Minggu, 29 Desember 2024

amsal 21

 


apa yang 

menyenangkan mata, dengan harapan bahwa itu akan me-

nyenangkan rasa. namun  biarlah segala pikiranmu yang sung-

guh-sungguh membetulkan kesalahan-kesalahan tangkapan 

indramu, dan meyakinkan engkau bahwa apa yang tampak me-

nyenangkan sebenarnya menyakitkan, supaya engkau menetap-

kan hati untuk menentangnya. Janganlah hati berjalan menu-

ruti mata, sebab mata yaitu  pemandu yang menipu.”  

2. “Jangan belagak berani menghadapi pesona dan daya pikat 

dari dosa ini ataupun dosa-dosa lain. Jangan melihat, jangan 

sampai engkau bernafsu dan memetik buah terlarang.” Perhati-

kanlah, orang yang mau dijauhkan dari dosa apa saja harus 

menjauhkan diri dari segala peluang dan perbuatan awal yang 

menuju dosa itu. Ia harus takut untuk datang dekat-dekat di 

sekitar godaannya, supaya jangan ia dikalahkan olehnya. 

II. Salomo menunjukkan banyaknya akibat yang merusak dari dosa 

kemabukan, untuk menegaskan peringatan ini. Waspyaitu  ter-

hadap umpan,   sebab  takut pada kailnya: kemudian ia memagut 

(ay. 32). Semua dosa akan berakhir dalam kepahitan, dan ter-

utama dosa ini. Ia memagut seperti ular. saat  si pemabuk dibuat 

sakit   sebab  minuman yang berlebihan, ia dilemparkan olehnya 

ke dalam kantuk atau semacam penyakit yang mematikan, diku-

ras dan dihabiskan harta bendanya, terutama jika  hati nu-

raninya tersadar dan ia tidak bisa merenungkan perbuatannya 

tanpa perasaan ngeri dan marah terhadap dirinya sendiri. namun  

yang terburuk dari semuanya, pada akhirnya, yaitu  saat  ca-

wan kemabukan berubah menjadi cawan kegentaran, cawan mur-

ka Tuhan, yang ampas-ampasnya harus ia minum untuk selama-

lamanya, dan ia tidak akan diberi setetes air pun untuk menye-

jukkan lidahnya yang terbakar. Untuk melepaskan kekuatan dari 

godaan yang ada  dalam kesenangan dosa, pikirkanlah peng-

hukuman apa yang akan datang nanti dan bagaimana akhirnya 

jika tidak dicegah dengan pertobatan. Pada akhirnya ia memagut 

(begitulah kata yang digunakan di sini). Oleh sebab itu, pikirkan-

lah apa jadinya ia pada akhirnya. namun  sang penulis yang ter-

ilhami ini memilih untuk menjelaskan secara rinci akibat-akibat 

yang merusak dari dosa ini sebagaimana yang terjadi pada saat 

sekarang dan yang bisa dirasakan orang. 

1. Dosa itu menyeret orang ke dalam berbagai perselisihan, mem-

buat mereka berselisih satu dengan yang lain, dan mengata-

kan serta melakukan apa yang memberikan alasan bagi orang 

lain untuk berselisih dengan mereka (ay. 29). Salomo bertanya, 

siapa mengaduh? Siapa mengeluh? Siapa yang tidak, di dunia 

ini? Banyak orang mengaduh dan mengeluh, dan tidak bisa 

menghindarinya. namun  para pemabuk dengan sengaja mencip-

takan kesakitan dan keluhan bagi diri mereka sendiri. Orang-

orang yang bertengkar pasti akan mengaduh dan mengeluh. Dan 

para pemabuk yaitu  orang-orang bodoh yang bibirnya 

menimbulkan perbantahan. jika  anggur masuk, maka akal 

budi keluar dan amarah naik. Dan dari situ timbullah segala 

macam keributan, perebutan, dan pertengkaran para pemabuk 

di antara cawan-cawan mereka. Dengan demikian, banyak 

tuntutan hukum yang menjengkelkan dan menghancurkan 

pun dimulai. Ada keluh kesah, pertengkaran dengan kata-kata, 

dan perbantahan dengan saling menggunakan kata-kata pe-

das. Dan, ini tidak berhenti sampai di situ: engkau akan men-

dapat cidera tanpa sebab,   sebab  para pemabuk tidak mampu 

melihat penyebabnya, dan oleh   sebab  itu mereka memukul-

mukul ke sana kemari tanpa sedikit pun pertimbangan meng-

apa atau untuk apa, dan mereka sendiri harus bersiap-siap 

untuk diperlakukan serupa. Cidera yang diterima orang dalam 

membela negara mereka dan hak-haknya yang sah yaitu  

kehormatan mereka. namun , cedera tanpa sebab, yang diterima 

  sebab  melayani hawa nafsu, yaitu  tanda bagi nama buruk. 

