apakah Nabi $
pernah melihat Rabb dalam keadaan terjaga, kemudian tentang nama
dua malaikat yang bertugas menanyai mayit di kubur, apakah siksa
kubur ditimpakan pada fisik saja dan tidak pada ruh, apakah anak-anak
kecil dan orang-orang yang tidak mukallaf ditanyai di kubur mereka.
Kemudian apakah umat-umat terdahulu juga menghadapi pertanyaan
di dalam kubur sebagaimana yang dialami umat ini. Mereka berbeda
pendapat juga tentang wujud shirat yang dipasang di atas Jahanam,
dan perbedaan pendapat mereka apakah neraka itu fana atau abadi,
serta beberapa masalah lainnya. Namun perlu diingat bahwa pendapat
jumhur uiamalah yang benar dalam masalah-masalah ini, sedangkan
pendapat yang menyelisihi tidak kuat.
Demikian pula terdapat perbedaan pendapat dalam perkara-perkara amaliah yang adakalanya kuat dan adakalanya lemah. Dengan demikian, Anda mengetahui pentingnya doa ma'tsur berikut :
,o'9,,a,^'o g:i .,;!r-i;Jl . JJl JLe
)'. o o , )
, o ,
t ',
aa r dtt r^J ,rir i 4;" + \ yS tl* ir[" ;o
&' b\'r- A
',
iw ucg'Ut,.lr\U ' t /
J
t/ o 1
d>r.*.r
\
-
- lr o>)t
'b'
dt
"Yn Allah, pencipta langit-Iangit dan bumi, Maha mengetnhui ynng gaib
dan yang lahir, Engkau memutuskan di antara hamba-hnmba-Mu dalam
perkara yang mereka perselisihkan. Tunjukilah aku pada kebenaran yang
diperselisihkan, sesungguhnyn Engkau menunjuki siapa yang Engknu
kehendaki pada jalan yang lurus."150)
Syaikh Ibnu 'Utsaimin pernah ditanya tentang fenomena perbedaan fatwa antara satu ulama dengan ulama lain dalam masalah yang
sama. Apa jalan keluarnya dan bagaimana sikap yang harus diambil
penerima fatwa? Beliau menjawab, "solusinya adalah dua hal : Pertama,
ilmu. Boleh jadi salah seorang dari dua mufti itu tidak memiliki ilmu
yang dikuasai oleh mufti lain. Sehingga mufti kedua ini berwawasan
lebih luas dan ia mengetahui apa yang tidak diketahui mufti pertama.
Kedua, pemahaman. Manusia sangat beragam dalam memahami sesuatu. Boleh jadi tingkat pengetahuan mereka sama, namun mereka berbeda-beda dalam memahami. Maka Allah memberi si Fulan pemahaman yang luas dan cerdas, sehingga ia bisa memahami lebih mendalam
apa yangdiketahuinya daripada pemahaman orang lain. Dengan begitu
ilmunya lebih banyak, pemahamannya lebih kuat dan lebih mendekati
kebenaran daripada yang lain.
Sehubungan dengan orang yang meminta fatwa, bila dua orang
ulama ahli fatwa memberinya fatwa berbeda maka ia mengikuti pendapat ulama yang ia pandang lebih mendekati kebenaran, bisa karena
ilmunya dan bisa pula lantaran wara'dan kualitas agamanya. Seandainva seseorang sakit dan dua orang dokter memberikan diagnosis berbeda, maka ia mengambil pendapat dokter yang dipandangnya lebih
mendekati kebenaran. Kemudian jika keduanya sama dan salah satu
dari dua mufti tersebut tidak lebih kuat dari yang lain, ia bebas memilih
untuk mengambil fatwa mufti A atau fatwa mufti B. Dan hendaknya ia
mengikuti fatwa yang bisa lebih diterima jiwanya dengan tenang.tsr)LNNNNCNN MIITZTINTA FATWA KEPADA LEEIH
DARI SNIU UIRUE
rang yang meminta fatwa harus menghindari meminta fatwa
kepada lebih dari satu ulama (dalam satu masalah). Sebabsebab tindakan seperti ini bisanya didasari oleh keinginan
menuruti hawa nafsu dan dilakukan oleh orang yang tidak memiliki spirit religius yang dapat mengarahkannya pada ketakwaan untuk menghindari apa yang ia pandang haram. Bila seseorang mau introspeksi diri
dan menyadari dirinya akan kembali kepada Allah meskipun waktunya
masih lama, niscaya ia dapat mengalahkan hawa nafsunya dan mengendalikan jiwanya.
Alasan lain mengapa tindakan tersebut tidak dianjurkan adalah
karena setan memperkecil nilai maksiat seperti ini di hati hamba, padahal Nabi {$ telah mengingatkannya. Beliau bersabda, "Hatlhatilahknlian
pada dosa-dosa kecil. Sesungguhnya perumpamaan hal itu seperti satu kaum
yang singgah di sebuah tempat. Lantas ornng ini membawa sebntang ranting,
orang ini membawa sebatang ranting, dan orang ini juga membawa sebatnng
ranting. Kemudian bila mereka telah mengumpulkan kayu bakar yang banynk,
mereka bisa menyalakan api yang besar."152)
Demikian halnya dosa-dosa kecil yang dipandang remeh seseorang bila itu terus diperbuat hingga menjelma menjadi dosa-dosa besar. Oleh sebab itu ahlu ilmi mengatakan, "Mengerjakan dosa kecil secara terus-menerus mamPu menjadikannya dosa besar, dan istigfar dari
dosa besar dapat menghapuskannya." Karenanya, kami katakan pada
mereka, "Introspeksilah diri kalian."
