Selasa, 03 Desember 2024

kosmologi islam 2



Kosmologi merupakan sains mengenai struktur spasio-temporal serta komposisi skala besar 

alam semesta. Dalam sains modern, dunia barat mengklasifikasi kosmologi sebagai satu disiplin filsafat kealaman atau Philosophyof 

Nature. Tradisi filsafat ini telah mengalami perkembangannya dari masa ke masa melalui pembahasan epistemologi inderawi dan 

empirik. Interaksi sains dan agama pun mengambil beragam bentuknya. Temuan-temuan baru ilmu pengetahuan saat ini telah 

menantang kembali gagasan keagamaan klasik dengan beragam cara pendekatan yang dilakukan oleh para Ilmuwan, Teolog, dan 

warga  luas. Kosmologi dalam objek kajiannya telah berubah sedemikian rupa ke dalam bentuk terpisah dan berada dalam ruang 

hampa, terlepas dari tradisi keagamaan (Islam). Interaksi sains dan agama dapat ditemukan sejak lama, terutama dalam beberapa 

narasi sejarah Islam dan Al-quran. Seperti disebutkan dalam QS. 32:4 "Allah lah yang menciptakan langit dan Bumi dan apa yang 

ada di antara keduanya dalam waktu enam hari". Secara implisit ayat ini menyampaikan pengetahuan kepada manusia melalui 

wahyu sekaligus menjadi pertanda, betapa sains dan agama tidak ada kontradiksi. Makalah ini berusaha menjelaskan bagaimana 

agama dapat menjadi titik tolak bagi umat manusia pada umumnya dan umat muslim khususnya dalam memajukan sains. Selain itu, 

argumentasi utama dalam makalah ini mengungkapkan bahwa sains dan agama erat kaitannya dengan tradisi intelektual Islam yang 

sedikit banyak terinspirasi dari spiritualitas keagamaan, terutama berasal dari kitab suci Al-Qur’an. 

Era Globalisasi merupakan masa dimana dunia dipenuhi 

oleh berbagai kekacauan. Tingkat kesenjangan antara 

kaya-miskin semakin terpisah jauh dan cukup 

memprihatinkan kita semua. Menurut para analis 

peradaban dunia Ken Wilber (2012) berasal dari Francis 

Fukuyama, Samuel Huntington, dan Thomas Friedman  

mengatakan bahwa sedikit banyak telah tampak 

pengaruh dari globalisasi. Negara Adi Daya dan negara-

negara maju secara material sedang berlomba dalam 

menjalankan Imperialisme baru dalam bentuk 

kriminalisasi berupa kejahatan kemanusiaan dengan 

beragam dalih keamanan terhadap serangan terorisme 

yang bisa mengancam kedaulatan sebuah negara kapan 

saja. 

Saintis melihat bahwa pandangan dunia menjadi 

akar masalah utama dari persoalan kemanusiaan yang 

muncul. Kelahiran revolusi teknik dan ilmu 

pengetahuan setidaknya telah menyumbangkan 

pengaruhnya pada krisis dunia (kemanusiaan) sampai 

hari ini. Bermula dari revolusi ilmu pengetahuan, dunia 

secara masif dan eksplosif berubah menuju pada gradasi 

yang cukup ideal, meski masih ada  banyak kritik di 

dalamnya. Hal mendasar daripada Sains Modern 

digugat oleh banyak tokoh, seperti Fritjhof Capra, 

Friedrich Nietzsche, Fazlur Rahman, dan Seyyed 

Hossein Nasr. sebab  itu, muncul seruan perombakan 

paradigma Sains Modern (terutama berasal dari kritik 

Seyyed Hossein Nasr) dinilai pincang dan ada  

kelemahan prinsip sebab  semata bersumber pada 

epistemologi inderawi dan empirik semata. Hal ini, 

menurut Nasr dapat memicu  satu agama baru 

dalam tradisi ilmu pengetahuan yang akan mengarah 

pada Materialisme dan Saintisme. Lebih jauh kritik Nasr 

terhadap Sains Modern yang pincang ini jika masih 

menjadi pengadil atau wasit, maka tidak ada 

kemungkinan pintu terbuka menuju yang maha tak 

terbatas. Kemungkinan besarnya yaitu  

mereka akan mengkonstruksi sains palsu yang dapat 

memicu  kepincangan baru yang terus 

bermetamorfosis. 

