Kosmologi merupakan sains mengenai struktur spasio-temporal serta komposisi skala besar
alam semesta. Dalam sains modern, dunia barat mengklasifikasi kosmologi sebagai satu disiplin filsafat kealaman atau Philosophyof
Nature. Tradisi filsafat ini telah mengalami perkembangannya dari masa ke masa melalui pembahasan epistemologi inderawi dan
empirik. Interaksi sains dan agama pun mengambil beragam bentuknya. Temuan-temuan baru ilmu pengetahuan saat ini telah
menantang kembali gagasan keagamaan klasik dengan beragam cara pendekatan yang dilakukan oleh para Ilmuwan, Teolog, dan
warga luas. Kosmologi dalam objek kajiannya telah berubah sedemikian rupa ke dalam bentuk terpisah dan berada dalam ruang
hampa, terlepas dari tradisi keagamaan (Islam). Interaksi sains dan agama dapat ditemukan sejak lama, terutama dalam beberapa
narasi sejarah Islam dan Al-quran. Seperti disebutkan dalam QS. 32:4 "Allah lah yang menciptakan langit dan Bumi dan apa yang
ada di antara keduanya dalam waktu enam hari". Secara implisit ayat ini menyampaikan pengetahuan kepada manusia melalui
wahyu sekaligus menjadi pertanda, betapa sains dan agama tidak ada kontradiksi. Makalah ini berusaha menjelaskan bagaimana
agama dapat menjadi titik tolak bagi umat manusia pada umumnya dan umat muslim khususnya dalam memajukan sains. Selain itu,
argumentasi utama dalam makalah ini mengungkapkan bahwa sains dan agama erat kaitannya dengan tradisi intelektual Islam yang
sedikit banyak terinspirasi dari spiritualitas keagamaan, terutama berasal dari kitab suci Al-Qur’an.
Era Globalisasi merupakan masa dimana dunia dipenuhi
oleh berbagai kekacauan. Tingkat kesenjangan antara
kaya-miskin semakin terpisah jauh dan cukup
memprihatinkan kita semua. Menurut para analis
peradaban dunia Ken Wilber (2012) berasal dari Francis
Fukuyama, Samuel Huntington, dan Thomas Friedman
mengatakan bahwa sedikit banyak telah tampak
pengaruh dari globalisasi. Negara Adi Daya dan negara-
negara maju secara material sedang berlomba dalam
menjalankan Imperialisme baru dalam bentuk
kriminalisasi berupa kejahatan kemanusiaan dengan
beragam dalih keamanan terhadap serangan terorisme
yang bisa mengancam kedaulatan sebuah negara kapan
saja.
Saintis melihat bahwa pandangan dunia menjadi
akar masalah utama dari persoalan kemanusiaan yang
muncul. Kelahiran revolusi teknik dan ilmu
pengetahuan setidaknya telah menyumbangkan
pengaruhnya pada krisis dunia (kemanusiaan) sampai
hari ini. Bermula dari revolusi ilmu pengetahuan, dunia
secara masif dan eksplosif berubah menuju pada gradasi
yang cukup ideal, meski masih ada banyak kritik di
dalamnya. Hal mendasar daripada Sains Modern
digugat oleh banyak tokoh, seperti Fritjhof Capra,
Friedrich Nietzsche, Fazlur Rahman, dan Seyyed
Hossein Nasr. sebab itu, muncul seruan perombakan
paradigma Sains Modern (terutama berasal dari kritik
Seyyed Hossein Nasr) dinilai pincang dan ada
kelemahan prinsip sebab semata bersumber pada
epistemologi inderawi dan empirik semata. Hal ini,
menurut Nasr dapat memicu satu agama baru
dalam tradisi ilmu pengetahuan yang akan mengarah
pada Materialisme dan Saintisme. Lebih jauh kritik Nasr
terhadap Sains Modern yang pincang ini jika masih
menjadi pengadil atau wasit, maka tidak ada
kemungkinan pintu terbuka menuju yang maha tak
terbatas. Kemungkinan besarnya yaitu
mereka akan mengkonstruksi sains palsu yang dapat
memicu kepincangan baru yang terus
bermetamorfosis.
