Selasa, 11 Februari 2025

riwayat hidup nabi muhammad 10


  kedamaian dan ketenteraman 

rumah tangga senantiasa terganggu. Sayyidina Umar menerangkan hal 

itu kepada Rasulullah s.a.w., dan berkata bahwa kecuali jika kaum 

wanita kadang-kadang boleh dihukum, mereka akan menjadi susah 

diatur dan tidak ada yang mengendalikan lagi. sebab  ajaran Islam yang 

bertalian dengan perlakuan terhadap wanita-wanita belum diturunkan, 

Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa jika seorang wanita bertindak 

melampaui batas, ia boleh dihukum. Hal itu pada gilirannya menjadikan 

kaum pria, dalam beberapa hal, kembali ke pada kebiasaan-kebiasaan 

Arab kuno. Sekarang datang lagi giliran kepada kaum wanita untuk 

mengeluh dan mereka membentangkan kesusahan kepada istri-istri 

Rasulullah s.a.w.. Akibatnya, Rasulullah s.a.w. menyesali kaum pria dan 

mengatakan kepada mereka bahwa siapa yang memperlakukan wanita-

wanita secara tidak baik, tidak mungkin dapat menarik keridhaan Ilahi. 

Kemudian hak-hak wanita ditetapkan, dan untuk pertama kalinya wanita 

mulai diperlakukan sebagai pribadi-pribadi yang mandiri dengan hak 

mereka masing-masing (Abu Daud, Kitab al-Nikah). 

Mu'awiyah Al Qusyairi meriwayatkan, “Aku menanyakan 

kepada Rasulullah s.a.w., hak apa istriku dapat menuntut dari padaku?” 

dan beliau menjawab, “Berilah dia makan dari apa-apa yang Allah  telah 

merezekikan kepadamu dalam urusan makan, dan berilah dia pakaian 

yang Allah  telah menganugerahkannya kepadamu dalam urusan 

pakaian, dan janganlah menyiksa atau memaki-maki atau mengusirnya 

dari rumahmu.”  

Beliau begitu berhati-hati tentang perasaan wanita sehingga 

beliau senantiasa menganjurkan kepada orang-orang yang harus 

melakukan perjalanan supaya menyelesaikan urusan secepat-cepatnya 

dan pulang selekas mungkin sehingga wanita-wanita dan anak-anak 

mereka tidak akan menjadi resah sebab  pisah lebih daripada yang benar-

benar diperlukan. Jika beliau pulang dari perjalanan, beliau biasa datang 

siang hari. Jika beliau kembali dari perjalanan sedang hari hampir 

malam, beliau biasa berkemah dahulu di luar Medinah pada malam itu 

sebelum masuk kota di waktu pagi esok harinya. Beliau mengatakan juga 

kepada para Sahabat bahwa jika mereka pulang dari suatu perjalanan, 

mereka hendaknya tidak pulang secara tiba-tiba tanpa memberi khabar 

lebih dahulu tentang kedatangan mereka kembali (Bukhari dan Muslim). 

Dalam memberikan petunjuk-petunjuk, beliau ingat akan kenyataan 

bahwa hubungan antara dua jenis kelamin itu bagian besar dipengaruhi 

oleh perasaan. Dalam waktu suami tidak ada di rumah, seorang wanita 

mungkin sering lalai mengurus badan sendiri dan pakaiannya, dan jika 

suaminya tiba-tiba pulang tanpa diduga-duga, maka perasaan halus 

wanita mungkin akan tersinggung. Dengan memberi petunjuk bahwa jika 

seseorang pulang dari perjalanan hendaklah berusaha datang ke rumah 

pada siang hari dan lebih dahulu memberi kabar kepada anggota-anggota 

keluarga tentang kedatangannya, beliau meyakinkan bahwa anggota-

anggota keluarga akan siap menerima anggota keluarga yang pulang itu 

dengan cara yang layak. 

Sikap Terhadap Orang Yang Meninggal 

Beliau memerintahkan tiap-tiap orang supaya membuat surat 

wasiat tentang cara menyelesaikan urusannya sesudah ia meninggal 

dunia sehingga pihak yang bersangkutan tidak akan begitu disusahkan 

sepeninggalnya. Beliau menetapkan bahwa orang tidak boleh 

membicarakan keburukan seseorang yang telah meninggal melainkan 

hendaknya menekankan pada kebaikan apa saja yang dimiliki almarhum, 

sebab tidak ada faedahnya menyebut-nyebut kelemahan atau kejahatan 

orang yang sudah meninggal. namun , dengan mengemukakan kebaikan-

kebaikan almarhum orang akan cenderung mendoakan (Bukhari). Beliau 

menegaskan mengenai orang yang meninggal supaya utang-utangnya 

dibayar lunas sebelum ia dikuburkan. Beliau seringkali melunasi utang 

seseorang yang telah meninggal dari saku beliau sendiri, namun jika 

beliau tidak mampu berbuat seperti itu, beliau menganjurkan kepada para 

ahli waris dan sanak-saudara orang yang meninggal atau orang-orang 

lain untuk membereskan utang-utangnya dan beliau tidak mau 

mendirikan sembahyang jenazah untuk orang yang telah meninggal 

sebelum utang-utangnya diselesaikan. 

Perlakuan Terhadap Tetangga 

Beliau senantiasa memperlakukan tetangga-tetangga beliau 

dengan ramah dan penuh pengertian. Beliau sering mengatakan bahwa 

Malaikat Jibril telah menekankan begitu seringnya supaya kasih-sayang 

terhadap tetangga-tetangga, sehingga beliau kadang-kadang mulai 

menyangka bahwa seorang tetangga barangkali harus dimasukkan ke 

dalam kalangan ahli waris yang telah digariskan. Abu Dharr 

meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya, “Abu 

Dharr, jika kuah daging sedang dimasak untuk keluargamu, 

tambahkanlah lebih banyak air kepada masakan itu agar tetanggamu juga 

mendapat bagiannya.” Hal itu tidak berarti bahwa tetangga jangan 

diundang untuk menikmati masakan-masakan lain, namun oleh sebab  

kaum Arab pada umumnya yaitu  kaum kelana dan makanan yang 

paling digemari yaitu  gulai daging, Rasulullah s.a.w. menyebut 

makanan itu sebagai makanan istimewa, dan mengajarkan bahwa 

seseorang hendaknya jangan lebih mementingkan kelezatan makanan 

daripada kewajiban mengikutsertakan salah seorang tetangganya. 

Abu Hurairah meriwayatkan: “Sekali peristiwa Rasulullah s.a.w. 

berseru, “Aku bersumpah dengan nama Allah  bahwa ia bukan orang 

beriman. Aku bersumpah dengan nama Allah  bahwa ia bukan orang 

beriman! Aku bersumpah dengan nama Allah  bahwa ia bukan orang 

beriman!” Para Sahabat menanyakan, “Siapakah yang bukan orang 

beriman itu, ya Rasulullah?” dan beliau menjawab, “Orang yang 

tetangganya tidak selamat terhadap kemudaratan dan perlakuan buruk 

dari tangan mereka. Sekali peristiwa saat  beliau berbicara kepada 

kaum wanita, beliau bersabda, Jika seseorang hanya punya kaki kambing 

untuk dimasak, ia hendaknya membagi tetangganya. Beliau meminta 

orang-orang supaya jangan menaruh keberatan terhadap tetangganya 

memasang pasak ke dalam dinding rumahnya atau mempergunakan 

dinding untuk sesuatu keperluan lain yang tidak menimbulkan kerugian 

atau kerusakan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. 

bersabda, “Orang yang beriman kepada Allah  dan Hari Pembalasan 

hendaknya jangan mendatangkan kesusahan kepada tetangganya, orang 

yang beriman kepada Allah  dan Hari Pembalasan hendaknya jangan 

mendatangkan kesusahan kepada tamunya, dan orang yang beriman 

kepada Allah  dan Hari Pembalasan hendaknya mengucapkan kata-kata 

baik lagi berfaedah atau ia hendaknya tutup mulut saja” (Muslim). 

Perlakuan Terhadap Sanak-Saudara 

Kebanyakan orang mengalami kegagalan bahwa jika mereka 

menikah dan mendirikan rumah tangga sendiri, mereka berangsur 

mengabaikan orang tua. Oleh sebab  itu Rasulullah s.a.w. sangat 

menekankan ihwal pahala berbakti dan mengkhidmati orang-tua serta 

memperlakukan mereka dengan baik lagi kasih sayang. Abu Hurairah 

meriwayatkan, “Seorang laki-laki datang menghadap kepada Rasulullah 

s.a.w. dan menanyakan siapakah yang paling berhak atas perlakuan baik 

dari dia. Rasulullah s.a.w. menjawab: “Ibumu”. Orang itu menanyakan 

lagi, “Dan sesudah itu?” Rasulullah s.a.w. mengulangi lagi, “Ibumu.” 

Orang itu bertanya untuk ketiga kalinya, “Dan sesudah ibuku?” dan 

Rasulullah s.a.w. menjawab lagi, “Masih ibumu juga” dan saat  orang 

itu bertanya untuk keempat kalinya, beliau bersabda, “Sesudah ibumu, 

bapakmu dan sesudah dia keluarga terdekat dan sesudah itu keluarga 

yang lebih jauh”. 

Orang tua dan kakek Rasulullah s.a.w. meninggal dunia saat  

beliau masih kecil. namun beberapa orang tua istri-istri beliau masih 

hidup dan beliau senantiasa memperlakukan mereka dengan kasih-

sayang dan takzim. Pada peristiwa jatuhnya Mekkah, saat  Rasulullah 

s.a.w. memasuki kota sebagai panglima yang gagah perkasa, Abu Bakar 

membawa ayahnya menghadap. Beliau bersabda kepada Abu Bakar, 

“Mengapa anda menyusahkan ayah anda untuk datang kepadaku. Aku 

sendiri akan merasa berbahagia menghadap kepada beliau” (Halbiyya, 

Jilid 3, hlm. 99). Salah suatu sabda Rasulullah s.a.w. ialah, “Malang 

benar orang yang orang tuanya mencapai usia lanjut tapi ia gagal meraih 

surga juga”, artinya, mengkhidmati orang tua, terutama saat mereka 

mencapai usia lanjut, menarik ridha dan karunia Ilahi dan oleh sebab  itu 

seseorang yang terbuka kepadanya kesempatan mengkhidmati orang 

tuanya yang lanjut usia dan berusaha menggunakan kesempatan itu 

sepenuhnya, pasti akan menjadi kuat dalam jalan takwa dan menjadi 

penerima karunia Ilahi. 

Seseorang pada suatu saat  mengeluh kepada Rasulullah s.a.w., 

bahwa makin baik ia berbuat baik kepada sanak-saudaranya, makin tidak 

bersahabat pula mereka terhadap dirinya, dan makin mereka 

diperlakukan dengan kasih-sayang, makin mereka aniaya terhadap 

dirinya, dan makin ia memperlihatkan cinta kepada mereka, makin benci 

juga mereka terhadap dia. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Jika apa yang kau 

katakan itu benar, maka kamu sangat beruntung, sebab kamu senantiasa 

akan menjadi orang yang menerima perlindungan dan pertolongan Ilahi” 

(Muslim, Kitab al-Birr wal Sila). 

Pada suatu waktu saat  Rasulullah s.a.w. sedang menasihati 

orang-orang agar memberi sedekah, seorang dari para Sahabat, Abu 

Talha Anshari, menghadap kepada beliau dan menyerahkan sebuah 

kebun guna dipergunakan untuk tujuan menolong orang-orang miskin. 

Rasulullah s.a.w. sangat gembira dan berseru, “Alangkah bagusnya 

sedekah ini! Alangkah bagusnya sedekah ini!” dan menambahkan, 

“sesudah  menyerahkan kebun itu untuk mengkhidmati orang-orang 

miskin, aku minta kamu sekarang membagi-bagikannya di antara sanak-

saudaramu yang miskin.” (Bukhari, Kitab al-Tafsir). 

Pada suatu waktu seseorang datang menghadap kepada beliau 

dan berkata, “Ya, Rasulullah, aku bersedia berjanji akan berhijrah dan 

aku bersedia janji akan ikut berjihad, sebab aku sangat menghendaki 

ridha Ilahi.” Rasulullah s.a.w. bertanya, apakah salah seorang dari orang 

tuanya masih hidup dan orang itu menjawab bahwa kedua-duanya masih 

hidup. Maka beliau bertanya, “Apakah kamu sungguh-sungguh ingin 

mendapatkan ridha Ilahi?” Dan, atas jawaban orang itu bahwa ia 

sungguh-sungguh mendambakan hal itu, Rasulullah s.a.w. bersabda, 

“Kembalilah kepada orang tuamu dan khidmatilah mereka, dan khidmati 

mereka dengan sungguh-sungguh.” Beliau menegaskan bahwa sanak-

saudara seseorang yang belum masuk Islam sama-sama berhak atas 

perlakuan baik dari kasih-sayang seperti halnya sanak-saudaranya yang 

sudah menjadi Muslim. Salah seorang dari istri-istri Abu Bakar yang 

bukan-Muslim mengunjungi anaknya, Asma, dan anaknya itu bertanya 

kepada Rasulullah s.a.w., apakah boleh ia mengkhidmati ibunya dan 

memberi hadiah kepadanya; dijawab oleh Rasulullah s.a.w., “Tentu saja, 

sebab ia ibumu” (Bukhari, Kitab al-Adab). 

Beliau tidak saja memperlakukan sanak-saudara yang dekat 

dengan kasih-sayang, bahkan kerabat yang sudah jauh pun dan siapa pun 

yang memiliki  pertalian dengan mereka diberi perlakuan sangat baik. 

Bilamana beliau menyembelih korban seekor ternak, beliau biasa 

mengirimkan sebagian dagingnya kepada sahabat-sahabat Khadijah (istri 

beliau yang telah wafat) dan berpesan kepada istri-istri beliau agar tidak 

melupakan mereka dalam peristiwa-peristiwa semacam itu. Beberapa 

tahun sesudah wafat Khadijah r.a., saat  beliau bercengkerama dengan 

para Sahabat, saudara perempuan Khadijah, Halah, datang berkunjung 

dan meminta izin masuk. Suaranya sampai ke telinga Rasulullah s.a.w. 

layaknya seperti suara Khadijah r.a. dan saat  beliau mendengar beliau 

bersabda, “Ya Allah, itulah Halah, saudara Khadijah.” Sesungguhnya 

cinta yang sejati senantiasa menjelmakan diri demikian bahwa seseorang 

mencintai juga segala sesuatu yang ada pertaliannya dengan orang yang 

dicintai dan dihormati. 