Berawal dari kosmologi, pandangan dunia 

merambah ke berbagai segmen warga  luas. Sejak 

revolusi Copernicus, perdebatan tentang bentuk langit 

menjadi diskusi publik, melalui dogma agama 

warga  mempercayai bahwa Bumi merupakan pusat 

alam semesta, yang lalu diterima menjadi Geosentrisme. 

Melalui pemikiran Copernicus (seorang ilmuwan asal 

Polandia) dan didukung oleh Galileo Galilei, menyebut 

bumi bergerak mengelilingi matahari (Heliosentris) dan 

bumi bukan pusat bagi alam semesta. Gagasan tentang 

alam semesta dan realitas secara umum ini pada 

perkembangannya dikenal dengan nama kosmologi. 

Melalui perdebatan panjang tentang kosmologi inilah 

dialektika pemikiran manusia berkembang maju dan 

pesat setelah epistemologi indrawi dan empirik diterima 

sebagai dasar atau patokan dalam proses pencarian ilmu 

pengetahuan modern.  

Tradisi modern Barat menyandarkan pada nilai 

tertinggi berupa aspek Rasionalisme. Kaum Rasionalis 

Barat berusaha mewujudkan konsepsi-konsepsi alam 

semesta dalam berbagai bentuk baru dengan 

bernafaskan saintifik menjadi sebuah sains alternatif. 

Dalam usaha melakukan itu, selalu ada usaha untuk 

menafikan aspek tradisional (Teologi, Mitos, Cerita, 

dsb.) dan lebih mengedepankan rasionalitas sebagai 

upaya demitologisasi untuk mencapai bentuk sains yang 

lebih halus. Menurut Daoed Joesoef, inti dari sains atau 

ilmu pengetahuan tidak lain ialah melatih berpikir 

abstrak, dimana abstraksi diperlukan untuk pembinaan 

kesadaran manusia dalam ber-Tuhan, sebab  konsep 

ber-Tuhan dalam [agama] Islam yaitu  abstrak 

(2010:175). Jadi, mempelajari dan memperdalam 

sebuah ilmu pengetahuan dalam agama Islam 

merupakan bentuk par excellence dari kepercayaan 

manusia (teisme) terhadap Tuhan sebagai Sang 

Pencipta.    

Teologi menjadi sumber yang paling banyak 

berkontribusi dalam memahami masalah kosmologi. 

Hampir semua agama memiliki cerita tentang 

penciptaan alam semesta baik dalam agama Hindu, 

Budha, Yahudi, Kristen, dan Islam. Temuan-temuan 

baru ilmu pengetahuan saat ini telah menantang kembali 

gagasan keagamaan klasik dengan beragam cara 

pendekatan yang dilakukan oleh para Ilmuwan, Teolog, 

dan warga  luas. Kosmologi dalam objek kajiannya 

telah berubah sedemikian rupa ke dalam bentuk terpisah 

dan berada dalam ruang hampa, terlepas dari tradisi 

keagamaan.  

Berkaitan dengan kosmologi Islam, wahyu 

merupakan sumber utama bagi umat Islam yang 

terangkum dalam bentuk Al-Qur’an. Dalam beberapa 

ayat Al-Qur’an disebutkan terkait gejala alam semesta 

sejak penciptaan (ayat-ayat kauniyah) sampai mengarah 

pada hal yang transenden, apakah semesta memiliki 

awal dan akan menuju titik akhir? Tidak sedikit respon 

dari para saintis yang percaya bahwa alam semesta 

memiliki awal dan akan menuju titik akhir (Alfadan 

Omega), meski ada banyak juga para saintis yang tidak 

sependapat dengan pendapat di atas.  

Studi ini berusaha mengembalikan tradisi kritis 

Islam yang dibangun melalui hipotesa dan argumentasi 

berdasar pada Alquran. “Dialah yang menunjukkan 

kepadamu dalil-dalil kekuasaan-Nya dan menurunkan 

padamu rahmat dari langit” (QS. 40:13). Tujuan dari 

pada penelitian ini ialah membantu mengantarkan 

pembaca pada kajian interdisipliner, berupa kosmologi 

dan teologi yang dapat diintegrasikan. Sejalan dengan 

itu, studi ini juga akan mencoba mengikis kemelut atau 

polemik yang terjadi antara sains dan agama. Sehingga, 

besar harapan antara sains dan agama tidak lagi terjadi 

kontradiksi, melainkan keduanya dapat mengisi ruang 

kosong serta saling melengkapi. 