Berawal dari kosmologi, pandangan dunia
merambah ke berbagai segmen warga luas. Sejak
revolusi Copernicus, perdebatan tentang bentuk langit
menjadi diskusi publik, melalui dogma agama
warga mempercayai bahwa Bumi merupakan pusat
alam semesta, yang lalu diterima menjadi Geosentrisme.
Melalui pemikiran Copernicus (seorang ilmuwan asal
Polandia) dan didukung oleh Galileo Galilei, menyebut
bumi bergerak mengelilingi matahari (Heliosentris) dan
bumi bukan pusat bagi alam semesta. Gagasan tentang
alam semesta dan realitas secara umum ini pada
perkembangannya dikenal dengan nama kosmologi.
Melalui perdebatan panjang tentang kosmologi inilah
dialektika pemikiran manusia berkembang maju dan
pesat setelah epistemologi indrawi dan empirik diterima
sebagai dasar atau patokan dalam proses pencarian ilmu
pengetahuan modern.
Tradisi modern Barat menyandarkan pada nilai
tertinggi berupa aspek Rasionalisme. Kaum Rasionalis
Barat berusaha mewujudkan konsepsi-konsepsi alam
semesta dalam berbagai bentuk baru dengan
bernafaskan saintifik menjadi sebuah sains alternatif.
Dalam usaha melakukan itu, selalu ada usaha untuk
menafikan aspek tradisional (Teologi, Mitos, Cerita,
dsb.) dan lebih mengedepankan rasionalitas sebagai
upaya demitologisasi untuk mencapai bentuk sains yang
lebih halus. Menurut Daoed Joesoef, inti dari sains atau
ilmu pengetahuan tidak lain ialah melatih berpikir
abstrak, dimana abstraksi diperlukan untuk pembinaan
kesadaran manusia dalam ber-Tuhan, sebab konsep
ber-Tuhan dalam [agama] Islam yaitu abstrak
(2010:175). Jadi, mempelajari dan memperdalam
sebuah ilmu pengetahuan dalam agama Islam
merupakan bentuk par excellence dari kepercayaan
manusia (teisme) terhadap Tuhan sebagai Sang
Pencipta.
Teologi menjadi sumber yang paling banyak
berkontribusi dalam memahami masalah kosmologi.
Hampir semua agama memiliki cerita tentang
penciptaan alam semesta baik dalam agama Hindu,
Budha, Yahudi, Kristen, dan Islam. Temuan-temuan
baru ilmu pengetahuan saat ini telah menantang kembali
gagasan keagamaan klasik dengan beragam cara
pendekatan yang dilakukan oleh para Ilmuwan, Teolog,
dan warga luas. Kosmologi dalam objek kajiannya
telah berubah sedemikian rupa ke dalam bentuk terpisah
dan berada dalam ruang hampa, terlepas dari tradisi
keagamaan.
Berkaitan dengan kosmologi Islam, wahyu
merupakan sumber utama bagi umat Islam yang
terangkum dalam bentuk Al-Qur’an. Dalam beberapa
ayat Al-Qur’an disebutkan terkait gejala alam semesta
sejak penciptaan (ayat-ayat kauniyah) sampai mengarah
pada hal yang transenden, apakah semesta memiliki
awal dan akan menuju titik akhir? Tidak sedikit respon
dari para saintis yang percaya bahwa alam semesta
memiliki awal dan akan menuju titik akhir (Alfadan
Omega), meski ada banyak juga para saintis yang tidak
sependapat dengan pendapat di atas.
Studi ini berusaha mengembalikan tradisi kritis
Islam yang dibangun melalui hipotesa dan argumentasi
berdasar pada Alquran. “Dialah yang menunjukkan
kepadamu dalil-dalil kekuasaan-Nya dan menurunkan
padamu rahmat dari langit” (QS. 40:13). Tujuan dari
pada penelitian ini ialah membantu mengantarkan
pembaca pada kajian interdisipliner, berupa kosmologi
dan teologi yang dapat diintegrasikan. Sejalan dengan
itu, studi ini juga akan mencoba mengikis kemelut atau
polemik yang terjadi antara sains dan agama. Sehingga,
besar harapan antara sains dan agama tidak lagi terjadi
kontradiksi, melainkan keduanya dapat mengisi ruang
kosong serta saling melengkapi.
