Rabu, 08 Januari 2025

halal haram menurut islam 5


 bah ilmu tambah pula kesombongan. Bahkan

harus sebaliknya, semakin banyak ilmu semakin rendah hati. Karena

di antara ilmu yang ia baca adalah budi pekerti Nabi Sf, dan semua

tindak-tanduk beliau menggambarkan ketundukan kepada kebenaran

dan kerendahan hati kepada sesama makhluk.Namun bila ketundukan kepada kebenaran berbenturan dengan

kerendahan hati kepada makhluk, manakah yang diutamakan? Jawabn￾ya, ketundukan kepada kebenaran harus didahulukan. Misalnya, andai

seseorang mencela kebenaran dan gemar memusuhi orang yang men￾jalankannya, dalam kondisi ini jangan rendah hati kepadanya. Tunduk￾lah kepada kebenaran dan lawanlah orang ini. Meskipun ia melecehkan￾mu dan menjelek-jelekkan dirimu, jangan pedulikan. Kebenaran harus

dibela.1l2)

4. Fanatik pada Mazhab atau Pendapat Tertentu

Penuntut ilmu harus melepaskan diri dari sikap fanatik golongan

dan partai, di mana ia memberikan loyalitas dan permusuhan berdasar

golongan atau partai tertentu. Tak disangsikan, tindakan ini berseberan￾gan dengan manhaj salaf. Generasi salafush shalih tidak berkelompok￾kelompok, tapi mereka bersatu dalam satu golongan. Mereka bersatu di

bawah firman Allah, "...Dia (Allnh) telah mennmai knlinn orang-orang mus￾lim dari dahulu..." (Al-Hajj I22l:7$.

Tak ada semangat golongan, tak ada keragaman kelompok, tak ada

loyalitas dan tak ada permusuhan kecuali berdasarkan apa yang terda￾pat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Di antara manusia, misalnya, ada

yang berafiliasi ke kelompok tertentu. Ia mendukung perjuangannya

dan menguatkannya dengan dalil-dalil yang bisa jadi sebenarnya jus￾tru menyudutkan dirinya. Ia membela kelompok ini dan menyalahkan

selain kelompoknya meskipun mereka lebih dekat kepada kebenaran.

Ia menerapkan prinsip : Siapa tidak bersamaku ia lawanku. Ini prinsip

yang buruk. Sebab ada sikap moderat antara menjadi kawan atau lawan￾mu.Bila seseorang menjadi lawanmu, biarlah ia menjadi lawanmu, tapi

sebenarnya ia kawanmu. Karena Nabi n bersabda, "Tolonglah saudaramu

baikberbunt zhalim atau dizhaliml." Menolong orang zhalim adalah dengan

mencegahnya melakukan kezhaliman. Jadi tak ada fanatisme golongan

dalam Islam. Oleh karena itu, ketika muncul berbagai kelompok di te￾ngah-tengah kaum muslimin, jalan-jalan beragam, umat terkotak-kotak,

saling menyesatkan yang lain dan'memangsa daging bangkai saudara

sendiri' (baca : membicarakan keburukan sesama muslim) mereka me￾nemui kegagalan. Persis seperti ungkapan dalam firman Allah, "...Dan

janganlnh kalian berbnntah-ltantahan yang menyebnbknn knlisn menlndi gentnr

dnn hilnng kekuatsn." (Al-Anfal [8] : 46).

Karena itu kita mendapati sebagian penuntut ilmu berguru pada

seorang syaikh. Ia pun membela gurunya ini, tidak peduli benar atau￾pun salah, dan memusuhi selainnya, menyesatkan dan menudingnya

berbuatbid'ah.Ia memandang gurunya ini ulama reformis, sedang lain￾nya bodoh atau pembuat onar. Sikap ini keliru besar. Tapi ia wajib me￾ngambil ucapan orang yang sesuai Al-Quran, As-Sunnah dan pendapat

para sahabat.la3)

5. Berani Tampil Sebelum Memiliki Kemampuan yang

Memadai

Pelajar harus berhati-hati untuk tidak menampilkan diri sebelum

memiliki kapabilitas ilmu syar'i yang memadai. Sebab bila ia nekat me￾lakukannya, itu menandakan hal-hal berikut : Pertama, sifat bangga ter￾hadap diri sendiri lantaran berani menampilkan diri. Seolah ia melihat

dirinya seorang ulama berwawasan luas. Kedua, tindakan itu mengin￾dikasikan ia kurang memahami dan mengetahui berbagai persoalan.

sebab bila ia menampilkan diri sebagai orang berilmu tinggi, boleh jadi

ia menemui satu permasalahan yang ia tak sanggup melepaskan diri

darinya. Pasalnya, bila masyarakat mengetahuinya berbuat seperti ini,

mereka akan mengajukan berbagai permasalahan yang mengungkap

aib-aibnya. Ketiga, bila ia menampilkan diri sebelum memiliki keah￾lian yang cukup, ia tak dapat menghindari membuat-buat perkataan ter￾hadap Allah yang tak ia ketahui. Sebab biasanya, orang yang memiliki

ambisi seperti ini tak memedulikan berbagai konsekuensi ucapannya,

gegabah menjawab segala yang ditanyakan dan mempertaruhkan aga￾ma serta keberanian membuat perkataan terhadap Allah tanpa dasar

rlm:;^. Keempat,blIa seseorang menampilkan diri, pada umumnya eng￾gan menerima kebenaran. sebab dengan kedunguannya ia berpikir bila

dirinya tunduk pada orang lain meskipun orang itu benar, ini menun￾jukkan dirinya bukan orang alim.laa)6. Buruk Sangka

Penuntut ilmu wajib menghindari buruk sangka terhadap orang

lain. Misalnya mengatakan, "Orang ini bersedekah hanya karena pa￾mer"; "Murid itu bertanyakeuali agar dikenai sebagai murid yang pin￾tar". Orang-orang munafik dulu ketika seorang mukmin datang mem￾bawa sedekah banyak mereka mengatakan, "Ia pamer", namun bila ada

yang menyedekahkan sedikit, mereka berucap, 'Allah tidak membutuh￾kan sedekahnya." Ini sebagaimana Allah firmankary "(Orang-ornng mu￾nafik) ynitu orang-orong ynng ftIenceln orang-ornng mukmin yong memberi

sedeknh dengan suknrela don (mencela) ornng-orang yang tidak memperoleh (tm￾tnk disedekahknn) selain sekedar kesnnggupannyn, maka lrang-orang munnfik

ittt menghinn merekn. Allah akan membalns penghinaan mereka itu, dan untuk

merekn ndzab ynng pedih." (At-Taubah [9]:79\.

jangan buruk sangka terhadap orang yang lahirnya lurus. Tidak

ada bedanya antara berprasangka buruk terhadap guru atau kawanmu,

semuanya berdosa. Yang wajib bagi orang beriman adalah berprasangka

baik kepada orang yang sisi lahirnya baik. Sedang orang yang tidak tam￾pak baik secara lahiriyah, tak mengapa engkau menaruh curiga kepada￾nya. Namun demikian, engkau harus berusaha mencari kepastian agar

prasangka dalam dirimu tersebut hilang. Sebab sebagian orang terka￾dang prasangka buruk seseorang hanya didasari dugaan keliru yang

jauh dari kenyataan.

|adi, bila engkau menaruh curiga kepada seseorang, baik sesama

pelajar atau bukan, yang harus engkau lakukan adalah memperhatikan

apakah ada alasan-alasan kuat yang membolehkanmu curiga. Bila ada,

ini tidak mengapa. Namun jika sekedar dugaan belaka tanpa disertai

alasan kuat, maka engkau tidak dibenarkan berprasangka buruk ke￾pada seorang muslim yang secara lahir bisa dipercaya' Allah berfir￾man, "Hai orang-orang yang beriman, iauhilnh kebanyaknn dari prasangka..."

(Al-Hujura t [49] : 12). Allah tidak mengatakan'semua prasangka' sebab

sebagian prasangka memiliki dasar dan alasan pembenar. "'..Sesungguh￾nyn sebagian prasnngka itu ndnlnh dosa...," artinya tidak seluruhnya. Du￾gaan yang menghasilkan kesewenang-wenangan terhadap orang lain,

tidak diragukan adalah dosa. Demikian pula dugaan yang tak berdasar.