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa dalam suatu perjalanan ia 

tahu-tahu sudah ada bersama-sama dengan Jarir bin Abdullah dan 

dirasakan olehnya bahwa kawannya ini menjaga dia seperti seorang 

budak menjaga tuannya. sebab  Jarir bin Abdullah lebih tua daripada 

Anas, Anas menjadi malu dan menegurnya supaya Jarir tidak bersusah-

payah. Jarir menjawab, “Aku biasa melihat bagaimana patuh dan 

rajinnya kaum Anshar melayani Rasulullah s.a.w. dan sebab  sangat 

terkesan oleh bakti dan cinta mereka terhadap Rasulullah s.a.w., aku 

telah mengambil keputusan dalam diriku sendiri bahwa bilamana aku 

kebetulan ada bersama-sama seorang Anshar, aku akan melayani sebagai 

pelayannya. Oleh sebab  itu, aku hanya melaksanakan keputusanku 

sendiri dan anda tidak usah melarang” (Muslim). Peristiwa itu 

menandakan bahwa kalau seseorang benar-benar mencintai orang lain, 

cintanya meliputi juga mereka yang sungguh-sungguh mengkhidmati 

sesuatu yang disayang orang itu. Begitu juga mereka yang benar-benar 

mencintai orang tua senantiasa menunjukkan hormat dan perhatian 

penuh terhadap mereka yang sedikit banyak ada hubungan dengan orang 

tua mereka dalam bentuk ikatan kasih sayang atau kekeluargaan. Pada 

suatu peristiwa Rasulullah s.a.w. menekankan bahwa menghormati 

sahabat-sahabat ayah merupakan kebajikan yang utama. Di antara orang-

orang yang mendengar, ada  Abdullah bin Umar. Beberapa tahun 

kemudian, pada masa ibadah Haji, ia berjumpa dengan seorang Badui 

dan Abdullah bin Umar menyerahkan keledainya sendiri kepadanya serta 

memberikan sorbannya. Seorang dari antara kawannya mengatakan 

bahwa Abdullah bin Umar terlalu royal, padahal seorang Badui akan 

gembira dan puas dengan pemberian sekedarnya. Abdullah bin Umar 

berkata, “Ayah orang itu yaitu  sahabat ayahku dan aku pernah 

mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa suatu amal utama 

seseorang yang saleh ialah menghormati dan memuliakan sahabat 

ayahnya.” 

Pergaulan Balk 

Beliau selamanya memilih pergaulan dengan orang-orang baik 

dan jika beliau melihat suatu kelemahan pada salah seorang dari para 

Sahabat, beliau menegurnya dengan ramah secara empat mata. Abu 

Musa Asy'ari meriwayatkan, “Rasulullah s.a.w. menggambarkan faedah 

yang dapat diraih dari teman-teman yang baik dan kawan yang saleh, dan 

kerugian yang dapat diterima dari sahabat-sahabat yang rawan susila dan 

kawan-kawan yang buruk dengan mengatakan, “Seseorang yang 

mengadakan pergaulan dengan orang-orang saleh yaitu  serupa orang 

yang membawa kesturi. Jika ia mempergunakannya ia mendapat faedah; 

jika menjualnya ia mendapat laba, dan jika ia hanya menyimpannya pun 

akan menikmati keharuman. Seseorang yang bergaul dengan orang 

rawan susila yaitu  serupa dengan orang yang meniup ke dalam tungku 

arang; apa yang dapat diharapkan hanya bunga api yang dapat hinggap di 

pakaiannya dan membakarnya atau asap yang keluar dari tungku itu akan 

memusingkan kepalanya.” Beliau biasa mengatakan bahwa watak 

seseorang dibentuk serupa dengan sifat pergaulannya dan bahwa oleh 

sebab  itu seseorang hendaknya berhati-hati dan mempergunakan 

waktunya bergaul dengan orang-orang baik (Bukhari dan Muslim). 

Menjaga Kepercayaan Orang 

Rasulullah s.a.w. sangat berhati-hati membawa diri agar tidak 

timbul kemungkinan adanya salah faham. Pada suatu peristiwa istri 

beliau, Safiyah, datang menjumpai beliau di mesjid. saat  waktu untuk 

pulang tiba, hari sudah menjadi gelap dan Rasulullah s.a.w mengambil 

keputusan untuk mengantarkannya pulang. Di jalan beliau berpapasan 

dengan dua orang dan sebab  hendak menghindarkan suatu persangkaan 

dari mereka terhadap orang yang bersama-sama dengan beliau, 

Rasulullah s.a.w. menyuruh mereka berhenti dan sambil menyingkap 

kerudung wajah istrinya, beliau bersabda, “Lihatlah, ini istriku, Safiyah.” 

Mereka memprotes “Ya Rasulullah, mengapa anda menyangka kami 

akan salah faham mengenai anda?” Rasulullah s.a.w. menjawab, 

“Syaitan sering menjalar melalui darah manusia. Aku khawatir 

kepercayaanmu ditularinya” (Bukhari, Abwab al-Itikaf). 

Menutupi Kesalahan Orang Laln 

Beliau tidak pernah mengemukakan kesalahan-kesalahan dan 

kelemahan-kelemahan orang lain dan menasihati orang-orang jangan 

mengumumkan kesalahan-kesalahan sendiri. Beliau biasa bersabda, 

“Jika seseorang menutupi kesalahan-kesalahan orang lain, Allah  akan 

menutupi kesalahan-kesalahannya pada Hari Pembalasan.” Dan, “Tiap-

tiap pengikutku dapat lepas dari akibat-akibat kesalahannya (artinya, 

dengan bertobat sungguh-sungguh dan membenahi diri), kecuali mereka 

yang menyebar-nyebar kesalahannya sendiri,” dan melukiskannya 

dengan perkataan, “Seseorang berbuat kejahatan di waktu malam dan 

membanggakan di hadapan mereka, 'Aku mengerjakan ini tadi malam,' 

jadi ia sendiri telah membukakan apa yang Allah  telah menutupinya” 

(Bukhari dan Muslim). 

Ada sementara orang menyangka, sebab  kebodohannya, bahwa 

pengakuan dosa membantu tobat; kenyataannya ialah hal itu bahkan 

memelihara ketidak-senonohan. Dosa itu kejahatan dan barangsiapa 

terjerumus ke dalamnya dan menjadi mangsa rasa malu, rasa penyesalan 

dapat membuka pintu harapan untuk kembali ke jalan yang suci dan 

ketakwaan dengan tobat. Keadaannya yaitu  seperti orang yang telah 

digoda oleh kejahatan, namun selalu dikejar-kejar oleh kesadaran 

bertakwa, dan begitu kesempatan ada, maka lenyaplah kejahatan itu dan 

orang berdosa itu diimbau kembali oleh ketakwaan. namun orang yang 

menyebar-nyebarkan perbuatan dosanya dan membanggakan perbuatan 

itu, ia kehilangan segala rasa malu dan kehilangan pengertian akan baik 

dan buruk, lalu menjadi tidak mampu untuk bertobat. 

Sekali peristiwa seseorang datang menghadap Rasulullah s.a.w. 

dan berkata, “Aku berdosa telah berbuat zina.” (Jika kesalahan itu 

dibuktikan oleh kesaksian maka merupakan pelanggaran yang dapat 

dikenakan hukuman menurut syariat Islam). Mendengar pengakuan 

orang itu Rasulullah s.a.w. berpaling dan menekuni kesibukan lain. 

Beliau bermaksud menyatakan bahwa obat yang tepat ialah tobat dan 

bukan pengakuan di muka umum. namun , orang itu tidak mengerti dan 

menyangka bahwa Rasulullah s.a.w. tidak mendengarnya, lalu pindah ke 

hadapan Rasulullah s.a.w. dan mengulangi pengakuannya. Rasulullah 

s.a.w. membalikkan badan lagi dan membelakanginya namun orang itu 

pindah lagi ke hadapan Rasulullah s.a.w. dan mengulang lagi 

pengakuannya. saat  ia telah berbuat serupa empat kali, Rasulullah s a 

w. bersabda, “Aku tadinya mengharap orang ini tidak mengatakan 

dosanya sebelum Allah  menunjukkan kehendak-Nya tentang dia, namun 

sebab  ia telah empat kali mengakui dosanya, aku sekarang terpaksa 

mengambil tindakan” (Tirmidhi). Kemudian beliau menambahkan, 

“Orang ini telah mengaku dan belum ada tuduhan dari wanita yang 

terlibat dalam pengakuannya. Wanita itu harus diperiksa dan jika ia 

menolak dosanya, wanita itu tidak boleh disiksa dan hanya laki-laki ini 

harus mendapat hukuman sesuai dengan pengakuannya; namun , jika 

wanita itu juga mengaku ia harus mendapat hukuman juga.” Memang 

menjadi kebiasaan Rasulullah s.a.w untuk mengikuti syariat Torat dalam 

hal-hal yang Al-Qur’an bungkam mengenainya, dan sebab  Torat 

menetapkan bahwa seorang pezina harus dirajam, beliau memutuskan 

terhadap orang itu sesuai dengan peraturan itu. saat  hukuman itu akan 

dilaksanakan, orang itu berusaha melarikan diri, namun orang-orang 

mengejarnya dan hukuman itu dilakukan. saat  Rasulullah s.a.w 

mendengar hal itu beliau tidak menyetujuinya. Beliau mengatakan 

bahwa orang itu telah dijatuhi hukuman berdasarkan pengakuannya 

sendiri. Percobaan melarikan diri yaitu  usaha membatalkan 

pengakuannya dan kemudian ia tidak boleh dihukum hanya atas alasan 

pengakuannya semata. 

Rasulullah s.a.w. menetapkan bahwa hukum hanya berlaku atas 

perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan. Dalam suatu 

peperangan, serombongan Muslim menjumpai seorang bukan-Muslim 

yang biasa bersembunyi menunggu di tempat yang sunyi dan jika ia 

melihat seorang Muslim seorang diri, ia menyerang dan membunuhnya. 

Pada peristiwa itu Usama bin Zaid mengejarnya dan sesudah  menyusul 

dan menangkapnya, Zaid menghunus pedang untuk membunuhnya. 

saat  orang itu melihat bahwa tidak ada jalan melarikan diri, ia 

mengucapkan bagian pertama Kalimah Syahadat, ialah “Asyhadu alla 

ilaha illallah” – “Tidak ada Dzat yang patut disembah kecuali Allah”, 

dengan demikian menunjukkan bahwa ia telah menerima Islam. Usama 

tak menghiraukan dan membunuhnya. saat  peristiwa itu, di antara 

sekian banyak peristiwa lain dalam pertempuran itu, diceriterakan 

kepada Rasulullah s.a.w., beliau memanggil Usama dan menanyakan hal 

itu. Atas pengakuan mengenai kebenaran ceritera itu Rasulullah s.a.w. 

bersabda, “Bagaimana halmu pada Hari Pembalasan jika pernyataan 

imannya membenarkan dia?” Usama menjawab, “Ya, Rasulullah, orang 

itu membunuh orang-orang Muslim dan syahadatnya hanya tipu muslihat 

belaka untuk melepaskan diri dari pembalasan.” namun Rasulullah s.a.w. 

mengulangi lagi “Usama, bagaimana hal kamu jika syahadat orang itu 

menjadi saksi terhadapmu pada Hari Pembalasan?” Artinya, Allah  akan 

menuntut pertanggung-jawaban dari Usama atas kematian orang itu, 

sebab walaupun ia telah berdosa membunuh orang-orang Muslim, 

pembacaan syahadatnya yaitu  bukti bahwa ia telah bertobat dari 

kejahatan-kejahatannya. Usama menyangkal dan mengatakan bahwa 

pembacaan Kalimah Syahadat itu hanya sebab  ia takut mati dan bukan 

ciri bertobat. Atas itu Rasulullah s.a.w. bersabda, “Adakah kamu melihat 

ke dalam hatinya untuk mengetahui bahwa apakah ia berkata benar atau 

tidak,” dan melanjutkan, “Bagai-mana kamu akan menjawab pada Hari 

Pembalasan, jika syahadatnya dibacakan sebagai bukti terhadap kamu?” 

Usama berkata, “Mendengar Rasulullah begitu sering mengatakan hal itu 

aku berharap bahwa aku masuk Islam baru sesudah saat itu sehingga aku 

tidak berdosa atas apa-apa yang dituduhkan terhadapku” (Muslim, Kitab 

al-Iman). 

Rasulullah s.a.w. selamanya bersedia memaafkan orang-orang 

dari kesalahan dan pelanggaran mereka. Seseorang dari antara mereka 

yang terlibat dalam fitnah terhadap istri beliau, Aisyah, yaitu  orang 

yang hidupnya bergantung pada kebajikan Abu Bakar (bapak Aisyah). 

saat  kepalsuan tuduhan terhadap Aisyah telah terbukti dengan sejelas-

jelasnya, Abu Bakar menghentikan bantuannya kepada orang itu. Hal ini 

pun menjadi bukti kesabaran dan ketabahan hati Abu Bakar yang terpuji. 

Orang kebanyakan akan menuntut sampai sejauh-jauhnya terhadap 

seorang bawahannya yang telah berdosa menghina anak perempuannya. 

saat  Rasulullah s.a.w. mengetahui tindakan Abu Bakar itu, beliau 

berbicara dengan Abu Bakar dan menjelaskan bahwa walaupun orang itu 

bersalah, yaitu  tidak pantas orang seperti Abu Bakar mencabut sumber 

penghidupannya sebab  kesalahannya itu. Atas nasihat itu Abu Bakar 

meneruskan lagi bantuannya terhadap orang itu (Bukhari, Kitab al-

Tafsir). 

Kesabaran Dalam Kesusahan 

Rasulullah s.a.w. biasa bersabda, “Untuk seorang Muslim, 

kehidupan ini sarat dengan kebaikan dan tidak ada orang lain kecuali 

orang beriman merasakan dirinya dalam keadaan ini sebab jika ia 

berjumpa dengan kesenangan, ia bersyukur kepada Allah  dan menjadi 

orang yang menerima lebih banyak rahmat dan berkat dari Dia. 

Sebaliknya, jika ia menderita kesusahan atau kemalangan, dipikulnya 

penderitaan dengan sabar dan dengan demikian lagi-lagi ia menjadi 

orang yang meraih rahmat dan berkat Ilahi.” 

saat  wafat beliau telah mendekat dan beliau dalam puncak 

penderitaan merintih-rintih, anak beliau, Fatimah, menjerit sebab  tidak 

tahan melihat ayahandanya dalam keadaan demikian. Beliau bersabda, 

“Bersabarlah, ayahmu tidak akan menderita lagi sesudah hari ini,” 

artinya, segala kesusahan hanya terbatas sampai di dunia ini dan saat 

beliau bebas dari kehidupan ini dan sampai di hadirat Al-Khalik, beliau 

tidak akan lagi menderita. Pada waktu wabah tengah berkecamuk, beliau 

tidak membenarkan orang-orang meninggalkan kota yang sedang 

dijangkiti, lalu masuk ke kota lain, sebab hal demikian akan memperluas 

daerah penularan wabah. Beliau biasa mengatakan bahwa pada waktu 

wabah berkecamuk, jika seseorang tinggal tetap di dalam kotanya sendiri 

dan mencegah penularan ke daerah yang belum terjangkit, lalu ia mati 

sebab  wabah itu, ia akan dimasukkan ke dalam golongan syuhada 

(Bukhari, Kitab-al Tibb). 

Bekerja Sama 

Beliau senantiasa mengajarkan bahwa salah satu ciri khas Islam 

yang terbaik ialah, orang hendaknya jangan mencampuri urusan yang 

tidak ada kaitan dengan dirinya dan jangan mengecam atau mencela 

orang lain dan mencampuri perkara-perkara yang tidak bertalian dengan 

dirinya. Itulah dasar yang jika dipakai dan dilaksanakan akan menjamin 

keamanan dan ketertiban di dunia. Sebagian besar kesukaran yang kita 

alami yaitu  bersumber pada kecenderungan mayoritas masyarakat 

menuruti hati untuk ikut campur yang tidak pada tempatnya, dan enggan 

memberikan kerja sama saat diperlukan dalam upaya mengurangi 

penderitaan orang-orang yang ada dalam kesusahan. Rasulullah s.a.w. 

sangat menekankan pada kerja sama. Beliau menjadikan kaidah bahwa 

jika seseorang dituntut membayar sejumlah uang sebagai hukuman dan 

ia tidak mampu membayar sepenuhnya, maka tetangga-tetangga atau 

kawan sebangsanya atau kawan sesukunya hendaknya mengumpulkan 

uang dengan menarik iuran. Orang-orang terkadang datang dan 

bermukim dekat Rasulullah s.a.w. dan menyisihkan waktu untuk 

mengkhidmati Islam dengan bermacam-macam cara. Beliau selalu 

menasihati sanak-saudara mereka guna memikul kewajiban memenuhi 

kebuAllah  mereka yang paling sederhana. Diriwayatkan oleh Anas 

bahwa sekali peristiwa dua orang bersaudara menerima Islam dan 

seorang diantaranya tinggal terus bersama Rasulullah s.a.w., sedang yang 

seorang lagi meneruskan usaha seperti sedia kala. Lama sesudah itu, 

saudara yang disebut terakhir itu mengadu kepada Rasulullah s.a.w. 

bahwa saudaranya telah mempergunakan waktunya bermalas-malasan. 