Hubungan antara sains dan agama memang menarik
untuk dikaji secara mendalam, terutama dalam Islam.
Agama Islam dan kosmologi memiliki hubungan erat,
keduanya memiliki tujuan besar yang dapat saling
membantu dalam proses mencari makna. Tujuan dari
sains yaitu memahami hubungan sebab akibat di
antara fenomena-fenomena alam, sedangkan agama
ialah mengikuti suatu jalan hidup di dalam kerangka
makna yang jauh lebih besar . Sekalipun
keduanya terkadang mengarah pada ruang dimensi yang
berbeda, agama mengacu pada dimensi esoteris dan
sains berada pada ruang eksoteris, dan tidak menutup
kemungkinan ada konsep penghubung di antara
keduanya.
Kosmologi Islam erat kaitannya dengan Al-Qur’an
sebagai sumber inspirasi utama sains atau ilmu
pengetahuan diperoleh. Di dalam Alquran ada
banyak ayat yang menyebut terkait proses penciptaan
alam semesta maupun hukum-hukum yang mengatur
dan menguasainya. Dalam pada itu, Al-Qur’an
menawarkan bentuk pemahaman yang terbuka dan
bukan bentuk final (dogma) yang jauh dari ragam
penafsiran terhadap isi teks Al-Qur’an. Islam sebagai
agama samawi memiliki prinsip dasar monoteistik yang
bersifat universal, berupa keyakinan kepada Tuhan yang
Maha Esa (Tauhid). Prinsip dasar ini pada hakekatnya
merupakan jawaban atas berbagai pertanyaan yang
paling fundamental, tentang siapakah causaprima dalam
alam semesta ini? Serta bagaimana relasi manusia di
dalam alam semesta?
Kosmologi Islam bermula dari pengetahuan bahwa
alam semesta memegang kunci menuju keabadian jiwa
manusia. Pandangan ini melihat kosmos yang sarat akan
makna dan tujuan. Ia (kosmos) memiliki syarat mutlak
dengan Pencipta Agung, yaitu Tuhan. William Chittick
(2010) menyebut manusia pada dasarnya yaitu
makhluk teomorfis, di balik segala keterbatasan yang di
miliki manusia, ia memiliki sifat Ilahiah. Hal ini tidak
berarti menuhankan manusia, sebab zat Tuhan kekal
abadi sedangkan manusia akan menuju mortalitas.
Berkaitan dengan itu, manusia perlu mengambil peran
aktif dalam menghubungkan dirinya kepada Tuhan
dalam realitas alam semesta yang memiliki tujuan
hidup.
Jauh sebelum manusia mengenal teknik dan
beragam ilmu pengetahuan, pergerakan kosmik alam
semesta mengajarkan jenis ilmu pengetahuan dalam
bentuk kuno. Manusia mengamati perubahan demi
perubahan yang berlangsung setiap hari, ia bekerja keras
di bawah kolong langit hingga matahari berganti bulan,
lalu terjadi proses pergantian siang dan malam. Hari
demi hari manusia terus mengamati perubahan alam
yang terjadi membentuk sebuah kognisi tentang langit
dan bumi yang dapat diramalkan. Akhirnya manusia
menemukan suatu kebahagiaan diri dalam abstraksi
pengetahuan yang menurut kepentingan
pengetahuannya menata dan menaklukan dunia materi
Kedudukan manusia dalam Al-Qur’an yaitu
sebagai makhluk sempurna di antara makhluk lainnya
dan Tuhan yaitu sang penciptanya. Bersama akal
manusia dapat menentukan jalan hidupnya sendiri, lepas
dari interfensi makhluk lainnya. Maka manusia
memiliki potensi untuk melakukan perubahan atau
mengkreasi bentuk dunia melalui kemampuannya dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi suatu budaya
yang membentuk peradaban manusia yang ideal.