Hubungan antara sains dan agama memang menarik 

untuk dikaji secara mendalam, terutama dalam Islam. 

Agama Islam dan kosmologi memiliki hubungan erat, 

keduanya memiliki tujuan besar yang dapat saling 

membantu dalam proses mencari makna. Tujuan dari 

sains yaitu  memahami hubungan sebab akibat di 

antara fenomena-fenomena alam, sedangkan agama 

ialah mengikuti suatu jalan hidup di dalam kerangka 

makna yang jauh lebih besar . Sekalipun 

keduanya terkadang mengarah pada ruang dimensi yang 

berbeda, agama mengacu pada dimensi esoteris dan 

sains berada pada ruang eksoteris, dan tidak menutup 

kemungkinan ada  konsep penghubung di antara 

keduanya.

Kosmologi Islam erat kaitannya dengan Al-Qur’an 

sebagai sumber inspirasi utama sains atau ilmu 

pengetahuan diperoleh. Di dalam Alquran ada  

banyak ayat yang menyebut terkait proses penciptaan 

alam semesta maupun hukum-hukum yang mengatur 

dan menguasainya. Dalam pada itu, Al-Qur’an 

menawarkan bentuk pemahaman yang terbuka dan 

bukan bentuk final (dogma) yang jauh dari ragam 

penafsiran terhadap isi teks Al-Qur’an. Islam sebagai 

agama samawi memiliki prinsip dasar monoteistik yang 

bersifat universal, berupa keyakinan kepada Tuhan yang 

Maha Esa (Tauhid). Prinsip dasar ini pada hakekatnya 

merupakan jawaban atas berbagai pertanyaan yang 

paling fundamental, tentang siapakah causaprima dalam 

alam semesta ini? Serta bagaimana relasi manusia di 

dalam alam semesta?  

Kosmologi Islam bermula dari pengetahuan bahwa 

alam semesta memegang kunci menuju keabadian jiwa 

manusia. Pandangan ini melihat kosmos yang sarat akan 

makna dan tujuan. Ia (kosmos) memiliki syarat mutlak 

dengan Pencipta Agung, yaitu Tuhan. William Chittick 

(2010) menyebut manusia pada dasarnya yaitu  

makhluk teomorfis, di balik segala keterbatasan yang di 

miliki manusia, ia memiliki sifat Ilahiah. Hal ini tidak 

berarti menuhankan manusia, sebab  zat Tuhan kekal 

abadi sedangkan manusia akan menuju mortalitas. 

Berkaitan dengan itu, manusia perlu mengambil peran 

aktif dalam menghubungkan dirinya kepada Tuhan 

dalam realitas alam semesta yang memiliki tujuan 

hidup. 

Jauh sebelum manusia mengenal teknik dan 

beragam ilmu pengetahuan, pergerakan kosmik alam 

semesta mengajarkan jenis ilmu pengetahuan dalam 

bentuk kuno. Manusia mengamati perubahan demi 

perubahan yang berlangsung setiap hari, ia bekerja keras 

di bawah kolong langit hingga matahari berganti bulan, 

lalu terjadi proses pergantian siang dan malam. Hari 

demi hari manusia terus mengamati perubahan alam 

yang terjadi membentuk sebuah kognisi tentang langit 

dan bumi yang dapat diramalkan. Akhirnya manusia 

menemukan suatu kebahagiaan diri dalam abstraksi 

pengetahuan yang menurut kepentingan 

pengetahuannya menata dan menaklukan dunia materi 

Kedudukan manusia dalam Al-Qur’an yaitu  

sebagai makhluk sempurna di antara makhluk lainnya 

dan Tuhan yaitu  sang penciptanya. Bersama akal 

manusia dapat menentukan jalan hidupnya sendiri, lepas 

dari interfensi makhluk lainnya. Maka manusia 

memiliki potensi untuk melakukan perubahan atau 

mengkreasi bentuk dunia melalui kemampuannya dalam 

ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi suatu budaya 

yang membentuk peradaban manusia yang ideal. 

