kedamaian dan ketenteraman
rumah tangga senantiasa terganggu. Sayyidina Umar menerangkan hal
itu kepada Rasulullah s.a.w., dan berkata bahwa kecuali jika kaum
wanita kadang-kadang boleh dihukum, mereka akan menjadi susah
diatur dan tidak ada yang mengendalikan lagi. sebab ajaran Islam yang
bertalian dengan perlakuan terhadap wanita-wanita belum diturunkan,
Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa jika seorang wanita bertindak
melampaui batas, ia boleh dihukum. Hal itu pada gilirannya menjadikan
kaum pria, dalam beberapa hal, kembali ke pada kebiasaan-kebiasaan
Arab kuno. Sekarang datang lagi giliran kepada kaum wanita untuk
mengeluh dan mereka membentangkan kesusahan kepada istri-istri
Rasulullah s.a.w.. Akibatnya, Rasulullah s.a.w. menyesali kaum pria dan
mengatakan kepada mereka bahwa siapa yang memperlakukan wanita-
wanita secara tidak baik, tidak mungkin dapat menarik keridhaan Ilahi.
Kemudian hak-hak wanita ditetapkan, dan untuk pertama kalinya wanita
mulai diperlakukan sebagai pribadi-pribadi yang mandiri dengan hak
mereka masing-masing (Abu Daud, Kitab al-Nikah).
Mu'awiyah Al Qusyairi meriwayatkan, “Aku menanyakan
kepada Rasulullah s.a.w., hak apa istriku dapat menuntut dari padaku?”
dan beliau menjawab, “Berilah dia makan dari apa-apa yang Allah telah
merezekikan kepadamu dalam urusan makan, dan berilah dia pakaian
yang Allah telah menganugerahkannya kepadamu dalam urusan
pakaian, dan janganlah menyiksa atau memaki-maki atau mengusirnya
dari rumahmu.”
Beliau begitu berhati-hati tentang perasaan wanita sehingga
beliau senantiasa menganjurkan kepada orang-orang yang harus
melakukan perjalanan supaya menyelesaikan urusan secepat-cepatnya
dan pulang selekas mungkin sehingga wanita-wanita dan anak-anak
mereka tidak akan menjadi resah sebab pisah lebih daripada yang benar-
benar diperlukan. Jika beliau pulang dari perjalanan, beliau biasa datang
siang hari. Jika beliau kembali dari perjalanan sedang hari hampir
malam, beliau biasa berkemah dahulu di luar Medinah pada malam itu
sebelum masuk kota di waktu pagi esok harinya. Beliau mengatakan juga
kepada para Sahabat bahwa jika mereka pulang dari suatu perjalanan,
mereka hendaknya tidak pulang secara tiba-tiba tanpa memberi khabar
lebih dahulu tentang kedatangan mereka kembali (Bukhari dan Muslim).
Dalam memberikan petunjuk-petunjuk, beliau ingat akan kenyataan
bahwa hubungan antara dua jenis kelamin itu bagian besar dipengaruhi
oleh perasaan. Dalam waktu suami tidak ada di rumah, seorang wanita
mungkin sering lalai mengurus badan sendiri dan pakaiannya, dan jika
suaminya tiba-tiba pulang tanpa diduga-duga, maka perasaan halus
wanita mungkin akan tersinggung. Dengan memberi petunjuk bahwa jika
seseorang pulang dari perjalanan hendaklah berusaha datang ke rumah
pada siang hari dan lebih dahulu memberi kabar kepada anggota-anggota
keluarga tentang kedatangannya, beliau meyakinkan bahwa anggota-
anggota keluarga akan siap menerima anggota keluarga yang pulang itu
dengan cara yang layak.
Sikap Terhadap Orang Yang Meninggal
Beliau memerintahkan tiap-tiap orang supaya membuat surat
wasiat tentang cara menyelesaikan urusannya sesudah ia meninggal
dunia sehingga pihak yang bersangkutan tidak akan begitu disusahkan
sepeninggalnya. Beliau menetapkan bahwa orang tidak boleh
membicarakan keburukan seseorang yang telah meninggal melainkan
hendaknya menekankan pada kebaikan apa saja yang dimiliki almarhum,
sebab tidak ada faedahnya menyebut-nyebut kelemahan atau kejahatan
orang yang sudah meninggal. namun , dengan mengemukakan kebaikan-
kebaikan almarhum orang akan cenderung mendoakan (Bukhari). Beliau
menegaskan mengenai orang yang meninggal supaya utang-utangnya
dibayar lunas sebelum ia dikuburkan. Beliau seringkali melunasi utang
seseorang yang telah meninggal dari saku beliau sendiri, namun jika
beliau tidak mampu berbuat seperti itu, beliau menganjurkan kepada para
ahli waris dan sanak-saudara orang yang meninggal atau orang-orang
lain untuk membereskan utang-utangnya dan beliau tidak mau
mendirikan sembahyang jenazah untuk orang yang telah meninggal
sebelum utang-utangnya diselesaikan.
Perlakuan Terhadap Tetangga
Beliau senantiasa memperlakukan tetangga-tetangga beliau
dengan ramah dan penuh pengertian. Beliau sering mengatakan bahwa
Malaikat Jibril telah menekankan begitu seringnya supaya kasih-sayang
terhadap tetangga-tetangga, sehingga beliau kadang-kadang mulai
menyangka bahwa seorang tetangga barangkali harus dimasukkan ke
dalam kalangan ahli waris yang telah digariskan. Abu Dharr
meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya, “Abu
Dharr, jika kuah daging sedang dimasak untuk keluargamu,
tambahkanlah lebih banyak air kepada masakan itu agar tetanggamu juga
mendapat bagiannya.” Hal itu tidak berarti bahwa tetangga jangan
diundang untuk menikmati masakan-masakan lain, namun oleh sebab
kaum Arab pada umumnya yaitu kaum kelana dan makanan yang
paling digemari yaitu gulai daging, Rasulullah s.a.w. menyebut
makanan itu sebagai makanan istimewa, dan mengajarkan bahwa
seseorang hendaknya jangan lebih mementingkan kelezatan makanan
daripada kewajiban mengikutsertakan salah seorang tetangganya.