Kosmologi ditinjau dari segi maknanya berupa
ilmu yang mempelajari tentang keteraturan alam
semesta. aku memberi sebuah
pengertian tentang kosmologi sebagai sains mengenai
struktur spasio-temporal serta komposisi skala besar
alam semesta. Istilah kosmos sendiri sering dilawankan
dengan kata chaos yang artinya keadaan kacau balau,
tanpa bentuk . Artinya, alam semesta
dalam proses penciptaan melalui pola tidak teratur, lalu
berproses secara ritmis dan dinamis kemudian menjadi
teratur. Proses inilah yang lalu dinamakan sebagai
waktu atau durasi dalam sebuah penciptaan. Sejalan
dengan itu, Al-Qur’an seacara tegas menyebutkan
tentang proses penciptaan, serta hukum-hukum yang
mengatur dan menguasainya.
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan Bumi dalam
enam masa, dan singgasana-Nya (sebelum itu) di atas
air” (Q.S. 11:7).
“[Dia] yang menciptakan langit dan Bumi dan apa yang
ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian
Dia bersemayam di atas ‘Arsy” (Q.S. 25:59).
“Dia mengatur urusan dari langit ke Bumi kemudian
(urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang
kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu” (Q.S.
32:5).
Alam semesta atau kosmos menurut Al-Qur’an
diciptakan secara berpasang-pasangan. Pasangan yang
sering disebut dalam Al-Qur’an sebagai gambaran atau
representasi bagi alam raya yaitu langit dan bumi.
Dalam ayat Al-Qur’an terkait Langit dan Bumi menjadi
sebuah bentuk imajiner daripada alam semesta secara
universal. “Dan segala-galanya Kami ciptakan serba
berpasang-pasangan” (QS. 51:49). Allah menyebut kata langit dalam
Al-Qur’an sebanyak 120 kali dalam bentuk tunggal dan
190 kali dalam bentuk jamak, dan kata Bumi digunakan
460 kali. Serta, kata langit-langit dan Bumi
diungkapkan sedikit banyak 200 kali. Penyebutan kata
Langit-Bumi dan perputaran siang-malam begitu
banyak dalam Al-Qur’an, sehingga tidak menutup
kemungkinan ada makna di balik itu semua, bagi yang
memikirkannya (QS. 2:164, 3:27, 3:190, 13:3, 16:12).
, seseorang dalam mengkaji
kosmologi Islam harus terbiasa dengan kejadian dan
keadaan eksistensi yang dikemukakan dengan istilah-
istilah abstrak seperti wujud murni, hakiki, dan realitas
absolut yang jauh dari pendekatan orang-orang barat.
Manusia sebagai ciptaan-Nya termasuk dalam
mikrokosmos mampu melihat aspek realitas yang
tersembunyi melalui tradisi mistik dalam bentuk re-ligio
“mengingat kembali pada realitas absolut”. Demikian,
kosmologi Islam melalui Al-Qur’an mampu
mengarahkan sekaligus mengajarkan manusia pada
aspek ideasional menuju pada dunia spiritual yang tak
terbatas.
Tidak sedikit Al-Qur’an menggambarkan langit
sebagai tempat bersemayam para Dewa, lokus bagi alam
Malakut (Malaikat). Langit bersifat aktif sebagai
pemberi kepada bumi yang reseptif menerima apa saja
yang diturunkan dari langit sebagai anugerah terberi
dalam bentuk cinta kasih Ilahi. “Dan dari air kami
jadikan segala sesuatu yang hidup” (Q.S. 21:30).
Melalui air (hujan) Tuhan menghidupkan sekaligus
dapat mematikan, jika Tuhan berkehendak. “Jika Kami
kehendaki, niscaya Kami turunkan kepada mereka
mukjizat dari langit, sehingga mereka tunduk
kepadanya” (Q.S. 26:4).