Adapun bila prasangka itu memiliki sandaran, tidak mengapa engkau

berprasangka buruk sesuai alasan-alasan penguat dan bukti-bukti.Oleh karena itu, seyogianya setiap orang menempatkan diri pada

posisinya dan tidak menodainya dengan kotoran. Ia harus menjauhi ke￾salahan-kesalahan yang telah disebutkan ini. Sebab penuntut ilmu syar'i

telah dimuliakan Allah dengan ilmu dan dijadikan panutan. Bahkan saat

terjadi sengketa di antara manusia Allah mengembalikan urusan mere￾ka kepada ulama. Dia berfirman, "...Maka tanyakanlnh kepnda orang-orang

yang berilmu, jikn kalian tidak mengetahui." (Al-Anbiya' t21l : 7). Firman￾Nya, "Dan apabila datang kepada mereka suntu berita tentang keamnnnn atnu￾pun ketakutan, mereka lalu menyinrkannya. Dan kalau mereka menyerahknnnyn

kepadn Rasul dan ulil nmri di nntara mereka, tentulah oranS-orang ynng ingin

mengetahui kebenarannya (nkan dapat) mengetnhuinya dnri mereka (Rasul dan

ulil amri)..." (An Nisa'[4] :83).

Intinya, engkau wahai penuntut ilmu syar'i adalah orang terhor￾mat. Karena itu, jangan engkau menjerumuskan dirimu ke dalamlubang

kerendahan dan kehinaan. Tapi jadilah sebagaimana mestinya dirimu.la5)

7. Mendiskreditkan ulama

Para ulama, tak diragukan, adakalanya benar dan adakalanya ke￾liru. Tak seorang pun di antara mereka yang terbebas dari kesalahan.

Namun tak sepantasnya, bahkan tidak boleh, kita memanfaatkan kesala￾han ulama sebagai celah untuk mencelanya. Sebab kekeliruan adalah ta￾biat manusia, semua orang mengalaminya bila tidak dibimbing Allah ke

jalan kebenaran. Akan tetapi bila kita mendengar satu kekeliruan dari

seorang ulama, da'i atau imam masjid kita harus menghubungi mereka

untuk klarifikasi. Sebab bisa jadi itu disebabkan kesalahan pemberitaan

saja, atau kekeliruan dalam memahami ucaPan meteka, atau ada niat

jahat untuk mencemarkan reputasi sumber berita itu. Yang pasti, siapa

di antara kalian mendengar dari seorang ulama, da'i, imam masjid atau

siapa pun yang memegang kewenangan; siapa mendengar dari orang￾orang ini sesuatu yang tak sepantasnya maka ia harus menghubunginya

dan menanyakan apakah benar sesuatu itu bersumber darinya atau ti

dak. Kemudian jika berita itu benar, hendaknya ia menjelaskan apa yang

dipandangnya keliru. Boleh jadi ia memang salah lalu mencabut penda￾pat kelirunya itu dan boleh jadi dia yang benar, lalu ia menjelaskan sisi-

sisi ketepatan pandangannya sampai tak ada lagi kesalahpahaman yang

terkadang kita lihat, utamanya di antara para pemuda.

Langkah yang wajib diambil para pemuda dan selain mereka apa￾bila mendengar berita miring seperti ini adalah mengendalikan lisan

mereka, berusaha memberi nasihat dan berkomunikasi dengan sumber

berita agar permasalahannya benar-benar gamblang. Adapun memper￾bincangkannya di forum-forum, apalagi di forum umum, dengan me￾ngatakan, "Bagaimana pendapatmu tentang si Fulan? Bagaimana pan￾danganmu tentang si Fulan yang berani berpendapat beda dengan orang

lain?" Ini satu hal yang sama sekali tak pantas disebarluaskan. Sebab

hanya akan menimbulkan fitnah dan kesemrawutan. Jadi, lidah wajib

dijaga. Nabi M bersabda pada Mu'ad zbinJabal, "Maukah aku beri tahuknn

p a d nmu kun ci s emu a itu? " Aku menj awab, " Y a, w ahai Rasulullah." Lantas

beliau memegang lidah dan bersabda, "Tahankh ini olehmu!" Aku ber￾tanya, "Wahai Rasulullah, apakah kami akan disiksa lantaran apa yang

kami ucapkan? " Beliau menj awab, " C el aka kam u, t ia dal ah y nng menj ungkir -

kan manusia pada wajah-wajah -atau hidung-hidung- mereka di dalam neraka

s elain do s a- do sn lidah mer eko.' 

1 I 6 )

Saya nasihatkan kepada para penuntut ilmu dan lainnya agar me￾reka bertakwa kepada Allah dan tidak menjadikan kehormatan ulama

dan pemimpin sebagai kendaraan yang dapat ditunggangi sesuka me￾reka. Sebab, bila ghibah pada manusia secara umum termasuk dosa be￾sar, maka terhadap ulama dan penguasa lebih besar lagi. Semoga Allah

menjaga saya dan Anda semua dari apa yang dapat mengundang murka￾Nya, dan memelihara kita dari tindakan yang mengandung kesewenang￾wenangan pada saudara-saudara kita. Sesungguhnya Dia Maha Derma￾wan lagai Maha Pemurah.laT)

Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang sebagian orang

yang suka mendiskreditkan ulama, mencela dan menghibah mereka.

Lantas beliau menjawab, "Tak diragukan, mendiskreditkan ulama

yang dikenal bertujuan baik, gemar menyebarkan ilmu, dan mengajak

pada agama Allah termasuk jenis ghibah paling berbahaya yang tergo￾long dosa besar. Mendiskreditkan para ulama seperti mereka ini, tidakseperti menyudutkan orang selain mereka. Sebab memfitnah para ulama

berkonsekuensi menebarkan kebencian pada mereka dan syariat Allah

yang mereka emban dan sebarkan. Sehingga menciptakan kebencian

pada mereka sama dengan memunculkan ketidaksukaan pada syariat Al￾lah. Ini berarti menghalang-halangi jalan Allah yang mengakibatkan ses￾eorang memikul kesalahan dan dosa sangat besar. Kemudian penolakan

masyarakat pada ahli ilmu seperti mereka ini secara pasti menyebabkan

mereka beralih kepada orang-orang bodoh yang malah menyesatkan

manusia tanpa dasar ilmu. Sebab masyarakat harus memiliki pemimpin

yang mereka ikuti dan patuhi. Adakalanya mereka ini para pemimpin

yang membimbing dengan perintah Allah atau para pemimpin yang

mengajak ke neraka. Maka bila masyarakat berpaling dari salah satu di

antara dua jenis pemimpin ini, pasti mereka cenderung pada yang lain￾nya.

Orang yang mencemarkan reputasi ulama seperti mereka ini harus

melihat kekurangan-kekurangan dirinya. Aib pertama yang mencederai

dirinya adalah perbuatannya mendiskreditkan para ulama tersebut. Di￾tambah aib-aib lain yang tak dimiliki ahlu ilmi dan mereka membebas￾kan diri dari terjerumus ke dalam aib-aib tersebut.la8)

Saya berpendapat, membicarakan keburukan ulama adalah perbua￾tan haram. Bila seseorang tidak boleh menghibah saudaranya sesama

mukmin, bagaimana ia dibenarkan menghibah saudara-saudaranya dari

kalangan ulama yang notabene juga kaum mukminin? Seorang insanbe￾riman wajib menahan lidahnya dari membicarakan keburukan saudara￾saudaranya seiman. Allah berfirman :

"=. 

i€3 i't;:;ti "r\.'3i\tfiii';#^f34 fi

"Hai orang-orang yanlg beriman, jauhilnh kebanya*nn Aori prororgt o,

sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian

mencari-cari kesalahnn orang lain dan janganlah sebagian dari knlianmenggLuljittg sfuagiotl ytTttg l(lin. Suknknh salnh seornng di nrttnrn lu￾linn mcmnknn dnging saudarnnyn ynng strdnh mnti? Makn tentulnh ka￾linn merasa jijik kepadanya. Dnn bertskzunlnh kepnda Allnh. Sesungguh￾nqn Allnh MnhLt Perrcrinn tnubat lngi Maln Perrynynng." (Al-Hujurat

1491 12)

Hendaknya orailg yang mengidap penyakit suka menghibah ula￾ma ini menvadari, bahwa bila ia mencemarkan nama t-raik seorang ula￾ma berarti dirinya akan menjadi sebab ditolaknya kebenaran yang di￾sampaikan ulama itu. Sehingga akibat dan dosa penolakan ini dipikul

si pencemar nama baik ini. Sebab pada hakikatnya, mendiskreditkan

seorang ulama bukan hanya menvudutkannya secara pribadi, tapi juga

mendiskreditkan warisan Muhammad U\.