Abu Hurairah meriwayatkan: “Sekali peristiwa Rasulullah s.a.w.
berseru, “Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa ia bukan orang
beriman. Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa ia bukan orang
beriman! Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa ia bukan orang
beriman!” Para Sahabat menanyakan, “Siapakah yang bukan orang
beriman itu, ya Rasulullah?” dan beliau menjawab, “Orang yang
tetangganya tidak selamat terhadap kemudaratan dan perlakuan buruk
dari tangan mereka. Sekali peristiwa saat beliau berbicara kepada
kaum wanita, beliau bersabda, Jika seseorang hanya punya kaki kambing
untuk dimasak, ia hendaknya membagi tetangganya. Beliau meminta
orang-orang supaya jangan menaruh keberatan terhadap tetangganya
memasang pasak ke dalam dinding rumahnya atau mempergunakan
dinding untuk sesuatu keperluan lain yang tidak menimbulkan kerugian
atau kerusakan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda, “Orang yang beriman kepada Allah dan Hari Pembalasan
hendaknya jangan mendatangkan kesusahan kepada tetangganya, orang
yang beriman kepada Allah dan Hari Pembalasan hendaknya jangan
mendatangkan kesusahan kepada tamunya, dan orang yang beriman
kepada Allah dan Hari Pembalasan hendaknya mengucapkan kata-kata
baik lagi berfaedah atau ia hendaknya tutup mulut saja” (Muslim).
Perlakuan Terhadap Sanak-Saudara
Kebanyakan orang mengalami kegagalan bahwa jika mereka
menikah dan mendirikan rumah tangga sendiri, mereka berangsur
mengabaikan orang tua. Oleh sebab itu Rasulullah s.a.w. sangat
menekankan ihwal pahala berbakti dan mengkhidmati orang-tua serta
memperlakukan mereka dengan baik lagi kasih sayang. Abu Hurairah
meriwayatkan, “Seorang laki-laki datang menghadap kepada Rasulullah
s.a.w. dan menanyakan siapakah yang paling berhak atas perlakuan baik
dari dia. Rasulullah s.a.w. menjawab: “Ibumu”. Orang itu menanyakan
lagi, “Dan sesudah itu?” Rasulullah s.a.w. mengulangi lagi, “Ibumu.”
Orang itu bertanya untuk ketiga kalinya, “Dan sesudah ibuku?” dan
Rasulullah s.a.w. menjawab lagi, “Masih ibumu juga” dan saat orang
itu bertanya untuk keempat kalinya, beliau bersabda, “Sesudah ibumu,
bapakmu dan sesudah dia keluarga terdekat dan sesudah itu keluarga
yang lebih jauh”.
Orang tua dan kakek Rasulullah s.a.w. meninggal dunia saat
beliau masih kecil. namun beberapa orang tua istri-istri beliau masih
hidup dan beliau senantiasa memperlakukan mereka dengan kasih-
sayang dan takzim. Pada peristiwa jatuhnya Mekkah, saat Rasulullah
s.a.w. memasuki kota sebagai panglima yang gagah perkasa, Abu Bakar
membawa ayahnya menghadap. Beliau bersabda kepada Abu Bakar,
“Mengapa anda menyusahkan ayah anda untuk datang kepadaku. Aku
sendiri akan merasa berbahagia menghadap kepada beliau” (Halbiyya,
Jilid 3, hlm. 99). Salah suatu sabda Rasulullah s.a.w. ialah, “Malang
benar orang yang orang tuanya mencapai usia lanjut tapi ia gagal meraih
surga juga”, artinya, mengkhidmati orang tua, terutama saat mereka
mencapai usia lanjut, menarik ridha dan karunia Ilahi dan oleh sebab itu
seseorang yang terbuka kepadanya kesempatan mengkhidmati orang
tuanya yang lanjut usia dan berusaha menggunakan kesempatan itu
sepenuhnya, pasti akan menjadi kuat dalam jalan takwa dan menjadi
penerima karunia Ilahi.
Seseorang pada suatu saat mengeluh kepada Rasulullah s.a.w.,
bahwa makin baik ia berbuat baik kepada sanak-saudaranya, makin tidak
bersahabat pula mereka terhadap dirinya, dan makin mereka
diperlakukan dengan kasih-sayang, makin mereka aniaya terhadap
dirinya, dan makin ia memperlihatkan cinta kepada mereka, makin benci
juga mereka terhadap dia. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Jika apa yang kau
katakan itu benar, maka kamu sangat beruntung, sebab kamu senantiasa
akan menjadi orang yang menerima perlindungan dan pertolongan Ilahi”
(Muslim, Kitab al-Birr wal Sila).
Pada suatu waktu saat Rasulullah s.a.w. sedang menasihati
orang-orang agar memberi sedekah, seorang dari para Sahabat, Abu
Talha Anshari, menghadap kepada beliau dan menyerahkan sebuah
kebun guna dipergunakan untuk tujuan menolong orang-orang miskin.
Rasulullah s.a.w. sangat gembira dan berseru, “Alangkah bagusnya
sedekah ini! Alangkah bagusnya sedekah ini!” dan menambahkan,
“sesudah menyerahkan kebun itu untuk mengkhidmati orang-orang
miskin, aku minta kamu sekarang membagi-bagikannya di antara sanak-
saudaramu yang miskin.” (Bukhari, Kitab al-Tafsir).
Pada suatu waktu seseorang datang menghadap kepada beliau
dan berkata, “Ya, Rasulullah, aku bersedia berjanji akan berhijrah dan
aku bersedia janji akan ikut berjihad, sebab aku sangat menghendaki
ridha Ilahi.” Rasulullah s.a.w. bertanya, apakah salah seorang dari orang
tuanya masih hidup dan orang itu menjawab bahwa kedua-duanya masih
hidup. Maka beliau bertanya, “Apakah kamu sungguh-sungguh ingin
mendapatkan ridha Ilahi?” Dan, atas jawaban orang itu bahwa ia
sungguh-sungguh mendambakan hal itu, Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Kembalilah kepada orang tuamu dan khidmatilah mereka, dan khidmati
mereka dengan sungguh-sungguh.” Beliau menegaskan bahwa sanak-
saudara seseorang yang belum masuk Islam sama-sama berhak atas
perlakuan baik dari kasih-sayang seperti halnya sanak-saudaranya yang
sudah menjadi Muslim. Salah seorang dari istri-istri Abu Bakar yang
bukan-Muslim mengunjungi anaknya, Asma, dan anaknya itu bertanya
kepada Rasulullah s.a.w., apakah boleh ia mengkhidmati ibunya dan
memberi hadiah kepadanya; dijawab oleh Rasulullah s.a.w., “Tentu saja,
sebab ia ibumu” (Bukhari, Kitab al-Adab).