Bahkan, para pemabuk mencederai bagian tubuh mereka 

sendiri yang halus, sebab mata mereka merah, yang merupa-

kan gejala dari peradangan di dalam batin. Penglihatan mere-

ka diperlemah olehnya, dan penampilan mereka menjadi bu-

ruk. Hal ini terjadi,  

(1)   sebab  minum-minum terlalu lama, duduk dengan anggur 

sampai jauh malam, dan menghabiskan waktu untuk ber-

mabuk-mabukan bersama teman-teman, padahal seharus-

nya waktu itu dihabiskan untuk melakukan pekerjaan 

yang bermanfaat atau untuk tidur, yang akan menyegarkan 

badan untuk bekerja (ay. 30). Oh, betapa banyaknya jam-

jam berharga yang disia-siakan seperti itu oleh beribu-ribu 

orang, dan setiap dari mereka akan dimintai pertanggung-

jawaban pada hari penghakiman agung! 

(2)   sebab  meminum minuman yang keras dan memabukkan. 

Mereka pergi ke sana kemari untuk mencari anggur yang 

akan menyenangkan mereka. Yang mereka tanyakan ha-

nyalah, “Di mana minuman keras yang terbaik?” Mereka 

datang mengecap anggur campuran, yang paling enak, 

namun  paling memusingkan. Begitu relanya mereka mengor-

bankan akal budi demi menyenangkan langit-langit mulut! 

2. Dosa itu membuat orang tidak murni dan besar mulut (ay. 33).  

(1) Mata akan bertumbuh liar dan melihat wanita -perem-

puan aneh (KJV) dan bernafsu pada mereka, sehingga mem-

biarkan perzinahan masuk ke dalam hati. Est Venus in 

vinis – Anggur yaitu  minyak yang membakar api hawa 

nafsu. Matamu akan melihat hal-hal yang aneh (begitu seba-

gian orang membaca ayat ini). saat  orang mabuk, rumah 

akan terasa berputar-putar, dan segala sesuatu tampak 

aneh bagi mereka, sehingga mereka tidak dapat memper-

cayai mata mereka sendiri.  

(2) Lidah juga bertumbuh liar dan berbicara melantur. De-

ngannya hati mengucapkan kata-kata yang kacau, kata-

kata yang bertentangan dengan akal budi, agama, dan tata 

krama umum, yang akan malu untuk mereka ucapkan jika 

mereka waras. Betapa konyol dan tidak keruannya omong-

an orang saat  mereka mabuk, sementara di lain waktu ia 

berbicara dengan luar biasa baik dan bermakna! 

3. Dosa itu membius orang dan membuatnya bingung (ay. 34). 

jika  orang mabuk, mereka tidak tahu di mana mereka 

berada atau apa yang mereka katakan dan kerjakan.  

(1) Kepala mereka pusing, dan saat  mereka berbaring untuk 

tidur, mereka seolah-olah diombang-ambingkan oleh om-

bak laut, atau berada di atas kapal. Itulah sebabnya mere-

ka mengeluh bahwa kepala mereka serasa berputar-putar. 

Biasanya mereka tidur dengan gelisah dan bangun tanpa 

merasa segar, dan mereka bermimpi yang tidak-tidak.  

(2) Mereka tidak bisa menilai sesuatu dengan jelas. Mereka ti-

dak berpendirian teguh dan tetap, seperti orang yang tidur di 

atas tiang kapal. Mereka minum dan melupakan apa yang 

telah ditetapkan (31:5). Mereka pusing oleh arak (Yes. 28:7), 

dan berpikir tidak keruan, seperti halnya mereka berbicara.  

(3) Mereka tidak peduli dan tidak takut akan bahaya, dan mati 

rasa terhadap teguran-teguran yang diberikan kepada mere-

ka entah oleh Allah atau manusia. Mereka di ujung tanduk 

terancam bahaya maut, bahaya kena hukuman neraka. Me-

reka terbuka terhadap bahaya seolah-olah sedang tidur di 

atas tiang kapal, namun mereka merasa aman dan terus 

tidur. Mereka tidak takut binasa sekalipun kengerian-ke-

ngerian Tuhan dibentangkan di hadapan mereka. Bahkan, 

mereka tidak merasa sakit saat  penghakiman-pengha-

kiman Allah benar-benar menimpa mereka. Mereka tidak 

menangis saat  Ia mengikat mereka. Letakkanlah kepala 

seorang pemabuk di dalam pancungan, maka ia tidak sa-

dar akan hukuman yang akan menimpanya. “Orang memu-

kul aku, namun  aku tidak merasa sakit. Itu tidak kurasa. Itu 

tidak meninggalkan kesan apa pun padaku.” Kemabukan 

mengubahku menjadi pancungan dan batu. Orang-orang 

seperti itu hampir dianggap sebagai binatang. Mereka 

sudah mati sewaktu mereka hidup. 