Alasan lainnya adalah minimnya amar makruf dan nahi munkar.
Andai kita semua bila melihat seseorang melakukan kemaksiatan, iamenegurnya, membimbing dan menjelaskan padanya bahwa perbuatan
tersebut menyelisihi ajaran Rasuluilah ff pasti orang yang masih berpikiran sehat mau mengambil pelajaran dan berubah.153)BRHRye MINAgunr KI goHoNGAN
TrRuRoRp umvn
ukan hal aneh bila ada ungkapan yang disandarkan kepada seorang ulama terkemuka yang sejatinya tidak berasal
darinya, bahkan sesuatu yang secara tegas ia menyatakan
kebalikannya. Contoh seperti ini sudah terjadi sejak periode generasi salaf shalih. Dalam Shohih Muslim,kitab : Pakaian, bab : Larangan Memakai
Bejana dari Emas dan Perak,IIl:164l bahwa Asma'binti Abi Bakar mengutus budaknya kepada Abdullah bin Umar.Ia mengungkapkan, 'Aku
mendengar berita tentang dirimu bahwa engkau mengharamkan tiga
hal; gambar pada pakaian, bantalan pelana berwarna merah tua dan
puasa penuh di bulan Rajab." Lalu Abdullah menjawab, "Mengenai puasa di bulan Rajab yang engkau singgung, bagaimana dengan orang yang
puasa sepanjang zaman? Tentang gambar pada pakaian yang engkau
sebutkan, sungguh aku pernah mendengar Umar bin Khathab berkata,
Aku mendengar Rasulullah ffi bersabda,'Hanya ornng yang tak memiliki
bagian (kebalmgiaan di nkhirat) yang memakai sutra; Aku khawatir, gambar
tersebut termasuk dalam larangan ini. Kemudian terkait bantalan pelana berwarna merah tua, ini bantalan pelana milik Abdullah sendiri
ternyata berwarna merah tua."
Setelah itu budak Asma' pulang dan memberitahukan kepadanya apa yang dikatakan oleh Abdullah. Lalu Asma'berkata, "Ini adalah
jubah Rasulullah ffi!' Ia mengeluarkan sebuah jubah kekaisaran yang
berwarna hijau dan berkerah sutera, sedangkan kedua sisinya dijahit
dengan sutera. Ia berkata, "fubah ini dulu disimpan Aisyah sampai ia
wafat. Ketika ia telah meninggal dunia, aku mengambilnya. Dulu Nabi
{g mengenakannya. Kami mencucinya untuk orang sakit, sebagai upaya
mencari kesembuhan dengannya."l5a)
Perkataan Ibnu Umar, "Bagaimana dengan orang yang puasa sepanjang zaman?" bertujuan mengingkari orang yang mengalamatkan
pengharaman puasa sebulan penuh di bulan Rajab pada dirinya. Ia menolak pengharaman tiga hal di atas disandarkan pada dirinya. Ia mengingkari telah mengharamkan puasa penuh di bulan Rajab dengan
menyatakan ia sendiri puasa sepanjang masa, dan pengharaman gambar di baju dengan mengungkapkan bahwa ia meninggalkannya karena
khawatir hal itu masuk kategori memakai sutra. Jadi ini sikap kehatihatian saja. Ia juga mengingkari telah mengharamkan bantalan pelana
berwarna merah tua dengan mengatakan ia sendiri memiliki bantalan
pelana seperti ini.
Intinya, membuat-buat kebohongan terhadap ulama sudah ada sejak zaman dahulu. Dan faktor-faktornya adalah : Pertama, seseorang
mengajukan pertanyaan kepada seorang ulama dengan kalimat tak
langsung, tetapi ulama tersebut memahami berbeda dengan yang diinginkan si penanya. Lantas ia menjawab sesuai pemahamannya terhadap pertanyaan dan si penanya memahami jawaban itu berdasarkan tujuan pertanyaannya. Kedua, ulama memahami pertanyaan seperti yang
diinginkan penanya dan ia menjawab sesuai dengan itu, tapi penanya
memahaminya tidak seperti yang dimaksudkan penjawab. Ketiga, seseorang memiliki interes pribadi terkait hukum suatu permasalahan,
lalu ia memublikasikannya dengan mencatut nama seorang ulama terkemuka agar lebih dapat diterima. Keempat, kemungkinan lain, hukum
terkait suatu permasalahan aneh dan tidak wajar, menurut dirinya.
Lalu ia menisbatkannya pada seorang ulama guna mencoreng reputasinya dan menjadikannya kendaraan untuk mengobral kekurangan dan
mendiskreditkan ulama tersebut. Padahal ia tak pernah mengeluarkan
fatwa seperti itu. Dan masih banyak lagi sebab-sebab lain. Namun yang
paling buruk di antara yang telah kami sebutkan adalah dua sebab yang
disebutkan terakhir.
Langkah yang harus ditempuh orang yang mendengar ucapan
seperti ini, pertama-tama, ia membuktikan kebenaran pengalamatan
pendapat tersebut kepada ulama yang menjadi korban. Kemudian mempelajari pendapat yang diceritakan itu, apakah layak diperhitungkan.