Beliau tidak saja memperlakukan sanak-saudara yang dekat
dengan kasih-sayang, bahkan kerabat yang sudah jauh pun dan siapa pun
yang memiliki pertalian dengan mereka diberi perlakuan sangat baik.
Bilamana beliau menyembelih korban seekor ternak, beliau biasa
mengirimkan sebagian dagingnya kepada sahabat-sahabat Khadijah (istri
beliau yang telah wafat) dan berpesan kepada istri-istri beliau agar tidak
melupakan mereka dalam peristiwa-peristiwa semacam itu. Beberapa
tahun sesudah wafat Khadijah r.a., saat beliau bercengkerama dengan
para Sahabat, saudara perempuan Khadijah, Halah, datang berkunjung
dan meminta izin masuk. Suaranya sampai ke telinga Rasulullah s.a.w.
layaknya seperti suara Khadijah r.a. dan saat beliau mendengar beliau
bersabda, “Ya Allah, itulah Halah, saudara Khadijah.” Sesungguhnya
cinta yang sejati senantiasa menjelmakan diri demikian bahwa seseorang
mencintai juga segala sesuatu yang ada pertaliannya dengan orang yang
dicintai dan dihormati.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa dalam suatu perjalanan ia
tahu-tahu sudah ada bersama-sama dengan Jarir bin Abdullah dan
dirasakan olehnya bahwa kawannya ini menjaga dia seperti seorang
budak menjaga tuannya. sebab Jarir bin Abdullah lebih tua daripada
Anas, Anas menjadi malu dan menegurnya supaya Jarir tidak bersusah-
payah. Jarir menjawab, “Aku biasa melihat bagaimana patuh dan
rajinnya kaum Anshar melayani Rasulullah s.a.w. dan sebab sangat
terkesan oleh bakti dan cinta mereka terhadap Rasulullah s.a.w., aku
telah mengambil keputusan dalam diriku sendiri bahwa bilamana aku
kebetulan ada bersama-sama seorang Anshar, aku akan melayani sebagai
pelayannya. Oleh sebab itu, aku hanya melaksanakan keputusanku
sendiri dan anda tidak usah melarang” (Muslim). Peristiwa itu
menandakan bahwa kalau seseorang benar-benar mencintai orang lain,
cintanya meliputi juga mereka yang sungguh-sungguh mengkhidmati
sesuatu yang disayang orang itu. Begitu juga mereka yang benar-benar
mencintai orang tua senantiasa menunjukkan hormat dan perhatian
penuh terhadap mereka yang sedikit banyak ada hubungan dengan orang
tua mereka dalam bentuk ikatan kasih sayang atau kekeluargaan. Pada
suatu peristiwa Rasulullah s.a.w. menekankan bahwa menghormati
sahabat-sahabat ayah merupakan kebajikan yang utama. Di antara orang-
orang yang mendengar, ada Abdullah bin Umar. Beberapa tahun
kemudian, pada masa ibadah Haji, ia berjumpa dengan seorang Badui
dan Abdullah bin Umar menyerahkan keledainya sendiri kepadanya serta
memberikan sorbannya. Seorang dari antara kawannya mengatakan
bahwa Abdullah bin Umar terlalu royal, padahal seorang Badui akan
gembira dan puas dengan pemberian sekedarnya. Abdullah bin Umar
berkata, “Ayah orang itu yaitu sahabat ayahku dan aku pernah
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa suatu amal utama
seseorang yang saleh ialah menghormati dan memuliakan sahabat
ayahnya.”
Pergaulan Balk
Beliau selamanya memilih pergaulan dengan orang-orang baik
dan jika beliau melihat suatu kelemahan pada salah seorang dari para
Sahabat, beliau menegurnya dengan ramah secara empat mata. Abu
Musa Asy'ari meriwayatkan, “Rasulullah s.a.w. menggambarkan faedah
yang dapat diraih dari teman-teman yang baik dan kawan yang saleh, dan
kerugian yang dapat diterima dari sahabat-sahabat yang rawan susila dan
kawan-kawan yang buruk dengan mengatakan, “Seseorang yang
mengadakan pergaulan dengan orang-orang saleh yaitu serupa orang
yang membawa kesturi. Jika ia mempergunakannya ia mendapat faedah;
jika menjualnya ia mendapat laba, dan jika ia hanya menyimpannya pun
akan menikmati keharuman. Seseorang yang bergaul dengan orang
rawan susila yaitu serupa dengan orang yang meniup ke dalam tungku
arang; apa yang dapat diharapkan hanya bunga api yang dapat hinggap di
pakaiannya dan membakarnya atau asap yang keluar dari tungku itu akan
memusingkan kepalanya.” Beliau biasa mengatakan bahwa watak
seseorang dibentuk serupa dengan sifat pergaulannya dan bahwa oleh
sebab itu seseorang hendaknya berhati-hati dan mempergunakan
waktunya bergaul dengan orang-orang baik (Bukhari dan Muslim).
Menjaga Kepercayaan Orang
Rasulullah s.a.w. sangat berhati-hati membawa diri agar tidak
timbul kemungkinan adanya salah faham. Pada suatu peristiwa istri
beliau, Safiyah, datang menjumpai beliau di mesjid. saat waktu untuk
pulang tiba, hari sudah menjadi gelap dan Rasulullah s.a.w mengambil
keputusan untuk mengantarkannya pulang. Di jalan beliau berpapasan
dengan dua orang dan sebab hendak menghindarkan suatu persangkaan
dari mereka terhadap orang yang bersama-sama dengan beliau,
Rasulullah s.a.w. menyuruh mereka berhenti dan sambil menyingkap
kerudung wajah istrinya, beliau bersabda, “Lihatlah, ini istriku, Safiyah.”