4. Yang terburuk dari semuanya, hati menjadi mengeras di dalam 

dosa, dan orang berdosa, kendati dengan segala kejahatan 

yang menyertainya pada saat ini, tetap berkeras di dalamnya, 

dan benci diperbaharui: bilakah aku siuman? Begitu banyak-

nya hal yang harus dilakukannya untuk melepaskan rantai-

rantai tidur mabuknya. Ia hampir tidak bisa membersihkan 

diri dari uap anggur, meskipun ia berusaha menghilangkan-

nya, sehingga (begitu merasa haus di pagi hari) ia kembali 

minum anggur lagi. Benar-benar sudah terhilang dia dari 

semua rasa kebajikan dan kehormatan, dan begitu menyedih-

kannya kegersangan hati nuraninya, sehingga ia tidak malu 

untuk berkata, aku akan mencari anggur lagi. Semua percuma 

saja; bahkan, mereka cinta kepada para pemabuk, dan para 

pemabuk itulah yang akan mereka ikuti (Yer. 2:25). Inilah yang 

dimaksud dengan bermabuk-mabukkan untuk menghilangkan 

haus, dan mencari minuman keras. Orang-orang yang berbuat 

demikian sudah bisa menebak hukuman mereka (Ul. 29:19-

20), celaka mereka (Yes. 5:11).   sebab  itu, jika inilah akhir 

dari dosa itu, maka dengan alasan yang baik kita diarahkan 

untuk menghentikannya sejak awal: jangan melihat kepada 

anggur, kalau merah menarik warnanya.   

  

1 Jangan iri kepada orang jahat, jangan ingin bergaul dengan mereka. 2 Kare-

na hati mereka memikirkan penindasan dan bibir mereka membicarakan 

bencana.  

Di sini:  

1. Peringatan yang diberikan hampir sama dengan apa yang sudah 

kita dapati sebelumnya (23:17), yaitu untuk tidak iri hati terhadap 

orang-orang berdosa, atau menganggap mereka berbahagia, atau 

menginginkan diri ada dalam keadaan seperti mereka. Janganlah 

kita demikian, sekalipun mereka begitu makmur di dunia ini, dan 

senantiasa merasa gembira dan aman. “Janganlah pikiran seperti 

ini masuk dalam benak kita, bahwa, oh seandainya saja aku bisa 

melepaskan segala kekang agama dan hati nurani, dan berbuat 

sebebasnya untuk melampiaskan hawa nafsu daging, sebagai-

mana aku melihat si ini dan si anu melakukannya! Jangan. Ja-

ngan ingin ada bersama mereka, untuk berbuat seperti yang 

mereka perbuat dan berhasil sebagaimana mereka berhasil, dan 

membuang undi kita ke tengah-tengah mereka.”  

2. Inilah alasan lain yang diberikan untuk peringatan ini: “Jangan iri 

kepada mereka, bukan saja   sebab  akhir mereka yaitu  kebina-

saan, namun  juga   sebab  jalan mereka pun demikian (ay. 2). Ja-

ngan berpikir serupa dengan mereka,   sebab  hati mereka memikir-

kan penindasan terhadap orang lain, namun  itu akan menjadi ke-

hancuran bagi diri mereka sendiri. Jangan berbicara seperti me-

reka,   sebab  bibir mereka membicarakan bencana. Segala sesuatu 

yang mereka katakan mempunyai kecenderungan jahat, untuk 

menghina Allah, mencela agama, atau berbuat jahat kepada se-

sama mereka. Namun, semua itu akan menjadi bencana bagi diri 

mereka sendiri pada akhirnya. Oleh sebab itu, berhikmatlah eng-

kau jika tidak berurusan dengan mereka sedikit pun. Jangan pula 

engkau mempunyai alasan untuk melihat mereka dengan iri hati, 

namun  merasa kasihanlah kepada mereka, atau marahlah dengan 

perbuatan-perbuatan mereka yang fasik.” 

3 Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, 4 dan 

dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda 

yang berharga dan menarik. 5 Orang yang bijak lebih berwibawa dari pada 

orang kuat, juga orang yang berpengetahuan dari pada orang yang tegap 

kuat. 6   sebab  hanya dengan perencanaan engkau dapat berperang, dan 

kemenangan tergantung pada penasihat yang banyak. 

Kita tergoda untuk iri hati terhadap orang-orang yang menjadi kaya, 

dan yang menambah harta serta meninggikan keluarga mereka de-

ngan jalan-jalan yang tidak adil, yang oleh hati nurani kita tidak 

akan pernah diizinkan untuk kita lakukan. namun , untuk menying-

kirkan godaan itu, di sini Salomo menunjukkan bahwa orang, dengan 

cara mengelola yang bijaksana, dapat menambah harta benda dan 

meninggikan derajat keluarga melalui sarana-sarana yang sah dan 

jujur, dengan hati nurani yang baik, dan nama yang baik, dan de-

ngan berkat Allah atas ketekunannya. Dan, jika cara yang tidak jujur 

tadi akan sedikit lebih cepat memperoleh hasil, cara-cara yang baik 

ini akan memperoleh hasil yang bertahan jauh lebih lama.  