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Allah  telah mencukupi kebuAllah mu juga 

berkat adanya saudaramu, dan sebab  itu menjadi kewajibanmu 

mencukupi kebuAllah nya dan membiarkan dia bebas mengkhidmati 

agama” (Tirmidhi). 

Dalam perjalanan, saat  rombongan Rasulullah s.a.w. sampai 

ke tempat berkemah, para Sahabat segera sibuk dengan tugas masing-

masing mendirikan kemah untuk bermalam: Rasulullah s.a.w. bersabda, 

“Kamu tidak menugasiku suatu tugas. Aku akan pergi mengumpulkan 

bahan bakar untuk masak.” Para sahabat berkeberatan dan berkata, “Ya 

Rasulullah! Mengapa anda harus repot-repot, jika kami semua siap 

mengerjakan segala sesuatu yang perlu?” Beliau bersabda, “Tidak. 

Menjadi kewajibanku mengerjakan bagianku apa saja yang harus 

dikerjakan,” dan beliau mengumpulkan kayu bakar dari hutan untuk 

memasak makanan (Zurqani, Jilid 4, hlm. 306). 

Kejujuran 

Seperti telah diriwayatkan, Rasulullah s.a.w. sendiri begitu tegar 

dalam soal kejujuran sehingga beliau terkenal di antara kaum beliau 

sebagai "Orang Tepercaya" dan "Orang Benar". Begitu pula beliau 

sangat berhasrat agar orang-orang Muslim menjunjung tinggi nilai 

kebenaran seperti beliau sendiri menjunjungnya. Beliau memandang 

kebenaran sebagai dasar segala keluhuran budi, kebaikan, dan perilaku 

yang benar. Beliau mengajarkan bahwa seseorang yang Muttaqi yaitu  

orang yang teguh memegang kebenaran sehingga ia terhitung bertakwa 

oleh Allah . 

Pada suatu saat  seorang tawanan yang sudah banyak berdosa 

membunuh orang-orang Muslim dibawa ke hadapan Rasulullah s.a.w.. 

Umar yang juga hadir percaya bahwa orang ini pantas sekali dihukum 

mati dan memandang berkali-kali kepada Rasulullah s.a.w. 

mengharapkan bahwa Rasulullah s.a.w. pada suatu saat akan 

mengisyaratkan supaya orang itu dihukum mati. sesudah  Rasulullah 

s.a.w. menyuruh pergi orang itu, Umar menyatakan bahwa orang itu 

harus dihukum mati, sebab  hanya itulah hukuman yang setimpal. 

Rasulullah s.a.w. menjawab, “Jika demikian mengapa ia tidak 

kaubunuh?” Umar menjawab, "Ya Rasulullah! Jika anda memberi 

isyarat, sekalipun hanya dengan kedipan mata, tentu aku akan 

melaksanakannya." Atas itu Rasulullah s.a.w. menambahkan, "Seorang 

nabi tidak bertindak dengan mendua perasaan. Betapa aku dapat 

memakai mataku untuk memberi isyarat menjatuhkan hukuman mati 

kepada orang itu, sementara lidahku sedang dipakai berbicara dengan 

ramah kepadanya (Hisyam, Jilid 2, hlm. 217). Pada suatu waktu 

seseorang menghadap Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Ya Rasulullah, aku 

memiliki  tiga kejahatan: dusta, kecanduan minum minuman keras, dan 

zina. Aku telah berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari kejahatan-

kejahatan itu, namun tidak berhasil. Dapatkah anda mengatakan apa yang 

harus kuperbuat?" Rasulullah s.a.w. menjawab, "Jika kamu mau berjanji 

sungguh-sungguh kepadaku untuk melepaskan satu dari antaranya, aku 

jamin kamu akan terlepas dari kedua kejahatan lainnya." Orang itu 

berjanji dan meminta kepada Rasulullah s.a.w. untuk diberi tahu, dosa 

yang mana dari ketiga macam dosa itu yang harus ditinggalkan. 

Rasulullah s.a.w. bersabda, "Tinggalkanlah dusta." Beberapa waktu 

kemudian orang itu kembali dan mengatakan kepada Rasulullah s.a.w. 

bahwa sesudah mengikuti nasihat beliau, ia sekarang bebas dari ketiga-

tiga dosa itu. Rasulullah s.a.w. bertanya kepadanya bagaimana 

perjuangannya mengatasi kelemahannya, dan orang itu pun berkata, 

"Pada suatu hari aku ingin minum arak dan hampir-hampir kulakukan, 

saat  itu aku teringat akan janjiku kepada anda dan menyadari bahwa 

jika salah seorang dari sahabat-sahabatku menanyakan apakah aku telah 

minum arak, aku akan terpaksa mengakuinya, sebab  aku tidak mungkin 

lagi mengucapkan sesuatu yang dusta. Hal itu berarti bahwa aku akan 

mendapat nama buruk di tengah sahabat-sahabatku dan mereka akan 

menjauhiku di kemudian hari. Dengan pikiran demikian kubujuk diriku 

untuk meninggalkan minum sampai kesempatan lain, dan aku dapat 

menahan keinginan pada waktu itu. Demikian pula pada waktu aku 

cenderung berbuat zina, aku berdebat dengan diriku sendiri bahwa 

mengikuti hati untuk melakukan kejahatan akan menjadikanku 

kehilangan penghargaan sahabat-sahabatku sebab  aku tidak mungkin 

berkata dusta jika ditanya oleh mereka, dan dengan demikian 

membatalkan janjiku kepada anda atau aku harus mengakui dosaku. 

Demikian pula aku terus berjuang antara tekad menyempurnakan janjiku 

kepada anda dan keinginan nafsuku minum minuman keras dan berzina. 

saat  beberapa waktu telah lewat, aku mulai terlepas dari mengikuti 

hawa nafsu dalam dosa itu dan bertekad untuk menjauhkan diri dari 

berdusta, itu sekarang telah membebaskanku dari kedua kejahatan 

lainnya juga." 

Ingin Tahu Tidak Pada Tempatnya 

Rasulullah s.a.w. senantiasa memperingatkan orang-orang 

terhadap ingin tahu yang tidak pada tempatnya dan supaya memiliki  

sangka baik terhadap orang lain. Abu Hurairah meriwayatkan: 

"Rasulullah s.a.w. bersabda, “Selamatkan dirimu dari buruk-sangka 

 262 

terhadap orang-orang lain, sebab hal itu yaitu  kepalsuan terbesar dan 

janganlah ingin tahu yang tidak pada tempatnya atau memberi nama-

nama cemoohan terhadap satu sama lain untuk menghina atau iri hati 

terhadap satu sama lain, dan jangan memelihara perasaan-perasaan buruk 

terhadap orang lain, hendaknya tiap-tiap orang di antara kamu 

memandang diri sebagai hamba Allah  dan memperlakukan orang-orang 

lain sebagai saudara sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah”, dan 

pula, ingatlah bahwa seorang Muslim itu saudara bagi tiap orang Muslim. 

Tidak boleh seorang Muslim melanggar hak orang Muslim lainnya atau 

menjauhi orang lain dalam masa-masa kesusahan atau menghina orang 

lain hanya sebab  tak punya barang atau ilmu atau hal apa saja yang 

lainnya. Kesucian yaitu  bersumber pada hati dan cukup mengotori hati 

seseorang kalau memandang hina saudaranya. Tiap-tiap Muslim harus 

memandang jiwa, kehormatan dan milik orang Muslim lainnya sebagai 

sesuatu yang suci dan tak boleh diganggu. Allah  tidak memandang 

jasmanimu atau wajahmu atau perbuatan-perbuatan lahirmu, namun 

memandang dan melihat ke dalam hati-mu" (Muslim, Kitab al-Birr wal-

Sila). 

Jual-Beli Secara Terus Terang 

Beliau sangat mendambakan orang-orang Muslim agar jangan 

mengikuti hati dalam melakukan segala bentuk kelicikan dalam transaksi 

atau jual-beli. Pada suatu waktu saat  beliau sedang lewat di pasar, 

beliau melihat setimbun gandum yang sedang dilelang. Beliau 

memasukkan tangan beliau ke dalam timbunan itu dan didapati bahwa 

walaupun lapisan luarnya kering, lapisan dalamnya basah. Beliau 

menanyakan kepada pemiliknya akan sebab-sebabnya. Orang itu 

menerangkan bahwa hujan yang turun tiba-tiba telah menjadikannya 

basah. Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa jika demikian ia hendaknya 

membiarkan lapisan yang basah gandum itu tetap ada di bagian luar 

sehingga para calon pembeli dapat menilai keadaan yang sebenarnya. 

Beliau bersabda, "Orang yang berdagang secara tidak jujur terhadap 

orang lain tidak akan menjadi anggota masyarakat yang berguna" 

(Muslim). Mengenai perdagangan beliau menuntut supaya sama sekali 

bebas dari tiap-tiap kecurigaan terhadap perbuatan serong. Beliau 

memperingatkan kepada tiap-tiap pembeli agar senantiasa memeriksa 

barang-barang yang akan mereka beli dan melarang siapa pun 

mengadakan rebut-tawar, padahal rebut-tawar dengan pihak lain masih 

belum selesai. Beliau melarang juga menimbun barang dagangan untuk 

menaikkan harga pasar dan menuntut agar pasar senantiasa mendapat 

persediaan secara teratur. 

Pesimis 

Beliau yaitu  musuh pesimisme atau keputus-asaan. Beliau 

senantiasa bersabda bahwa barangsiapa menyebarkan rasa pesimis 

dikalangan anggota-anggota masyarakat, ia bertanggung jawab atas 

kemunduran bangsa; sebab, pikiran-pikiran pesimis memiliki  

kecenderungan mengecutkan hati dan menghentikan laju kemajuan 

(Muslim, Bagian II, Jilid 2). Beliau memberi peringatan kepada kaum 

beliau terhadap kesombongan dan kecongkakan pada satu pihak dan 

terhadap pesimis di pihak lain. Beliau memperingatkan mereka supaya 

menempuh jalan tengah antara kedua ekstrim itu. Orang-orang Muslim 

harus bekerja rajin dan tekun dengan kepercayaan bahwa Allah  akan 

memberkati daya upaya mereka dengan hasil yang sebaik-baiknya. Tiap-

tiap orang harus berikhtiar untuk maju dan harus berusaha memajukan 

kesejahteraan dan meningkatkan kemajuan masyarakat, namun tiap-tiap 

orang hendaknya bebas dari perasaan sombong atau tiap-tiap 

kecenderungan kepada kecongkakan. 

Kekejaman Terhadap Hewan-Hewan 

Beliau memperingatkan kaum beliau terhadap kekejaman 

terhadap hewan dan memperingatkan agar memperlakukan hewan-

hewan dengan baik. Beliau seringkali menceriterakan contoh mengenai 

seorang wanita Yahudi yang dihukum oleh Allah Ta’ala sebab  

membiarkan kucingnya mati kelaparan. Juga beliau sering 

menceriterakan ihwal seorang wanita yang melihat anjing kehausan 

dekat sebuah perigi yang dalam. Ia menanggalkan sepatunya dan 

dipakainya untuk mengambil air. Air itu diberikan kepada anjing yang 

kehausan itu. Amal saleh itu menarik pengampunan Ilahi atas semua 

dosa yang dilakukannya di masa lampau. 

Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan: "Tengah kami berada dalam 

perjalanan bersama Rasulullah s.a.w., kami melihat dua ekor anak 

merpati dalam sarang dan kami menangkap dua ekor burung itu. Kedua 

burung itu masih kecil. saat  induknya datang kesarangnya dan tidak 

didapatinya anak-anaknya, ia terbang kian-kemari dengan sangat gelisah. 

saat  Rasulullah s.a.w. datang ke tempat itu, beliau melihat merpati itu 

dan bersabda, "Jika salah seorang dari antara kamu telah menangkap 

anak-anaknya, ia harus segera melepaskannya biar si induk jadi tenang" 

(Abu Daud). Abdullah bin Mas'ud menceriterakan juga bahwa sekali 

peristiwa mereka melihat sebuah sarang semut dan sesudah  

mengumpulkan daun-daun kering di atasnya, daun-daun itu dibakarnya. 

Atas perbuatan itu mereka disesali oleh Rasulullah s.a.w.. Sekali 

peristiwa Rasulullah s.a.w. melihat seekor keledai yang sedang dicap 

bakar mukanya. Beliau menanyakan bahwa orang-orang Romawi 

berbuat serupa itu untuk menandai dan mengenal binatang-binatang 

ternak mereka. Rasulullah bersabda bahwa muka merupakan bagian 

badan yang sangat peka, maka binatang itu tidak boleh diberi cap bakar 

di mukanya dan jika pun hal itu perlu dilakukan, membakarnya harus 

pada pahanya saja (Abu Daud dan Tirmidhi). Sejak itu kaum Muslim 

senantiasa menandai binatang-binatangnya pada pahanya dan dengan 

meniru perbuatan Muslim itu, orang-orang Eropa juga berbuat demikian. 

Toleransi Dalam Urusan Agama 

Rasulullah s.a.w. bukan saja menekankan pada kebaikan 

toleransi dalam urusan agama, namun memberikan contoh-contoh yang 

sangat tinggi dalam urusan ini. Suatu perutusan suku Kristen dari Najran 

menghadap kepada beliau di Medinah untuk bertukar pikiran mengenai 

masalah-masalah keagamaan. Di dalam rombongan itu ada  tokoh-

tokoh gereja. Percakapan diadakan di dalam mesjid dan berjalan selama 

beberapa jam. Pada suatu saat perutusan itu minta izin meninggalkan 

mesjid dan mengadakan upacara kebaktian di suatu tempat yang tenang. 

Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa mereka tidak perlu meninggalkan 

mesjid yang memang merupakan tempat khusus untuk kebaktian kepada 

Allah  dan mereka dapat melakukan ibadah mereka di situ (Zurqani). 

Keberanian 

Beberapa contoh mengenai keberanian dan kewiraan beliau telah 

diceriterakan dalam bagian riwayat hidup beliau. Cukuplah kiranya di 

sini mengemukakan sebuah contoh. Pada suatu saat , di Medinah 

tersebar luas desas-desus bahwa orang-orang Romawi sedang 

menyiapkan kesatuan lasykar yang besar untuk mengadakan 

pendudukan. Pada masa itu orang-orang Muslim selalu berjaga-jaga 

malam. Pada suatu malam suara gaduh datang dari arah padang pasir. 