Ulama adalah pewaris paranabi. Makabilapara ulama difitnah dan

reputasi mereka dinodai, masyarakat tak lagi percaya pada ilmu yang

mereka rniliki dan cliwarisi dari Rasulullah +:;. Ketika itulah, masyara￾kat tak lagi mempercayai sesuatu pun dari syariat yang disampaikan

ulama yang nama baiknya telah tercemar ini. Saya tidak mengatakan

setiap ulama rtu nttt'shutn. Sebaliknya, setiap manusia berisikcl melaku￾kan kesalahan. Namun bila engkau yakin melihat satu kesalahan dari

seorang ulama, hubungi ia dan minta klarifikasi padanya. Bila setelah

itu engkau tahu kebenaran ada di pihaknya, engkau wajib mengikuti￾nya. Bila engkau tidak tahu secara pasti, tapi engkau mendapati ada

kemungkinan pendapatnya benar, engkau hirrus menahan diri untuk

tidak menyalahkannya. Dan jika engkau tak menemukan kemungkinan

pendapatnya benar, ingatkanlah pendapatnyir tersebut, sebab rnembiar￾kan kesalahan itu tidak boleh. Tapi jangan mencelanya, sementara eng￾kar"r tahu bahwa ia seorang ulama yang diketahui memiliki niat baik.

Andai kita ingin mencela para ulama yang diketahui memiliki

niat baik lantaran satu kesalahan yang mereka lakukan dalam masalah￾masalah fikih, pasti kita akan rnencela para ulama besar. Yang harus

dilakr"rkan adalah seperti yang telah sava sampaikan. Yakni bila eng￾kau melihat satu kekeliruan dari seorang ulama, ajak ia berdiskusi dan

bicaralahbaik-baik dengannya. Jika kebenararl nampak jelas di pihaknya

engkau mengikutinya atau cli pihakmu ia mengikutimu. Atau permasa￾lahan tak terlihat gatnblang dan perbedaan pandang di antara kalian ber￾dua tergolong khilaf (perselisihan) yang boleh. Ketika itu, engkau harusmenahan diri untuk tidak menyalahkannya. Silahkan ia mengikuti pen￾dapatnya, dan silahkan engkau memegang pendapatmu.

Segala puji milik Allah. Perselisihan pendapat tak hanya terjadi di

masa ini saja. Khilaf sudah ada sejak masa para sahabat hingga zaman

ini. Adapun bila kesalahan tampak jelas akan tetapi ia tetap membela

pendapatnya yang keliru, engkau harus menjelaskan titik kesalahan itu

dan membuatnya menjauhinya. Namun bukan dengan asas mencemar￾kan nama baik ulama ini dan niat menghttkumnya. Sebab tokoh ini te￾lah mengatakan pendapat yang benar di luar masalah yang engkau per￾debatkan.

Intinya, saya memperingatkan saudara-saudaraku dari ujian ini.

Yakni mendiskreditkan ulama dan provokasi untuk menjauhi mereka.

Semoga Allah menjauhkan diriku dan mereka dari segala yang menim￾bulkan aib dan madharat pada agama dan dunia kita.lre)

Contohnya, dua ulama besar Imam Nawawi dan Ibnu Hajar. Ke￾duanya memiliki posisi terhormat dan jasa besar untuk umat Islam.

Bila keduanya keliru dalam menafsirkan sebagian nash-nash sifat itu

dimaafkan, mengingat berbagai keutamaan dan manfaat tak terhingga

yang keduanya berikan. Kami yakin kesalahan yang diperbuat kedua￾nya muncul sebagai hasil ijtihad dan penafsiran yang dibolehkan, me￾skipun itu menurut keduanya. Aku berharap pada Allah semoga itu ter￾masuk kesalahan yang diampuni, sedang kebaikan dan manfaat yang

keduanya berikan tergolong upaya yang diapresiasi. Dan semoga ber￾laku pada keduanya firman Allah ini, "...Sesungguhruln perbuatnn-perbun￾tnn yang baik itr.t menghnpusknn 6osn) perbuntnn-perbuntan ynng btmrk...."

(Hud [11] :1141.

Menurut kami, kedua ulama besar ini termasuk Ahlus Sunnah

wal Jamaah. Sebagai buktinya adalah khidmat keduanya terhadap sun￾nah Rasulullah g dan keseriusan keduanya dalam mensterilkan sun￾nah dari noda-noda yang dinisbatkan kepadanya dan dalam meneliti

hukum-hukum yang ditunjukkannya. Akan tetapi, Imam Nawawi dan

Ibnu Hajar menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah terkait ayat-ayat dan ha￾dits-hadits tentang sifat Allah atau sebagian darinya, berdasarkan ijtihadyang keduanya lakukan secara salah. Kita berharap pada Allah semoga

Dia memaafkan keduanya.

Adapun kesalahan dalam masalah akidah, jika kesalahan itu ber￾seberangan dengan jalan generasi salaf shalih, tak diragukary itu sesat.

Tapi pelakunya tidak lantas divonis sesat sampai hujjah disampaikan

padanya. Bila hujjah telah sampai dan ia tetap mempertahankan kesala￾han dan kesesatannya, ia dianggap sebagai ahli bidhh terkait keyakinan￾nya yang menyelisihi kebenaran. Meskipun ia bermanhaj salaf dalam

masalah-masalah yang lain. Jadi ia tidak dicap sebagai ahli bidhh mut￾lak, tidak pula disebut penganut manhaj salaf secara mutlak. Tetapi, ia

dianggap bermanhaj salaf dalam hal-hal yang sejalan dengan generasi

salaf shalih dan ahli bid'ah terkait masalah yang berseberangan dengan

mereka. Persis seperti pendapat Ahlus Sunnah tentang orang fasik; ia

mukmin dengan keimanan yang dimilikinya dan fasik lantaran kemak￾siatan yang diperbuatnya.Ia tidak disebut mukmin atau fasik secara to￾tal, pun sifat ini tidak dihilangkan darinya secara keseluruhan. Inilah

keadilan yang diperintahkan Allah. Kecuali bila perbuatan ahli bid'ah

itu mencapai batas yang mengeluarkannya dari agama, ia tak lagi memi￾liki kehormatan dalam kondisi ini.

Selanjutnya, perbedaan antara kesalahan dalam perkara ilmiah

dan amaliah, saya tak mengetahui satu dasar untuk membedakan antara

kesalahan dalam dua hal ini. Akan tetapi, karena generasi salaf sepakat

-sepanjang pengetahuan kami- mengimani perkara-perkara ilmiah

yang krusial dan perselisihan dalam masalah ini hanya terkait cabang￾cabangnya saja, bukan pokoknya, maka orang yang berbeda pendapat

dalam perkara ini jumlahnya lebih sedikit dan sangat dikecam. Gene￾rasi salaf berbeda pendapat dalam beberapa masalah cabang perkara￾perkara ilmiah, seperti perbedaan pendapat mereka apakah Nabi $

pernah melihat Rabb dalam keadaan terjaga, kemudian tentang nama

dua malaikat yang bertugas menanyai mayit di kubur, apakah siksa

kubur ditimpakan pada fisik saja dan tidak pada ruh, apakah anak-anak

kecil dan orang-orang yang tidak mukallaf ditanyai di kubur mereka.

Kemudian apakah umat-umat terdahulu juga menghadapi pertanyaan

di dalam kubur sebagaimana yang dialami umat ini. Mereka berbeda

pendapat juga tentang wujud shirat yang dipasang di atas Jahanam,

dan perbedaan pendapat mereka apakah neraka itu fana atau abadi,

serta beberapa masalah lainnya. Namun perlu diingat bahwa pendapat

jumhur uiamalah yang benar dalam masalah-masalah ini, sedangkan

pendapat yang menyelisihi tidak kuat.