Bila ya, maka ia menerima dan membelanya. Karena itu kebenaran, sementara kebenaran itu wajib diterima dan wajib pula membela orang
yang mengatakannya. Namun, bila tidak layak diperhitungkan, ia harus menghubungi orang yang mengatakannya dan meminta klarifikasi
dengan sopan. Contohnya mengatakan, "Saya mendengar demikian.
Apa alasan hal tersebut menurut pengetahuan Anda?" Atau ungkapan
semisal ini.
Langkah selanjutnya, ia mengajaknya berdiskusi dengan tetap
menjaga sopan santun dan sikap hormat. Berdasarkan firman Allah,
"serulah (manusia) kepada jalan Rnbbmu dengan hikmah dan pelajnrnn yang
baik danbantahlah merekn dengan cara yanglebihbaik..." (An-Nahl [16] : 125).
Kecuali bila orang itu keras kepala dan sewenang-wenang, maka perlu
didebat sebagaimana mestinya. Sebagaimana firman Allah terkait mendebat Ahli Kitab, "Dan janganlah knmu berdebat dengan Ahli Kitab, melninkan dengnn cara yang pnling baik, kecuali dengan lrang-orant zhalim di nntara
mereka..." (Al-Ankab ut l29l : 46).
Bila setelah diskusi ini kebenaran tampak dengan nyata, orang
yang mengetahuinya wajib mengikutinya dan membela orang yang mengucapkannya. Dan jika kedua belah pihak tidak melihat secara jelas
kebenaran ada pada kawannya, Allah yang akan menghukumi semuanya. Allah mengetahui hati setiap orang dan pendapatnya. Pendapat masing-masing tidak menjadi hujjah atas yang lain. Maka hendaknya setiap orang mengikuti apa yang ia yakini sebagai kebenaran tanpa perlu
mencela kawannya atau menuduh sebagai ahli bid'ah dan fasik, selama
permasalahEp tersebut dalam koridor ijtihad.tssrKlwnl IBAN MTxcRMALKAN I LMU
eseorang yang mengetahui suatu hukum syariat yang benar
wajib menyampaikannya kepada orang lain. Sebab mengamalkan apa yang seseorang ketahui mengharuskan menjaga
ilmu tersebut dengan praktik dan Allah akan menambahnya semakin
bercahaya dengan Al-Quran. Maka dengan menjaga ilmu melalui mengamalkannya, ia memperoleh keuntungan bahwa Allah memberinya
cahaya yang menambah terang cahaya ilmu yang telah dimiliki. Allah
berfirman;
.,i..-'.:. t.-.,.. .t- r.i r, t-. ..'". t t
'
UL ij.jr -o-r.-o q-l:l 't &3\,1.n J-; + at- -l;\ L rir;
-, J \. - vJ - a) - e / JJ
"; --;ji Cit ! u';Q;'^^'1 t!.-t,i+',|\u; -. .ii
,!. t:'+L S:)i;W;4*, J'"Gr r?"|'k,;^g#
"Datt apabila diturunkan suat'.u ,uiot, *oko di antara mereka ('orangorang munnfik) ada yang berkata, 'Siapa di antara kalinn yang bertambah
imannya dengan (turunnya) sttrat ini? Adapun lrang yang beriman,
maka surat ini mennmbnh imannya, sednng merekn mernsa gembirn.
Dan adapurl orang yang di dalam hati mereka nda penyakit, mnka dengan surat ittt bertambnh kekafiran tnereka, di snrnping kekafirannya
Qang telah ada) dan mereka mati dalsm kendaan kafir." (At-Taubah
[9]:12a-12S\.
Karenanya, ada ungkapan : "Ilmu itu memanggil amal. Bila amal
menjawab, ilmu semakin bertambah, namun bila tidak maka ilmu pun
pergr". Dalam menuntut ilmu, kaum salafush shalih dulubila sudah mengetahui satu materi mereka mengamalkannya. Kebanyakan mereka mengetahui dengan baik semangat bersegera dan antusiasme para sahabat
dalam beramal. Bahkan, ketika Nabi g menghasung kaum wanita agar
bersedekah di hari raya, mereka segera melemparkan perhiasan yang
menempel di telinga. Mereka melemparkannya ke baju Bilal. Mereka
tidak mengatakan, "Bila kami telah sampai di rumah kami akan bersedekah." Tapi mereka bersegera melaksanakan perintah tersebut.
Demikian halnya seorang laki-laki yang cincin emasnya dibuang
Nabi ffi, ia tak lagi memedulikannya setelah tahu hal itu diharamkan.
Sehingga kala dikatakan padanya, ambil cincinmu agar bisa engkau
manfaatkan, ia menjawab, "Demi Allah, aku tak akan memungut cincin
yang telah dibuang oleh Nabi S." Bahkan ketika Rasulullah ffi memerintahkan para sahabat pergi ke Bani Quraizhah, "langanlnh salah seorang
kalian shalat Asar kecuali di Bani Qurnizhah,"156) mereka langsung berangkat meskipun masih sangat lelah karena baru selesai melakoni Perang
Ahzab. Sehingga ketika datang waktu shalat Ashar, sementara mereka
masih di tengah perjalanan, sebagian segera menunaikan shalat karena
takut waktunya habis dan sebagian menundanya sampai tiba di Bani
Quraizhah karena berpegang pada sabda Nabi ffi, "langanlnh salnh seorang kalian shalat Ashar kecuali di Bani Qurnizhah."