Al-Qur’an menempati posisi sentral dalam
pandangan hidup umat Muslim. Al-Qur’an merupakan
firman Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad
sebagai petunjuk bagi manusia tentang agama dan alam
semesta beserta seluruh isinya. Artinya, Al-Qur’an
menduduki peran strategis, dimana Al-Qur’an menjadi
kitab pembelajaran Tuhan kepada manusia, setelah
melalui penafsiran terlebih dahulu sebagai sarana untuk
memahaminya. Dalam satu pengertian, alam semesta
mengambil bagian dalam Al-Qur’an yang berbicara
kepada manusia sebagai ciptaan dan sekaligus
menampilkan eksistensi Tuhan. sifat-sifat
Tuhan dapat dikenali hanya jika terwujud melalui
benda-benda dan aktivitas. Lebih lanjut, Murata
menjelaskan semua benda bagaimanapun juga yaitu
tanda-tanda dari Tuhan. Artinya, segala apa yang ada di
langit dan alam semeseta ini akan mengarah pada wujud
sang causaprima, yaitu Tuhan.
Melalui ayat-ayat kauniyah (penciptaan) Tuhan
menugaskan manusia untuk membaca dan berpikir lalu
diaplikasikan dalam kehidupan nyata atas apa yang
telah mereka dapatkan. “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan Bumi, silih bergantinya malam
dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa
yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air Dia
hdupkan Bumi sesudah mati (kering) nya dan Dia
sebarkan di Bumi itu segala jenis hewan dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan Bumi; sungguh ada tanda-tanda
(keesaan allah) bagi kaum yang memikirkan” (Q.S.
2:164). “Dan Dialah Tuhan yang membentangkan Bumi
dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai
padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan
berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada
siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan” (Q.S. 13:3).
Tuhan telah memerintahkan kepada manusia sejak
pertama kali Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad
dalam bentuk perintah, “Bacalah!”. mengafirmasi wahyu sebagai cara Tuhan
mengungkapkan eksistensi-Nya kepada manusia,
sebagaimana Tuhan telah jelaskan itu dalam Al-Qur’an
surat al Fatihah sebagai pembuka dan diakhiri dengan
surat al Nas (manusia).
Ayat Al-Qur’an di atas secara tidak langsung
mengajak umat manusia secara maksimal menggunakan
akalnya, sebab Tuhan lewat dinamika alamnya yang
kosmis (teratur) mengajarkan manusia tentang banyak
hal. Terutama dalam sains, Galileo Galilei berpendapat
terkait akselerasi agama dan sains yang dikutip oleh Ian
G. Barbour . Galileo menyatakan bahwa
tafsiran Alkitab [wahyu] harus menyesuaikan diri
dengan perkembangan kemampuan manusia dan
menggunakan wacana yang berkembang. Lebih lanjut,
Galileo meyakini bahwa kita dapat belajar
“menggambar” kosmos dari Kitab Alam dan Kitab Suci
yang keduanya bersumber dari Tuhan dan sebab nya
tidak mungkin bertentangan.
Kemelut Agama dalam sains
Sebagian besar orang setuju dengan pendapat
Copernicus dan Galileo yang menyatakan bahwa bumi
tidak lagi sebagai pusat alam semesta. Perdebatan
panjang tentang kosmos ini terjadi dalam sejarah umat
manusia, terhitung sejak Abad ke-15 sampai abad ke-
20. Temuan mutakhir pada abad ke-20 tentang sejarah
panjang kosmos yang berasal dari Ledakan Besar atau
Dentuman Besar (Big Bang) menantang kembali
lahirnya sentimen keagamaan dalam warga luas.
Keresahan itu tampaknya dirasakan oleh para Saintis
dan Teolog yang merasa tidak nyaman apabila doktrin
penciptaan dan teori ilmiah dipadukan tanpa ada
pemisahan, sebab keduanya melayani fungsi yang
berbeda dalam kehidupan manusia.