Demikian pula terdapat perbedaan pendapat dalam perkara-per￾kara amaliah yang adakalanya kuat dan adakalanya lemah. Dengan de￾mikian, Anda mengetahui pentingnya doa ma'tsur berikut :

,o'9,,a,^'o g:i .,;!r-i;Jl . JJl JLe

)'. o o , ) 

, o , 

t ',

aa r dtt r^J ,rir i 4;" + \ yS tl* ir[" ;o

&' b\'r- A 

', 

iw ucg'Ut,.lr\U ' t /

J

t/ o 1

d>r.*.r

\

- lr o>)t

'b' 

dt

"Yn Allah, pencipta langit-Iangit dan bumi, Maha mengetnhui ynng gaib

dan yang lahir, Engkau memutuskan di antara hamba-hnmba-Mu dalam

perkara yang mereka perselisihkan. Tunjukilah aku pada kebenaran yang

diperselisihkan, sesungguhnyn Engkau menunjuki siapa yang Engknu

kehendaki pada jalan yang lurus."150)

Syaikh Ibnu 'Utsaimin pernah ditanya tentang fenomena perbe￾daan fatwa antara satu ulama dengan ulama lain dalam masalah yang

sama. Apa jalan keluarnya dan bagaimana sikap yang harus diambil

penerima fatwa? Beliau menjawab, "solusinya adalah dua hal : Pertama,

ilmu. Boleh jadi salah seorang dari dua mufti itu tidak memiliki ilmu

yang dikuasai oleh mufti lain. Sehingga mufti kedua ini berwawasan

lebih luas dan ia mengetahui apa yang tidak diketahui mufti pertama.

Kedua, pemahaman. Manusia sangat beragam dalam memahami se￾suatu. Boleh jadi tingkat pengetahuan mereka sama, namun mereka ber￾beda-beda dalam memahami. Maka Allah memberi si Fulan pemaha￾man yang luas dan cerdas, sehingga ia bisa memahami lebih mendalam

apa yangdiketahuinya daripada pemahaman orang lain. Dengan begitu

ilmunya lebih banyak, pemahamannya lebih kuat dan lebih mendekati

kebenaran daripada yang lain.

Sehubungan dengan orang yang meminta fatwa, bila dua orang

ulama ahli fatwa memberinya fatwa berbeda maka ia mengikuti penda￾pat ulama yang ia pandang lebih mendekati kebenaran, bisa karena

ilmunya dan bisa pula lantaran wara'dan kualitas agamanya. Seandai￾nva seseorang sakit dan dua orang dokter memberikan diagnosis ber￾beda, maka ia mengambil pendapat dokter yang dipandangnya lebih

mendekati kebenaran. Kemudian jika keduanya sama dan salah satu

dari dua mufti tersebut tidak lebih kuat dari yang lain, ia bebas memilih

untuk mengambil fatwa mufti A atau fatwa mufti B. Dan hendaknya ia

mengikuti fatwa yang bisa lebih diterima jiwanya dengan tenang.tsr)LNNNNCNN MIITZTINTA FATWA KEPADA LEEIH

DARI SNIU UIRUE

rang yang meminta fatwa harus menghindari meminta fatwa

kepada lebih dari satu ulama (dalam satu masalah). Sebab￾sebab tindakan seperti ini bisanya didasari oleh keinginan

menuruti hawa nafsu dan dilakukan oleh orang yang tidak memiliki spi￾rit religius yang dapat mengarahkannya pada ketakwaan untuk meng￾hindari apa yang ia pandang haram. Bila seseorang mau introspeksi diri

dan menyadari dirinya akan kembali kepada Allah meskipun waktunya

masih lama, niscaya ia dapat mengalahkan hawa nafsunya dan mengen￾dalikan jiwanya.

Alasan lain mengapa tindakan tersebut tidak dianjurkan adalah

karena setan memperkecil nilai maksiat seperti ini di hati hamba, pada￾hal Nabi {$ telah mengingatkannya. Beliau bersabda, "Hatlhatilahknlian

pada dosa-dosa kecil. Sesungguhnya perumpamaan hal itu seperti satu kaum

yang singgah di sebuah tempat. Lantas ornng ini membawa sebntang ranting,

orang ini membawa sebatang ranting, dan orang ini juga membawa sebatnng

ranting. Kemudian bila mereka telah mengumpulkan kayu bakar yang banynk,

mereka bisa menyalakan api yang besar."152)

Demikian halnya dosa-dosa kecil yang dipandang remeh sese￾orang bila itu terus diperbuat hingga menjelma menjadi dosa-dosa be￾sar. Oleh sebab itu ahlu ilmi mengatakan, "Mengerjakan dosa kecil se￾cara terus-menerus mamPu menjadikannya dosa besar, dan istigfar dari

dosa besar dapat menghapuskannya." Karenanya, kami katakan pada

mereka, "Introspeksilah diri kalian."

Alasan lainnya adalah minimnya amar makruf dan nahi munkar.

Andai kita semua bila melihat seseorang melakukan kemaksiatan, iamenegurnya, membimbing dan menjelaskan padanya bahwa perbuatan

tersebut menyelisihi ajaran Rasuluilah ff pasti orang yang masih ber￾pikiran sehat mau mengambil pelajaran dan berubah.153)BRHRye MINAgunr KI goHoNGAN

TrRuRoRp umvn

ukan hal aneh bila ada ungkapan yang disandarkan kepa￾da seorang ulama terkemuka yang sejatinya tidak berasal

darinya, bahkan sesuatu yang secara tegas ia menyatakan

kebalikannya. Contoh seperti ini sudah terjadi sejak periode generasi sa￾laf shalih. Dalam Shohih Muslim,kitab : Pakaian, bab : Larangan Memakai

Bejana dari Emas dan Perak,IIl:164l bahwa Asma'binti Abi Bakar me￾ngutus budaknya kepada Abdullah bin Umar.Ia mengungkapkan, 'Aku

mendengar berita tentang dirimu bahwa engkau mengharamkan tiga

hal; gambar pada pakaian, bantalan pelana berwarna merah tua dan

puasa penuh di bulan Rajab." Lalu Abdullah menjawab, "Mengenai pua￾sa di bulan Rajab yang engkau singgung, bagaimana dengan orang yang

puasa sepanjang zaman? Tentang gambar pada pakaian yang engkau

sebutkan, sungguh aku pernah mendengar Umar bin Khathab berkata,

Aku mendengar Rasulullah ffi bersabda,'Hanya ornng yang tak memiliki

bagian (kebalmgiaan di nkhirat) yang memakai sutra; Aku khawatir, gambar

tersebut termasuk dalam larangan ini. Kemudian terkait bantalan pe￾lana berwarna merah tua, ini bantalan pelana milik Abdullah sendiri

ternyata berwarna merah tua."

Setelah itu budak Asma' pulang dan memberitahukan kepadan￾ya apa yang dikatakan oleh Abdullah. Lalu Asma'berkata, "Ini adalah

jubah Rasulullah ffi!' Ia mengeluarkan sebuah jubah kekaisaran yang

berwarna hijau dan berkerah sutera, sedangkan kedua sisinya dijahit

dengan sutera. Ia berkata, "fubah ini dulu disimpan Aisyah sampai ia

wafat. Ketika ia telah meninggal dunia, aku mengambilnya. Dulu Nabi

{g mengenakannya. Kami mencucinya untuk orang sakit, sebagai upaya

mencari kesembuhan dengannya."l5a)

Perkataan Ibnu Umar, "Bagaimana dengan orang yang puasa se￾panjang zaman?" bertujuan mengingkari orang yang mengalamatkan

pengharaman puasa sebulan penuh di bulan Rajab pada dirinya. Ia me￾nolak pengharaman tiga hal di atas disandarkan pada dirinya. Ia me￾ngingkari telah mengharamkan puasa penuh di bulan Rajab dengan

menyatakan ia sendiri puasa sepanjang masa, dan pengharaman gam￾bar di baju dengan mengungkapkan bahwa ia meninggalkannya karena

khawatir hal itu masuk kategori memakai sutra. Jadi ini sikap kehati￾hatian saja. Ia juga mengingkari telah mengharamkan bantalan pelana

berwarna merah tua dengan mengatakan ia sendiri memiliki bantalan

pelana seperti ini.

Intinya, membuat-buat kebohongan terhadap ulama sudah ada se￾jak zaman dahulu. Dan faktor-faktornya adalah : Pertama, seseorang

mengajukan pertanyaan kepada seorang ulama dengan kalimat tak

langsung, tetapi ulama tersebut memahami berbeda dengan yang di￾inginkan si penanya. Lantas ia menjawab sesuai pemahamannya terha￾dap pertanyaan dan si penanya memahami jawaban itu berdasarkan tu￾juan pertanyaannya. Kedua, ulama memahami pertanyaan seperti yang

diinginkan penanya dan ia menjawab sesuai dengan itu, tapi penanya

memahaminya tidak seperti yang dimaksudkan penjawab. Ketiga, se￾seorang memiliki interes pribadi terkait hukum suatu permasalahan,

lalu ia memublikasikannya dengan mencatut nama seorang ulama ter￾kemuka agar lebih dapat diterima. Keempat, kemungkinan lain, hukum

terkait suatu permasalahan aneh dan tidak wajar, menurut dirinya.