Orang-orang Muslim berlari-lari keluar rumah mereka dan beberapa dari 

antara mereka berkumpul di mesjid dan menunggu kedatangan 

Rasulullah s.a.w. untuk mendapat perintah menghadapi segala 

kemungkinan. Segera mereka melihat Rasulullah s.a.w. datang berkuda, 

kembali dari arah suara-suara itu. Kemudian mereka mengetahui bahwa 

pada saat awal sekali suara tanda bahaya terdengar, Rasulullah s.a.w. 

telah menaiki kuda dan menuju arah datangnya suara itu untuk 

menyelidiki apa ada alasannya atas kekhawatiran itu. Beliau tidak 

menunggu orang-orang berkumpul untuk dapat berangkat bersama-sama. 

saat  beliau kembali, beliau menjelaskan kepada para Sahabat bahwa 

tidak ada alasan untuk khawatir dan bahwa mereka dapat pulang ke 

rumah masing-masing dan tidur lagi (Bukhari, Bab Syuja'ah fil Harb). 

 

Tenggang Rasa Terhadap Orang Yang Kurang 

Sopan 

Beliau sangat lunak terhadap mereka yang sebab  tidak punya 

ajaran sopan-santun maka tidak mengetahui bagaimana seyogyanya 

membawakan diri. Pada sekali peristiwa, seorang Bedui yang baru saja 

masuk Islam dan sedang duduk-duduk bersama Rasulullah s.a.w. di 

mesjid bangkit, berjalan beberapa langkah, berjongkok di sudut mesjid 

lalu membuang air seni. Beberapa Sahabat bangkit hendak melarangnya. 

Rasulullah s.a.w. menahan mereka dan menjelaskan bahwa kalau itu 

diganggu maka dapat menjadikan orang itu malu dan boleh jadi akan 

memudaratkannya. Beliau mengatakan kepada para Sahabat untuk 

membiarkannya dan membersihkan tempat itu kemudian. 

Menyempurnakan Perjanjian 

Rasulullah s.a.w. sangat menaruh penting ihwal asas 

menyempurnakan perjanjian. Sekali peristiwa seorang duta datang 

kepada beliau dengan tugas istimewa dan, sesudah ia tinggal beberapa 

hari bersama beliau, ia yakin akan kebenaran Islam dan mohon 

diperbolehkan bai’at, masuk Islam. Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa 

perbuatannya tidak tepat sebab  ia datang sebagai duta dan telah menjadi 

kewajibannya untuk pulang ke pusat pemerintahannya tanpa 

mengadakan hubungan baru. Jika sesudah pulang ia masih yakin akan 

kebenaran Islam, ia dapat kembali lagi sebagai orang bebas dan masuk 

Islam (Abu Daud, bab tentang Wafa bil-Ahd). 

Penghargaan Terhadap Abdi-Abdi Peri 

Kemanusiaan 

Beliau sangat menghargai mereka yang membaktikan waktunya 

dan harta bendanya untuk mengkhidmati umat manusia. Suku Arab, 

Banu Tai', mulai mengadakan permusuhan terhadap Rasulullah s.a.w. 

dan kekuatan mereka dikalahkan, dan beberapa orang ditawan dalam 

sebuah peperangan. Seseorang dari tawanan itu yaitu  anak perempuan 

Hatim Ta'i, seorang yang kemurahan dan kebaikannya telah menjadi 

buah bibir bangsa Arab. saat  anak Hatim menerangkan kepada 

Rasulullah s.a.w. mengenai silsilah keluarganya, beliau memperlakukan 

wanita itu dengan penghormatan yang besar dan sebagai hasil dari 

perantaraannya, beliau membatalkan semua hukuman yang tadinya akan 

dijatuhkan atas wanita itu sebagai tindak balasan terhadap serangan 

mereka 

Watak Rasulullah s.a.w. itu begitu beraneka segi sehingga tidak 

mungkin menceriterakan secara terinci dalam beberapa halaman. Oleh 

sebab  buku ini tidak bertujuan semata-mata membahas peri watak 

beliau, dan mengingat akan keterbatasan ruang dalam buku ini, kami 

tidak memiliki  pilihan lam kecuali membatasi uraian ini hanya sampai 

di sini. 

------------------------------- 


riwayat hidup nabi muhammad 9


 gantungkan kain untuk 

digunakan sebagai kamar tamu yang terpisah dari bagian yang 

dipergunakan oleh istri beliau. Kehidupan beliau begitu sederhananya 

sehingga Siti Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa di masa hidup Rasulullah 

s.a.w., mereka sering terpaksa hidup dari korma dan air saja dan pada 

hari wafat beliau tidak ada makanan di dalam rumah kecuali beberapa 

butir korma saja (Bukhari). 

Perhubungan Dengan Allah  

Tiap-tiap segi kehidupan Rasulullah s.a.w. jelas nampak diliputi 

dan diwarnai oleh cinta dan bakti kepada Allah . Walaupun tanggung-

jawab yang sangat berat terletak di atas bahu beliau, bagian terbesar dari 

waktu, siang dan malam, dipergunakan untuk beribadah dan berzikir 

kepada Allah . Beliau biasa bangkit meninggalkan tempat tidur tengah 

malam dan larut dalam beribadah kepada Allah  sampai saat tiba untuk 

pergi ke mesjid hendak sembahyang subuh. Kadang-kadang beliau 

begitu lama berdiri dalam sembahyang tahajud sehingga kaki beliau 

menjadi bengkak-bengkak, dan mereka yang menyaksikan beliau dalam 

keadaan demikian sangat terharu. Sekali peristiwa Aisyah r.a. berkata 

kepada beliau, “Allah  telah memberi kehormatan kepada engkau dengan 

cinta dan kedekatan-Nya. Mengapa engkau membebani diri sendiri 

dengan menanggung begitu banyak kesusahan dan kesukaran?” Beliau 

menjawab, “Jika Allah , atas kasih-sayang-Nya, mengaruniai cinta dan 

kedekatan-Nya kepadaku, bukankah telah menjadi kewajiban pada 

giliranku senantiasa menyampaikan terima kasih kepada Dia? 

Bersyukurlah hendaknya sebanyak bertambahnya karunia yang 

diterima.” (Bukhari, Kitab al-Kusuf). 

Beliau tidak pernah melangkah untuk menyelesaikan suatu usaha 

tanpa perintah Ilahi atau izin-Nya. Telah diriwayatkan dalam bab riwayat 

hidup beliau bahwa kendati menderita sebab  penindasan yang sangat 

aniaya oleh kaum Mekkah, beliau tidak meninggalkan kota itu sebelum 

mendapat perintah Ilahi. saat  perlawanan memuncak dan beliau 

mengizinkan para Sahabat mengungsi ke Abessinia, beberapa di antara 

mereka menyatakan keinginan supaya beliau berangkat bersama mereka. 

Beliau menolak atas dasar belum mendapat izin Ilahi. Jadi, di masa 

percobaan dan penindasan juga, saat  biasa orang suka kalau sahabat-

sahabat dan sanak saudaranya kumpul-kumpul di sekitarnya, beliau 

menyarankan kepada para Sahabat untuk mencari perlindungan di 

Abessinia dan beliau sendiri tetap tinggal di Mekkah, sebab Allah  

belum memberi perintah. 

Jika beliau mendengar Kalamullah dibacakan, beliau sangat 

terharu dan air mata mulai menitik, terutama jika beliau mendengar ayat-

ayat yang menekankan pada kewajiban beliau sendiri. Abdullah bin 

Mas'ud meriwayatkan bahwa ia sekali peristiwa disuruh Rasulullah 

s.a.w. membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Ia berkata, “Ya Rasulullah, 

Al-Qur’an telah diturunkan kepada anda (artinya: Anda telah lebih 

mengetahui dari pada siapa pun). Mengapa kemudian harus 

membacakannya kepada anda?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Aku suka 

juga mendengar Al-Qur’an dibaca oleh orang lain.” Maka Abdullah bin 

Mas'ud mulai membacakan ayat-ayat dari Surah An-Nisa. saat  

membaca: 

Maka, bagaimana keadaan mereka saat  Kami akan mendatangkan 

seorang saksi dari setiap umat, dan Kami akan mendatangkan engkau 

sebagai saksi terhadap mereka ini!” (4:42). 

Rasulullah s.a.w. berseru, “Cukup!” Abdullah bin Mas'ud 

melihat ke arah beliau dan melihat air mata mengalir dari mata 

Rasulullah s.a.w. (Bukhari, Kitab Fada'il al-Qur’an). 

Beliau begitu memandang penting ikut dalam sembahyang 

berjamaah sehingga tengah sakit keras, saat  dalam keadaan serupa itu 

bukan saja diizinkan untuk shalat seorang diri di dalam kamar namun 

bahkan diizinkan untuk mengerjakan shalat di atas tempat tidur sambil 

berbaring, beliau memaksakan diri pergi ke mesjid untuk menjadi imam. 

Sekali peristiwa, saat  beliau tidak sempat pergi ke mesjid, beliau 

menyuruh Sayyidina Abu Bakar untuk menjadi imam. namun , kemudian 

beliau merasakan ada perbaikan dalam kesehatannya dan minta supaya 

beliau dipapah berjalan ke mesjid. Beliau bersitopang pada pundak dua 

orang, namun keadaan beliau begitu lemahnya sehingga menurut Siti 

Aisyah r.a. kaki beliau terseret-seret (Bukhari). 

Menurut kebiasaan umum dalam mengungkapkan kegembiraan 

atau menarik perhatian kepada sesuatu ialah dengan bertepuk tangan - 

dan orang Arab juga berbuat seperti itu. namun , Rasulullah s.a.w. 

demikian suka berzikir Ilahi sehingga untuk keperluan pengungkapan 

rasa gembira itu juga memuji dan berzikir Ilahi ditetapkan untuk  alih-

alih tepuk tangan. Sekali peristiwa saat  beliau sibuk dengan urusan 

penting, waktu sembahyang pun mendekat dan beliau menyuruh 

Sayyidina Abu Bakar untuk menjadi imam. Tak lama kemudian beliau 

dapat menyelesaikan urusan beliau dan segera pergi ke mesjid. Abu 

Bakar menjadi imam, namun saat  jemaat melihat bahwa Rasulullah 

s.a.w. telah tiba, mereka segera bertepuk tangan untuk menyatakan 

kegembiraan atas kedatangan beliau dan menarik perhatian Abu Bakar 

dan memberi tahu bahwa Rasulullah s.a.w. telah tiba. Maka Abu Bakar 

undur dan memberi tempat kepada Rasulullah s.a.w. untuk mengimami 

shalat. Sesudah sembahyang selesai, Rasulullah s.a.w. bertanya kepada 

Abu Bakar, “Mengapa engkau undur sesudah aku menunjuk engkau 

sebagai imam?” Abu Bakar menjawab, “Ya Rasulullah, bagaimana akan 

pantas untuk anak Abu Quhafa menjadi imam sedang Rasulullah sendiri 

hadir?” Maka Rasulullah bertanya kepada jemaat, “Mengapa kamu 

sekalian bertepuk tangan? yaitu  tidak pantas bila kalian sedang larut 

dalam berzikir kepada Allah maka kalian bertepuk tangan. Jika kebetulan 

dalam waktu shalat perhatian harus tercurah kepada sesuatu, daripada 

bertepuk tangan kamu lebih baik menyebut 'Subhanallah' dengan suara 

nyaring. Hal itu akan menunjukan perhatian kepada perkara yang harus 

mendapat perhatian” (Bukhari). 

Rasulullah s.a.w. tidak menyukai shalat dan beribadah sebagai 

dilakukan sebagai hukuman atau sanksi atas diri sendiri untuk penebus 

dosa. Sekali peristiwa beliau sampai ke rumah dan melihat tali terentang 

antara dua tiang. Beliau menanyakan tujuannya dan mendapat 

keterangan bahwa istri beliau, Zainab, biasa berdiri tegak dengan 

bantuan tali jika dalam waktu mendirikan shalat ia menjadi letih dan 

payah. Beliau memerintahkan supaya membuang tali tersebut dan 

menerangkan bahwa shalat sebaiknya dilangsungkan selama dirasakan 

mudah dan ringan, dan jika ia menjadi terlalu lelah seseorang hendaknya 

ia duduk. Shalat itu bukan sanksi dan jika tetap diteruskan sesudah badan 

menjadi letih, maka sembahyang itu menyalahi tujuannya (Bukhari, 

Kitabal-Kusuf). 

Beliau mencela sekali tiap-tiap tindakan dan perbuatan yang 

berbau syirik walau sedikit. saat  akhir hayat beliau telah mendekat 

dan telah dicekam oleh derita sakratul maut, beliau dalam keresahan 

menggeleng badan dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan sambil 

berseru, “Terkutuklah orang-orang Yahudi dan Kristen yang telah 

mengubah kuburan nabi-nabi mereka menjadi tempat ibadah” (Bukhari). 

Beliau maksudkan, orang-orang Yahudi dan Kristen yang bersujud pada 

kuburan nabi-nabi mereka dan orang-orang suci mereka dan mendoa 

kepada mereka; dan beliau memaksudkan bahwa jika kaum Muslimin 

terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan semacam itu, mereka tidak 

berhak atas doa-doa beliau; namun sebaliknya, mereka telah memutuskan 

perhubungan mereka dengan beliau. 

Ghairat beliau akan kemuliaan Allah  telah diceriterakan dalam 

bab riwayat hidup beliau. Kaum Mekkah telah berusaha menyampaikan 

segala macam bujukan dan mendesak beliau menghentikan perlawanan 

terhadap penyembahan kepada berhala (Tabari). Pamannya, Abu Thalib, 

juga mencoba mencegah beliau dengan membayangkan kekhawatirannya 

bahwa jika beliau bersikeras melancarkan serangan terhadap 

kemusyrikan, Abu Thalib akan terpaksa memilih antara berhenti 

melindungi beliau atau ia siap menerima perlawanan hebat dari 

kaumnya. Jawaban Rasulullah s.a.w. satu-satunya kepada pamannya 

pada peristiwa itu, “Jika orang-orang itu meletakkan matahari di tangan 

kananku dan bulan di tangan kiri, aku tidak akan berhenti 

mengumumkan dan menablighkan ajaran Tauhid” (Zurqani). Di tengah 

berkecamuknya Perang Uhud, saat  sisa pasukan Muslim yang luka-

luka berkumpul di sekitar beliau di kaki bukit dan musuh melampiaskan 

kegembiraan dengan teriakan-teriakan kemenangan sesudah  mematahkan 

barisan Muslim, dan pimpinan mereka, Abu Sufyan, berteriak: “Hidup 

Hubal (satu dari antara berhala-berhala kaum Mekkah). Hidup Hubal!” 

maka Rasulullah s.a.w., walaupun tahu dan sadar bahwa keselamatan 

beliau dan keselamatan serombongan kecil kaum Muslim sekitar beliau 

bergantung pada sikap tutup mulut, tidak dapat menahan kesabaran dan 

memerintahkan kepada para Sahabat untuk menjawab dengan pekikan: 

“Untuk Allah semata kemenangan dan kejayaan! Untuk Allah semata 

kemenangan dan kejayaan!” (Bukhari). 

Suatu salah pengertian yang sudah biasa ada pada para pengikut 

bermacam-macam agama sebelum kedatangan Islam ialah, kejadian-

kejadian di langit dan di bumi nampak sebagai tanda ikut bergembira 

atau bela sungkawa untuk nabi-nabi, wali-wali, dan orang-orang besar 

lainnya; dan bahkan gerakan-gerakan benda langit dikendalikan oleh 

mereka. Umpamanya, diriwayatkan tentang beberapa di antara mereka 

bahwa mereka dapat membuat matahari berhenti beredar dan 

menghentikan perjalanan bulan atau air berhenti mengalir. Islam 

mengajarkan bahwa faham demikian sama sekali tak beralasan dan 

bahwa ceritera keajaiban-keajaiban semacam itu dalam kitab-kitab suci 

hanya dipergunakan sebagai perlambang, dan bukan ditafsirkan menurut 

arti yang sebenarnya yang malah telah menimbulkan takhayul-takhayul. 