Mereka memprotes “Ya Rasulullah, mengapa anda menyangka kami
akan salah faham mengenai anda?” Rasulullah s.a.w. menjawab,
“Syaitan sering menjalar melalui darah manusia. Aku khawatir
kepercayaanmu ditularinya” (Bukhari, Abwab al-Itikaf).
Menutupi Kesalahan Orang Laln
Beliau tidak pernah mengemukakan kesalahan-kesalahan dan
kelemahan-kelemahan orang lain dan menasihati orang-orang jangan
mengumumkan kesalahan-kesalahan sendiri. Beliau biasa bersabda,
“Jika seseorang menutupi kesalahan-kesalahan orang lain, Allah akan
menutupi kesalahan-kesalahannya pada Hari Pembalasan.” Dan, “Tiap-
tiap pengikutku dapat lepas dari akibat-akibat kesalahannya (artinya,
dengan bertobat sungguh-sungguh dan membenahi diri), kecuali mereka
yang menyebar-nyebar kesalahannya sendiri,” dan melukiskannya
dengan perkataan, “Seseorang berbuat kejahatan di waktu malam dan
membanggakan di hadapan mereka, 'Aku mengerjakan ini tadi malam,'
jadi ia sendiri telah membukakan apa yang Allah telah menutupinya”
(Bukhari dan Muslim).
Ada sementara orang menyangka, sebab kebodohannya, bahwa
pengakuan dosa membantu tobat; kenyataannya ialah hal itu bahkan
memelihara ketidak-senonohan. Dosa itu kejahatan dan barangsiapa
terjerumus ke dalamnya dan menjadi mangsa rasa malu, rasa penyesalan
dapat membuka pintu harapan untuk kembali ke jalan yang suci dan
ketakwaan dengan tobat. Keadaannya yaitu seperti orang yang telah
digoda oleh kejahatan, namun selalu dikejar-kejar oleh kesadaran
bertakwa, dan begitu kesempatan ada, maka lenyaplah kejahatan itu dan
orang berdosa itu diimbau kembali oleh ketakwaan. namun orang yang
menyebar-nyebarkan perbuatan dosanya dan membanggakan perbuatan
itu, ia kehilangan segala rasa malu dan kehilangan pengertian akan baik
dan buruk, lalu menjadi tidak mampu untuk bertobat.
Sekali peristiwa seseorang datang menghadap Rasulullah s.a.w.
dan berkata, “Aku berdosa telah berbuat zina.” (Jika kesalahan itu
dibuktikan oleh kesaksian maka merupakan pelanggaran yang dapat
dikenakan hukuman menurut syariat Islam). Mendengar pengakuan
orang itu Rasulullah s.a.w. berpaling dan menekuni kesibukan lain.
Beliau bermaksud menyatakan bahwa obat yang tepat ialah tobat dan
bukan pengakuan di muka umum. namun , orang itu tidak mengerti dan
menyangka bahwa Rasulullah s.a.w. tidak mendengarnya, lalu pindah ke
hadapan Rasulullah s.a.w. dan mengulangi pengakuannya. Rasulullah
s.a.w. membalikkan badan lagi dan membelakanginya namun orang itu
pindah lagi ke hadapan Rasulullah s.a.w. dan mengulang lagi
pengakuannya. saat ia telah berbuat serupa empat kali, Rasulullah s a
w. bersabda, “Aku tadinya mengharap orang ini tidak mengatakan
dosanya sebelum Allah menunjukkan kehendak-Nya tentang dia, namun
sebab ia telah empat kali mengakui dosanya, aku sekarang terpaksa
mengambil tindakan” (Tirmidhi). Kemudian beliau menambahkan,
“Orang ini telah mengaku dan belum ada tuduhan dari wanita yang
terlibat dalam pengakuannya. Wanita itu harus diperiksa dan jika ia
menolak dosanya, wanita itu tidak boleh disiksa dan hanya laki-laki ini
harus mendapat hukuman sesuai dengan pengakuannya; namun , jika
wanita itu juga mengaku ia harus mendapat hukuman juga.” Memang
menjadi kebiasaan Rasulullah s.a.w untuk mengikuti syariat Torat dalam
hal-hal yang Al-Qur’an bungkam mengenainya, dan sebab Torat
menetapkan bahwa seorang pezina harus dirajam, beliau memutuskan
terhadap orang itu sesuai dengan peraturan itu. saat hukuman itu akan
dilaksanakan, orang itu berusaha melarikan diri, namun orang-orang
mengejarnya dan hukuman itu dilakukan. saat Rasulullah s.a.w
mendengar hal itu beliau tidak menyetujuinya. Beliau mengatakan
bahwa orang itu telah dijatuhi hukuman berdasarkan pengakuannya
sendiri. Percobaan melarikan diri yaitu usaha membatalkan
pengakuannya dan kemudian ia tidak boleh dihukum hanya atas alasan
pengakuannya semata.
Rasulullah s.a.w. menetapkan bahwa hukum hanya berlaku atas
perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan. Dalam suatu
peperangan, serombongan Muslim menjumpai seorang bukan-Muslim
yang biasa bersembunyi menunggu di tempat yang sunyi dan jika ia
melihat seorang Muslim seorang diri, ia menyerang dan membunuhnya.