Sejak Abad ke-12 sains Eropa telah mengadopsi
kosmologi yang berasal dari fisika Aristoteles dan
astronom Mesir, Ptolomaeus. Bumi merupakan pusat
bagi alam semesta, gemerlapnya langit dengan segala
keindahannya seperti lampu bagi planet Bumi sebagai
tempat tinggal manusia. Uraian yang disampaikan oleh
Ptolomaeus setidaknya memuaskan pengetahuan
manusia pada Abad Pertengahan. Sampai datang
kemudian Copernicus yang mampu memutarbalikkan
pemahaman lewat observasinya membuat hipotesis baru
tentang bentuk alam semesta.
Nicolaus Copernicus (1473-1543) membuat
hipotesis baru tentang pergerakan planet Bumi
mengelilingi Matahari. Secara radikal Copernicus
hendak melakukan reformasi besar-besaran dalam
sebuah paradigma pemikiran yang telah mapan
sebelumnya, tentang bumi sebagai pusat alam semesta.
Pandangan Copernicus mendapat kritik secara terbuka,
selain telah melakukan reformasi terhadap ilmu
pengetahuan, terlebih sebab ia melanggar prinsip fisika
Aristoteles. Teori Copernicus menuntut orang-orang
untuk tidak lagi percaya pada bukti indrawi dan
menerima berdasarkan iman semata, sebab itu perlu
dilakukan kritik terlebih dahulu
Menurut Copernicus, bumi mempunyai dua
macam gerak, perputaran sehari-hari pada porosnya dan
perputaran tahunan mengitari Matahari
Hipotesa Copernicus di atas dimuat dalam Sub
Imaginationem dalam cara tradisional. Tatkala
Copernicus sampai di penghujung hidupnya, tahun 1543
tesisnya De Revolutionibus melalui Andreas Osiander
(1498-1552) selaku editor mendapat restu dari Gereja
Vatikan untuk diterbitkan. Butuh waktu lama bagi
Copernicus agar bisa mempublikasikan hipotesanya,
akibat Gereja pada Abad Pertengahan memegang
otoritas penting dalam bidang moral dan keagamaan
warga Eropa. Secara cermat Copernicus
memperhatikan dominasi Gereja, sehingga ia lebih
mencari jalan tengah, supaya hipotesanya tidak
percuma. Pada tahun 1616, setelah Copernicus
bersepakat dengan Paus di Vatikan karyanya masuk
dalam indeks buku terlarang oleh pihak Gereja
Abad Pertengahan menjadi perdebatan sekaligus
perebutan Saintis melawan dominasi Gereja. Terhitung
sejak Abad ke-16 sifat tidak toleran tampak pada
otoritas Gereja yang hendak melakukan sensor terhadap
segala sesuatunya yang dapat mendiskreditkan Gereja
sebagai ortodoksi absolut. Semua pandangan yang tidak
sejalan dengan Gereja akan dipandang dengan penuh
kecurigaan dan dilakukan introgasi yang dapat berujung
pada tiang gantungan. Agar dapat berjalan, penyensoran
dilakukan dengan mengeluarkan indeks buku-buku
terlarang, Paulus IV dan Paus Pius X menjadi pengawas
dari program sensorik Vatikan. Satu Abad kemudian
muncul penghujatan atas sistem kerja sensorik Gereja
yang telah menjadi dogma atas ketetapan mutlak fisika
Aristoteles dan teologi Thomas Aquinas, sehingga saat
melakukan kritik atas kosmologi Aristotelian bisa
mengancam keselamatan hidupnya. Karya Bernardino
Telesio (1509-1588) dan filsuf Tommaso Campanella
(1568-1639) dikecam sebab penentangan mereka
kepada fisika Aristoteles, dan Campanella dipenjarakan
selama dua puluh tujuh tahun
Dalam iklim politik yang keras inilah, astronom
Italia Galileo Galilei (1564-1642) mengungkapkan
bahwa teori Copernicus tidak salah. Pemahaman Galileo
cenderung tertuju pada alam sebagai kitab matematika
yang dapat dipelajari atau diperhitungkan. Salah satu
temuan besar Galileo berupa penyempurnaan teleskop
refraksi, dengan alat tersebut ia dapat mengamati benda-
benda langit yang jauh dari hipotesa awal. Temuan
Galileo sedikit banyak membawa pada observasi ilmu
pengetahuan dalam bentuk yang rasional dan bukti
empiriknya terlihat oleh panca indera. Hubungan
Galileo dan Gereja awalnya memang tampak harmonis,
namun tidak bisa berlangsung lama, setelah Matteo
Barbarini menjadi Paus Urban VIII, Galileo mendapat
“restu” untuk melanjutkan hipotesis heliosentrisme
dengan bahasa yang biasa. Galileo kembali
merumuskan ide dasarnya tentang heliosentris dalam
Dialogues on the Two World Systems. Akan tetapi,
hipotesa Galileo mendapat ganjalan oleh kedua
rekannya yang terlibat dalam politik di Spanyol
sekaligus mempermalukan Galileo di muka umum yang
berpendapat bahwa teori Copernicus tidak benar dan
tidak meyakinkan.