Kosmologi ditinjau dari segi maknanya berupa 

ilmu yang mempelajari tentang keteraturan alam 

semesta.  aku memberi sebuah 

pengertian tentang kosmologi sebagai sains mengenai 

struktur spasio-temporal serta komposisi skala besar 

alam semesta. Istilah kosmos sendiri sering dilawankan 

dengan kata chaos yang artinya keadaan kacau balau, 

tanpa bentuk . Artinya, alam semesta 

dalam proses penciptaan melalui pola tidak teratur, lalu 

berproses secara ritmis dan dinamis kemudian menjadi 

teratur. Proses inilah yang lalu dinamakan sebagai 

waktu atau durasi dalam sebuah penciptaan. Sejalan 

dengan itu, Al-Qur’an seacara tegas menyebutkan 

tentang proses penciptaan, serta hukum-hukum yang 

mengatur dan menguasainya. 

“Dan Dialah yang menciptakan langit dan Bumi dalam 

enam masa, dan singgasana-Nya (sebelum itu) di atas 

air” (Q.S. 11:7).  

“[Dia] yang menciptakan langit dan Bumi dan apa yang 

ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian 

Dia bersemayam di atas ‘Arsy” (Q.S. 25:59).  

“Dia mengatur urusan dari langit ke Bumi kemudian 

(urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang 

kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu” (Q.S. 

32:5).  

Alam semesta atau kosmos menurut Al-Qur’an 

diciptakan secara berpasang-pasangan. Pasangan yang 

sering disebut dalam Al-Qur’an sebagai gambaran atau 

representasi bagi alam raya yaitu  langit dan bumi. 

Dalam ayat Al-Qur’an terkait Langit dan Bumi menjadi 

sebuah bentuk imajiner daripada alam semesta secara 

universal. “Dan segala-galanya Kami ciptakan serba 

berpasang-pasangan” (QS. 51:49).  Allah menyebut kata langit dalam 

Al-Qur’an sebanyak 120 kali dalam bentuk tunggal dan 

190 kali dalam bentuk jamak, dan kata Bumi digunakan 

460 kali. Serta, kata langit-langit dan Bumi 

diungkapkan sedikit banyak 200 kali. Penyebutan kata 

Langit-Bumi dan perputaran siang-malam begitu 

banyak dalam Al-Qur’an, sehingga tidak menutup 

kemungkinan ada makna di balik itu semua, bagi yang 

memikirkannya (QS. 2:164, 3:27, 3:190, 13:3, 16:12).  

, seseorang dalam mengkaji 

kosmologi Islam harus terbiasa dengan kejadian dan 

keadaan eksistensi yang dikemukakan dengan istilah-

istilah abstrak seperti wujud murni, hakiki, dan realitas 

absolut yang jauh dari pendekatan orang-orang barat. 

Manusia sebagai ciptaan-Nya termasuk dalam 

mikrokosmos mampu melihat aspek realitas yang 

tersembunyi melalui tradisi mistik dalam bentuk re-ligio 

“mengingat kembali pada realitas absolut”. Demikian, 

kosmologi Islam melalui Al-Qur’an mampu 

mengarahkan sekaligus mengajarkan manusia pada 

aspek ideasional menuju pada dunia spiritual yang tak 

terbatas. 

Tidak sedikit Al-Qur’an menggambarkan langit 

sebagai tempat bersemayam para Dewa, lokus bagi alam 

Malakut (Malaikat). Langit bersifat aktif sebagai 

pemberi kepada bumi yang reseptif menerima apa saja 

yang diturunkan dari langit sebagai anugerah terberi 

dalam bentuk cinta kasih Ilahi. “Dan dari air kami 

jadikan segala sesuatu yang hidup” (Q.S. 21:30). 

Melalui air (hujan) Tuhan menghidupkan sekaligus 

dapat mematikan, jika Tuhan berkehendak. “Jika Kami 

kehendaki, niscaya Kami turunkan kepada mereka 

mukjizat dari langit, sehingga mereka tunduk 

kepadanya” (Q.S. 26:4). 