Wahai saudaraku penuntut ilmu, perhatikanlah bagaimana antusiasme para sahabat dalam mengaplikasikan ilmu yang mereka timba
dari Nabi ffi. Bila kita terapkan semangat ini pada kondisi real sekarang,
apakah kita memiliki semangat hebat ini di zaman ini? Aku yakin semangat ini banyak yang hilang. Kita sangat mengetahui bahwa shalat wajib
adalah salah satu rukun Islam di mana seseorang dihukumi kafir karena meninggalkannya. Kita paham betul bahwa shalat berjamaah adalah wajib 'ain dan harus dilakukan. Kita mengetahui banyak hal dari
larangan-larangan, namun faktanya kita mendapati masih ada saja penuntut ilmu yang melanggar keharaman tersebut' Demikian pula orang
yang meninggalkan shalat wajib dan tidak memedulikanryra. Ini satu
bukti jurang perbedaan yang lebar antara penuntut ilmu masa lampau
dan penuntut ilmu masa sekarang.tsz)
Jadi, ilmu harus diamalkan karena buah ilmu adalah amal. Bila seseorang tidak mempraktekkan ilmunya, ia menjadi orang pertama yang
menjadi bahan menyalakan neraka di hari kiamat' Seorang penyair mengungkapkan, "Dan orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya
akan diadzab mendahului para penyembah berhala."
Bila seseorang tidak mengamalkan ilmunya ia menyebabkan kegagalan menuntut ilmu, hilangnya berkah dan terlupakannya ilmu tersebut. Ini berdasarkan firman Allah, "(Tetapi) karena mereka melanggar jnnjinyn, Kami kutuk mereka, dan kami jadikan hati ntereka kerns membatu. Mereka
suka mengubah perkataan Allah) dari tempnt-tempatnya, dnn mereka (sengaja)
melupakan sebagian dari npa yang mereka telah diperingatkan dengannya..."
(Al-Maidah [5] : 13). Maksud lupa di sini meliputi lupa ingatan dan lupa
amal. Maka pengertiannya, mereka melupakan peringatan dengan tidak
mengingatnya atau melupakannya dengan tidak mengerjakannya. Sebab
kata an-nisyan (hrya) secara etimologi berarti meninggalkan. Sedangkan
bila seseorang mengaplikasikan ilmunya niscaya Allah menambahinya
petunjuk (ilmu). Allah berfirmary "Dan orang-orangyang mendapat petunjuk Allah mensmbah petunjuk kepada mereka..." Dan meningkatkan ketakwaannya. Oleh karena itu selanjutnya Dia berfirman, "...Dan memberikan
kep nd a mer ekn (t nmb ahan) ket akw a anny a. " (Mu ham mad. l47l : 17\.
Bila seseorang mengamalkan ilmunya, Allah memberinya pengetahuan yang belum ia ketahui. Salah seorang tokoh ulama salaf berkata,
"Ilmu itu memanggil amal, bila amal menjawab (ilmu semakin bertambah) namun bila tidak maka ilmu pun pergi."158)LARANGAN MEMASUKKAN KTOUN TANCNN
KE DALAIVT AIN SETII-NH BANGUN TIDUR
SrsrLuA Dtcuct Ttcn KALI
Rasulullah ffi bersabda :
tJ,
oJ,r
" Apabila seorang dari kalian bangun tidur, janganlah ia mencelupknn
tangannya ke dalam wadah (berisi air) sebelum ia mencucinya tiga kali'
Sebab ia tak tahu di mana tangannya bermalam,"
Hadits ini berisi larangan memasukkan tangan secara langsung ke
dalam wadah berisi air setelah tidur. Alasannya, seperti telah diungkapkan dalam hadits di atas, karena seseorang tidak tahu di mana tangannya semalam. Tapi seandainya tangan dicelupkan ke dalam air yang
melimpah, air itu tetap suci dan menyucikan (karena hadits di atas
menunjukkan larangan ini berlaku hanya pada air yang jumlahnya
sedikit). Dan andai seseorang memasukkan kakinya ke dalam air maka
air tetap suci dan menyucikary sebab dalam hadits ini Nabi S menyabdakan 'tangan', bukan kaki. Demikian pula kalau seseorang mencelupkan hastanya, air tetap suci dan menyucikan (karena pengertian
'tangan'bila diungkapkan secara umum adalah ujung jari sampai pergelangan tangan). Dan seandainya orang kafir memasukkan tangannya,
air tersebut juga tetap suci. Begitu juga orang gila dan anak kecil karena
keduanya tidak mukallaf (tidak dikenai beban kewajiban syariat). Ini
juga berlaku jika seseorang tidur sebentar di malam hari. Demikianlah ketetapan yang dinyatakan oleh mazhab Hambali. Dan seandainya
seorang yang sudah terkena beban taklif memasukkan tangannya ke
dalam air dengan ketentuan-ketentuan yang disebutkan Pengarang
(kitab Zadul Mustaqni' fi lkhtisharil Muqni'; Abu Naja Musa bin Ahmad
bin Musa Al-Hijawi) maka air tetap suci tapi tidak menyucikan'
Akan tetapi bila Anda memperhatikan permasalahan ini, Anda
mendapati ketentuan-ketentuan tersebut sangat lemah. Sebab hadits
tersebut tidak menunjukkannya. Hadits itu hanya berisi larangan memasukkan tangan (setelah tidur dan sebelum dicuci tiga kali) sementara
Rasulullah 4s sedikit pun tak menyinggung jumlah air.