1. Apa yang di sini dianjurkan kepada kita sebagai sesuatu yang 

memberi pengaruh yang terbaik dalam mendatangkan kemakmur-

an lahiriah bagi kita yaitu  hikmat, kepandaian, dan pengertian. 

Yaitu, kesalehan terhadap Allah (sebab itulah hikmat yang benar) 

maupun kebijaksanaan dalam mengelola perkara-perkara lahiriah 

kita. Kita harus mengatur diri kita sendiri dalam segala hal, per-

tama-tama dengan aturan-aturan agama, dan kemudian dengan 

aturan-aturan kebijaksanaan. Ada sebagian orang yang benar-

benar saleh namun mereka tidak maju pesat di dunia,   sebab  

mereka kurang bijaksana. Ada juga yang cukup bijaksana namun 

tidak makmur,   sebab  mereka bersandar pada pengertian mereka 

sendiri dan tidak mengakui Allah dalam segala laku mereka. Oleh 

sebab itu, keduanya harus berjalan beriringan untuk menjadikan 

orang bijaksana secara utuh.  

2. Apa yang diperhadapkan kepada kita di sini sebagai keuntungan 

dari hikmat yang sejati yaitu  bahwa hikmat membuat orang 

makmur dan berhasil dalam perkara-perkara lahiriah mereka.  

(1) Hikmat akan mendirikan rumah dan menegakkannya (ay. 3). 

Orang bisa saja membangun rumah dengan perbuatan-per-

buatan yang tidak jujur, namun  mereka tidak bisa menegak-

kannya, sebab fondasinya keropos (Hab. 2:9-10). Sebaliknya, 

apa yang diperoleh secara jujur akan tahan lama seperti baja 

dan diwariskan kepada anak cucu.  

(2) Hikmat akan memperkaya rumah dan melengkapinya dengan 

perabotan (ay. 4). Orang-orang yang mengelola urusan-urusan 

mereka dengan hikmat dan keadilan, yang rajin menggunakan 

sarana-sarana yang sah untuk menambah apa yang mereka 

punya, yang menghabiskan uang bukan untuk bermewah-

mewah melainkan untuk bersedekah, sedang berjalan mulus 

untuk mendapati toko-toko mereka, gudang-gudang mereka, 

dan kamar-kamar mereka diisi dengan bermacam-macam harta 

benda yang berharga dan menarik. Semuanya berharga   sebab  

diperoleh dengan kerja keras yang jujur. Dan harta orang rajin 

itu menarik. Menarik (KJV: menyenangkan – pen.)   sebab  dinik-

mati dengan keriangan hati yang kudus. Sebagian orang ber-

pikir bahwa hal ini terutama harus dimengerti sebagai kekaya-

an rohani. Dengan pengertian, kamar-kamar jiwa diisi dengan 

macam-macam anugerah dan penghiburan dari Roh, yakni 

harta benda yang berharga dan menarik itu. Sebab Roh, de-

ngan mencerahkan pengertian, menjalankan pekerjaan-peker-

jaan-Nya yang lain pada jiwa.  

(3) Hikmat akan membentengi rumah dan mengubahnya menjadi 

benteng: hikmat lebih baik dari pada alat-alat perang, baik 

untuk menyerang ataupun membela diri. Orang yang bijak itu 

kuat, dibentengi oleh pertahanan yang kuat. Ya, orang yang 

berpengetahuan mengokohkan kekuatan, yakni, menambah ke-

kuatan (ay. 5). Begitu kita bertumbuh dalam pengetahuan, 

kita bertumbuh pula dalam segala anugerah (2Ptr. 3:18). 

Orang-orang yang bertumbuh dalam hikmat berarti dikuatkan 

dengan segala kekuatan (Kol. 1:9-11). Orang bijak akan me-

nguasai dengan hikmatnya apa yang tidak bisa dipengaruhi 

oleh orang kuat dengan kekuatan senjata. Rohnya dikuatkan 

untuk melakukan baik pekerjaan rohani maupun peperangan 

rohani dengan hikmat yang benar. 

(4) Hikmat akan memerintah rumah dan juga kerajaan, dan urus-

an-urusan dari keduanya (ay. 6). Hikmat akan mendirikan 

sebuah sekolah, atau dewan penasihat negara. Hikmat akan 

berguna,  

[1] Untuk mengurus perselisihan-perselisihan di dalam masya-

rakat, sehingga orang tidak akan mencampuri suatu per-

selisihan umum kecuali untuk alasan yang jujur dan de-

ngan kemungkinan akan berhasil. Dan, jika  mereka 

turut campur di dalamnya, mereka bisa mengaturnya de-

ngan baik, sehingga akan mendatangkan perdamaian yang 

menguntungkan atau keputusan untuk mundur secara 

terhormat bagi pihak yang terlibat. Hanya dengan peren-

canaan engkau dapat berperang, yang bisa berakibat buruk 

jika tidak dijalankan dengan perencanaan yang bijaksana.  