Al-Qur’an menempati posisi sentral dalam 

pandangan hidup umat Muslim. Al-Qur’an merupakan 

firman Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad 

sebagai petunjuk bagi manusia tentang agama dan alam 

semesta beserta seluruh isinya. Artinya, Al-Qur’an 

menduduki peran strategis, dimana Al-Qur’an menjadi 

kitab pembelajaran Tuhan kepada manusia, setelah 

melalui penafsiran terlebih dahulu sebagai sarana untuk 

memahaminya.  Dalam satu pengertian, alam semesta 

mengambil bagian dalam Al-Qur’an yang berbicara 

kepada manusia sebagai ciptaan dan sekaligus 

menampilkan eksistensi Tuhan. sifat-sifat 

Tuhan dapat dikenali hanya jika terwujud melalui 

benda-benda dan aktivitas. Lebih lanjut, Murata 

menjelaskan semua benda bagaimanapun juga yaitu  

tanda-tanda dari Tuhan. Artinya, segala apa yang ada di 

langit dan alam semeseta ini akan mengarah pada wujud 

sang causaprima, yaitu Tuhan. 

Melalui ayat-ayat kauniyah (penciptaan) Tuhan 

menugaskan manusia untuk membaca dan berpikir lalu 

diaplikasikan dalam kehidupan nyata atas apa yang 

telah mereka dapatkan. “Sesungguhnya dalam 

penciptaan langit dan Bumi, silih bergantinya malam 

dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa 

yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah 

turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air Dia 

hdupkan Bumi sesudah mati (kering) nya dan Dia 

sebarkan di Bumi itu segala jenis hewan dan 

pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara 

langit dan Bumi; sungguh ada  tanda-tanda 

(keesaan allah) bagi kaum yang memikirkan” (Q.S. 

2:164). “Dan Dialah Tuhan yang membentangkan Bumi 

dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai 

padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan 

berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada 

siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada  

tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang 

memikirkan” (Q.S. 13:3). 

Tuhan telah memerintahkan kepada manusia sejak 

pertama kali Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad 

dalam bentuk perintah, “Bacalah!”. mengafirmasi wahyu sebagai cara Tuhan 

mengungkapkan eksistensi-Nya kepada manusia, 

sebagaimana Tuhan telah jelaskan itu dalam Al-Qur’an 

surat al Fatihah sebagai pembuka dan diakhiri dengan 

surat al Nas (manusia).  

Ayat Al-Qur’an di atas secara tidak langsung 

mengajak umat manusia secara maksimal menggunakan 

akalnya, sebab  Tuhan lewat dinamika alamnya yang 

kosmis (teratur) mengajarkan manusia tentang banyak 

hal. Terutama dalam sains, Galileo Galilei berpendapat 

terkait akselerasi agama dan sains yang dikutip oleh Ian 

G. Barbour . Galileo menyatakan bahwa 

tafsiran Alkitab [wahyu] harus menyesuaikan diri 

dengan perkembangan kemampuan manusia dan 

menggunakan wacana yang berkembang. Lebih lanjut, 

Galileo meyakini bahwa kita dapat belajar 

“menggambar” kosmos dari Kitab Alam dan Kitab Suci 

yang keduanya bersumber dari Tuhan dan sebab nya 

tidak mungkin bertentangan. 

 

Kemelut Agama dalam sains 

Sebagian besar orang setuju dengan pendapat 

Copernicus dan Galileo yang menyatakan bahwa bumi 

tidak lagi sebagai pusat alam semesta. Perdebatan 

panjang tentang kosmos ini terjadi dalam sejarah umat 

manusia, terhitung sejak Abad ke-15 sampai abad ke-

20. Temuan mutakhir pada abad ke-20 tentang sejarah 

panjang kosmos yang berasal dari Ledakan Besar atau 

Dentuman Besar (Big Bang) menantang kembali 

lahirnya sentimen keagamaan dalam warga  luas. 

Keresahan itu tampaknya dirasakan oleh para Saintis 

dan Teolog yang merasa tidak nyaman apabila doktrin 

penciptaan dan teori ilmiah dipadukan tanpa ada 

pemisahan, sebab  keduanya melayani fungsi yang 

berbeda dalam kehidupan manusia.  