Sabda belial), " Karena snlah seorang knlian tidak tahu di mann tangannya
bermalam," mengandung dalil bahwa air itu tidak mengalami perubahan
hukum. (Artinya tetap suci dan menyucikan meskipun seseorang yang
bangun tidur memasukkan tangannya tanpa mencucinya terlebih dahuIu, --pener7.). Sebab pengungkapan alasan ini mengindikasikan bahwa
larangan tersebut dalam konteks kehati-hatian saja, bukan dalam konteks keyakinan yang bisa menghapus hukum yang telah diyakini sebelumnya. Jelasnya, sekarang kita yakin bahwa air itu suci dan menyucikan. Keyakinan ini tak bisa dihilangkan kecuali dengan sebab yang
diyakini ada, sehingga tak dapat dihapus oleh keragu-raguan (asumsi).
Bila Rasulullah S melarang seorang muslim memasukkan tangannya ke dalam air sebelum dicuci tiga kali, maka implementasi larangan
ini pada orang kafir lebih tepat lagi. Pasalnya, sebab larangan yang ada
pada orang muslim yang tidur ini, juga ditemukan pada orang kafir yang
tidur. Adapun alasan pembicaraan tersebut tidak ditujukan pada orangorang kafir, jawabnya adalah bahwa pendapat yang benar orang-orang
kafir juga menjadi sasaran pemberlakuan masalah-masalah cabang syariat. Perkara ini bukan termasuk hukum taklifi (yang mengharuskan
terpenuhinya syarat-syarat sebagai mukallaf dan memiliki kekuatan
hukum wajib, sunah, mubah, makruh atau haram). Tetapi merupakan
hukum wadh'i (ya.g merupakan hubungan sesuatu dengan sesuatu
yang lain sebagi sebab, syarat, penghalang, penentu sah atau batal).
Kemudian terkait pemberlakuan syarat taklif dalam masalah ini,
dapat dikatakan bahwa anak dalam usia tamyizlse) dikenai larangan seperti ini meskipun ia tak mendapat sangsi seandainya melanggar. Sebab,
boleh jadi tangannya terkotori najis atau ia tidak istinja setelah berhadats,
padahal tangannya menyentuh kemaluan saat terlelap tidur? Logiskah
bila masuknya tangan orang mukallaf yang menjaga kebersihan diri ke
dalam air dianggap membahayakan, sementara masuknya tangan anak
dalam usia tamyiz tidak dihukumi membahayakan? Jadi pendapat inilemah menurut kacamata hadits maupun pengamatan. Lemah menurut
kacamata hadits karena hadits di atas sama sekali tak menunjuk pada
pendapat tersebut. Sedangkan lemah secara pengamatan karena syaratsyarat yang mereka sebutkan, yakni islam, mukallaf dan bangun dari tidur di malam hari, tidak secara pasti disimpulkan dari hadits tersebut.
Hal-hal yang mereka jadikan dalil untuk syarat-syarat ini dari
hadits tersebut adalah : Pertama, sabda beliau, "Salah seorang di antnra
kalinn," yang diajak bicara ini (mukhathnb) adalah kaum muslimin. Jadi
ini syarat harus beragama Islam. Kedua, sabda beliau, "Salah selrang
di antara kalinn," tidak diajak bicara dalam hukum-hukum syar'i selain
orang yang mukallaf. Ketiga, sabda beliau, "Bermalam," kata baitutnh
tidak terjadi kecuali di waktu malam. Keempat, selain itu, menurut
mereka, disyaratkan tidur tersebut termasuk tidur yang membatalkan
wudhu'. Syarat ini disimpulkan dari sabda beliau, "Sesungguhnya salah
seorang kalian tidnk tahu." Artinya, dalam tidur yang tidak lelap seseorang
masih mengetahui dirinya sehingga tidak membahayakan bila ia langsung memasukkan tangan ke air setelah bangun tidur.
Bila demikian, seharusnya dikatakan, tangan orang kafir dan anakanak yang belum menginjak usia tamyiz lebih membahayakan lagi. Kesimpulan pendapat mereka adalah bila syarat-syarat yang mereka sebutkan ini terpenuhi lalu tangan dimasukkan dalam air sebelum dicuci 3
kali, maka air tetap suci tapi tidak menyucikan.
Yang benar, air tersebut tetap suci dan menyucikan. Akan tetapi
pelakunya berdosa karena menyelisihi perintah Nabi $ dengan mencelupkan tangannya sebelum di cuci 3 kali.
Menyadari lemahnya pendapat ini, mereka mengatakan, "Bila seseorang tidak menemukan selain air yang suci namun tidak lagi menyucikan tersebut, ia boleh menggunakannya untuk bersuci kemudian bertayamum sebagai langkah kehati-hatian." Artinya, mereka mewajibkan
dua kali bersuci kepada orang ini. Pertanyaannya, adakah pewajiban
seperti ini dalam Al-Quran atau sunnah Rasulullah S? Yang wajib dalam bersuci adalah menggunakan air atau debu, bukan menggabungkan
kedua-duanya. Akan tetapi karena ulama-ulama ini -semoga Allah merahmati mereka- menyadari kelemahan pendapat ini, bahwa air telah
berubah status dari suci dan menyucikan menjadi sekedar suci, mereka
mengatakan, "Menggunakannya dan bertayamum".Bila ditanyakan, apa hikmah larangan memasukkan tangan ke dalam bejana berisi air bagi orang yang bangun tidur sebelum mencucinya
tiga kali? Jawabnya, hikmahnya telah diterangkan sendiri oleh Rasulullah g melalui sabda beliau, "Karena sesungguhnya salah selrang kalian
tidak tahu di mana tangannya bermalam."
|ika seseorang mengatakary'Aku memakai sarung tangan sehingga aku yakin tanganku tak menyentuh sesuatu yang najis dari tubuhku.