[2] Untuk menjaga ketenteraman warga : kemenangan ter-

gantung pada penasihat yang banyak, sebab yang seorang 

mungkin bisa memprakirakan adanya bahaya dan menge-

nali keuntungan-keuntungannya, sedangkan yang lain 

tidak. Dalam peperangan-peperangan rohani, kita memer-

lukan hikmat, sebab musuh kita licik. 

Si Penipu dan Si Pencemooh, 24:7-10 

7 Hikmat terlalu tinggi bagi orang bodoh; ia tidak membuka mulutnya di 

pintu gerbang. 8 Siapa selalu merencanakan kejahatan akan disebut penipu. 

9 Memikirkan kebodohan mendatangkan dosa, dan si pencemooh yaitu  ke-

kejian bagi manusia. 

Inilah gambaran, 

1. Tentang orang lemah: hikmat terlalu tinggi baginya. Begitulah ia 

memandang hikmat itu, sehingga ia merasa putus asa untuk 

mendapatkannya. Ia tidak mau bersusah payah untuk mengejar-

nya, namun  hanya duduk puas tanpa memilikinya. Dan memang 

benar begitu. Ia tidak mempunyai kemampuan untuk itu, sehing-

ga semua keuntungan yang dimilikinya untuk mendapatkannya 

sia-sia belaka. Mendapatkan hikmat itu bukan perkara mudah. 

Sekalipun orang diberi kemampuan-kemampuan alami yang cu

kup baik untuk mendapatkannya, namun jika mereka bodoh, 

yaitu, jika mereka malas dan tidak mau bersusah payah, jika me-

reka suka bermain-main dan membuang-buang waktu, dan hanya 

ingin besenang-senang saja, jika mereka memiliki kecenderungan 

jahat dan terus bergaul dengan orang jahat, maka hikmat terlalu 

tinggi bagi mereka. Kecil kemungkinannya bagi mereka untuk 

meraihnya. Dan,   sebab  tidak memilikinya, mereka tidak layak 

untuk mengabdi pada bangsa mereka. Mereka tidak membuka 

mulut di pintu gerbang. Mereka tidak diperbolehkan bergabung 

dengan dewan penasihat atau pengadilan, atau jika diperboleh-

kan, mereka hanya menjadi patung-patung yang bisu, dan berdiri 

seperti kambing congek. Mereka tidak berkata apa-apa,   sebab  

mereka memang tidak mempunyai apa-apa untuk dikatakan, dan 

mereka tahu bahwa kalaupun mereka menawarkan sesuatu, itu 

tidak akan diperhatikan, atau malah akan dicemooh. Hendaklah 

orang muda bersusah payah mendapatkan hikmat, agar mereka 

memenuhi syarat untuk melayani kepentingan warga , dan 

melakukannya dengan nama baik.  

2. Gambaran tentang orang fasik, yang tidak hanya direndahkan 

seperti orang bodoh, namun  juga dibenci. Ada dua macam orang 

fasik seperti ini:  

(1) Yang berniat jahat secara diam-diam. Meskipun mereka ber-

bicara dengan sopan dan bertingkah laku baik-baik, mereka 

merencanakan kejahatan, berusaha membalas kejahatan ter-

hadap orang-orang yang sudah membuat mereka sakit hati, 

atau yang mereka pandang dengan iri hati. Orang yang ber-

buat demikian akan disebut penipu, atau biang kekejian, yang 

mungkin pada zaman Salomo itu merupakan nama ejekan 

yang lazim dipakai. Ia akan dicap sebagai orang yang pandai 

dalam kejahatan (Rm. 1:30), atau jika ada kejahatan apa saja 

yang diperbuat, ia akan dicurigai sebagai biang keladinya, 

atau setidak-tidaknya sebagai kaki tangannya. Merencanakan 

kejahatan ini yaitu  memikirkan kebodohan (ay. 9). Meren-

canakan kejahatan dianggap oleh orang jahat sebagai sesuatu 

yang biasa-biasa saja, dan diabaikannya dengan ejekan, seba-

gai sesuatu yang bodoh, namun  sebenarnya itu yaitu  dosa, 

luar biasa berdosa. Tidak ada lagi sebutan yang lebih buruk 

baginya selain dibandingkan  dosa. Melakukan kejahatan itu buruk, 

namun  lebih buruk merencanakannya. Sebab, di dalamnya 

terkandung kelicikan dan racun si ular tua. namun  ini bisa 

dipandang secara lebih umum. Kita telah melakukan kesalah-

an bukan hanya dengan melakukan kebodohan, namun  juga 

dengan memikirkannya, meskipun kita tidak berbuat lebih 

jauh dari itu. Kemunculan-kemunculan pertama dari dosa di 

dalam hati yaitu  dosa, membangkitkan amarah Allah, dan 

darinya kita harus bertobat atau kita binasa. Bukan hanya 

pikiran-pikiran yang penuh niat jahat, kenajisan, dan kecong-

kakan, namun  juga bahkan yang penuh kebodohan, yaitu  

pikiran-pikiran yang berdosa. Jika rancangan-rancangan ke-

durjanaan tinggal di dalam hati, maka rancangan-rancangan itu 

mencemarkannya (Yer. 4:14), yang merupakan alasan mengapa 

kita harus menjaga hati kita dengan segala kewaspadaan, dan 

tidak menyimpan di dalam hati pikiran-pikiran yang tidak bisa 

dipertanggungjawabkan (Kej. 6:5).  