Sejak Abad ke-12 sains Eropa telah mengadopsi 

kosmologi yang berasal dari fisika Aristoteles dan 

astronom Mesir, Ptolomaeus. Bumi merupakan pusat 

bagi alam semesta, gemerlapnya langit dengan segala 

keindahannya seperti lampu bagi planet Bumi sebagai 

tempat tinggal manusia. Uraian yang disampaikan oleh 

Ptolomaeus setidaknya memuaskan pengetahuan 

manusia pada Abad Pertengahan. Sampai datang 

kemudian Copernicus yang mampu memutarbalikkan 

pemahaman lewat observasinya membuat hipotesis baru 

tentang bentuk alam semesta.  

Nicolaus Copernicus (1473-1543) membuat 

hipotesis baru tentang pergerakan planet Bumi 

mengelilingi Matahari. Secara radikal Copernicus 

hendak melakukan reformasi besar-besaran dalam 

sebuah paradigma pemikiran yang telah mapan 

sebelumnya, tentang bumi sebagai pusat alam semesta. 

Pandangan Copernicus mendapat kritik secara terbuka, 

selain telah melakukan reformasi terhadap ilmu 

pengetahuan, terlebih sebab  ia melanggar prinsip fisika 

Aristoteles. Teori Copernicus menuntut orang-orang 

untuk tidak lagi percaya pada bukti indrawi dan 

menerima berdasarkan iman semata, sebab  itu perlu 

dilakukan kritik terlebih dahulu 

Menurut Copernicus, bumi mempunyai dua 

macam gerak, perputaran sehari-hari pada porosnya dan 

perputaran tahunan mengitari Matahari 

Hipotesa Copernicus di atas dimuat dalam Sub 

Imaginationem dalam cara tradisional. Tatkala 

Copernicus sampai di penghujung hidupnya, tahun 1543 

tesisnya De Revolutionibus melalui Andreas Osiander 

(1498-1552) selaku editor mendapat restu dari Gereja 

Vatikan untuk diterbitkan. Butuh waktu lama bagi 

Copernicus agar bisa mempublikasikan hipotesanya, 

akibat Gereja pada Abad Pertengahan memegang 

otoritas penting dalam bidang moral dan keagamaan 

warga  Eropa. Secara cermat Copernicus 

memperhatikan dominasi Gereja, sehingga ia lebih 

mencari jalan tengah, supaya hipotesanya tidak 

percuma. Pada tahun 1616, setelah Copernicus 

bersepakat dengan Paus di Vatikan karyanya masuk 

dalam indeks buku terlarang oleh pihak Gereja 

Abad Pertengahan menjadi perdebatan sekaligus 

perebutan Saintis melawan dominasi Gereja. Terhitung 

sejak Abad ke-16 sifat tidak toleran tampak pada 

otoritas Gereja yang hendak melakukan sensor terhadap 

segala sesuatunya yang dapat mendiskreditkan Gereja 

sebagai ortodoksi absolut. Semua pandangan yang tidak 

sejalan dengan Gereja akan dipandang dengan penuh 

kecurigaan dan dilakukan introgasi yang dapat berujung 

pada tiang gantungan. Agar dapat berjalan, penyensoran 

dilakukan dengan mengeluarkan indeks buku-buku 

terlarang, Paulus IV dan Paus Pius X menjadi pengawas 

dari program sensorik Vatikan. Satu Abad kemudian 

muncul penghujatan atas sistem kerja sensorik Gereja 

yang telah menjadi dogma atas ketetapan mutlak fisika 

Aristoteles dan teologi Thomas Aquinas, sehingga saat 

melakukan kritik atas kosmologi Aristotelian bisa 

mengancam keselamatan hidupnya. Karya Bernardino 

Telesio (1509-1588) dan filsuf Tommaso Campanella 

(1568-1639) dikecam sebab  penentangan mereka 

kepada fisika Aristoteles, dan Campanella dipenjarakan 

selama dua puluh tujuh tahun 

Dalam iklim politik yang keras inilah, astronom 

Italia Galileo Galilei (1564-1642) mengungkapkan 

bahwa teori Copernicus tidak salah. Pemahaman Galileo 

cenderung tertuju pada alam sebagai kitab matematika 

yang dapat dipelajari atau diperhitungkan. Salah satu 

temuan besar Galileo berupa penyempurnaan teleskop 

refraksi, dengan alat tersebut ia dapat mengamati benda-