Pada peristiwa itu Usama bin Zaid mengejarnya dan sesudah menyusul
dan menangkapnya, Zaid menghunus pedang untuk membunuhnya.
saat orang itu melihat bahwa tidak ada jalan melarikan diri, ia
mengucapkan bagian pertama Kalimah Syahadat, ialah “Asyhadu alla
ilaha illallah” – “Tidak ada Dzat yang patut disembah kecuali Allah”,
dengan demikian menunjukkan bahwa ia telah menerima Islam. Usama
tak menghiraukan dan membunuhnya. saat peristiwa itu, di antara
sekian banyak peristiwa lain dalam pertempuran itu, diceriterakan
kepada Rasulullah s.a.w., beliau memanggil Usama dan menanyakan hal
itu. Atas pengakuan mengenai kebenaran ceritera itu Rasulullah s.a.w.
bersabda, “Bagaimana halmu pada Hari Pembalasan jika pernyataan
imannya membenarkan dia?” Usama menjawab, “Ya, Rasulullah, orang
itu membunuh orang-orang Muslim dan syahadatnya hanya tipu muslihat
belaka untuk melepaskan diri dari pembalasan.” namun Rasulullah s.a.w.
mengulangi lagi “Usama, bagaimana hal kamu jika syahadat orang itu
menjadi saksi terhadapmu pada Hari Pembalasan?” Artinya, Allah akan
menuntut pertanggung-jawaban dari Usama atas kematian orang itu,
sebab walaupun ia telah berdosa membunuh orang-orang Muslim,
pembacaan syahadatnya yaitu bukti bahwa ia telah bertobat dari
kejahatan-kejahatannya. Usama menyangkal dan mengatakan bahwa
pembacaan Kalimah Syahadat itu hanya sebab ia takut mati dan bukan
ciri bertobat. Atas itu Rasulullah s.a.w. bersabda, “Adakah kamu melihat
ke dalam hatinya untuk mengetahui bahwa apakah ia berkata benar atau
tidak,” dan melanjutkan, “Bagai-mana kamu akan menjawab pada Hari
Pembalasan, jika syahadatnya dibacakan sebagai bukti terhadap kamu?”
Usama berkata, “Mendengar Rasulullah begitu sering mengatakan hal itu
aku berharap bahwa aku masuk Islam baru sesudah saat itu sehingga aku
tidak berdosa atas apa-apa yang dituduhkan terhadapku” (Muslim, Kitab
al-Iman).
Rasulullah s.a.w. selamanya bersedia memaafkan orang-orang
dari kesalahan dan pelanggaran mereka. Seseorang dari antara mereka
yang terlibat dalam fitnah terhadap istri beliau, Aisyah, yaitu orang
yang hidupnya bergantung pada kebajikan Abu Bakar (bapak Aisyah).
saat kepalsuan tuduhan terhadap Aisyah telah terbukti dengan sejelas-
jelasnya, Abu Bakar menghentikan bantuannya kepada orang itu. Hal ini
pun menjadi bukti kesabaran dan ketabahan hati Abu Bakar yang terpuji.
Orang kebanyakan akan menuntut sampai sejauh-jauhnya terhadap
seorang bawahannya yang telah berdosa menghina anak perempuannya.
saat Rasulullah s.a.w. mengetahui tindakan Abu Bakar itu, beliau
berbicara dengan Abu Bakar dan menjelaskan bahwa walaupun orang itu
bersalah, yaitu tidak pantas orang seperti Abu Bakar mencabut sumber
penghidupannya sebab kesalahannya itu. Atas nasihat itu Abu Bakar
meneruskan lagi bantuannya terhadap orang itu (Bukhari, Kitab al-
Tafsir).
Kesabaran Dalam Kesusahan
Rasulullah s.a.w. biasa bersabda, “Untuk seorang Muslim,
kehidupan ini sarat dengan kebaikan dan tidak ada orang lain kecuali
orang beriman merasakan dirinya dalam keadaan ini sebab jika ia
berjumpa dengan kesenangan, ia bersyukur kepada Allah dan menjadi
orang yang menerima lebih banyak rahmat dan berkat dari Dia.
Sebaliknya, jika ia menderita kesusahan atau kemalangan, dipikulnya
penderitaan dengan sabar dan dengan demikian lagi-lagi ia menjadi
orang yang meraih rahmat dan berkat Ilahi.”
saat wafat beliau telah mendekat dan beliau dalam puncak
penderitaan merintih-rintih, anak beliau, Fatimah, menjerit sebab tidak
tahan melihat ayahandanya dalam keadaan demikian. Beliau bersabda,
“Bersabarlah, ayahmu tidak akan menderita lagi sesudah hari ini,”
artinya, segala kesusahan hanya terbatas sampai di dunia ini dan saat
beliau bebas dari kehidupan ini dan sampai di hadirat Al-Khalik, beliau
tidak akan lagi menderita. Pada waktu wabah tengah berkecamuk, beliau
tidak membenarkan orang-orang meninggalkan kota yang sedang
dijangkiti, lalu masuk ke kota lain, sebab hal demikian akan memperluas
daerah penularan wabah. Beliau biasa mengatakan bahwa pada waktu
wabah berkecamuk, jika seseorang tinggal tetap di dalam kotanya sendiri
dan mencegah penularan ke daerah yang belum terjangkit, lalu ia mati
sebab wabah itu, ia akan dimasukkan ke dalam golongan syuhada
(Bukhari, Kitab-al Tibb).
Bekerja Sama
Beliau senantiasa mengajarkan bahwa salah satu ciri khas Islam
yang terbaik ialah, orang hendaknya jangan mencampuri urusan yang
tidak ada kaitan dengan dirinya dan jangan mengecam atau mencela
orang lain dan mencampuri perkara-perkara yang tidak bertalian dengan
dirinya. Itulah dasar yang jika dipakai dan dilaksanakan akan menjamin
keamanan dan ketertiban di dunia. Sebagian besar kesukaran yang kita
alami yaitu bersumber pada kecenderungan mayoritas masyarakat
menuruti hati untuk ikut campur yang tidak pada tempatnya, dan enggan
memberikan kerja sama saat diperlukan dalam upaya mengurangi
penderitaan orang-orang yang ada dalam kesusahan. Rasulullah s.a.w.
sangat menekankan pada kerja sama. Beliau menjadikan kaidah bahwa
jika seseorang dituntut membayar sejumlah uang sebagai hukuman dan
ia tidak mampu membayar sepenuhnya, maka tetangga-tetangga atau
kawan sebangsanya atau kawan sesukunya hendaknya mengumpulkan
uang dengan menarik iuran. Orang-orang terkadang datang dan
bermukim dekat Rasulullah s.a.w. dan menyisihkan waktu untuk
mengkhidmati Islam dengan bermacam-macam cara. Beliau selalu
menasihati sanak-saudara mereka guna memikul kewajiban memenuhi
kebuAllah mereka yang paling sederhana. Diriwayatkan oleh Anas
bahwa sekali peristiwa dua orang bersaudara menerima Islam dan
seorang diantaranya tinggal terus bersama Rasulullah s.a.w., sedang yang
seorang lagi meneruskan usaha seperti sedia kala. Lama sesudah itu,
saudara yang disebut terakhir itu mengadu kepada Rasulullah s.a.w.
bahwa saudaranya telah mempergunakan waktunya bermalas-malasan.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Allah telah mencukupi kebuAllah mu juga
berkat adanya saudaramu, dan sebab itu menjadi kewajibanmu
mencukupi kebuAllah nya dan membiarkan dia bebas mengkhidmati
agama” (Tirmidhi).