Lalu ia menisbatkannya pada seorang ulama guna mencoreng reputasi￾nya dan menjadikannya kendaraan untuk mengobral kekurangan dan

mendiskreditkan ulama tersebut. Padahal ia tak pernah mengeluarkan

fatwa seperti itu. Dan masih banyak lagi sebab-sebab lain. Namun yang

paling buruk di antara yang telah kami sebutkan adalah dua sebab yang

disebutkan terakhir.

Langkah yang harus ditempuh orang yang mendengar ucapan

seperti ini, pertama-tama, ia membuktikan kebenaran pengalamatan

pendapat tersebut kepada ulama yang menjadi korban. Kemudian mem￾pelajari pendapat yang diceritakan itu, apakah layak diperhitungkan.

Bila ya, maka ia menerima dan membelanya. Karena itu kebenaran, se￾mentara kebenaran itu wajib diterima dan wajib pula membela orang

yang mengatakannya. Namun, bila tidak layak diperhitungkan, ia ha￾rus menghubungi orang yang mengatakannya dan meminta klarifikasi

dengan sopan. Contohnya mengatakan, "Saya mendengar demikian.

Apa alasan hal tersebut menurut pengetahuan Anda?" Atau ungkapan

semisal ini.

Langkah selanjutnya, ia mengajaknya berdiskusi dengan tetap

menjaga sopan santun dan sikap hormat. Berdasarkan firman Allah,

"serulah (manusia) kepada jalan Rnbbmu dengan hikmah dan pelajnrnn yang

baik danbantahlah merekn dengan cara yanglebihbaik..." (An-Nahl [16] : 125).

Kecuali bila orang itu keras kepala dan sewenang-wenang, maka perlu

didebat sebagaimana mestinya. Sebagaimana firman Allah terkait men￾debat Ahli Kitab, "Dan janganlah knmu berdebat dengan Ahli Kitab, melnin￾kan dengnn cara yang pnling baik, kecuali dengan lrang-orant zhalim di nntara

mereka..." (Al-Ankab ut l29l : 46).

Bila setelah diskusi ini kebenaran tampak dengan nyata, orang

yang mengetahuinya wajib mengikutinya dan membela orang yang me￾ngucapkannya. Dan jika kedua belah pihak tidak melihat secara jelas

kebenaran ada pada kawannya, Allah yang akan menghukumi semuan￾ya. Allah mengetahui hati setiap orang dan pendapatnya. Pendapat ma￾sing-masing tidak menjadi hujjah atas yang lain. Maka hendaknya se￾tiap orang mengikuti apa yang ia yakini sebagai kebenaran tanpa perlu

mencela kawannya atau menuduh sebagai ahli bid'ah dan fasik, selama

permasalahEp tersebut dalam koridor ijtihad.tssrKlwnl IBAN MTxcRMALKAN I LMU

eseorang yang mengetahui suatu hukum syariat yang benar

wajib menyampaikannya kepada orang lain. Sebab menga￾malkan apa yang seseorang ketahui mengharuskan menjaga

ilmu tersebut dengan praktik dan Allah akan menambahnya semakin

bercahaya dengan Al-Quran. Maka dengan menjaga ilmu melalui men￾gamalkannya, ia memperoleh keuntungan bahwa Allah memberinya

cahaya yang menambah terang cahaya ilmu yang telah dimiliki. Allah

berfirman;

.,i..-'.:. t.-.,.. .t- r.i r, t-. ..'". t t 

'

UL ij.jr -o-r.-o q-l:l 't &3\,1.n J-; + at- -l;\ L rir;

-, J \. - vJ - a) - e / JJ

"; --;ji Cit ! u';Q;'^^'1 t!.-t,i+',|\u; -. .ii

,!. t:'+L S:)i;W;4*, J'"Gr r?"|'k,;^g#

"Datt apabila diturunkan suat'.u ,uiot, *oko di antara mereka ('orang￾orang munnfik) ada yang berkata, 'Siapa di antara kalinn yang bertambah

imannya dengan (turunnya) sttrat ini? Adapun lrang yang beriman,

maka surat ini mennmbnh imannya, sednng merekn mernsa gembirn.

Dan adapurl orang yang di dalam hati mereka nda penyakit, mnka de￾ngan surat ittt bertambnh kekafiran tnereka, di snrnping kekafirannya

Qang telah ada) dan mereka mati dalsm kendaan kafir." (At-Taubah

[9]:12a-12S\.

Karenanya, ada ungkapan : "Ilmu itu memanggil amal. Bila amal

menjawab, ilmu semakin bertambah, namun bila tidak maka ilmu pun

pergr". Dalam menuntut ilmu, kaum salafush shalih dulubila sudah me￾ngetahui satu materi mereka mengamalkannya. Kebanyakan mereka me￾ngetahui dengan baik semangat bersegera dan antusiasme para sahabat

dalam beramal. Bahkan, ketika Nabi g menghasung kaum wanita agar

bersedekah di hari raya, mereka segera melemparkan perhiasan yang

menempel di telinga. Mereka melemparkannya ke baju Bilal. Mereka

tidak mengatakan, "Bila kami telah sampai di rumah kami akan berse￾dekah." Tapi mereka bersegera melaksanakan perintah tersebut.

Demikian halnya seorang laki-laki yang cincin emasnya dibuang

Nabi ffi, ia tak lagi memedulikannya setelah tahu hal itu diharamkan.

Sehingga kala dikatakan padanya, ambil cincinmu agar bisa engkau

manfaatkan, ia menjawab, "Demi Allah, aku tak akan memungut cincin

yang telah dibuang oleh Nabi S." Bahkan ketika Rasulullah ffi meme￾rintahkan para sahabat pergi ke Bani Quraizhah, "langanlnh salah seorang

kalian shalat Asar kecuali di Bani Qurnizhah,"156) mereka langsung berang￾kat meskipun masih sangat lelah karena baru selesai melakoni Perang

Ahzab. Sehingga ketika datang waktu shalat Ashar, sementara mereka

masih di tengah perjalanan, sebagian segera menunaikan shalat karena

takut waktunya habis dan sebagian menundanya sampai tiba di Bani

Quraizhah karena berpegang pada sabda Nabi ffi, "langanlnh salnh se￾orang kalian shalat Ashar kecuali di Bani Qurnizhah."

Wahai saudaraku penuntut ilmu, perhatikanlah bagaimana antu￾siasme para sahabat dalam mengaplikasikan ilmu yang mereka timba

dari Nabi ffi. Bila kita terapkan semangat ini pada kondisi real sekarang,

apakah kita memiliki semangat hebat ini di zaman ini? Aku yakin sema￾ngat ini banyak yang hilang. Kita sangat mengetahui bahwa shalat wajib

adalah salah satu rukun Islam di mana seseorang dihukumi kafir ka￾rena meninggalkannya. Kita paham betul bahwa shalat berjamaah ada￾lah wajib 'ain dan harus dilakukan. Kita mengetahui banyak hal dari

larangan-larangan, namun faktanya kita mendapati masih ada saja pe￾nuntut ilmu yang melanggar keharaman tersebut' Demikian pula orang

yang meninggalkan shalat wajib dan tidak memedulikanryra. Ini satu

bukti jurang perbedaan yang lebar antara penuntut ilmu masa lampau

dan penuntut ilmu masa sekarang.tsz)

Jadi, ilmu harus diamalkan karena buah ilmu adalah amal. Bila se￾seorang tidak mempraktekkan ilmunya, ia menjadi orang pertama yang

menjadi bahan menyalakan neraka di hari kiamat' Seorang penyair me￾ngungkapkan, "Dan orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya

akan diadzab mendahului para penyembah berhala."

Bila seseorang tidak mengamalkan ilmunya ia menyebabkan kega￾galan menuntut ilmu, hilangnya berkah dan terlupakannya ilmu terse￾but. Ini berdasarkan firman Allah, "(Tetapi) karena mereka melanggar jnn￾jinyn, Kami kutuk mereka, dan kami jadikan hati ntereka kerns membatu. Mereka

suka mengubah perkataan Allah) dari tempnt-tempatnya, dnn mereka (sengaja)

melupakan sebagian dari npa yang mereka telah diperingatkan dengannya..."