Belum lagi aku tidur setelah melakukan istinja'secara syar'i. Kalau diasumsikan tangan itu menyentuh kemaluan atau anus, tetap tidak najis."
Jawabnya,para fuqaha' mengatakan,'Alasan larangan ini tidak diketahui secara pasti, sehingga mengamalkan perintah dalam hadits ini termasuk jenis ibadah mahdhah." Akan tetapi, pengertian eksplisit hadits
ini menunjukkan bahwa larangan ini didasari alasan jelas, yakni sabda
beliau, "Karena sesungguhnya salah seorang kalian tidak mengetahui di mans
tangannya bermalam."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, "Pemberian alasan ini seperti pemberian alasan dalam sabda beliau, "Apabila salah seorang kalian bangun dari tidur hendaknya ia beristintsar (menghirup air ke hidung) tiga kali, sebab setan bermalam di lubang hidungnya."roor \z[sngftin saja
tangan ini dipermainkan oleh setan dan ia menempelkan sesuatu yang
membahayakan manusia atau merusak kesucian air. Karenanya, Nabi
$ melarang seseorang memasukkan tangannya ke dalam air sebelum
dicuci tiga kali."
Apa yang diungkapkan Syaikhul Islam ini sangat brilian. Sebab
andai kita merujuk pada perkara yang konkret, sungguh seseorang tahu
di mana tangannya bermalam. Akan tetapi sunnah itu sebagian darinya
menjelaskan sebagian 1rang lain.161)
$LARANGAN MEMAKAI AIR SUCI YANG
KTmUNGKTNAN Br ncRptPUR Nn1 rs
ila air yang suci kemungkinan bercampur najis maka haram memakainya. Sebab menjauhi najis itu wajib dan bersuci tak terlaksana kecuali dengan menjauhinya. Ada kaidah yang menyatakan, 'Kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali
sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajrb." Ini merupakan dalil teoritis.
Namun barangkali pendapat ini dapat ditopang oleh dalil hadits bahwa
Nabi S berkata pada seseorang yang membidik hewan buruan lalu
hewan itu terjatuh di air :
^'. .1... ,
o o .
/ t / o I o..
' o
)\ ^W itlt €ss Y .rlj!, c, _$ii )i eLJt
"likn engknu mendapatinya tenggelam dalnm nir, janganlah engkau memakannya, knrena engkau tak tahu air atau anak panahmu yang menyebabkannya mati."162)
Beliau juga bersabda :
' ' !'o ' ' o
'
e tA"f 4i-r+J Jli
-' ,o, !JI;-€""
4-t8
Diriwayatkan oleh Bukhari, hadits no.
Ibid.
/ O/ O
sql5 i- oG'1 iyj .l_J: '
,i.'- ,,,'
^*, dji
/ z r, o ro..,,,
: oi,. r,o:,r?._ ) .:L!i Jtir )'t' ,f fi:;';i K
"Apabila engkau mendapati anjing lain bersama anjingmu dan membunuh (buruan), maka jangan engkau mgkan (binatang burusn itu),
karena engkau tidaktahu manakah di antarakeduanyayang membunuhnya. '-'
Nabi * memerintahkan tidak memakan binatang buruan tersebut, sebab tidak diketahui apakah binatang itu halal atau haram?
Ungkapan penulis, "Dan tidak perlu memeriksa," artinya tidak
perlu meneliti manakah air yang suci lagi menyucikan dan mana yang
najis. Atas dasar ini, seseorang wajib menjauhi kedua air itu walaupun
seandainya ada bukti-bukti luar yang bisa dijadikan petunjuk. Pendapat
inilah yang populer dari mazhab Hambali. Sementara itu,Imam Syafi'i
menyatakan, "Ia perlu memeriksa". Inilah yang tepat dan merupakan
pendapat kedua dalam rnazhab Hambali, berdasarkan sabda Nabi S
dalam hadits Ibnu Mas ud terkait masalah ragu-ragu dalam shalat, "Apabila seorang dari kalinn ragu-ragu dalam shalatnyn, hendaknya ia mengingntingati ynng benar kemudian mendasarkan (kelanjutnn shalat) padanya."16a)Ini
dalil berupa atsar terkait adanya perintah mendalami dalam perkaraperkara yang samar.
Sedang dalil teoritisnya, bahwa di antara kaidah yang diakui ahlu
ilmi : Apabila tidak mungkin mencapai keyakinan maka kembali pada
asumsi yang paling kuat. Dalam masalah ini, bila kesulitan mencapai
keyakinan maka kita merujuk pada asumsi yang lebih kuat, yakni melakukan pemeriksaan. Ini jika ada bukti-bukti eksternal yang menunjukkan air ini yang suci dan air itu yang najis. Sebab dalam kondisi seperti
ini, bisa dilakukan pengamatan pada obyek permasalahan dikarenakan
adanya beberapa indikator penguat tersebut. Adapun bila tidak ada faktor penguat, misalnya kedua wadah air sama persis baik jenis maupun
warnanya, bisakah dilakukan pengamatan?