Dalam perjalanan, saat rombongan Rasulullah s.a.w. sampai
ke tempat berkemah, para Sahabat segera sibuk dengan tugas masing-
masing mendirikan kemah untuk bermalam: Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Kamu tidak menugasiku suatu tugas. Aku akan pergi mengumpulkan
bahan bakar untuk masak.” Para sahabat berkeberatan dan berkata, “Ya
Rasulullah! Mengapa anda harus repot-repot, jika kami semua siap
mengerjakan segala sesuatu yang perlu?” Beliau bersabda, “Tidak.
Menjadi kewajibanku mengerjakan bagianku apa saja yang harus
dikerjakan,” dan beliau mengumpulkan kayu bakar dari hutan untuk
memasak makanan (Zurqani, Jilid 4, hlm. 306).
Kejujuran
Seperti telah diriwayatkan, Rasulullah s.a.w. sendiri begitu tegar
dalam soal kejujuran sehingga beliau terkenal di antara kaum beliau
sebagai "Orang Tepercaya" dan "Orang Benar". Begitu pula beliau
sangat berhasrat agar orang-orang Muslim menjunjung tinggi nilai
kebenaran seperti beliau sendiri menjunjungnya. Beliau memandang
kebenaran sebagai dasar segala keluhuran budi, kebaikan, dan perilaku
yang benar. Beliau mengajarkan bahwa seseorang yang Muttaqi yaitu
orang yang teguh memegang kebenaran sehingga ia terhitung bertakwa
oleh Allah .
Pada suatu saat seorang tawanan yang sudah banyak berdosa
membunuh orang-orang Muslim dibawa ke hadapan Rasulullah s.a.w..
Umar yang juga hadir percaya bahwa orang ini pantas sekali dihukum
mati dan memandang berkali-kali kepada Rasulullah s.a.w.
mengharapkan bahwa Rasulullah s.a.w. pada suatu saat akan
mengisyaratkan supaya orang itu dihukum mati. sesudah Rasulullah
s.a.w. menyuruh pergi orang itu, Umar menyatakan bahwa orang itu
harus dihukum mati, sebab hanya itulah hukuman yang setimpal.
Rasulullah s.a.w. menjawab, “Jika demikian mengapa ia tidak
kaubunuh?” Umar menjawab, "Ya Rasulullah! Jika anda memberi
isyarat, sekalipun hanya dengan kedipan mata, tentu aku akan
melaksanakannya." Atas itu Rasulullah s.a.w. menambahkan, "Seorang
nabi tidak bertindak dengan mendua perasaan. Betapa aku dapat
memakai mataku untuk memberi isyarat menjatuhkan hukuman mati
kepada orang itu, sementara lidahku sedang dipakai berbicara dengan
ramah kepadanya (Hisyam, Jilid 2, hlm. 217). Pada suatu waktu
seseorang menghadap Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Ya Rasulullah, aku
memiliki tiga kejahatan: dusta, kecanduan minum minuman keras, dan
zina. Aku telah berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari kejahatan-
kejahatan itu, namun tidak berhasil. Dapatkah anda mengatakan apa yang
harus kuperbuat?" Rasulullah s.a.w. menjawab, "Jika kamu mau berjanji
sungguh-sungguh kepadaku untuk melepaskan satu dari antaranya, aku
jamin kamu akan terlepas dari kedua kejahatan lainnya." Orang itu
berjanji dan meminta kepada Rasulullah s.a.w. untuk diberi tahu, dosa
yang mana dari ketiga macam dosa itu yang harus ditinggalkan.
Rasulullah s.a.w. bersabda, "Tinggalkanlah dusta." Beberapa waktu
kemudian orang itu kembali dan mengatakan kepada Rasulullah s.a.w.
bahwa sesudah mengikuti nasihat beliau, ia sekarang bebas dari ketiga-
tiga dosa itu. Rasulullah s.a.w. bertanya kepadanya bagaimana
perjuangannya mengatasi kelemahannya, dan orang itu pun berkata,
"Pada suatu hari aku ingin minum arak dan hampir-hampir kulakukan,
saat itu aku teringat akan janjiku kepada anda dan menyadari bahwa
jika salah seorang dari sahabat-sahabatku menanyakan apakah aku telah
minum arak, aku akan terpaksa mengakuinya, sebab aku tidak mungkin
lagi mengucapkan sesuatu yang dusta. Hal itu berarti bahwa aku akan
mendapat nama buruk di tengah sahabat-sahabatku dan mereka akan
menjauhiku di kemudian hari. Dengan pikiran demikian kubujuk diriku
untuk meninggalkan minum sampai kesempatan lain, dan aku dapat
menahan keinginan pada waktu itu. Demikian pula pada waktu aku
cenderung berbuat zina, aku berdebat dengan diriku sendiri bahwa
mengikuti hati untuk melakukan kejahatan akan menjadikanku
kehilangan penghargaan sahabat-sahabatku sebab aku tidak mungkin
berkata dusta jika ditanya oleh mereka, dan dengan demikian
membatalkan janjiku kepada anda atau aku harus mengakui dosaku.
Demikian pula aku terus berjuang antara tekad menyempurnakan janjiku
kepada anda dan keinginan nafsuku minum minuman keras dan berzina.
saat beberapa waktu telah lewat, aku mulai terlepas dari mengikuti
hawa nafsu dalam dosa itu dan bertekad untuk menjauhkan diri dari
berdusta, itu sekarang telah membebaskanku dari kedua kejahatan
lainnya juga."