(Al-Maidah [5] : 13). Maksud lupa di sini meliputi lupa ingatan dan lupa

amal. Maka pengertiannya, mereka melupakan peringatan dengan tidak

mengingatnya atau melupakannya dengan tidak mengerjakannya. Sebab

kata an-nisyan (hrya) secara etimologi berarti meninggalkan. Sedangkan

bila seseorang mengaplikasikan ilmunya niscaya Allah menambahinya

petunjuk (ilmu). Allah berfirmary "Dan orang-orangyang mendapat petun￾juk Allah mensmbah petunjuk kepada mereka..." Dan meningkatkan ketak￾waannya. Oleh karena itu selanjutnya Dia berfirman, "...Dan memberikan

kep nd a mer ekn (t nmb ahan) ket akw a anny a. " (Mu ham mad. l47l : 17\.

Bila seseorang mengamalkan ilmunya, Allah memberinya penge￾tahuan yang belum ia ketahui. Salah seorang tokoh ulama salaf berkata,

"Ilmu itu memanggil amal, bila amal menjawab (ilmu semakin bertam￾bah) namun bila tidak maka ilmu pun pergi."158)LARANGAN MEMASUKKAN KTOUN TANCNN

KE DALAIVT AIN SETII-NH BANGUN TIDUR

SrsrLuA Dtcuct Ttcn KALI

Rasulullah ffi bersabda :

tJ,

oJ,r

" Apabila seorang dari kalian bangun tidur, janganlah ia mencelupknn

tangannya ke dalam wadah (berisi air) sebelum ia mencucinya tiga kali'

Sebab ia tak tahu di mana tangannya bermalam,"

Hadits ini berisi larangan memasukkan tangan secara langsung ke

dalam wadah berisi air setelah tidur. Alasannya, seperti telah diungkap￾kan dalam hadits di atas, karena seseorang tidak tahu di mana tangan￾nya semalam. Tapi seandainya tangan dicelupkan ke dalam air yang

melimpah, air itu tetap suci dan menyucikan (karena hadits di atas

menunjukkan larangan ini berlaku hanya pada air yang jumlahnya

sedikit). Dan andai seseorang memasukkan kakinya ke dalam air maka

air tetap suci dan menyucikary sebab dalam hadits ini Nabi S men￾yabdakan 'tangan', bukan kaki. Demikian pula kalau seseorang men￾celupkan hastanya, air tetap suci dan menyucikan (karena pengertian

'tangan'bila diungkapkan secara umum adalah ujung jari sampai perge￾langan tangan). Dan seandainya orang kafir memasukkan tangannya,

air tersebut juga tetap suci. Begitu juga orang gila dan anak kecil karena

keduanya tidak mukallaf (tidak dikenai beban kewajiban syariat). Ini

juga berlaku jika seseorang tidur sebentar di malam hari. Demikian￾lah ketetapan yang dinyatakan oleh mazhab Hambali. Dan seandainya

seorang yang sudah terkena beban taklif memasukkan tangannya ke

dalam air dengan ketentuan-ketentuan yang disebutkan Pengarang

(kitab Zadul Mustaqni' fi lkhtisharil Muqni'; Abu Naja Musa bin Ahmad

bin Musa Al-Hijawi) maka air tetap suci tapi tidak menyucikan'

Akan tetapi bila Anda memperhatikan permasalahan ini, Anda

mendapati ketentuan-ketentuan tersebut sangat lemah. Sebab hadits

tersebut tidak menunjukkannya. Hadits itu hanya berisi larangan me￾masukkan tangan (setelah tidur dan sebelum dicuci tiga kali) sementara

Rasulullah 4s sedikit pun tak menyinggung jumlah air.

Sabda belial), " Karena snlah seorang knlian tidak tahu di mann tangannya

bermalam," mengandung dalil bahwa air itu tidak mengalami perubahan

hukum. (Artinya tetap suci dan menyucikan meskipun seseorang yang

bangun tidur memasukkan tangannya tanpa mencucinya terlebih da￾huIu, --pener7.). Sebab pengungkapan alasan ini mengindikasikan bahwa

larangan tersebut dalam konteks kehati-hatian saja, bukan dalam kon￾teks keyakinan yang bisa menghapus hukum yang telah diyakini sebe￾lumnya. Jelasnya, sekarang kita yakin bahwa air itu suci dan menyuci￾kan. Keyakinan ini tak bisa dihilangkan kecuali dengan sebab yang

diyakini ada, sehingga tak dapat dihapus oleh keragu-raguan (asumsi).

Bila Rasulullah S melarang seorang muslim memasukkan tangan￾nya ke dalam air sebelum dicuci tiga kali, maka implementasi larangan

ini pada orang kafir lebih tepat lagi. Pasalnya, sebab larangan yang ada

pada orang muslim yang tidur ini, juga ditemukan pada orang kafir yang

tidur. Adapun alasan pembicaraan tersebut tidak ditujukan pada orang￾orang kafir, jawabnya adalah bahwa pendapat yang benar orang-orang

kafir juga menjadi sasaran pemberlakuan masalah-masalah cabang sya￾riat. Perkara ini bukan termasuk hukum taklifi (yang mengharuskan

terpenuhinya syarat-syarat sebagai mukallaf dan memiliki kekuatan

hukum wajib, sunah, mubah, makruh atau haram). Tetapi merupakan

hukum wadh'i (ya.g merupakan hubungan sesuatu dengan sesuatu

yang lain sebagi sebab, syarat, penghalang, penentu sah atau batal).

Kemudian terkait pemberlakuan syarat taklif dalam masalah ini,

dapat dikatakan bahwa anak dalam usia tamyizlse) dikenai larangan se￾perti ini meskipun ia tak mendapat sangsi seandainya melanggar. Sebab,

boleh jadi tangannya terkotori najis atau ia tidak istinja setelah berhadats,

padahal tangannya menyentuh kemaluan saat terlelap tidur? Logiskah

bila masuknya tangan orang mukallaf yang menjaga kebersihan diri ke

dalam air dianggap membahayakan, sementara masuknya tangan anak

dalam usia tamyiz tidak dihukumi membahayakan? Jadi pendapat inilemah menurut kacamata hadits maupun pengamatan. Lemah menurut

kacamata hadits karena hadits di atas sama sekali tak menunjuk pada

pendapat tersebut. Sedangkan lemah secara pengamatan karena syarat￾syarat yang mereka sebutkan, yakni islam, mukallaf dan bangun dari ti￾dur di malam hari, tidak secara pasti disimpulkan dari hadits tersebut.

Hal-hal yang mereka jadikan dalil untuk syarat-syarat ini dari

hadits tersebut adalah : Pertama, sabda beliau, "Salah seorang di antnra

kalinn," yang diajak bicara ini (mukhathnb) adalah kaum muslimin. Jadi

ini syarat harus beragama Islam. Kedua, sabda beliau, "Salah selrang

di antara kalinn," tidak diajak bicara dalam hukum-hukum syar'i selain

orang yang mukallaf. Ketiga, sabda beliau, "Bermalam," kata baitutnh

tidak terjadi kecuali di waktu malam. Keempat, selain itu, menurut

mereka, disyaratkan tidur tersebut termasuk tidur yang membatalkan

wudhu'. Syarat ini disimpulkan dari sabda beliau, "Sesungguhnya salah

seorang kalian tidnk tahu." Artinya, dalam tidur yang tidak lelap seseorang

masih mengetahui dirinya sehingga tidak membahayakan bila ia lang￾sung memasukkan tangan ke air setelah bangun tidur.

Bila demikian, seharusnya dikatakan, tangan orang kafir dan anak￾anak yang belum menginjak usia tamyiz lebih membahayakan lagi. Ke￾simpulan pendapat mereka adalah bila syarat-syarat yang mereka sebut￾kan ini terpenuhi lalu tangan dimasukkan dalam air sebelum dicuci 3

kali, maka air tetap suci tapi tidak menyucikan.

Yang benar, air tersebut tetap suci dan menyucikan. Akan tetapi

pelakunya berdosa karena menyelisihi perintah Nabi $ dengan mence￾lupkan tangannya sebelum di cuci 3 kali.