Walaupun demikian, sebagian orang Muslim cenderung menghubungkan 

keajaiban-keajaiban itu dengan kejadian-kejadian dalam kehidupan nabi-

nabi besar. Pada tahun-tahun terakhir kehidupan Rasulullah s.a.w. putera 

beliau Ibrahim, meninggal dalam umur dua setengah tahun. Pada hari itu 

terjadi gerhana matahari. Beberapa di antara orang-orang Muslim di 

Medinah menyebarkan faham bahwa matahari telah menjadi gelap pada 

peristiwa meninggalnya putera Rasulullah s.a.w. sebagai alamat bela 

sungkawa samawi. saat  hal itu diceriterakan kepada Rasulullah s.a.w., 

beliau nampak sangat kecewa dan sangat mencela faham itu. Beliau 

menerangkan bahwa matahari, bulan dan benda-benda langit lainnya, 

semuanya diatur oleh hukum-hukum Allah  dan bahwa peredaran 

matahari, bulan, dan gejala yang berkaitan dengan matahari dan bulan 

tidak ada sangkut-paut dengan hidup dan mati seseorang (Bukhari). 

Arabia yaitu  daerah yang sangat tandus dan hujan selalu 

disambut gembira. Bangsa Arab biasa menggambarkan dalam ingatan 

mereka bahwa hujan itu diatur oleh peredaran bintang. saat  seseorang 

mengungkapkan pikiran itu, Rasulullah s.a.w. sangat bingung dan 

memperingatkan kaumnya untuk tidak mengaitkan karunia yang mereka 

terima dari Allah  kepada sumber-sumber lain. Beliau menerangkan 

bahwa hujan dan lain-lain gejala alam itu semuanya diatur oleh hukum-

hukum Ilahi, bukan dikendalikan oleh kesenangan atau ketidaksenangan 

suatu dewa atau dewi atau suatu kekuatan lain (Muslim, Kitabal-Iman). 

Beliau memiliki  ketawakalan yang sempurna kepada Allah  

dan tidak akan goyah oleh kemajemukan keadaan yang tidak bersahabat. 

Sekali peristiwa seorang musuh melihat beliau tidur dan tidak berkawal; 

ia berdiri di hadapan beliau dengan pedang terhunus dan bersiap  

membunuh beliau dengan sesaat . Sebelum melakukan ia bertanya, 

“Siapa dapat menyelamatkan kamu dari keadaanmu sekarang?” 

Rasulullah s.a.w. menjawab dengan tenang, “Allah.” Beliau menyatakan 

dengan keyakinan yang begitu sempurna sehingga bahkan hati musuh 

yang kafir pun terpaksa mengakui keluhuran iman dan keikhlasan beliau 

kepada Allah s.w.t. Pedangnya terlepas dan jatuh; dan ia, yang sejenak 

sebelumnya telah siap membinasakan beliau, berdiri di hadapan beliau 

seperti seorang penjahat yang menunggu keputusan hakim (Muslim, 

Kitab al-Fada 'il dan Bukhari, Kitab al-Jihad). 

Di pihak lain nampak sikap rasa merendahkan diri yang 

sempurna di hadapan Allah -Nya. Abu Hurairah meriwayatkan: “Pada 

suatu hari aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa tidak ada 

manusia meraih keselamatan melalui amal salehnya sendiri, atas 

keterangan itu aku berkata, “Ya Rasulullah, anda pasti masuk surga 

melalui amal saleh anda.” Dijawab oleh Rasulullah s.a.w., “Tidak, aku 

pun tidak dapat masuk surga dengan perantaraan amal baikku kecuali 

oleh Kasih Sayang Allah “ (Bukhari, Kitab al Riqaq). 

Beliau senantiasa menganjurkan orang-orang untuk memilih dan 

menempuh jalan yang benar dan dengan rajin berikhtiar, dengan itu 

mereka dapat mencapai Qurb Ilahi (kedekatan kepada Allah ). Beliau 

mengajarkan bahwa jangan ada yang menginginkan kematian untuk 

dirinya, sebab jika ia orang baik, maka dengan kehidupan yang lebih 

lama dialami olehnya akan dapat meraih kebaikan yang lebih besar; dan 

jika ia jahat, ia dapat bertobat dari perbuatan-perbuatan jahatnya 

seandainya diberi waktu panjang dan memulai menempuh jalan yang 

baik. Cinta beliau dan ibadah beliau kepada Allah  nampak dalam 

berbagai-bagai cara. Umpamanya, manakala sesudah musim kemarau 

tetesan-tetesan hujan pertama mulai turun, beliau mengeluarkan lidah 

untuk menangkap tetesan-tetesan hujan itu dan berseru, “Inilah karunia 

rahmat terakhir dari Allah -ku.” Beliau senantiasa sibuk mendoa untuk 

memohon ampunan dan rahmat Allah , terutama jika beliau duduk-

duduk di antara orang banyak supaya mereka yang beserta beliau atau 

bergaul dengan beliau dan orang-orang Muslim pada umumnya akan 

terhindar dari murka Allah  dan menjadi layak meraih ampunan Allah. 

Kesadaran bahwa beliau senantiasa ada di hadapan Allah  tidak pernah 

lepas dari beliau. Jika beliau berbaring untuk tidur, beliau bersabda, “Ya 

Allah, matikan aku (tidurkan aku) dengan nama-Mu di bibirku, dan 

dengan nama-Mu di bibirku bangkitkan lagi hamba-Mu ini.” Jika beliau 

bangun, beliau biasa bersabda, “Segala puji bagi Allah  Yang 

menghidupkan diriku sesudah mati (tidur) dan pada suatu hari kita semua 

akan dikumpulkan di hadapan Dia” (Bukhari). 

Beliau senantiasa mendambakan Qurb Ilahi (kedekatan kepada 

Allah ), dan salah sebuah doa yang sering beliau ulang ialah: “Ya Allah! 

Penuhilah kiranya hatiku dengan nur-Mu dan penuhi mataku dengan nur-

Mu dan penuhi telingaku dengan nur-Mu dan letakkan nur-Mu di 

kananku dan letakkan nur-Mu di kiriku dan letakkan nur-Mu di atasku 

dan letakkan nur-Mu dibawahku dan letakkan nur-Mu dihadapanku dan 

letakkan nur-Mu di belakangku, dan wahai Allah , jadikanlah seluruh 

diriku nur” (Bukhari). 

Ibnu Abbas meriwayatkan: “Tak lama sebelum wafat Rasulullah 

s.a.w., Musailima (seorang nabi palsu) datang ke Medinah dan 

menyatakan bahwa jika Nabi Muhammad s.a.w. mau menunjuk dia 

sebagai pengganti beliau, ia bersedia menerima beliau. Musailima diikuti 

oleh suatu rombongan pengiring yang berjumlah amat besar, dan 

kabilahnya yaitu  terbesar dari antara kabilah-kabilah yang ada di Arab. 

saat  Rasulullah s.a.w. diberitahu tentang kedatangannya, beliau 

menjumpainya disertai oleh Tsabit bin Qais bin Syams. Beliau 

memegang ranting pohon korma kering. saat  beliau datang ke kemah 

Musailima, beliau menuju kepadanya dan berdiri di hadapannya. Pada 

waktu itu telah banyak sahabat-sahabat datang dan berdiri di sekitar 

beliau. Beliau bersabda kepada Musailima, “Telah disampaikan 

kepadaku bahwa anda telah mengatakan jika aku tunjuk anda sebagai 

penggantiku, anda bersedia menjadi pengikutku, namun aku tidak akan 

memberikan ranting pohon korma kering ini pun kepada anda jika 

bertentangan dengan perintah Allah . Kesudahan anda akan menjadi 

sebagaimana telah ditetapkan Allah . Jika anda berpaling dari padaku, 

Allah  akan memberi anda kegagalan. Aku melihat dengan jelas bahwa 

Allah  akan memperlakukan anda seperti yang telah diwahyukan 

kepadaku.” Beliau kemudian meneruskan, “Sekarang aku akan pergi. 

Jika anda ingin mengatakan sesuatu, anda dapat menghubungi Tsabit bin 

Qais bin Syams yang akan bertindak sebagai wakilku.” Kemudian beliau 

berangkat. Abu Hurairah juga beserta beliau. Salah seorang menanyakan 

kepada Rasulullah s.a.w. apa maksud beliau dengan kata-kata “Allah  

akan memperlakukan Musailima seperti yang telah diwahyukan kepada 

beliau.” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Saya melihat dalam mimpi itu aku 

disuruh Allah  untuk meniup gelang-gelang itu. saat  kutiup gelang-

gelang itu, kedua-duanya lenyap. Aku menantikan bahwa sesudahku 

akan timbul dua pendakwa (nabi) palsu” (Bukhari, Kitab al-Maghazi). 

Perisitiwa ini terjadi pada waktu mendekatnya wafat Rasulullah s.a.w.. 

Suku Arab terakhir dan terbesar yang sampai pada waktu itu belum 

menerima beliau telah bersiap-siap untuk masuk Islam dan satu-satunya 

syarat yang mereka ajukan ialah bahwa Rasulullah s.a.w. menunjuk 

pemimpin mereka menjadi pengganti beliau. Jika Rasulullah s.a.w. 

sedikit saja didorong oleh alasan-alasan pribadi, maka tidak ada lagi 

yang menjadi rintangan untuk mempersatukan seluruh Arabia dengan 

menjanjikan pengganti beliau kepada pemimpin suku yang terbesar dari 

Arabia. Rasulullah s.a.w. tak punya putera dan tidak ada keinginan 

mendirikan wangsa yang dapat merintangi pengaturan demikian, namun 

beliau tidak pernah memandang barang sekecil-kecilnya pun sebagai hak 

beliau dan menjadi milik beliau secara mutlak. Maka beliau tidak dapat 

memandang kepemimpinan kaum Muslim itu seakan-akan hak beliau 

untuk memberikannya menurut kehendak beliau sendiri. Beliau 

memandangnya sebagai amanat Allah  yang suci dan beranggapan 

bahwa Allah  akan memberikannya kepada siapa yang dipandang-Nya 

layak. Maka beliau menolak usul Musailima dengan tegas dan 

mengatakan bahwa jangankan kedudukan kepemimpinan kaum Muslim, 

ranting pohon korma kering sekalipun tidak beliau bersedia memberikan 

kepadanya. 

Kapan saja Rasulullah s.a.w. menyinggung atau membicarakan 

Allah , nampak kepada yang menyaksikan seolah-olah seluruh wujud 

beliau ada dalam haribaan cinta dan pengabdian kepada Allah . Beliau 

senantiasa menekankan kesederhanaan dalam beribadah. Mesjid yang 

didirikan beliau dan di dalamnya beliau senantiasa mendirikan 

sembahyang, lantainya dari tanah biasa tanpa alas atau tikar dan atapnya 

yang dibuat dari dahan dan daun pohon korma, bocor jika hujan. Dalam 

keadaan demikian Rasulullah s.a.w. dan para jemaah basah kuyup sebab  

air hujan dan lumpur, namun beliau terus menyelesaikan sembahyang 

sampai akhir dan tak pernah beliau memberi isyarat supaya menunda 

sembahyang atau pindah ke tempat yang lebih terlindung (Bukhari, Kitab 

al-Saum). 

Beliau sangat waspada juga akan peri keadaan para Sahabat. 

Abdullah bin Umar yaitu  orang yang sangat bertakwa dan zuhud. 

Mengenai dia Rasulullah s.a.w. bersabda pada sekali peristiwa, 

“Abdullah bin Umar akan lebih baik lagi jika ia lebih dawam 

sembahyang tahajud.” saat  sabda itu disampaikan kepada Abdullah 

bin Umar, maka sesudah itu tak pernah lagi ia meninggalkan 

sembahyang tahajud. Diriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. saat  

beliau ada di rumah puterinya, Fatimah, menanyakan apa Fatimah dan 

suaminya, Ali, dawam menjalankan sembahyang tahajud mereka, Ali 

menjawab, “Ya Rasulullah, kami berusaha bangun untuk sembahyang 

tahajud, namun bila menurut kehendak Allah  kami tidak dapat bangun, 

kami meninggalkannya.” Beliau pulang dan dalam perjalanan beliau 

mengulangi beberapa kali ayat Al-Qur’an yang mengandung arti bahwa 

orang seringkali segan mengakui kesalahannya dan mencoba 

menutupinya dengan macam-macam alasan (Bukhari, Kitab al-Kusuf). 

Rasulullah s.a.w. bermaksud mengatakan bahwa Ali hendaknya tidak 

melemparkan kesalahannya kepada Allah  dengan mengatakan bahwa 

jika Allah  menghendaki mereka tidak bangun mereka tidak dapat 

bangun pada waktunya, namun ia hendaknya mengakui kelemahannya 

dalam hal ini.  

 

Tidak Menyetujui Penghukuman Terhadap Diri 

Sendiri Untuk Menebus Dosa 

namun , Rasulullah s.a.w. sangat tidak menyetujui cara-cara yang 

dibuat-buat dalam urusan ibadah dan mencela praktek penghukuman diri 

sendiri untuk menebus dosa sebagai suatu bentuk ibadah. Beliau 

mengajarkan bahwa ibadah terdiri atas penggunaan kemampuan-

kemampuan yang dianugerahkan Allah  kepada manusia. Allah  telah 

memberi mata untuk melihat; maka bukan ibadah namun aniaya namanya 

kalau mata dibiarkan kejam atau dibuang. Bukan penggunaan 

kemampuan melihat secara tepat yang dapat dipandang dosa, melainkan 

penyalahgunaan daya itulah yang menjadi dosa. Orang yang 

melenyapkan kemampuan mendengar dinilai sangat tidak berterimakasih 

kepada Allah , walaupun penggunaan daya itu untuk mendengarkan 

fitnah dan memburuk-burukkan orang lain akan merupakan perbuatan 

dosa. Meninggalkan makan (kecuali pada saat-saat yang diperintahkan 

atau dipandang baik) dapat dianggap bunuh diri dan dengan demikian 

merupakan dosa yang tak dapat dimaafkan, walaupun juga menjadi dosa 

untuk seseorang yang sangat mementingkan makanan dan minuman atau 

mengasyikkan diri dalam makan-minum barang-barang terlarang atau 

tidak layak. Itulah asas luhur yang diajarkan dan ditekankan oleh 

Rasulullah s.a.w. dan yang belum diajarkan oleh nabi terdahulu 

manapun. 