benda langit yang jauh dari hipotesa awal. Temuan 

Galileo sedikit banyak membawa pada observasi ilmu 

pengetahuan dalam bentuk yang rasional dan bukti 

empiriknya terlihat oleh panca indera. Hubungan 

Galileo dan Gereja awalnya memang tampak harmonis, 

namun tidak bisa berlangsung lama, setelah Matteo 

Barbarini menjadi Paus Urban VIII, Galileo mendapat 

“restu” untuk melanjutkan hipotesis heliosentrisme 

dengan bahasa yang biasa. Galileo kembali 

merumuskan ide dasarnya tentang heliosentris dalam 

Dialogues on the Two World Systems. Akan tetapi, 

hipotesa Galileo mendapat ganjalan oleh kedua 

rekannya yang terlibat dalam politik di Spanyol 

sekaligus mempermalukan Galileo di muka umum yang 

berpendapat bahwa teori Copernicus tidak benar dan 

tidak meyakinkan. 

Lebih lanjut, rekan Galileo menyampaikan 

pendapat bahwa “akan terlalu berani bagi siapapun 

untuk membatasi dan mengekang kekuasaan dan 

kebijaksanaan Ilahi sekehendak sendiri”. Pada April 

1633 Galileo dipanggil ke Takhta suci dan dinilai 

bersalah sebab  pembangkangan terhadap Gereja. Persis 

dua bulan selanjutnya Galileo dipaksa bersumpah untuk 

mengakui atas kesalahan yang diperbuatnya dan 

menjalani hukuman sebagai tahanan kota. Ada banyak 

terjadi pertentangan pendapat di antara para Saintis dan 

Teolog Gerejadalam Abad Pertengahan. Perdebatan dan 

pertentangan pendapat seputar kosmologi oleh 

Copernicus dan Galileo menghiasi pemikiran manusia 

sekaligus memperteguh pernyataan, bahwa tidak ada 

yang sempurna dan pasti di bawah kolong langit, semua 

akan mengalami perubahan.  

Perkembangan pandangan ilmu pengetahuan baru 

atas hidup manusia bermula dari ilmu alam semesta, 

berupa sains fisika. Melalui transformasi pengetahuan 

yang berkembang sejak dalam tradisi Yunani, sains 

fisika telah berkembang dalam bentuk baru yang 

dipakai dalam membahasakan alam. Melalui Copernicus 

dan Galileo pandangan bahwa bumi yaitu  pusat alam 

semesta dapat digantikan dengan pandangan baru yang 

konstan. Pada perkembangan selanjutnya, disiplin ilmu 

pengetahuan lain pun melakukan transformasi besar-

besaran dalam penemuannya yang terlepas dari 

pengaruh langsung dari Tuhan. Charles Darwin (1809-

1882) bersama para penganutnya membuktikan bahwa 

manusia tidak lagi berasal dari Tuhan, melainkan 

berasal dari bentuk alami hasil evolusi alam. Ilmu 

sejarah pun mencatat pembuktian atas kitab suci yang 

tidak berasal dari Tuhan, melainkan berasal dari realitas 

kehidupan yang berkembang pada warga  saat itu 

Teologi Kristen mengalami nasib yang tidak sama 

dengan Teologi Islam dalam mengembangkan tradisi 

intelektual mereka. Teologi Islam melalui wahyu-Nya 

hampir tidak pernah mengalami persinggungan dengan 

sainspun halnya dengan teologi Kristen dan agama 

lainnya, tergantung pada cara mereka masing-masing 

dalam melakukan akselerasi dalam sains dan agama. 

Narasi sains dan agama tidak bertolak belakang dalam 

setiap agama dapat dibenarkan. Demikianlah yang 

terjadi dalam mencari titik temu antara sains dan agama, 

dimana keduanya meski berbeda tetapi memiliki ruang 

terbuka. Pergulatan agama dan sains yang terjadi dalam 

Sains Modern semata-mata hanya terjadi antara sains 

dan agama Kristen. Serangan yang datang dari kalangan 

Saintis Modern yang mengarah pada dogmatisme 

Kristen sedikit banyak mengikis keyakinan umatnya 

dalam beragama. Sikap keberagamaan yang rigid 

mengekang kehendak manusia dalam mengkreasikan 

bentuk pengetahuan mereka. 