Sebagian ulama berpendapat, "Bila hatinya merasa yakin pada
salah satu dari keduanya, ia boleh mengambilnya'" Mereka mengiyaskannya de4gan kasus apabila seseorang tidak mengetahui secara pasti
arah kiblat dan ia mencari-cari pertanda namun tak mendapati apa-apa.
Mereka berkata, "Ia shalat ke arah yang diyakininya." Nah, dalam kasus
ini ia juga menggunakan apa yang diyakini hatinya. Memang, pendapat
bolehnya menggunakan salah satu dari dua air itu dalam kondisi seperti
ini mengandung semacam kelemahan. Tapi ini lebih baik daripada beralih ke tayamum.lLARANGAN MENGGUNAKAN BTINNN EMAS
DAN PINNT
?la kaidah ushul fikih yang berbunyi, "Pengecualian merupakan standar perkara yang bersifat umum". Artinya,
andai seseorang mengecualikan sesuatu dari ucapan yang
bermakna umum, maka selain yang dikecualikan itu masuk kategori
umum. Berangkat dari pengertian ini, berarti segala wadah boleh dipergunakan selain wadah yang terbuat dari emas dan perak, berdasarkan
sabda Nabi ffi, "langan kalian minum dengan wadah dari emas dan perak dan
j angan kalian makan dengan piring keduany a."
Sebagian ahli fikih menyebutkan pengecualian lain. Mereka mengatakan, "Kecuali tulang dan kulit manusia." Artinya, kita tidak boleh
membuat dan menggunakannya sebagai wadah, karena kulit dan tulang itu terhormat lantaran kehormatan yang dimiliki manusia. Dan
Nabi ffi pernah bersabda, "Memecahkan tulang mayit itu seperti memecahkannya saat hidup."166) Sanadnya shahih.
Emas merupakan bahan tambang yang diketahui bersama. Yakni
jenis logam mulia berwarna merah kekuning-kuningan yang bernilai
jual tinggi dan disukai orang. Secara fitrah, Allah memberi makhluk rasa
suka pada logam mulia ini. Demikian pula perak, namun ia memiliki
tempat di bawah emas dalam hati manusia. Karenanya, pengharamannya pun lebih ringan dibanding emas. Sabda beliau, "Kecuali wadah dari
emas dan perak," mencakup wadah yang kecil dan besar, hingga sendok
dan pisau.
Ungkapan penulis, "Dan sesuatu yang disambung dengan bahan
emas atau perak, maka haram mengoleksi dan mempergunakannya,
meskipun untuk wanita." Adh-Dhabbah adalah sesuatu yang dipergunakan untuk menempelkan dua bagian. Yakni perekat yang menyatukan
antara dua sisi pecahan. Pada zaman dahulu, bila piring yang terbuat
dari kayu pecah mereka melubanginya. Jadi wadah yang disatukan dengan emas dan perak adalah haram, baik emas dan perak tersebut murni
atau campuran, selain yang dikecualikan. Dalilnya hadits Hudzaifah :
"langan kalian minum dengan wadah dari emas dan perak dan jangan
kalisn makan dengan piring keduanya, karena itu untuk mereka di dunia
dnn hagi kita di akhirat.'t167)
Dan hadits Ummu Salamah, "Orang yang minum dengnn wadah perak
sejatinya ia ntembunyikan suara api jahanam di dalam perutnyo."168) Larangan
ini bermakna pengharaman. Ditambah lagi dalam hadits Ummu Salamah, Nabi S mengancamnya dengan api jahanam sehingga perbuatan
ini termasuk dosa besar.
Jika dikatakan, hadits-hadits ini terkait dengan bejana-bejana saja,
lantas mengapa wadah yang disatukan dengan emas dan perak juga
diharamkan? Jawabnya, disebutkan dalam hadits riwayat Daruquthni,
"Sesungguhnya lrang yang minum dengan wadah dari emas dan perak atau
dengan se suatu v ang ft rcngandung kedunny a..." rcs)
Selain itu, sesuatu yang diharamkan itu jelas merusak. Bila murni
maka kerusakan yang ditimbulkannya murni, bila tidak murni maka
tingkat kerusakannya sesuai dengan kadar pencampuran tersebut. Oleh
karena ini, segala sesuatu yang diharamkan syariat banyak atau sedikitnya haram, berdasarkan sabda Nabi S, "Dan apa yang aku melarang kalian
d n r iny a, j auhil ah." t z o t
Di sini kita memiliki tiga hal : membuat menggunakan, makan dan minum. Makan dan minum dengan wadah emas atau perak
adalah haram berdasarkan tekstual hadits, bahkan sebagian ulamamenyebutkan adanya ijma' terkait hukum ini. Sedangkan membuat
(atau memiliki) menurut mazhab Hambali hukumnya haram, meskipun
terdapat pendapat lain dalam mazhab ini dan ini juga yang diriwayatkan dari Syafi'i bahwa ini tidak haram.rTr) Adapun memakai, menurut
mazhab Hambali sepakat hukumnya haram.