Ingin Tahu Tidak Pada Tempatnya
Rasulullah s.a.w. senantiasa memperingatkan orang-orang
terhadap ingin tahu yang tidak pada tempatnya dan supaya memiliki
sangka baik terhadap orang lain. Abu Hurairah meriwayatkan:
"Rasulullah s.a.w. bersabda, “Selamatkan dirimu dari buruk-sangka
262
terhadap orang-orang lain, sebab hal itu yaitu kepalsuan terbesar dan
janganlah ingin tahu yang tidak pada tempatnya atau memberi nama-
nama cemoohan terhadap satu sama lain untuk menghina atau iri hati
terhadap satu sama lain, dan jangan memelihara perasaan-perasaan buruk
terhadap orang lain, hendaknya tiap-tiap orang di antara kamu
memandang diri sebagai hamba Allah dan memperlakukan orang-orang
lain sebagai saudara sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah”, dan
pula, ingatlah bahwa seorang Muslim itu saudara bagi tiap orang Muslim.
Tidak boleh seorang Muslim melanggar hak orang Muslim lainnya atau
menjauhi orang lain dalam masa-masa kesusahan atau menghina orang
lain hanya sebab tak punya barang atau ilmu atau hal apa saja yang
lainnya. Kesucian yaitu bersumber pada hati dan cukup mengotori hati
seseorang kalau memandang hina saudaranya. Tiap-tiap Muslim harus
memandang jiwa, kehormatan dan milik orang Muslim lainnya sebagai
sesuatu yang suci dan tak boleh diganggu. Allah tidak memandang
jasmanimu atau wajahmu atau perbuatan-perbuatan lahirmu, namun
memandang dan melihat ke dalam hati-mu" (Muslim, Kitab al-Birr wal-
Sila).
Jual-Beli Secara Terus Terang
Beliau sangat mendambakan orang-orang Muslim agar jangan
mengikuti hati dalam melakukan segala bentuk kelicikan dalam transaksi
atau jual-beli. Pada suatu waktu saat beliau sedang lewat di pasar,
beliau melihat setimbun gandum yang sedang dilelang. Beliau
memasukkan tangan beliau ke dalam timbunan itu dan didapati bahwa
walaupun lapisan luarnya kering, lapisan dalamnya basah. Beliau
menanyakan kepada pemiliknya akan sebab-sebabnya. Orang itu
menerangkan bahwa hujan yang turun tiba-tiba telah menjadikannya
basah. Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa jika demikian ia hendaknya
membiarkan lapisan yang basah gandum itu tetap ada di bagian luar
sehingga para calon pembeli dapat menilai keadaan yang sebenarnya.
Beliau bersabda, "Orang yang berdagang secara tidak jujur terhadap
orang lain tidak akan menjadi anggota masyarakat yang berguna"
(Muslim). Mengenai perdagangan beliau menuntut supaya sama sekali
bebas dari tiap-tiap kecurigaan terhadap perbuatan serong. Beliau
memperingatkan kepada tiap-tiap pembeli agar senantiasa memeriksa
barang-barang yang akan mereka beli dan melarang siapa pun
mengadakan rebut-tawar, padahal rebut-tawar dengan pihak lain masih
belum selesai. Beliau melarang juga menimbun barang dagangan untuk
menaikkan harga pasar dan menuntut agar pasar senantiasa mendapat
persediaan secara teratur.
Pesimis
Beliau yaitu musuh pesimisme atau keputus-asaan. Beliau
senantiasa bersabda bahwa barangsiapa menyebarkan rasa pesimis
dikalangan anggota-anggota masyarakat, ia bertanggung jawab atas
kemunduran bangsa; sebab, pikiran-pikiran pesimis memiliki
kecenderungan mengecutkan hati dan menghentikan laju kemajuan
(Muslim, Bagian II, Jilid 2). Beliau memberi peringatan kepada kaum
beliau terhadap kesombongan dan kecongkakan pada satu pihak dan
terhadap pesimis di pihak lain. Beliau memperingatkan mereka supaya
menempuh jalan tengah antara kedua ekstrim itu. Orang-orang Muslim
harus bekerja rajin dan tekun dengan kepercayaan bahwa Allah akan
memberkati daya upaya mereka dengan hasil yang sebaik-baiknya. Tiap-
tiap orang harus berikhtiar untuk maju dan harus berusaha memajukan
kesejahteraan dan meningkatkan kemajuan masyarakat, namun tiap-tiap
orang hendaknya bebas dari perasaan sombong atau tiap-tiap
kecenderungan kepada kecongkakan.
Kekejaman Terhadap Hewan-Hewan
Beliau memperingatkan kaum beliau terhadap kekejaman
terhadap hewan dan memperingatkan agar memperlakukan hewan-
hewan dengan baik. Beliau seringkali menceriterakan contoh mengenai
seorang wanita Yahudi yang dihukum oleh Allah Ta’ala sebab
membiarkan kucingnya mati kelaparan. Juga beliau sering
menceriterakan ihwal seorang wanita yang melihat anjing kehausan
dekat sebuah perigi yang dalam. Ia menanggalkan sepatunya dan
dipakainya untuk mengambil air. Air itu diberikan kepada anjing yang
kehausan itu. Amal saleh itu menarik pengampunan Ilahi atas semua
dosa yang dilakukannya di masa lampau.
Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan: "Tengah kami berada dalam
perjalanan bersama Rasulullah s.a.w., kami melihat dua ekor anak
merpati dalam sarang dan kami menangkap dua ekor burung itu. Kedua
burung itu masih kecil. saat induknya datang kesarangnya dan tidak
didapatinya anak-anaknya, ia terbang kian-kemari dengan sangat gelisah.
saat Rasulullah s.a.w. datang ke tempat itu, beliau melihat merpati itu
dan bersabda, "Jika salah seorang dari antara kamu telah menangkap
anak-anaknya, ia harus segera melepaskannya biar si induk jadi tenang"
(Abu Daud). Abdullah bin Mas'ud menceriterakan juga bahwa sekali
peristiwa mereka melihat sebuah sarang semut dan sesudah
mengumpulkan daun-daun kering di atasnya, daun-daun itu dibakarnya.