Beda halnya jika dibandingkan dengan Islam, 

tradisi intelektual Islam justru mengalami penguatan 

dalam bidang sains dan agama. Fakta historis telah 

membuktikan, betapa agama Islam dan sains tidak 

mengalami persinggungan maupun bertolak belakang. 

Sejarah intelektual Islam mengalami tahap  

kemundurannya sejak Abad ke-12 yaitu  kenyataan 

yang tidak bisa terabaikan. Namun, faktor eksternal 

menjadi penyebab utama dalam mundurnya tradisi 

intelektualisme Islam yang berdampak pada degradasi 

ilmu pengetahuan. Jika mengacu pada data sejarah, 

saintis astronomi seperti Ibn Arabi (1165-1240) dan 

Nashir al Din Tusi (1201-1274) bisa menjadi contoh 

figur intelektual Muslim ternama pada masanya, secara 

kooperatif antara dimensi agama dan sains tidak 

mengalami benturan ataupun pertentangan. 

tahap  kemunduran sains dalam Islam bukan 

disebabkan oleh faktor internal Muslim. Faktor politik 

eksternal yang datang ke Dunia Islam melalui proses 

okupasi wilayah oleh pasukan Mongol dan 

Kolonialisme negara-negara Eropa menjadi penyebab 

kemunduran tradisi intelektual Islam. Keadaan semakin 

lemah tatkala umat Muslim terus mengalami intervensi 

dari Khan Mongol maupun Kolonialis Barat, sedikit 

harapan tradisi intelektual Islam kembali pada jalur 

sejarahnya dalam waktu singkat di tengah situasi politik 

Islam yang tidak stabil.  

Pencarian manusia akan suatu kebijaksanaan selalu 

mengarah pada kesatuan dengan ruh ketuhanan. 

Polemik yang terjadi antara sains dan agama 

berlangsung sejak lama, narasi yang terbahasakan 

mengalami reduksi makna. Sains Modern menghendaki 

penghalusan diri untuk memisahkan segala sesuatunya 

dari konteks non-ilmiah. Hal itu terjadi sebab  

observatorium Saintis alam yaitu  dunia nyata, berbeda 

dengan para Teolog yang bersumber pada wahyu. 

Sependapat dengan itu, Chittik (2010) mengafirmasi 

antara tradisi intelektual Islam dan Sains Modern 

memiliki perbedaan mendasar. Pencarian kebijaksanaan 

dalam Islam selalu mengarah pada kesatuan dengan 

cahaya Tuhan (emanasi). Sedangkan para Saintis 

Modern ingin mencapai pemahaman yang lebih pasti 

dan akurat atas objek yang dapat meningkatkan kendali 

atas lingkungan, tubuh, dan warga  luas. 

Sains yang  berkembang sampai hari ini telah 

memberikan banyak manfaat dalam kehidupan umat 

manusia. Peran sains telah mengubah cara pandang 

manusia dalam melihat realitas terhadap dirinya, baik 

secara positif maupun negatif. Berawal dari sains alam, 

dunia berubah menuju kemajuannya yang begitu pesat, 

eksplorasi alam oleh manusia dilakukan tanpa 

berkesudahan. Peran agama tidak terbatas dalam aspek 

empirik dan rasional seperti dalam sains, agama 

memberikan penjelasan misteri kehidupan secara intuitif 

melalui wahyu Illahi. Meninggalkan sains dalam 

beragama tidak baik, dan meninggalkan agama dalam 

sains, kehidupan manusia menjadi kelam. Gerak 

seimbang dan keselarasan antara sains dan agama dalam 

kehidupan manusia dibutuhkan demi menjaga tata 

kosmos yang harmonis. Kemelut agama dan sains dalam 

sejarah umat manusia sebaiknya dihindarkan. sebab , 

baik sains maupun agama memiliki penjelasan masing-

masing yang bisa diterima. Secara proporsional, melalui 

akal dan wahyu manusia bisa menciptakan akselerasi 

yang dinamis dengan alam sekitarnya demi menjaga 

keserasian alam semesta.