Menyadari lemahnya pendapat ini, mereka mengatakan, "Bila se￾seorang tidak menemukan selain air yang suci namun tidak lagi menyu￾cikan tersebut, ia boleh menggunakannya untuk bersuci kemudian ber￾tayamum sebagai langkah kehati-hatian." Artinya, mereka mewajibkan

dua kali bersuci kepada orang ini. Pertanyaannya, adakah pewajiban

seperti ini dalam Al-Quran atau sunnah Rasulullah S? Yang wajib da￾lam bersuci adalah menggunakan air atau debu, bukan menggabungkan

kedua-duanya. Akan tetapi karena ulama-ulama ini -semoga Allah me￾rahmati mereka- menyadari kelemahan pendapat ini, bahwa air telah

berubah status dari suci dan menyucikan menjadi sekedar suci, mereka

mengatakan, "Menggunakannya dan bertayamum".Bila ditanyakan, apa hikmah larangan memasukkan tangan ke da￾lam bejana berisi air bagi orang yang bangun tidur sebelum mencucinya

tiga kali? Jawabnya, hikmahnya telah diterangkan sendiri oleh Rasu￾lullah g melalui sabda beliau, "Karena sesungguhnya salah selrang kalian

tidak tahu di mana tangannya bermalam."

|ika seseorang mengatakary'Aku memakai sarung tangan sehing￾ga aku yakin tanganku tak menyentuh sesuatu yang najis dari tubuhku.

Belum lagi aku tidur setelah melakukan istinja'secara syar'i. Kalau dia￾sumsikan tangan itu menyentuh kemaluan atau anus, tetap tidak najis."

Jawabnya,para fuqaha' mengatakan,'Alasan larangan ini tidak diketa￾hui secara pasti, sehingga mengamalkan perintah dalam hadits ini ter￾masuk jenis ibadah mahdhah." Akan tetapi, pengertian eksplisit hadits

ini menunjukkan bahwa larangan ini didasari alasan jelas, yakni sabda

beliau, "Karena sesungguhnya salah seorang kalian tidak mengetahui di mans

tangannya bermalam."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, "Pemberian ala￾san ini seperti pemberian alasan dalam sabda beliau, "Apabila salah se￾orang kalian bangun dari tidur hendaknya ia beristintsar (menghirup air ke hi￾dung) tiga kali, sebab setan bermalam di lubang hidungnya."roor \z[sngftin saja

tangan ini dipermainkan oleh setan dan ia menempelkan sesuatu yang

membahayakan manusia atau merusak kesucian air. Karenanya, Nabi

$ melarang seseorang memasukkan tangannya ke dalam air sebelum

dicuci tiga kali."

Apa yang diungkapkan Syaikhul Islam ini sangat brilian. Sebab

andai kita merujuk pada perkara yang konkret, sungguh seseorang tahu

di mana tangannya bermalam. Akan tetapi sunnah itu sebagian darinya

menjelaskan sebagian 1rang lain.161)

$LARANGAN MEMAKAI AIR SUCI YANG

KTmUNGKTNAN Br ncRptPUR Nn1 rs

ila air yang suci kemungkinan bercampur najis maka ha￾ram memakainya. Sebab menjauhi najis itu wajib dan ber￾suci tak terlaksana kecuali dengan menjauhinya. Ada kai￾dah yang menyatakan, 'Kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali

sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajrb." Ini merupakan dalil teoritis.

Namun barangkali pendapat ini dapat ditopang oleh dalil hadits bahwa

Nabi S berkata pada seseorang yang membidik hewan buruan lalu

hewan itu terjatuh di air :

^'. .1... , 

o o . 

/ t / o I o.. 

' o

)\ ^W itlt €ss Y .rlj!, c, _$ii )i eLJt

"likn engknu mendapatinya tenggelam dalnm nir, janganlah engkau me￾makannya, knrena engkau tak tahu air atau anak panahmu yang menye￾babkannya mati."162)

Beliau juga bersabda :

' ' !'o ' ' o 

'

e tA"f 4i-r+J Jli

-' ,o, !JI;-€""

4-t8

Diriwayatkan oleh Bukhari, hadits no.

Ibid.

/ O/ O

sql5 i- oG'1 iyj .l_J: ' 

,i.'- ,,,'

^*, dji

/ z r, o ro..,,, 

: oi,. r,o:,r?._ ) .:L!i Jtir )'t' ,f fi:;';i K

"Apabila engkau mendapati anjing lain bersama anjingmu dan mem￾bunuh (buruan), maka jangan engkau mgkan (binatang burusn itu),

karena engkau tidaktahu manakah di antarakeduanyayang membunuh￾nya. '-'


Nabi * memerintahkan tidak memakan binatang buruan terse￾but, sebab tidak diketahui apakah binatang itu halal atau haram?

Ungkapan penulis, "Dan tidak perlu memeriksa," artinya tidak

perlu meneliti manakah air yang suci lagi menyucikan dan mana yang

najis. Atas dasar ini, seseorang wajib menjauhi kedua air itu walaupun

seandainya ada bukti-bukti luar yang bisa dijadikan petunjuk. Pendapat

inilah yang populer dari mazhab Hambali. Sementara itu,Imam Syafi'i

menyatakan, "Ia perlu memeriksa". Inilah yang tepat dan merupakan

pendapat kedua dalam rnazhab Hambali, berdasarkan sabda Nabi S

dalam hadits Ibnu Mas ud terkait masalah ragu-ragu dalam shalat, "Apa￾bila seorang dari kalinn ragu-ragu dalam shalatnyn, hendaknya ia mengingnt￾ingati ynng benar kemudian mendasarkan (kelanjutnn shalat) padanya."16a)Ini

dalil berupa atsar terkait adanya perintah mendalami dalam perkara￾perkara yang samar.

Sedang dalil teoritisnya, bahwa di antara kaidah yang diakui ahlu

ilmi : Apabila tidak mungkin mencapai keyakinan maka kembali pada

asumsi yang paling kuat. Dalam masalah ini, bila kesulitan mencapai

keyakinan maka kita merujuk pada asumsi yang lebih kuat, yakni mela￾kukan pemeriksaan. Ini jika ada bukti-bukti eksternal yang menunjuk￾kan air ini yang suci dan air itu yang najis. Sebab dalam kondisi seperti

ini, bisa dilakukan pengamatan pada obyek permasalahan dikarenakan

adanya beberapa indikator penguat tersebut. Adapun bila tidak ada fak￾tor penguat, misalnya kedua wadah air sama persis baik jenis maupun

warnanya, bisakah dilakukan pengamatan?

Sebagian ulama berpendapat, "Bila hatinya merasa yakin pada

salah satu dari keduanya, ia boleh mengambilnya'" Mereka mengiyas￾kannya de4gan kasus apabila seseorang tidak mengetahui secara pasti

arah kiblat dan ia mencari-cari pertanda namun tak mendapati apa-apa.

Mereka berkata, "Ia shalat ke arah yang diyakininya." Nah, dalam kasus

ini ia juga menggunakan apa yang diyakini hatinya. Memang, pendapat

bolehnya menggunakan salah satu dari dua air itu dalam kondisi seperti

ini mengandung semacam kelemahan. Tapi ini lebih baik daripada be￾ralih ke tayamum.lLARANGAN MENGGUNAKAN BTINNN EMAS

DAN PINNT

?la kaidah ushul fikih yang berbunyi, "Pengecualian me￾rupakan standar perkara yang bersifat umum". Artinya,

andai seseorang mengecualikan sesuatu dari ucapan yang

bermakna umum, maka selain yang dikecualikan itu masuk kategori

umum. Berangkat dari pengertian ini, berarti segala wadah boleh diper￾gunakan selain wadah yang terbuat dari emas dan perak, berdasarkan

sabda Nabi ffi, "langan kalian minum dengan wadah dari emas dan perak dan

j angan kalian makan dengan piring keduany a."

Sebagian ahli fikih menyebutkan pengecualian lain. Mereka men￾gatakan, "Kecuali tulang dan kulit manusia." Artinya, kita tidak boleh

membuat dan menggunakannya sebagai wadah, karena kulit dan tu￾lang itu terhormat lantaran kehormatan yang dimiliki manusia. Dan

Nabi ffi pernah bersabda, "Memecahkan tulang mayit itu seperti memecah￾kannya saat hidup."166) Sanadnya shahih.

Emas merupakan bahan tambang yang diketahui bersama. Yakni

jenis logam mulia berwarna merah kekuning-kuningan yang bernilai

jual tinggi dan disukai orang. Secara fitrah, Allah memberi makhluk rasa

suka pada logam mulia ini. Demikian pula perak, namun ia memiliki

tempat di bawah emas dalam hati manusia. Karenanya, pengharaman￾nya pun lebih ringan dibanding emas. Sabda beliau, "Kecuali wadah dari

emas dan perak," mencakup wadah yang kecil dan besar, hingga sendok

dan pisau.