Lebih lanjut, rekan Galileo menyampaikan
pendapat bahwa “akan terlalu berani bagi siapapun
untuk membatasi dan mengekang kekuasaan dan
kebijaksanaan Ilahi sekehendak sendiri”. Pada April
1633 Galileo dipanggil ke Takhta suci dan dinilai
bersalah sebab pembangkangan terhadap Gereja. Persis
dua bulan selanjutnya Galileo dipaksa bersumpah untuk
mengakui atas kesalahan yang diperbuatnya dan
menjalani hukuman sebagai tahanan kota. Ada banyak
terjadi pertentangan pendapat di antara para Saintis dan
Teolog Gerejadalam Abad Pertengahan. Perdebatan dan
pertentangan pendapat seputar kosmologi oleh
Copernicus dan Galileo menghiasi pemikiran manusia
sekaligus memperteguh pernyataan, bahwa tidak ada
yang sempurna dan pasti di bawah kolong langit, semua
akan mengalami perubahan.
Perkembangan pandangan ilmu pengetahuan baru
atas hidup manusia bermula dari ilmu alam semesta,
berupa sains fisika. Melalui transformasi pengetahuan
yang berkembang sejak dalam tradisi Yunani, sains
fisika telah berkembang dalam bentuk baru yang
dipakai dalam membahasakan alam. Melalui Copernicus
dan Galileo pandangan bahwa bumi yaitu pusat alam
semesta dapat digantikan dengan pandangan baru yang
konstan. Pada perkembangan selanjutnya, disiplin ilmu
pengetahuan lain pun melakukan transformasi besar-
besaran dalam penemuannya yang terlepas dari
pengaruh langsung dari Tuhan. Charles Darwin (1809-
1882) bersama para penganutnya membuktikan bahwa
manusia tidak lagi berasal dari Tuhan, melainkan
berasal dari bentuk alami hasil evolusi alam. Ilmu
sejarah pun mencatat pembuktian atas kitab suci yang
tidak berasal dari Tuhan, melainkan berasal dari realitas
kehidupan yang berkembang pada warga saat itu
Teologi Kristen mengalami nasib yang tidak sama
dengan Teologi Islam dalam mengembangkan tradisi
intelektual mereka. Teologi Islam melalui wahyu-Nya
hampir tidak pernah mengalami persinggungan dengan
sainspun halnya dengan teologi Kristen dan agama
lainnya, tergantung pada cara mereka masing-masing
dalam melakukan akselerasi dalam sains dan agama.
Narasi sains dan agama tidak bertolak belakang dalam
setiap agama dapat dibenarkan. Demikianlah yang
terjadi dalam mencari titik temu antara sains dan agama,
dimana keduanya meski berbeda tetapi memiliki ruang
terbuka. Pergulatan agama dan sains yang terjadi dalam
Sains Modern semata-mata hanya terjadi antara sains
dan agama Kristen. Serangan yang datang dari kalangan
Saintis Modern yang mengarah pada dogmatisme
Kristen sedikit banyak mengikis keyakinan umatnya
dalam beragama. Sikap keberagamaan yang rigid
mengekang kehendak manusia dalam mengkreasikan
bentuk pengetahuan mereka.