Penggunaan tepat daya alami merupakan taraf akhlak yang 

tinggi; menggagalkan kerja atau melumpuhkan daya itu merupakan 

perbuatan yang bodoh. Penyalahgunaannya itulah yang merupakan 

kejahatan dan dosa. Penggunaan tepat kemampuan-kemampuan itu 

merupakan nilai akhlak yang sejati. Itulah inti ajaran akhlak yang 

ditanamkan oleh Rasulullah s.a.w. Dan, pendek kata, itu semua 

merupakan pula gambaran kehidupan dan perilaku beliau. Siti Aisyah 

r.a. meriwayatkan: “Bilamana Rasulullah dihadapkan kepada pilihan 

antara dua cara berbuat, beliau senantiasa memilih jalan yang termudah, 

asalkan bebas dari segala kecurigaan bahwa itu salah satu dosa. Kalau 

arah perbuatan itu membuka kemungkinan timbulnya kecurigaan serupa 

itu, maka Rasulullah s.a.w. itulah orangnya, dari antara seluruh umat 

manusia, yang paling menjauhinya” (Muslim, Kitab al-Fada'il). Hal itu 

sungguh merupakan jalan yang paling luhur dan paling mengagumkan 

untuk manusia. Beberapa orang dengan suka rela menderita sakit dan 

berkekurangan, tidak dengan tujuan untuk mencari keridhaan Ilahi, 

sebab ridha Ilahi tidak dapat dicapai dengan mencari sakit dan derita 

bagi dirinya sendiri yang tak bertujuan apapun selain dengan tujuan 

menipu umat manusia. Orang demikian memiliki  sedikit kebaikan 

dalam diri mereka namun mau menutupi kesalahan-kesalahan mereka dan 

mendapat kehormatan dalam pandangan orang-orang lain dengan 

menggunakan kebaikan semu. namun tujuan Rasulullah s.a.w. yaitu  

untuk menggapai kebaikan yang sungguh-sungguh dan guna menarik 

ridha Ilahi. Dengan demikian beliau sama sekali bebas dan kepalsuan 

dan kepura-puraan. sebab  itu beliau sama sekali bersih dari kepura-

puraan. Bahwa dunia akan memandang beliau jahat atau akan 

memiliki  penilaian baik yaitu  soal yang beliau sama sekali tidak 

menghiraukan. Apa yang penting untuk beliau yaitu  bagaimana beliau 

sendiri menilai diri sendiri dan bagaimana Allah  akan menilainya. Jika 

di samping kesaksian kata hati beliau sendiri dan ridha Ilahi, beliau 

mendapat juga persaksian yang benar dari umat manusia, beliau sangat 

bersyukur, namun jika orang memandang kepada beliau dengan 

pandangan iri hati dan curiga, beliau merasa sayang terhadap nasib 

mereka dan beliau tidak menghiraukan pendapat mereka. 

Sikap Terhadap Istri-Istri Sendiri 

Beliau sangat baik dan adil terhadap istri-istri sendiri. Jika pada 

suatu saat salah seorang di antara mereka tidak dapat membawa diri 

dengan hormat yang layak terhadap beliau, beliau hanya tersenyum dan 

hal itu dilupakan beliau. Pada suatu hari beliau bersabda kepada Siti 

Aisyah r.a., “Aisyah, jika kau sedang marah kepadaku, aku senantiasa 

dapat mengetahuinya.” Aisyah r.a. bertanya, “Bagaimana?” Beliau 

menjawab, “Aku perhatikan bahwa jika kau senang kepadaku dan dalam 

percakapan kau menyebut nama Allah , kausebut Dia sebagai Allah  

Muhammad. namun , jika kau tidak senang kepadaku, kausebut Dia 

Allah  Ibrahim.” Mendengar keterangan itu Aisyah r.a. tertawa dan 

mengatakan bahwa beliau benar (Bukhari, Kitabun-Nikah). Siti Khadijah 

r.a. yaitu  istri beliau yang pertama dan telah mengadakan pengorbanan-

pengorbanan besar untuk kepentingan beliau. Ia jauh lebih tua daripada 

Rasulullah s.a.w.. Sesudah ia wafat, beliau menikah dengan wanita-

wanita yang lebih muda, namun tidak pernah kenang-kenangan kepada 

Khadijah r.a. itu menjadi luntur. Bila saja salah seorang dari sahabat-

sahabat Khadijah berkunjung kepada beliau, beliau biasa berdiri 

menyambutnya (Muslim). Jika beliau kebetulan melihat sesuatu yang 

dahulu menjadi milik atau ada kaitannya dengan Khadijah r.a., hati 

beliau senantiasa terusik oleh rasa sendu. 

Di antara tawanan-tawanan yang ditangkap oleh kaum Muslimin 

dalam Perang Badar ada seorang mantu Rasulullah s.a.w.. Ia tak punya 

apa-apa untuk dibayarkan sebagai penebus kemerdekaannya. Istrinya 

yang bernama Zainab (puteri Rasulullah s.a.w.) mengirimkan ke 

Medinah seuntai kalung perhiasan yang asalnya milik ibunya (Khadijah 

r.a.) dan menyerahkannya sebagai penebus suaminya. saat  Rasulullah 

s.a.w. melihat kalung itu, beliau mengenalnya kembali dan beliau begitu 

terharunya. Beliau bersabda kepada para Sahabat, “Aku tidak berhak 

memberi petunjuk mengenai hal ini, namun aku tahu bahwa kalung ini 

dicintai oleh Zainab sebagai tanda kenang-kenangan kepada ibunya yang 

telah wafat. Maka, jika hal itu ada artinya untuk kalian, aku ingin 

menganjurkan supaya Zainab tidak kehilangan barang ini, dan barang ini 

dikembalikan kepadanya.” Mereka semua menegaskan bahwa tidak ada 

kesenangan yang lebih besar daripada itu dan bersedia menerima anjuran 

beliau (Halbiyya, jilid 2). Beliau sering memuji-muji Khadijah di 

hadapan istri-istri beliau lainnya dan menekankan kebaikannya dan 

pengorbanannya untuk kepentingan Islam. Pada suatu peristiwa 

semacam itu, Aisyah r.a. merasa iri hati dan berkata, “Ya Rasulullah, 

mengapa selalu membicarakan wanita tua itu? Allah  telah 

menganugerahkan istri-istri yang lebih baik, lebih muda, dan lebih 

menarik kepada anda.” Rasulullah s.a.w. tersinggung perasaannya 

mendengar kata-kata itu dan menukas, “Tidak Aisyah! Kau tidak tahu 

betapa besar kebaikan Khadijah kepadaku” (Bukhari). 

Ketinggian Akhlak 

Beliau senantiasa sangat sabar dalam kesukaran dan kesusahan. 

Beliau, dalam keadaan susah, tak pernah putus asa dan beliau tidak 

pernah dikuasai oleh suatu keinginan pribadi. Telah diriwayatkan bahwa 

ayah beliau meninggal dunia sebelum beliau dilahirkan dan ibu beliau 

berpulang saat  beliau masih kanak-kanak. Sampai usia delapan tahun 

beliau dirawat oleh kakek beliau, dan sepeninggalnya, dirawat oleh 

pamannya, Abu Thalib. Terdorong oleh cinta kasih pribadi dan juga atas 

pesan ayahnya, Abu Thalib senantiasa membimbing anak kemenakannya 

dengan sungguh-sungguh dan murah hati, namun istrinya tidak dihinggapi 

oleh pertimbangan dan perasaan yang sama seperti suaminya. Seringkali 

terjadi ia membagi-bagi sesuatu di antara anak-anaknya sendiri dan 

mengabaikan anak kemenakan yang masih kecil itu. Jika Abu Thalib, 

pada peristiwa serupa itu, kebetulan datang ke rumah lalu dilihatnya 

kemenakan kecil itu duduk menyendiri, penuh komara, tanpa tanda 

murung atau sedih di wajahnya, beliau atas dorongan rasa cinta dan 

kesadaran atas kewajibannya, lantas melangkah menuju anak itu, 

mendekapnya seraya berseru, “Perhatikan juga anakku yang satu ini!” 

Peristiwa semacam itu tidak jarang, dan mereka yang menyaksikan 

semuanya sepakat dalam persaksian mereka bahwa Muhammad sebagai 

anak-anak, tidak pernah menampakkan gejala yang terpengaruh oleh 

perlakuan-perlakuan itu dan iri hati terhadap saudara-saudara sepupunya. 

Kemudian hari, saat  beliau sudah mampu menolong dan merawat 

sanak-saudaranya, beliau sendiri merawat dan mendidik putera-putera 

pamannya, Ali dan Jafar, dan menjalankan kewajiban beliau dengan cara 

yang sesempurna-sempurnanya. 

Rasulullah s.a.w. sepanjang hidup dihadapkan kepada rentetan 

pengalaman demi pengalaman yang pahit. Dilahirkan sebagai anak 

yatim, ibu beliau wafat saat  beliau masih kecil dan kehilangan kakek 

pada usia delapan tahun. sesudah  menikah, beliau harus menanggung 

sedih oleh kehilangan beberapa anak, yang satu sesudah yang lain, dan 

kemudian istri beliau, Khadijah, yang sangat dicintai dan dirasakan 

pengabdiannya wafat. Beberapa istri beliau yang dinikah kemudian 

meninggal dunia di masa hidup beliau. Menjelang akhir kehidupan 

beliau menanggung derita akibat kehilangan putera beliau, Ibrahim. 

Semua kehilangan dan malapetaka itu ditanggung beliau dengan tabah, 

dan tak satu pun berpengaruh kepada kebulatan tekad beliau atau kepada 

perangai yang ramah dari beliau itu. Kesedihan-kesedihan pribadi tak 

pernah dipamerkan di muka umum dan beliau senantiasa menjumpai 

tiap-tiap orang dengan wajah yang berseri dan dengan perlakuan yang 

sama ramah dan sopan-santunnya. Sekali peristiwa beliau menjumpai 

seorang wanita yang baru ditinggal mati oleh anaknya, dan melolong-

lolong dekat kuburan anaknya. Beliau menasihatkan agar bersabar dan 

menerima takdir Allah  dengan rela dan menyerahkan diri. Wanita itu 

tidak mengetahui bahwa ia ditegur oleh Rasulullah s.a.w. dan menjawab, 

“Andaikan engkau pernah mengalami sedih ditinggal mati oleh anak 

seperti yang kualami, engkau akan mengetahui betapa sukar untuk 

bersabar di bawah himpitan penderitaan serupa itu.” Rasulullah s.a.w. 

menjawab, “Aku telah kehilangan bukan seorang namun tujuh anak” dan 

beliau terus berlalu. Selain menyinggung kehilangan atau kemalangan 

beliau dengan cara yang tidak langsung demikian, beliau tidak pernah 

dihanyutkan perasaan sedih yang berlarut-larut atau membiarkan 

kemalangan-kemalangan itu menghalangi pengabdian beliau yang tidak 

ada henti-hentinya kepada seluruh umat manusia dan kebersamaan beliau 

menanggung segala beban penderitaan mereka. 

Menguasai Diri 

Beliau senantiasa dapat menguasai diri. Bahkan saat  beliau 

sudah menjadi orang yang paling berkuasa sekalipun, selalu beliau 

dengarkan dengan sabar kata tiap-tiap orang, dan jika seseorang 

memperlakukan beliau dengan tidak sopan, beliau tetap melayaninya dan 

tidak pernah mencoba mengadakan pembalasan. Kebiasaan orang Timur 

 235 

dalam menunjukkan penghormatan terhadap orang lain yang diajak 

bicara ialah dengan tidak memanggil dengan nama pribadinya. Kaum 

Muslimin biasa memanggil Rasulullah s.a.w. dengan kata-kata, “Ya 

Rasulullah,” dan kaum bukan-Muslim memanggil beliau, Abul Qasim 

(artinya Bapak si Qasim, sebab  salah seorang anak beliau bernama 

Qasim). Sekali peristiwa seorang Yahudi datang kepada beliau di 

Medinah dan mulai bertukar pikiran dengan beliau. Dalam percakapan 

itu ia berulang-ulang memanggil, “Hai Muhammad, hai Muhammad.” 

Rasulullah s.a.w. sendiri tidak menghiraukan cara sapaan itu dan terus 

dengan tenangnya menerangkan soal yang dipercakapkan. namun para 

Sahabat menjadi marah atas panggilan kurang sopan yang dipergunakan 

oleh orang itu sampai akhirnya seorang di antara mereka tidak dapat 

menguasai dirinya lagi dan memperingatkan agar tidak menyebut 

Rasulullah s.a.w. dengan nama asli beliau, namun dengan sebutan Abul 

Qasim. Orang Yahudi itu mengatakan bahwa ia akan menyebut beliau 

dengan nama yang diberikan oleh orang tua beliau. Rasulullah s.a.w. 

tersenyum dan bersabda, ”Ia benar, aku diberi nama Muhammad pada 

saat aku dilahirkan, dan sama sekali tidak ada alasan untuk marah sebab  

ia memanggilku dengan nama itu.” Kadang-kadang orang menghentikan 

beliau di perjalanan dan mengajak bercakap-cakap, menerangkan 

kebuAllah nya dan meminta pertolongan kepada beliau. Beliau selalu 

mendengarkan dengan penuh sabar dan membiarkan mereka terus bicara 

dan beliau baru meneruskan perjalanan kalau urusannya sudah selesai. 

Pada waktu orang-orang berjumpa dan bersalam-salaman, orang kadang-

kadang memegang tangan beliau beberapa lama, dan walaupun beliau 

beranggapan hal itu kurang enak dan membuang percuma waktu yang 

berharga, tidak pernah beliau lebih dahulu melepaskan tangan. Orang 

bergaul bebas dengan beliau dan memaparkan kesusahan dan kesukaran 

mereka kepada beliau dan meminta pertolongan beliau. Jika beliau 

mampu memberikannya, beliau tidak pernah menolak. 

Terkadang beliau diusik orang-orang dengan aneka ragam 

permintaan yang sangat berat dan mendesak, namun beliau selalu 

mengabulkan dan melaksanakan sejauh yang dimungkinkan. Sekali 

peristiwa, sesudah  memenuhi suatu permintaan, beliau memberi nasihat 

kepada orang yang bersangkutan agar lebih bertawakal kepada Allah  

dan menjauhi kebiasaan meminta kepada orang lain untuk meringankan 

bebannya. 

Pada suatu hari seorang Muslim yang mukhlis minta uang untuk 

kesekian kalinya kepada beliau dan permintaannya selalu diluluskan, 

namun hari itu beliau bersabda, “Sebaiknya seseorang bertawakal kepada 

Allah  dan menjauhi kebiasaan meminta-minta.” Orang tersebut seorang 

muttaqi. Untuk menjaga perasaan Rasulullah s.a.w., pemberian itu tidak 

dikembalikannya namun ia bersumpah tidak akan meminta apa pun 

kepada siapa pun juga pada hari-hari mendatang dalam keadaan 

bagaimana juga. Beberapa tahun kemudian ia ikut serta dalam suatu 

peperangan. Ia menunggang kuda dan saat  pertempuran tengah 

berkecamuk, saat riuh gemerincingnya senjata dengan senjata saling 

beradu sampai di puncaknya dan ia dikepung musuh, cambuknya 

terlepas dan jatuh. Seorang prajurit Muslim yang berjalan kaki melihat 

keadaan itu dan membungkuk untuk mengambilkan cambuk itu, namun 

orang berkendaraan itu melarangnya, lalu ia sendiri melompat dari 

kudanya dan mengambil cambuk itu sambil berkata bahwa ia telah lama 

berjanji kepada Rasulullah s.a.w. tidak akan meminta lagi pertolongan 

kepada siapa pun sehingga kalau mengizinkan sang prajurit itu 

mengambilkan cambuknya akan sama halnya seperti meminta 

pertolongan secara tidak langsung dan dengan demikian telah berdosa, 

melanggar janjinya kepada Rasulullah s.a.w.. 

Keadilan Dan Perlakuan Adil 

Bangsa Arab sangat suka mengagumi pribadi-pribadi tertentu 

dan menerapkan berbagai patokan kepada berbagai orang. Bahkan di 

antara bangsa-bangsa yang disebut beradab dewasa ini kita menyaksikan 

adanya keengganan mengadakan tuntutan terhadap orang-orang 

terkemuka atau yang memiliki  kedudukan atau jabatan yang tinggi 

atas perbuatan mereka, walaupun hukum diberlakukan secara ketat 

terhadap warga negara biasa. namun , Rasulullah s.a.w. yaitu  mandiri 

dalam menerapkan keadilan dan perlakuan adil. Sekali peristiwa, suatu 

perkara dihadapkan kepada beliau tatkala seorang bangsawati terbukti 

telah melakukan pencurian. Hal itu menggemparkan, sebab  jika 

hukuman yang berlaku dikenakan terhadap wanita muda usia itu, 

martabat suatu keluarga yang sangat terhormat akan jatuh dan terhina. 