(2) Yang menyerang orang secara terang-terangan: si pencemooh, 

yang berbicara kasar terhadap semua orang, dan senang 

menghina serta mencela mereka, yaitu  kekejian bagi manu-

sia. Tak seorang pun yang menjunjung rasa hormat dan keba-

jikan akan mau terus bergaul dengannya. Tempat duduk kum-

pulan pencemooh yaitu  kursi hama (sebagaimana terjemahan 

Septuaginta menyebutnya dalam Mazmur 1:1), yang tidak 

akan mau didekati oleh orang bijak,   sebab  takut terkena 

infeksi. Mereka yang berusaha menjelek-jelekkan orang lain 

hanya menjelek-jelekkan diri mereka sendiri. 

10 Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu. 

Perhatikanlah: 

1. Pada masa kesesakan kita cenderung berkecil hati, cenderung 

kendur dan patah semangat, cenderung berhenti dari pekerjaan 

kita, dan berputus asa mengharapkan kelegaan. Roh kita teng-

gelam, lalu tangan kita terkulai, lutut kita menjadi lemas, dan kita 

menjadi tidak layak untuk apa pun. Begitulah, sering kali orang-

orang yang selalu penuh ceria pun menjadi terkulai dan hilang 

semangat saat tertimpa masalah.  

2. Ini merupakan bukti bahwa kekuatan kita kecil, dan membuka 

jalan untuk semakin memperlemahnya. “Ini merupakan pertanda

 bahwa engkau bukanlah orang yang sungguh memiliki tekad bu-

lat, teguh pikiran, penuh pertimbangan, atau iman (sebab itulah 

kekuatan jiwa), jika engkau tidak dapat bertahan menanggung 

perubahan dan penderitaan dalam keadaanmu.” Sebagian orang 

begitu rapuhnya sampai tidak dapat menangggung apa saja. Jika 

suatu permasalahan baru menyentuh mereka saja (Ayb. 4:5), apa-

lagi sampai mengancam mereka, mereka sudah langsung lemas 

lunglai dan segera menyerah sama sekali. Dengan cara seperti ini 

mereka membuat diri mereka sendiri tidak layak untuk bergumul 

dengan masalah mereka dan tidak mampu menolong diri mereka 

sendiri. Oleh sebab itu, kuatkanlah hatimu, maka Allah akan me-

neguhkan hatimu. 

Kesenangan dan Keuntungan-keuntungan Hikmat, 24:11-14  

(24:11-12) 

11 Bebaskan mereka yang diangkut untuk dibunuh, selamatkan orang yang 

terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan. 12 Kalau engkau berkata: 

“Sungguh, kami tidak tahu hal itu!” Apakah Dia yang menguji hati tidak tahu 

yang sebenarnya? Apakah Dia yang menjaga jiwamu tidak mengetahuinya, 

dan membalas manusia menurut perbuatannya? 

Inilah:  

1. Kewajiban besar yang dituntut dari kita, yaitu bangkit untuk 

melegakan orang tidak bersalah yang tertindas. Jika kita melihat 

kehidupan atau mata pencaharian siapa saja sedang dalam baha-

ya akan dirampas secara tidak adil, kita harus sedapat mungkin 

menggugah diri kita untuk menyelamatkan mereka. Ini bisa kita 

lakukan dengan membantah tuduhan-tuduhan palsu yang didak-

wakan kepada mereka dan mencari bukti-bukti ketidakbersalahan 

mereka. Meskipun orang-orang itu tidak ada dalam tanggung 

jawab kita secara khusus, kita harus membantu mereka, demi 

semangat untuk mencari keadilan. Jika ada orang yang dijerat 

dengan paksaan dan kekerasan, dan kita mempunyai kuasa un-

tuk menyelamatkan mereka, maka kita harus melakukannya. 

Bahkan, jika kita melihat ada orang yang   sebab  ketidaktahuan 

mereka membahayakan diri mereka sendiri, atau jatuh ke dalam 

kesusahan, seperti para pelancong di tengah jalan, kapal di te-

ngah laut, atau hal-hal semacamnya, maka sudah menjadi kewa-

jiban kita, meskipun itu membahayakan diri kita sendiri, untuk 

bergegas menolong mereka dan tidak segan-segan membebaskan 

mereka. Janganlah kendur, atau lengah, atau tak acuh, untuk 

perkara seperti itu.  