Yang benar, membttat dan menggunakan selain untuk makan dan
minum tidak haram. Sebab Nabi g;melarang sesuatu yang spesifik, yakni makan dan minum dengan wadah dari emas dan perak. Andai penggunaan lain di luar makarn dan minum juga diharamkan, pastilah Nabi
g
-sebagai manusia paling fasih dan paling jelas dalam berkata-kata- tidak mengususkan sesuatu dari yang lainnya. Tapi disebutkannya
makan dan minum secara khusus menunjukkan bahwa penggunaan selain keduanya itu boleh. Sebab telah diketahui manusia memanfaatkan
kedua barang ini untuk keperluan selain makan dan minum.
Andai penggunaan wadah emas dan perak haram secara mutlak,
tentunya Nabi $; memerintahkan untuk memecahkannya. Sebagaimana
Nabi S tidak menyisakan sesuatu yang memiliki gambar kecualibeliau
hancurkan atau ditarik dengan keras hingga terlepas.l72) Sebab bila barang itu diharamkan dalam segala kondisi, keberadaannya tak memiliki
manfaat sama sekali.
Pengertian ini didukung bahwa Ummu Salamah yang meriwayatkan hadits ini memiliki mangkuk dari perak tempat ia meletakkan beberapa helai rambut Nabi S. Orang-orang memanfaatkannya sebagai
media penyembuhary dan mereka sembuh dengan izin Allah. Atsar ini
terdapat dalam Shahih Al-Bukhari, dan ini penggunaan di luar makan
dan minum.
Bila ada yang berkata, "Nabi ffi khusus menyebut makan dan minum lantaran secara umum penggunaannya untuk itu. Padahal suatu
alasan yang menjadi kaitan hukum karena status 'secara umum' itu tidak berkonsekuensi pengkhususan hukum terhadap perkara tersebut.
Contohnya firman Allah, "...Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharsanmu
dari istri yang telah kamu campuri..." (An Nisa' [4] : 23). Adanya batasan
'pengasuhan" dalam pengharaman menikahi anak tiri oleh ayah tiri,
itu tidak berpengaruh pada status haramnya. Artinya, ia tetap haramdinikahi ayah tiri kendati tidak diasuh oleh aytrh tiri tersebut, menumt
pendapat mayoritas ulama.
Kami katakan, ini benar. Akan tetapi Rasulullah g mengaitkan
hukum larangan menggunakan wadah emas dan perak dengan makan
dan minum dikarenakan gaya hidup yang berlebihan dalam makan dan
minum lebih mencolok dibanding lainnya.Ini satu alasan yang mengharuskan pemberlakuan hukum tersebut khusus pada makan dan minum.
Pasalnya, tak diragukan, orang yang peralatan makan dan minumnya
dari emas dan perak tidak seperti orang yang menggunakan peralatan
tersebut dalam keperluan yang tak banyak diketahui manusia.
Ungkapan penulis, "Dan yang disatukan dengan emas atau perak," mencakup laki-laki dan wanita. Artinya, wanita juga tidak boleh
menggunakan wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak.
jika ditanyakan, bukankah wanita boleh mengenakan perhiasan
emas? Jawabnya, betul. Tapi kaum laki-laki tidak dibolehkan. Jika ditanyakan lagi, apa perbedaan antara menjadikan emas sebagai perhiasan
dan sebagai wadah serta menggunakannya? Mengapa yang pertama dibolehkan, sedang yang kedua tidak clibolehkan? Perbedaannya, kaum
wanita itu perlu mempercantik diri. Wanita bersolek bukan untuk dirinya saja, tapi untuk dirinya dan suaminya. Jadi perbuatan ini menguntungkan semuanya. Sementara laki-laki tidak memerlukan hal ini. Ia
pihak yang mencari, bukan yang dicari. Sedtrng wanita adalah pihak
yang dicari. Oleh sebab itu, ia dibolehkan menghias diri dengan emas.
Adapun wadah emas dan perak tak ada kepentingan membolehkannya
untuk wanita, apalagi laki-laki.
Ungkapan, "Dan sah bersuci darinya." Artinya, bersuci dari bejana
emas dan perak itu sah. Andai seseorang menyiapkan air wudhu dalam
sebuah wadah dari emas, bersucinya sah, sedangkan penggunaan tersebut haram.
Sebagian ulama mengatakan, bersucinya juga tidak sah.Ini pendapat lemah, sebab pengharaman tersebut tidak kembali pada perbuatan
wudhu, tapi pada penggunaan wadah. Sementara wadah bukan termasuk syarat wudhu, pun keabsahan wudhu tidak bergantung pada penggunaan wadah berbahan emas atau perak ini.
Jadi bersuci dari, dengan, pada dan ke bejana emas dan perak
sah. "Dari," yakni dengan menciduk air dari bejana. "Dengan," artinyamenjadikannya sebagai alat menuangkan air. Jelasnya, menciduk dengan gayung emas lalu membasuhkannya pada kaki atau hasta. "Pada,"
maksudnya wadah tersebut luas dan bisa untuk mencelupkan anggota
wudhu. "Ke," artinya air yang jatuh dari anggota wudhu masuk ke
dalam bejana emas. Huruf-huruf jar di sini mempengaruhi makna. Ini
bukti pentingnya memahami dengan baik bahasa Arab.
Ungkapan penulis, "Kecuali sekedar pita pengait dari bahan perak
karena kebutuhan". Kalimat ini dikecualikan dari perkataary "Haram
membuat dan menggunakannya." Maka syarat-syarat pembolehan ada
empat : (1) Berupa pita pengait (antara pecahan bejana). (2) Berjumlah
sedikit. (3