Atas perbuatan itu mereka disesali oleh Rasulullah s.a.w.. Sekali
peristiwa Rasulullah s.a.w. melihat seekor keledai yang sedang dicap
bakar mukanya. Beliau menanyakan bahwa orang-orang Romawi
berbuat serupa itu untuk menandai dan mengenal binatang-binatang
ternak mereka. Rasulullah bersabda bahwa muka merupakan bagian
badan yang sangat peka, maka binatang itu tidak boleh diberi cap bakar
di mukanya dan jika pun hal itu perlu dilakukan, membakarnya harus
pada pahanya saja (Abu Daud dan Tirmidhi). Sejak itu kaum Muslim
senantiasa menandai binatang-binatangnya pada pahanya dan dengan
meniru perbuatan Muslim itu, orang-orang Eropa juga berbuat demikian.
Toleransi Dalam Urusan Agama
Rasulullah s.a.w. bukan saja menekankan pada kebaikan
toleransi dalam urusan agama, namun memberikan contoh-contoh yang
sangat tinggi dalam urusan ini. Suatu perutusan suku Kristen dari Najran
menghadap kepada beliau di Medinah untuk bertukar pikiran mengenai
masalah-masalah keagamaan. Di dalam rombongan itu ada tokoh-
tokoh gereja. Percakapan diadakan di dalam mesjid dan berjalan selama
beberapa jam. Pada suatu saat perutusan itu minta izin meninggalkan
mesjid dan mengadakan upacara kebaktian di suatu tempat yang tenang.
Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa mereka tidak perlu meninggalkan
mesjid yang memang merupakan tempat khusus untuk kebaktian kepada
Allah dan mereka dapat melakukan ibadah mereka di situ (Zurqani).
Keberanian
Beberapa contoh mengenai keberanian dan kewiraan beliau telah
diceriterakan dalam bagian riwayat hidup beliau. Cukuplah kiranya di
sini mengemukakan sebuah contoh. Pada suatu saat , di Medinah
tersebar luas desas-desus bahwa orang-orang Romawi sedang
menyiapkan kesatuan lasykar yang besar untuk mengadakan
pendudukan. Pada masa itu orang-orang Muslim selalu berjaga-jaga
malam. Pada suatu malam suara gaduh datang dari arah padang pasir.
Orang-orang Muslim berlari-lari keluar rumah mereka dan beberapa dari
antara mereka berkumpul di mesjid dan menunggu kedatangan
Rasulullah s.a.w. untuk mendapat perintah menghadapi segala
kemungkinan. Segera mereka melihat Rasulullah s.a.w. datang berkuda,
kembali dari arah suara-suara itu. Kemudian mereka mengetahui bahwa
pada saat awal sekali suara tanda bahaya terdengar, Rasulullah s.a.w.
telah menaiki kuda dan menuju arah datangnya suara itu untuk
menyelidiki apa ada alasannya atas kekhawatiran itu. Beliau tidak
menunggu orang-orang berkumpul untuk dapat berangkat bersama-sama.
saat beliau kembali, beliau menjelaskan kepada para Sahabat bahwa
tidak ada alasan untuk khawatir dan bahwa mereka dapat pulang ke
rumah masing-masing dan tidur lagi (Bukhari, Bab Syuja'ah fil Harb).
Tenggang Rasa Terhadap Orang Yang Kurang
Sopan
Beliau sangat lunak terhadap mereka yang sebab tidak punya
ajaran sopan-santun maka tidak mengetahui bagaimana seyogyanya
membawakan diri. Pada sekali peristiwa, seorang Bedui yang baru saja
masuk Islam dan sedang duduk-duduk bersama Rasulullah s.a.w. di
mesjid bangkit, berjalan beberapa langkah, berjongkok di sudut mesjid
lalu membuang air seni. Beberapa Sahabat bangkit hendak melarangnya.
Rasulullah s.a.w. menahan mereka dan menjelaskan bahwa kalau itu
diganggu maka dapat menjadikan orang itu malu dan boleh jadi akan
memudaratkannya. Beliau mengatakan kepada para Sahabat untuk
membiarkannya dan membersihkan tempat itu kemudian.
Menyempurnakan Perjanjian
Rasulullah s.a.w. sangat menaruh penting ihwal asas
menyempurnakan perjanjian. Sekali peristiwa seorang duta datang
kepada beliau dengan tugas istimewa dan, sesudah ia tinggal beberapa
hari bersama beliau, ia yakin akan kebenaran Islam dan mohon
diperbolehkan bai’at, masuk Islam. Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa
perbuatannya tidak tepat sebab ia datang sebagai duta dan telah menjadi
kewajibannya untuk pulang ke pusat pemerintahannya tanpa
mengadakan hubungan baru. Jika sesudah pulang ia masih yakin akan
kebenaran Islam, ia dapat kembali lagi sebagai orang bebas dan masuk
Islam (Abu Daud, bab tentang Wafa bil-Ahd).
Penghargaan Terhadap Abdi-Abdi Peri
Kemanusiaan
Beliau sangat menghargai mereka yang membaktikan waktunya
dan harta bendanya untuk mengkhidmati umat manusia. Suku Arab,
Banu Tai', mulai mengadakan permusuhan terhadap Rasulullah s.a.w.
dan kekuatan mereka dikalahkan, dan beberapa orang ditawan dalam
sebuah peperangan. Seseorang dari tawanan itu yaitu anak perempuan
Hatim Ta'i, seorang yang kemurahan dan kebaikannya telah menjadi
buah bibir bangsa Arab. saat anak Hatim menerangkan kepada
Rasulullah s.a.w. mengenai silsilah keluarganya, beliau memperlakukan
wanita itu dengan penghormatan yang besar dan sebagai hasil dari
perantaraannya, beliau membatalkan semua hukuman yang tadinya akan
dijatuhkan atas wanita itu sebagai tindak balasan terhadap serangan
mereka
Watak Rasulullah s.a.w. itu begitu beraneka segi sehingga tidak
mungkin menceriterakan secara terinci dalam beberapa halaman. Oleh
sebab buku ini tidak bertujuan semata-mata membahas peri watak
beliau, dan mengingat akan keterbatasan ruang dalam buku ini, kami
tidak memiliki pilihan lam kecuali membatasi uraian ini hanya sampai
di sini.
-------------------------------