2. Sebuah jawaban bagi alasan yang biasanya dibuat untuk menam-

pik kewajiban ini. Engkau akan berkata, “Sungguh, kami tidak 

tahu hal itu. Kami tidak sadar bahwa orang itu nyaris terancam 

bahaya. Kami tidak bisa memastikan bahwa dia tidak bersalah, 

dan kami juga tidak tahu cara untuk membuktikan ketidakber-

salahannya. Kami juga tidak tahu bagaimana caranya membantu 

dia. Jika kami tahu, kami pasti sudah menolongnya.” Nah, 

(1) Mudah untuk membuat alasan seperti ini, yang cukup untuk 

terhindar dari teguran-teguran orang, sebab mungkin orang 

lain tidak bisa menyanggah kita jika kita berkata, kami tidak 

tahu, atau, kami lupa. Terlebih lagi, godaan untuk berbohong 

agar kesalahan kita dimaklumi sangatlah kuat jika  kita 

tahu bahwa mustahil itu akan disanggah, sebab kebenarannya 

terletak pada diri kita sendiri, seperti jika  kita berkata, 

sebenarnya kami berpikiran begini dan begitu, dan benar-benar 

sudah merencanakannya, dan seorang pun tidak menyadari 

kebenarannya kecuali diri kita sendiri. 

(2) Tidak begitu mudah untuk menghindar dari penghakiman 

Allah dengan alasan-alasan seperti itu. Selain itu, segala per-

buatan kita akan terungkap suatu saat nanti.   sebab  itu, kita 

harus patuh. Nah,  

[1] Allah menguji hati dan menjaga jiwa. Ia terus mengawasi-

nya, mengamati segala gerak-geriknya. Semua pikiran dan 

niatnya yang paling tersembunyi telanjang dan terbuka di 

hadapan-Nya. Hak istimewa-Nyalah untuk melakukan itu, 

dan di dalam hal itulah Ia bermegah (Yer. 17:10), Aku, 

TUHAN, yang menyelidiki hati. Ia menjaga jiwa, menopang-

nya dalam kehidupan. Ini yaitu  alasan yang baik mengapa 

kita harus berlaku lembut terhadap kehidupan orang lain, 

dan berbuat apa pun yang bisa kita perbuat untuk menjaga-

nya,   sebab  hidup kita sudah demikian berharga di mata 

Allah dan Dia sudah menjaganya dengan penuh rahmat.  

[2] Ia mengetahui dan mempertimbangkan apakah alasan yang 

kita buat benar atau tidak, apakah itu   sebab  kita tidak 

mengetahuinya, ataukah alasan yang sebenarnya yaitu  

bukan   sebab  kita tidak mengasihi sesama kita sebagai-

mana mestinya, namun    sebab  cinta diri dan tidak acuh 

baik terhadap Allah maupun manusia. Biarlah hal ini 

membungkam pembelaan-pembelaan kita yang sembrono, 

yang dengannya kita menyangka bisa menyumbat mulut 

hati nurani saat  ia mempersalahkan kita   sebab  melalai-

kan kewajiban yang sudah jelas: apakah Dia yang menguji 

hati tidak tahu yang sebenarnya?  

[3] Ia akan menghakimi kita   sebab  semua perbuatan kita itu. 

Sama seperti pengetahuan-Nya tidak dapat diperdaya, de-

mikian pula keadilan-Nya tidak dapat dibuat berat sebelah. 

Sebaliknya, Ia akan membalas manusia menurut perbuatan-

nya, bukan hanya perbuatan-perbuatan jahat yang dilaku-

kan, namun  juga perbuatan-perbuatan baik yang dilalaikan. 

13 Anakku, makanlah madu, sebab itu baik; dan tetesan madu manis untuk la-

ngit-langit mulutmu. 14 Ketahuilah, demikian hikmat untuk jiwamu: Jika engkau 

mendapatnya, maka ada masa depan, dan harapanmu tidak akan hilang. 

Di sini kita digugah untuk mempelajari hikmat dengan mempertim-

bangkan kesenangan maupun keuntungannya. 

1. Hikmat akan sangat menyenangkan. Kita makan madu sebab itu 

manis untuk langit-langit mulut kita, dan   sebab  alasan itu kita 

menyebutnya baik, terutama jika  itu langsung menetes dari 

sarang madu. Kanaan dikatakan berlimpah-limpah susu dan 

madunya, dan madu yaitu  makanan yang lazim di negeri itu 

(Luk. 24:41-42), bahkan untuk anak-anak (Yes. 7:15). Seperti itu 

pulalah kita harus makan dari hikmat, dan menikmati didikan-

didikan yang baik darinya. Orang-orang yang sudah mengecap 

madu tidak perlu bukti lebih jauh lagi bahwa madu itu manis. 

Mereka juga tidak dapat diyakinkan dengan alasan apa pun 

bahwa madu itu tidak demikian adanya. Begitu pula, mereka yang 

sudah mengalami kuasa kebenaran dan kesalehan akan dipuas-

kan secara berlimpah-limpah dengan kesenangan dari keduanya. 