Ungkapan penulis, "Dan sesuatu yang disambung dengan bahan

emas atau perak, maka haram mengoleksi dan mempergunakannya,

meskipun untuk wanita." Adh-Dhabbah adalah sesuatu yang diperguna￾kan untuk menempelkan dua bagian. Yakni perekat yang menyatukan

antara dua sisi pecahan. Pada zaman dahulu, bila piring yang terbuat

dari kayu pecah mereka melubanginya. Jadi wadah yang disatukan de￾ngan emas dan perak adalah haram, baik emas dan perak tersebut murni

atau campuran, selain yang dikecualikan. Dalilnya hadits Hudzaifah :

"langan kalian minum dengan wadah dari emas dan perak dan jangan

kalisn makan dengan piring keduanya, karena itu untuk mereka di dunia

dnn hagi kita di akhirat.'t167)

Dan hadits Ummu Salamah, "Orang yang minum dengnn wadah perak

sejatinya ia ntembunyikan suara api jahanam di dalam perutnyo."168) Larangan

ini bermakna pengharaman. Ditambah lagi dalam hadits Ummu Sala￾mah, Nabi S mengancamnya dengan api jahanam sehingga perbuatan

ini termasuk dosa besar.

Jika dikatakan, hadits-hadits ini terkait dengan bejana-bejana saja,

lantas mengapa wadah yang disatukan dengan emas dan perak juga

diharamkan? Jawabnya, disebutkan dalam hadits riwayat Daruquthni,

"Sesungguhnya lrang yang minum dengan wadah dari emas dan perak atau

dengan se suatu v ang ft rcngandung kedunny a..." rcs)

Selain itu, sesuatu yang diharamkan itu jelas merusak. Bila murni

maka kerusakan yang ditimbulkannya murni, bila tidak murni maka

tingkat kerusakannya sesuai dengan kadar pencampuran tersebut. Oleh

karena ini, segala sesuatu yang diharamkan syariat banyak atau sedikit￾nya haram, berdasarkan sabda Nabi S, "Dan apa yang aku melarang kalian

d n r iny a, j auhil ah." t z o t

Di sini kita memiliki tiga hal : membuat menggunakan, ma￾kan dan minum. Makan dan minum dengan wadah emas atau perak

adalah haram berdasarkan tekstual hadits, bahkan sebagian ulamamenyebutkan adanya ijma' terkait hukum ini. Sedangkan membuat

(atau memiliki) menurut mazhab Hambali hukumnya haram, meskipun

terdapat pendapat lain dalam mazhab ini dan ini juga yang diriwayat￾kan dari Syafi'i bahwa ini tidak haram.rTr) Adapun memakai, menurut

mazhab Hambali sepakat hukumnya haram.

Yang benar, membttat dan menggunakan selain untuk makan dan

minum tidak haram. Sebab Nabi g;melarang sesuatu yang spesifik, yak￾ni makan dan minum dengan wadah dari emas dan perak. Andai peng￾gunaan lain di luar makarn dan minum juga diharamkan, pastilah Nabi

-sebagai manusia paling fasih dan paling jelas dalam berkata-ka￾ta- tidak mengususkan sesuatu dari yang lainnya. Tapi disebutkannya

makan dan minum secara khusus menunjukkan bahwa penggunaan se￾lain keduanya itu boleh. Sebab telah diketahui manusia memanfaatkan

kedua barang ini untuk keperluan selain makan dan minum.

Andai penggunaan wadah emas dan perak haram secara mutlak,

tentunya Nabi $; memerintahkan untuk memecahkannya. Sebagaimana

Nabi S tidak menyisakan sesuatu yang memiliki gambar kecualibeliau

hancurkan atau ditarik dengan keras hingga terlepas.l72) Sebab bila ba￾rang itu diharamkan dalam segala kondisi, keberadaannya tak memiliki

manfaat sama sekali.

Pengertian ini didukung bahwa Ummu Salamah yang meriwayat￾kan hadits ini memiliki mangkuk dari perak tempat ia meletakkan be￾berapa helai rambut Nabi S. Orang-orang memanfaatkannya sebagai

media penyembuhary dan mereka sembuh dengan izin Allah. Atsar ini

terdapat dalam Shahih Al-Bukhari, dan ini penggunaan di luar makan

dan minum.

Bila ada yang berkata, "Nabi ffi khusus menyebut makan dan mi￾num lantaran secara umum penggunaannya untuk itu. Padahal suatu

alasan yang menjadi kaitan hukum karena status 'secara umum' itu ti￾dak berkonsekuensi pengkhususan hukum terhadap perkara tersebut.

Contohnya firman Allah, "...Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharsanmu

dari istri yang telah kamu campuri..." (An Nisa' [4] : 23). Adanya batasan

'pengasuhan" dalam pengharaman menikahi anak tiri oleh ayah tiri,

itu tidak berpengaruh pada status haramnya. Artinya, ia tetap haramdinikahi ayah tiri kendati tidak diasuh oleh aytrh tiri tersebut, menumt

pendapat mayoritas ulama.

Kami katakan, ini benar. Akan tetapi Rasulullah g mengaitkan

hukum larangan menggunakan wadah emas dan perak dengan makan

dan minum dikarenakan gaya hidup yang berlebihan dalam makan dan

minum lebih mencolok dibanding lainnya.Ini satu alasan yang mengha￾ruskan pemberlakuan hukum tersebut khusus pada makan dan minum.

Pasalnya, tak diragukan, orang yang peralatan makan dan minumnya

dari emas dan perak tidak seperti orang yang menggunakan peralatan

tersebut dalam keperluan yang tak banyak diketahui manusia.

Ungkapan penulis, "Dan yang disatukan dengan emas atau pe￾rak," mencakup laki-laki dan wanita. Artinya, wanita juga tidak boleh

menggunakan wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak.

jika ditanyakan, bukankah wanita boleh mengenakan perhiasan

emas? Jawabnya, betul. Tapi kaum laki-laki tidak dibolehkan. Jika dita￾nyakan lagi, apa perbedaan antara menjadikan emas sebagai perhiasan

dan sebagai wadah serta menggunakannya? Mengapa yang pertama di￾bolehkan, sedang yang kedua tidak clibolehkan? Perbedaannya, kaum

wanita itu perlu mempercantik diri. Wanita bersolek bukan untuk diri￾nya saja, tapi untuk dirinya dan suaminya. Jadi perbuatan ini mengun￾tungkan semuanya. Sementara laki-laki tidak memerlukan hal ini. Ia

pihak yang mencari, bukan yang dicari. Sedtrng wanita adalah pihak

yang dicari. Oleh sebab itu, ia dibolehkan menghias diri dengan emas.

Adapun wadah emas dan perak tak ada kepentingan membolehkannya

untuk wanita, apalagi laki-laki.

Ungkapan, "Dan sah bersuci darinya." Artinya, bersuci dari bejana

emas dan perak itu sah. Andai seseorang menyiapkan air wudhu dalam

sebuah wadah dari emas, bersucinya sah, sedangkan penggunaan terse￾but haram.

Sebagian ulama mengatakan, bersucinya juga tidak sah.Ini penda￾pat lemah, sebab pengharaman tersebut tidak kembali pada perbuatan

wudhu, tapi pada penggunaan wadah. Sementara wadah bukan terma￾suk syarat wudhu, pun keabsahan wudhu tidak bergantung pada peng￾gunaan wadah berbahan emas atau perak ini.

Jadi bersuci dari, dengan, pada dan ke bejana emas dan perak

sah. "Dari," yakni dengan menciduk air dari bejana. "Dengan," artinyamenjadikannya sebagai alat menuangkan air. Jelasnya, menciduk de￾ngan gayung emas lalu membasuhkannya pada kaki atau hasta. "Pada,"

maksudnya wadah tersebut luas dan bisa untuk mencelupkan anggota

wudhu. "Ke," artinya air yang jatuh dari anggota wudhu masuk ke

dalam bejana emas. Huruf-huruf jar di sini mempengaruhi makna. Ini

bukti pentingnya memahami dengan baik bahasa Arab.

Ungkapan penulis, "Kecuali sekedar pita pengait dari bahan perak

karena kebutuhan". Kalimat ini dikecualikan dari perkataary "Haram

membuat dan menggunakannya." Maka syarat-syarat pembolehan ada

empat : (1) Berupa pita pengait (antara pecahan bejana). (2) Berjumlah

sedikit. (3