Beda halnya jika dibandingkan dengan Islam,
tradisi intelektual Islam justru mengalami penguatan
dalam bidang sains dan agama. Fakta historis telah
membuktikan, betapa agama Islam dan sains tidak
mengalami persinggungan maupun bertolak belakang.
Sejarah intelektual Islam mengalami tahap
kemundurannya sejak Abad ke-12 yaitu kenyataan
yang tidak bisa terabaikan. Namun, faktor eksternal
menjadi penyebab utama dalam mundurnya tradisi
intelektualisme Islam yang berdampak pada degradasi
ilmu pengetahuan. Jika mengacu pada data sejarah,
saintis astronomi seperti Ibn Arabi (1165-1240) dan
Nashir al Din Tusi (1201-1274) bisa menjadi contoh
figur intelektual Muslim ternama pada masanya, secara
kooperatif antara dimensi agama dan sains tidak
mengalami benturan ataupun pertentangan.
tahap kemunduran sains dalam Islam bukan
disebabkan oleh faktor internal Muslim. Faktor politik
eksternal yang datang ke Dunia Islam melalui proses
okupasi wilayah oleh pasukan Mongol dan
Kolonialisme negara-negara Eropa menjadi penyebab
kemunduran tradisi intelektual Islam. Keadaan semakin
lemah tatkala umat Muslim terus mengalami intervensi
dari Khan Mongol maupun Kolonialis Barat, sedikit
harapan tradisi intelektual Islam kembali pada jalur
sejarahnya dalam waktu singkat di tengah situasi politik
Islam yang tidak stabil.
Pencarian manusia akan suatu kebijaksanaan selalu
mengarah pada kesatuan dengan ruh ketuhanan.
Polemik yang terjadi antara sains dan agama
berlangsung sejak lama, narasi yang terbahasakan
mengalami reduksi makna. Sains Modern menghendaki
penghalusan diri untuk memisahkan segala sesuatunya
dari konteks non-ilmiah. Hal itu terjadi sebab
observatorium Saintis alam yaitu dunia nyata, berbeda
dengan para Teolog yang bersumber pada wahyu.
Sependapat dengan itu, Chittik (2010) mengafirmasi
antara tradisi intelektual Islam dan Sains Modern
memiliki perbedaan mendasar. Pencarian kebijaksanaan
dalam Islam selalu mengarah pada kesatuan dengan
cahaya Tuhan (emanasi). Sedangkan para Saintis
Modern ingin mencapai pemahaman yang lebih pasti
dan akurat atas objek yang dapat meningkatkan kendali
atas lingkungan, tubuh, dan warga luas.
Sains yang berkembang sampai hari ini telah
memberikan banyak manfaat dalam kehidupan umat
manusia. Peran sains telah mengubah cara pandang
manusia dalam melihat realitas terhadap dirinya, baik
secara positif maupun negatif. Berawal dari sains alam,
dunia berubah menuju kemajuannya yang begitu pesat,
eksplorasi alam oleh manusia dilakukan tanpa
berkesudahan. Peran agama tidak terbatas dalam aspek
empirik dan rasional seperti dalam sains, agama
memberikan penjelasan misteri kehidupan secara intuitif
melalui wahyu Illahi. Meninggalkan sains dalam
beragama tidak baik, dan meninggalkan agama dalam
sains, kehidupan manusia menjadi kelam. Gerak
seimbang dan keselarasan antara sains dan agama dalam
kehidupan manusia dibutuhkan demi menjaga tata
kosmos yang harmonis. Kemelut agama dan sains dalam
sejarah umat manusia sebaiknya dihindarkan. sebab ,
baik sains maupun agama memiliki penjelasan masing-
masing yang bisa diterima. Secara proporsional, melalui
akal dan wahyu manusia bisa menciptakan akselerasi
yang dinamis dengan alam sekitarnya demi menjaga
keserasian alam semesta.