Banyak yang ingin mendesak Rasulullah s.a.w., demi kepentingan orang 

yang berdosa itu, namun tidak memiliki  keberanian. Maka Usama 

diserahi tugas melaksanakan itu. Usama menghadap Rasulullah s.a.w. 

namun sesaat  beliau mengerti maksud tugasnya itu, beliau sangat marah 

dan bersabda, “Kamu sebaiknya menolak. Bangsa-bangsa telah celaka 

sebab  mengistimewakan orang-orang kelas tinggi tapi berlaku kejam 

terhadap rakyat jelata. Islam tidak mengizinkan dan aku pun sekali-kali 

tidak akan mengizinkan. Sesungguhnya, jika Fatimah, anakku sendiri, 

melakukan kejahatan, aku tidak akan. segan-segan menjatuhkan 

hukuman yang adil” (Bukhari, Kitab al-Hudud). 

Telah diriwayatkan bahwa saat  paman Rasulullah s.a.w., 

Abbas, menjadi tawanan Perang Badar, ia diikat erat-erat seperti 

tawanan-tawanan lainnya dengan tali untuk mencegah usaha melarikan 

diri. Tali itu begitu eratnya sehingga ia mengerang-erang kesakitan 

sepanjang malam. Rasulullah s.a.w. mendengar erangan itu dan 

sebab nya beliau tidak dapat tidur. Para Sahabat mengetahui hal itu dan 

melonggarkan ikatan Abbas. saat  Rasulullah s.a.w. mengetahuinya, 

beliau memerintahkan supaya semua tawanan diperlakukan sama seperti 

paman beliau dengan mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk 

menunjukkan keistimewaan kepada keluarga beliau sendiri. Beliau 

menuntut mereka supaya melonggarkan ikatan semua tawanan atau 

kebalikannya memperkuat lagi ikatan Abbas seperti tawanan-tawanan 

lain. sebab  para Sahabat tidak menghendaki beliau gundah hanya 

sebab  paman beliau, mereka memutuskan untuk menjaga tawanan-

tawanan itu lebih keras lagi dan melonggarkan ikatan semua tawanan 

(Zurqani, Jilid 3, hlm. 279). 

Bahkan dalam keadaan bahaya perang pun beliau sangat cermat 

dalam melaksanakan peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan yang 

baku. Sekali peristiwa beliau mengirim serombongan sahabat-sahabat 

pada sebuah ekspedisi penyelidikan. Mereka bertemu dengan beberapa 

orang musuh pada hari akhir bulan suci Rajab. Berpikir bahwa akan 

sangat berbahaya melepaskan mereka itu sehingga akan membawa berita 

ke Mekkah tentang rombongan penyelidik yang begitu dekat, musuh itu 

disergap oleh mereka dan dalam perkelahian itu, seorang di antaranya 

terbunuh. sesudah  rombongan penyelidik itu kembali ke Medinah, kaum 

Mekkah mengajukan protes bahwa penyelidik-penyelidik Muslim telah 

membunuh salah seorang dari orang-orang mereka. Orang-orang 

Mekkah sendiri sering melanggar Bulan Suci dalam menghadapi orang-

orang Muslim, bila hal itu dipandang baik oleh mereka, dan sebenarnya 

telah menjadi jawaban yang layak terhadap tuduhan mereka itu untuk 

mengatakan bahwa sebab  kaum Mekkah sendiri telah melanggar 

perjanjian tentang Bulan Suci, maka mereka itu tidak berhak menuntut 

supaya dipatuhi oleh kaum Muslimin. namun , Rasulullah s.a.w. tidak 

memberikan jawaban demikian. Beliau sangat menyesali anggota-

anggota rombongan itu, menolak menerima harta rampasan perang, dan 

menurut beberapa riwayat malah membayar uang darah untuk orang 

yang terbunuh itu, sehingga ayat 2:218 menjernihkan seluruh keadaan 

(Tabari dan Halbiyya). 

Orang-orang pada umumnya berhati-hati supaya jangan 

menyakiti perasaan sahabat-sahabat mereka dan sanak-saudara mereka, 

namun Rasulullah s.a.w. sangat memperhatikan asas itu, malah terhadap 

orang-orang yang memusuhi beliau sekalipun. Sekali peristiwa seorang 

Yahudi datang kepada beliau dan menerangkan bahwa Abu Bakar telah 

melukai perasaannya dengan mengatakan bahwa Allah  telah memberi 

kedudukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. lebih tinggi di atas Nabi 

Musa a.s.. Rasulullah s.a.w. memanggil Abu Bakar dan menanyakan 

kepadanya, apa yang telah dikatakannya. Abu Bakar menerangkan 

bahwa orang Yahudi itu mulai lebih dahulu menyatakan bahwa ia 

bersumpah dengan nama Musa a.s. yang menurut kata orang itu, Allah  

telah memuliakannya di atas seluruh umat manusia dan bahwa Abu 

Bakar menyambutnya dengan bersumpah atas nama Muhammad s.a.w., 

yang Allah  telah mengangkatnya di atas Nabi Musa a.s.. Rasulullah 

s.a.w. bersabda, “Anda seharusnya tidak mengatakan itu, sebab  

perasaan orang-orang lain harus diperhatikan juga. Siapa pun tidak boleh 

mengangkatku di atas Nabi Musa a.s.” (Bukhari, Kitab al-Tauhid). Hal 

itu tidak berarti bahwa Rasulullah s.a.w. menurut kenyataannya tidak 

memiliki  kedudukan yang lebih tinggi daripada Nabi Musa a.s., namun 

menyatakan hal itu kepada orang Yahudi dapat dengan mudah menyakiti 

perasaannya dan hal itu harus dihindarkan. 

Perhatian Terhadap Orang-Orang Miskin 

Rasulullah s.a.w. senantiasa prihatin memikirkan untuk 

memperbaiki keadaan golongan yang miskin dan mengangkat taraf hidup 

mereka di tengah-tengah masyarakat. Sekali peristiwa, saat  beliau 

sedang duduk-duduk dengan para Sahabat, lewatlah seorang kaya, 

Rasulullah s.a.w. menanyakan kepada salah seorang dari para Sahabat, 

apa pendapatnya tentang orang itu. Ia menjawab, “Ia seorang berada lagi 

terkenal. Jika ia meminang seorang gadis idamannya akan diterima 

dengan baik dan jika ia menjadi perantara untuk kepentingan seseorang, 

perantaraannya itu akan diterima.” Tak lama kemudian, lewatlah seorang 

orang lain yang nampaknya miskin dan tidak mampu. Rasulullah s.a.w. 

menanyakan kepada Sahabat tadi, bagaimana orang itu menurut 

pendapatnya. Ia menjawab, “Ya Rasulullah! Ia seorang miskin. Jika ia 

meminang seorang gadis, permintaannya tidak akan diterima dengan 

baik dan jika ia menjadi perantara untuk seseorang, perantaraannya akan 

ditolak dan jika ia berusaha mengajak bercakap-cakap dengan seseorang, 

ia tidak akan mendapat perhatian.” sesudah  mendengar jawaban itu 

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Nilai orang miskin itu jauh lebih tinggi dari 

nilai sejumlah emas yang cukup untuk mengisi sekalian alam” (Bukhari, 

Kitabal-Riqaq). 

Seorang wanita Muslim biasa membersihkan Mesjid Nabi di 

Medinah. Rasulullah s.a.w. sudah beberapa hari tidak melihatnya lagi di 

mesjid dan beliau menanyakan keadaannya. Disampaikan kepada beliau 

bahwa ia sudah meninggal. Beliau bersabda, “Mengapa aku tidak diberi 

tahu kalau ia meninggal? Aku pasti akan ikut dalam sembahyang 

jenazahnya,” dan menambahkan, “Barangkali kalian tidak 

memandangnya cukup penting sebab  ia miskin. Anggapan itu salah. 

Bawalah aku ke kuburannya.” Kemudian beliau pergi ke sana dan 

mendoa untuk dia (Bukhari, Kitabal-Shalat). Beliau biasa bersabda 

bahwa ada orang-orang dengan rambut kusut-masai, tubuhnya tertutup 

dengan debu, dan mereka tidak disambut oleh orang-orang berada, namun 

begitu tinggi dihargai Allah  sehingga jika dengan bertawakal kepada 

Allah  mereka bersumpah atas nama Allah bahwa suatu hal akan 

mengalami perubahan, Allah  akan membantu mereka” (Muslim, 

Kitabal-Bir wal Sila).  

Sekali peristiwa beberapa Sahabat, bekas budak-budak tapi 

sudah dimerdekakan, bersama-sama duduk saat  Abu Sufyan (seorang 

pemimpin Quraisy yang memerangi kaum Muslim sampai hari jatuhnya 

Mekkah dan baru masuk Islam pada peristiwa itu) lewat disitu. Para 

Sahabat menegurnya dan mengingatkannya kembali kepada kemenangan 

yang dianugerahkan Allah  kepada Islam. Abu Bakar mendengarnya dan 

tidak berkenan di hatinya bahwa seorang pemimpin Quraisy 

diperingatkan kepada penghinaan yang dideritanya, lalu kumpulan 

Sahabat itu ditegurnya. Ia menghadap Rasulullah s.a.w. dan 

menceriterakan peristiwa itu kepada beliau. Rasulullah s.a.w. bersabda, 

“Hai, Abu Bakar! Aku khawatir engkau telah melukai hati hamba-hamba 

Allah itu. Jika demikian, Allah  akan murka terhadapmu.” Abu Bakar 

segera kembali kepada para Sahabat itu dan bertanya, “Wahai, saudara-

saudaraku! Apakah saudara-saudara sakit hati atas apa yang kukatakan 

tadi?” Mereka menjawab, “Kami tidak mendendam atas perkataan anda. 

Semoga Allah  memaafkan anda“ (Muslim, Kitab al-Fada'il). 

namun , sementara Rasulullah s.a.w. menuntut supaya kaum 

miskin dihargai dan perasaan mereka tidak dilukai, dan memenuhi segala 

kebuAllah  mereka, beliau berusaha juga meresapkan rasa harga diri ke 

dalam hati mereka dan mengajarkan agar tidak meminta-minta. Beliau 

biasa mengatakan bahwa tidak pantas bagi seorang orang miskin merasa 

puas dengan sebutir atau dua butir korma atau sesuap atau dua suap 

makanan, namun ia harus menghindarkan diri dari meminta-minta, 

betapapun beratnya cobaan yang dihadapinya (Bukhari, Kitab al-Kusuf). 

Sebaliknya, beliau biasa mengatakan juga bahwa tidak ada suatu kenduri 

mendapat berkah selama beberapa orang miskin juga tidak diundang. 

Aisyah r.a. menceriterakan bahwa seorang wanita miskin pada suatu 

saat  datang kepada beliau disertai oleh dua anak perempuannya yang 

masih kecil. Aisyah r.a. tak punya apa-apa pada saat itu, kecuali sebutir 

korma yang dapat diberikan oleh beliau kepada wanita itu. Wanita itu 

membagikannya kepada dua anaknya yang kecil itu dan kemudian 

mereka itu berlalu. saat  Rasulullah s.a.w. tiba di rumah, Aisyah r.a. 

menceriterakan hal itu kepada beliau dan Rasulullah s.a.w. bersabda, 

“Jika seorang miskin memiliki  anak-anak perempuan dan ia 

memperlakukannya dengan baik, Allah  akan menyelamatkan dia dari 

api neraka,” dan menambahkan, “Allah  akan menyediakan surga kepada 

wanita itu disebabkan oleh perlakuan baiknya terhadap anak-anak 

perempuan” (Muslim). Sekali peristiwa diceriterakan kepada beliau 

bahwa seorang Sahabat bernama Said, seorang yang berada, 

membanggakan diri tentang hasil usahanya kepada orang-orang lain. 

saat  Rasulullah s.a.w. mendengar hal itu, beliau bersabda, “Janganlah 

seorang menyangka bahwa kekayaan atau kedudukan atau kekuasaannya 

yaitu  semata-mata buah usahanya sendiri. Keadaannya tidak demikian. 

Kekuasaanmu dan kedudukanmu serta kekayaanmu, semuanya diperoleh 

dengan perantaraan si miskin.” 

Salah satu doa beliau ialah, “Ya Allah ! Buatlah hamba ini tetap 

merendahkan diri selama hamba hidup, dan buatlah hamba merendahkan 

diri jika hamba mati dan bangkitkanlah hamba pada Hari Pembalasan 

bersama mereka yang merendahkan diri” (Tirmidhi, Abwab al-Zuhd). 

Sekali peristiwa di musim panas, saat  beliau berjalan melalui 

suatu jalan raya dilihat beliau seorang Muslim yang sangat miskin sedang 

memikul barang-barang berat dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ia 

seorang dengan paras amat sederhana dan nampak lebih tidak menarik 

lagi dengan baju yang kotor oleh keringat dan debu. Pandangannya sayu. 

Rasulullah s.a.w. mendekatinya dengan diam-diam dari belakang dan 

beliau seperti anak-anak kadang-kadang berbuat dalam senda gurau, 

menjulurkan tangan beliau ke muka dan menutup mata kuli itu agar ia 

menerka siapa beliau. Orang itu menjulurkan tangannya ke belakang dan 

sambil meraba-raba badan Rasulullah s.a.w. ia mengetahui bahwa 

Rasulullah s.a.w.- lah yang ada di belakangnya. Barangkali ia dapat 

menerka juga bahwa tak ada orang lain yang memperlihatkan kecintaan 

yang begitu mesra terhadap orang seperti dia. sebab  hatinya senang dan 

padanya timbul keberanian, ia merapatkan dirinya ke tubuh Rasulullah 

s.a.w. serta menggosok-gosokkan badannya yang berdebu dan 

berkeringat itu ke pakaian Rasulullah, barangkali hendak meyakinkan 

dirinya sampai di mana Rasulullah s.a.w. mau membiarkan dirinya 

diperlakukan serupa itu. Rasulullah s.a.w. tetap mengulum senyum dan 

tidak menyuruhnya berhenti dari perbuatannya itu. saat  orang itu telah 

merasa puas dan juga merasa terharu, Rasulullah s.a.w. bertanya, “Aku 

memiliki  seorang budak. Adakah menurut pendapatmu, orang yang 

mau membelinya?”  

Orang itu menyadari bahwa barangkali tak ada seorang pun di 

seluruh dunia kecuali Rasulullah s.a.w. sendiri yang berminat kepadanya 

dan dengan menghela nafas sedih ia menjawab, “Ya Rasulullah. Tidak 

ada seorang pun di bumi ini yang bersedia membeliku.” 

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidak! Tidak! Kamu jangan berkata 

demikian. Kamu sangat berharga dalam pandangan Ilahi” (Syarh al-

Sunnah). 

Bukan saja beliau sangat prihatin akan kesejahteraan si miskin, 

namun beliau senantiasa menganjurkan pula kepada orang-orang lain 

untuk berbuat serupa. 

Abu Musa Asy'ari meriwayatkan bahwa jika seorang miskin 

menghadap Rasulullah s.a.w. dan mengajukan permintaan, beliau biasa 

bersabda kepada orang di sekitar beliau, “Kamu juga hendaknya 

memenuhi permintaannya itu sehingga mendapat pahala sebagai orang 

yang berperan serta dalam menggalakkan perbuatan baik” (Bukhari dan 

Muslim), dengan tujuan membangkitkan rasa cenderung untuk menolong 

si miskin di satu pihak dalam hati para Sahabat, dan di pihak lain 

menimbulkan kesadaran dalam hati kaum fakir-miskin adanya cinta dan 

rasa kasih saudara-saudara mereka yang kaya.  

Menjaga Kepentingan Si Miskin 

saat  Islam berangsur diterima secara umum oleh bagian 

terbesar bangsa Arab, Rasulullah s.a.w. sering menerima barang dan 

uang berlimpah-limpah, beliau segera membagi-bagikan hadiah-hadiah 

itu di antara mereka yang sangat membutuhkan. Sekali peristiwa anak 

beliau, Fatimah, datang mendapatkan beliau dan sambil memperlihatkan 

telapak tangannya yang tebal dan keras akibat pekerjaan menepung 

gandum dengan batu, memohon agar diberi seorang budak untuk 

meringankan pekerjaannya. Rasulullah s.a.w. menjawab, “Aku akan 

menceriterakan kepadamu sesuatu yang nanti akan terbukti jauh lebih 

berharga dari pada seorang budak. Jika engkau mau tidur pada malam 

hari, engkau hendaknya membaca Subhanallah tiga puluh tiga kali, 

Alhamdulillah tiga puluh tiga kali, dan Allahu Akbar tiga puluh empat 

kali. Hal itu akan jauh lebih banyak menolongmu daripada memelihara 

seorang budak” (Bukhari). 

Sekali peristiwa, saat  sedang membagi-bagikan uang, sekeping 

mata uang terjatuh, meluncur, dan menghilang. Sesudah selesai 

membagi-bagikan uang itu beliau pergi ke mesjid untuk memimpin 

sembahyang. Beliau biasa duduk-duduk sejenak selepas sembahyang 

berzikir Ilahi. Sesudah itu orang-orang diberi kesempatan untuk 

menghadap dan bertanya atau mengajukan permohonan. Tapi kali itu, 

begitu usai sembahyang, beliau bangkit dan cepat-cepat pulang. Beliau 

mencari mata uang yang hilang tadi dan sesudah ditemukannya kembali, 

beliau kembali dan memberikan uang itu kepada orang yang 

membutuhkannya. Beliau menerangkan bahwa mata uang itu jatuh 

saat  membagi-bagikan uang dan hal itu kemudian beliau lupakan, 

namun saat  dengan tiba-tiba pada waktu mengimani sembahyang 

teringat kembali maka beliau menjadi gelisah sebab  diusik pikiran 

bahwa jika beliau wafat sebelum menemukan kembali uang itu dan 

memberikannya kepada orang yang membutuhkan, beliau akan dituntut 

pertanggung-jawaban di hadapan Allah , itulah sebabnya beliau 

meninggalkan mesjid begitu tergesa-gesa untuk menemukan kembali 

uang tersebut (Bukhari, Kitab al-Kusuf). 

sebab  besarnya minat beliau menjaga kepentingan kaum fakir-

miskin begitu jauh, sehingga beliau menetapkan bahwa untuk selama-

lamanya sedekah tidak boleh diberikan kepada keturunan beliau, sebab  

khawatir jangan-jangan orang-orang Muslim, sebab  cinta dan bakti 

terhadap beliau, pada suatu waktu akan mengutamakan sedekah kepada 

keturunan beliau dan dengan demikian merampas hak kaum fakir-

miskin. Sekali peristiwa seseorang membawa kepada beliau sejumlah 

korma dan mempersembahkannya sebagai sedekah. Cucu beliau, Imam 

Hassan, yang pada saat itu baru berusia dua setengah tahun, kebetulan 

duduk-duduk bersama Rasulullah s.a.w.. Ia mengambil sebutir korma 

dan memasukkan ke dalam mulut. Rasulullah s.a.w. segera memasukkan 

jari ke dalam mulut si anak dan mengeluarkan korma itu dengan paksa 

sambil bersabda, “Kita tidak berhak atas ini. Ini hak orang-orang miskin 

dari antara makhluk Allah ” (Bukhari, Kitab al-Kusuf). 

Perlakuan Terhadap Budak-Budak 

Beliau senantiasa menganjurkan kepada mereka yang 

memiliki  budak-budak supaya memperlakukan mereka dengan baik 

serta kasih sayang. Beliau menetapkan bahwa jika si pemilik memukul 

budaknya atau memaki-makinya, maka satu-satunya perbaikan yang 

dapat dilakukannya ialah memerdekakannya (Muslim, Kitab al-Iman). 

Beliau membuat sarana untuk mendorong dan memerdekakan budak 

pada tiap-tiap kesempatan. Beliau bersabda, “Jika seseorang memiliki  

budak-budak lalu memerdekakan mereka, Allah  akan membalasnya 

dengan menyelamatkan tiap-tiap bagian tubuhnya sesuai dengan tiap-tiap 

bagian tubuh budak itu, dari siksaan neraka.” Pula, beliau menetapkan 

bahwa seorang budak hendaknya disuruh hanya melaksanakan tugas-

tugas yang ia dengan mudah dapat melakukannya dan bahwa jika ia telah 

diberi tugas, tuannya hendaknya membantu melakukannya sehingga 

budak itu tidak boleh mengalami perasaan dihina atau direndahkan 

(Muslim). Jika tuannya bepergian dan diikuti oleh seorang budaknya, 

maka menjadi kewajiban bagi tuannya untuk menaiki tunggangan baik 

bersama-sama atau bergantian. Abu Hurairah yang biasa mengisi semua 

waktunya, sesudah  ia masuk Islam, dengan ikut bersama Rasulullah s.a.w. 

dan acapkali mendengarkan fatwa Rasulullah s.a.w. mengenai perlakuan 

terhadap budak-budak; ia berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah  

Yang ditangan-Nya terletak kehidupanku bahwa seandainya tidak ada 

kesempatan ikut berjihad dan naik Haji dan seandainya tidak memiliki  

kesempatan mengkhidmati ibuku yang sudah tua, aku ingin mati sebagai 

seorang budak, sebab  Rasulullah s.a.w. senantiasa menuntut supaya 

budak-budak diperlakukan dengan baik dan kasih sayang (Muslim). 

Ma'rur bin Suwaid meriwayatkan, “Aku melihat Abu Dharr 

Ghaffari (seorang Sahabat) mengenakan pakaian yang betul-betul sama 

dengan pakaian yang dikenakan oleh budak-budaknya. Aku menanyakan 

kepadanya alasan tentang itu dan ia berkata, “Di zaman Rasulullah s.a.w. 

sekali peristiwa aku memaki-maki seorang laki-laki dan menghinanya 

sebab  ibunya seorang budak. Menyaksikan hal itu Rasulullah s.a.w. 

menyesaliku dan bersabda, “Kamu agaknya masih terbiasa dengan 

tingkah-laku jahiliah. Apakah budak itu? Mereka saudaramu dan sumber 

kekuatanmu. Allah  Yang Maha Bijaksana telah memberikan kepadamu, 

untuk sementara waktu, kekuasaan di atas mereka. Yang memiliki  

kekuasaan terhadap saudaranya, hendaknya memberi makan seperti ia 

makan sendiri, memberi pakaian seperti yang dipakai sendiri dan 

hendaknya tidak memberi tugas di luar kemampuannya dan 

membantunya dalam melaksanakan tugasnya.” Pada peristiwa lain 

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Jika pelayanmu memasak makanan untuk 

kamu dan menghidangkannya kepadamu, kamu hendaknya mengajaknya 

makan dan duduk bersama atau sekurang-kurangnya ikut makan 

sebagian makanan itu bersama kamu, sebab ia telah membuat dirinya 

berhak atas itu dengan bekerja menyiapkannya” (Muslim). 

Perlakuan Terhadap Wanita 

Rasulullah s.a.w. sangat berhasrat memperbaiki keadaan wanita 

di tengah masyarakat, menjamin mereka mendapat kedudukan terhormat 

dan perlakuan wajar lagi pantas. Islam yaitu  agama pertama yang 

memberikan hak waris kepada wanita. Al-Qur’an menjadikan anak-anak 

perempuan, bersama-sama dengan anak-anak lelaki, ahli waris kekayaan 

orang tua mereka. Demikian pula ibu menjadi ahli waris harta benda 

peninggalan anak laki-laki atau anak perempuan; dan seorang istri jadi 

ahli waris harta-benda suaminya. Jika seorang saudara laki-laki menjadi 

ahli waris harta-benda saudaranya yang meninggal, maka saudara 

perempuan juga jadi ahli waris harta-benda itu. Tidak ada agama 

sebelum Islam begitu jelas dan tegas dalam menjamin hak waris wanita 

dan hak memiliki harta kekayaan. Dalam Islam, seorang wanita menjadi 

pemilik mutlak harta-bendanya sendiri dan suaminya tak dapat 

memiliki  hak sedikit pun mengendalikan harta-benda itu hanya 

semata-mata sebab  alasan ia suaminya. Seorang wanita bebas 

sepenuhnya bertindak atas harta-bendanya menurut kehendaknya sendiri. 

Rasulullah s.a.w. begitu berhati-hati mengenai perlakuan 

terhadap wanita, sehingga mereka yang ada di sekitar beliau, yang 

sebelumnya tidak biasa memandang kepada wanita sebagai kawan dan 

mitra, merasa sukar untuk menyesuaikan diri pada standar yang 

Rasulullah s.a.w. begitu menghendaki sekali supaya dilaksanakan dan 

dipelihara. Sayyidina Umar meriwayatkan, “Istriku kadang-kadang 

berusaha mencampuri urusanku dengan memberi saran dan usul, dan aku 

biasa memarahinya dengan mengatakan bahwa bangsa Arab tidak pernah 

mengizinkan istrinya mencampuri urusannya. Ia membantah, “Masa itu 

telah lewat. Rasulullah s.a.w. mengizinkan istri-istri beliau memberi 

saran dan usul dalam urusan beliau dan beliau tidak melarangnya. 

Mengapa engkau tidak mengikuti contoh beliau?” Maka aku biasa 

menjawab: Mengenai Aisyah, Rasulullah s.a.w. sangat senang 

kepadanya, namun mengenai anakmu (Hafsah), jika ia berbuat demikian, 

pada suatu hari ia akan menderita oleh kelancangannya. Telah terjadi 

bahwa sekali peristiwa Rasulullah s.a.w. marah, sebab  suatu sebab 

memutuskan untuk hidup pisah dari istri-istri beliau, untuk sementara 

waktu. saat  aku mengetahui itu kukatakan kepada istriku: Apa yang 

kutakutkan telah terjadi. Kemudian aku pergi ke rumah anakku, Hafsah, 

dan mendapatkannya sedang menangis. Kutanyakan apa sebab-sebabnya, 

dan apakah Rasulullah s.a.w. telah menceraikan. Ia menjawab, “Aku tak 

tahu apa-apa tentang perceraian, namun Rasulullah s.a.w. telah 

memutuskan untuk hidup pisah, untuk sementara waktu, dari kami 

semua. “Aku katakan kepadanya, Bukankah aku telah sering mengatakan 

bahwa kau jangan begitu lancang seperti Aisyah terhadap beliau, sebab 

Rasulullah s.a.w. sangat mencintai Aisyah, namun kau agaknya telah 

menerima akibat yang aku khawatirkan”. Kemudian aku menghadap 

Rasulullah s.a.w. dan melihat beliau sedang berbaring di atas tikar kasar. 

Beliau pada waktu itu tidak memakai kemeja dan pada tubuh beliau 

nampak kesan tapak tikar. Aku duduk dekat beliau dan berkata, “Ya 

Rasulullah! Kaisar dan Kisra tidak berhak menikmati karunia Ilahi 

sedikit pun, namun walaupun demikian, mereka hidup dalam kemewahan; 

sedangkan anda, sebagai Rasul Allah, begitu sengsara. Rasulullah s.a.w. 

menjawab, “Itu tidak benar. Dan Utusan-utusan Allah tidak diharapkan 

akan menggunakan waktunya dalam kesenangan. Kehidupan demikian 

hanya pantas untuk raja-raja duniawi”. Kemudian aku menyampaikan 

kepada Rasulullah apa yang terjadi antara istriku dan anakku. Mendengar 

hal itu Rasulullah s.a.w. tertawa dan bersabda, “Tidak benar aku telah 

menceraikan istri-istriku. Aku hanya memandang ada baiknya kalau 

hidup untuk sementara waktu pisah dan mereka“ (Bukhari, Kitab al-

Nikah).  

Beliau begitu hati-hati mengenai perasaan wanita-wanita 

sehingga sekali peristiwa, saat  beliau memimpin sembahyang dan 

mendengar seorang anak menangis, beliau menyelesaikan shalat secepat 

mungkin. Beliau menerangkan kemudian bahwa saat  beliau 

mendengar tangisan anak itu, beliau membayangkan bahwa ibu anak itu 

tentu amat gelisah, dan oleh sebab  itu beliau menyelesaikan shalat itu 

dengan cepat sehingga ibu itu dapat pergi ke anaknya dan mengurusnya. 

Jika dalam salah satu perjalanan beliau ada pula wanita-wanita 

ikut serta, beliau senantiasa memberi petunjuk supaya kafilah bergerak 

lambat dan berhenti secara bertahap. Pada suatu kesempatan serupa itu 

saat  orang-orang ingin sekali maju cepat, beliau bersabda, “Perhatikan 

kaca! Perhatikan kaca!” dengan maksud mengatakan bahwa ada wanita-

wanita dalam rombongan dan bahwa jika unta-unta dan kuda-kuda 

berlari cepat, mereka itu akan menderita dan bantingan-bantingan 

binatang-binatang itu (Bukhari, Kitab al-Adab). 

Pada suatu pertempuran timbul kekacauan di tengah barisan-

barisan berkuda dan binatang-binatang itu pun tidak terkendalikan. 

Rasulullah s.a.w. jatuh dari kuda, begitu pula beberapa wanita jatuh dari 

tunggangan mereka. Seorang dari antara sahabat-sahabat yang 

mengendarai unta amat dekat di belakang Rasulullah s.a.w., turun 

dengan meloncat dan berlari-lari kepada Rasulullah s.a.w. sambil 

berteriak. “Biarlah aku berkorban untuk anda, ya Rasulullah.” Kaki 

Rasulullah s.a.w. masih tersangkut di sanggurdi. Beliau melepaskan 

dengan segera kaki itu dan bersabda, “Jangan perdulikan aku, lekas 

tolong wanita-wanita itu.” Sesaat sebelum beliau wafat, salah satu dari 

perintah yang ditujukan kepada kaum Muslimin dan sangat ditekankan 

oleh beliau ialah, mereka hendaknya senantiasa memperlakukan wanita 

dengan baik dan kasih sayang. Beliau seringkali dan berulang-ulang 

mengatakan, jika seseorang memiliki  anak-anak perempuan dan ia 

telah berusaha agar mereka mendapat didikan dan ia berusaha keras 

memelihara mereka, Allah  akan menyelamatkannya dari siksaan neraka 

(Tirmidhi). 

Telah menjadi kebiasaan pada orang-orang Arab memberi 

siksaan jasmani kepada wanita atas tiap-tiap kesalahan kecil. Rasulullah 

s.a.w. mengajarkan bahwa wanita itu sama seperti pria selaku makhluk 

Allah  dan bukan budak kaum pria dan tidak boleh dipukul. Tatkala 

wanita-wanita mengetahui hal itu, ulah mereka menjadi sama sekali 

terbalik dan mulai berani membantah kaum pria dalam segala hal, 

akibatnya ialah dalam beberapa rumah