Mereka telah mengecap manisnya kebenaran dan kesalehan, dan 

semua orang di dunia yang tidak percaya Tuhan tidak bisa, 

dengan kepandaian mereka berbicara dan olok-olok mereka yang 

cemar, mengubah perasaan-perasaan mereka.  

2. Hikmat akan sangat menguntungkan. Madu mungkin terasa ma-

nis untuk langit-langit mulut, namun tidak menyehatkan seluruh-

nya lahir batin. namun , hikmat menjanjikan imbalan di masa de-

pan, di samping rasa manis untuk saat ini. “Engkau boleh makan 

madu, dan rasa enaknya di mulutmu mengundang engkau untuk 

mengecapnya. namun , ada jauh lebih banyak alasan lagi bagi eng-

kau untuk menikmati dan mencerna aturan-aturan hikmat, sebab 

jika engkau mendapatnya, maka ada masa depan (KJV: akan ada 

upah – pen.). Engkau akan mendapat upah untuk kesenanganmu, 

sementara hamba-hamba dosa membayar mahal untuk kesakitan-

kesakitan mereka. Hikmat memang menggerakkanmu untuk beker-

ja, namun  akan ada upah. Hikmat sungguh menaikkan harapan-

harapan besar di dalam dirimu, namun  sama seperti pekerjaanmu, 

demikian pula harapanmu tidak akan sia-sia. Harapanmu tidak 

akan hilang (23:18), bahkan, akan tercapai secara tak terhingga.”  

Peringatan-peringatan untuk Tidak Iri Hati, 

15 Jangan mengintai kediaman orang benar seperti orang fasik, jangan meru-

sak rumahnya. 16 Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kem-

bali, namun  orang fasik akan roboh dalam bencana. 

Perkataan ini diucapkan bukan untuk memberi nasihat kepada 

orang-orang fasik (mereka tidak akan menerima didikan, 23:9), me-

lainkan untuk menantang mereka, demi membesarkan hati orang-

orang baik yang terancam oleh mereka.  

Lihatlah di sini: 

1. Rancangan-rancangan orang fasik melawan orang benar, dan ke-

berhasilan yang mereka janjikan sendiri dalam rancangan-ran-

cangan itu. Persekongkolan itu dipersiapkan secara matang: me-

reka mengintai kediaman orang benar, berpikir untuk menuduh-

kan suatu pelanggaran terhadap rumah orang benar itu, atau 

menyusun suatu rencana untuk melawannya. Mereka menunggu 

di depan pintu, untuk menangkap dia jika  keluar, seperti yang 

diperbuat orang-orang yang mengawasi rumah Daud (Mzm. 59:1). 

Harapan mereka melambung tinggi. Mereka tidak ragu-ragu un-

tuk merusak rumahnya   sebab  ia lemah dan tidak dapat meno-

pang rumahnya, dan   sebab  ia terjepit dan susah, dan hampir 

putus asa. Semua ini merupakan buah dari perseteruan lama an-

tara keturunan si ular melawan keturunan si wanita . Orang 

yang haus akan darah membenci orang saleh.  

2. Kebodohan dan kegagalan rancangan-rancangan ini.  

(1) Orang benar, yang kehancurannya diharapkan, pulih sendiri. 

Ia jatuh tujuh kali ke dalam permasalahan, namun , dengan ber-

kat Allah atas hikmat dan kelurusan hatinya, ia bangun kem-

bali, melihat menembus permasalahan-permasalahannya, me-

lihat berkali-kali dengan lebih baik atas semua permasalahan 

itu. Orang benar jatuh, mungkin kadang-kadang jatuh tujuh 

kali, ke dalam dosa, dosa kelemahan, melalui godaan yang me-

ngejutkan. namun  ia bangun kembali dengan bertobat, beroleh 

belas kasihan dari Allah, dan mendapatkan kembali kedamai-

annya.  

(2) Orang fasik, yang diharapkan melihat kehancurannya dan mem-

bantu mempercepatnya, akan binasa. Ia roboh dalam bencana. 

Dosa-dosa dan masalah-masalahnya yaitu  kehancuran total-

nya. 

17 Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu beria-ria kalau 

ia terperosok, 18 supaya TUHAN tidak melihatnya dan menganggapnya jahat, 

lalu memalingkan murkanya dari pada orang itu. 

Di sini: 

1. Kita dilarang merasa senang, sebagaimana yang cenderung kita 

rasakan, jika  musuh kita ditimpa permasalahan-permasalah-

an. Jika ada orang yang membalas kita dengan kejahatan, atau 

jika kita mempunyai niat jahat terhadap mereka   sebab  mereka 

berdiri menghalangi terang atau jalan kita, maka jika  ada 

kemalangan apa saja yang menimpa mereka (seandainya mereka 

jatuh), atau bahaya apa saja (seandainya mereka tersandung), 

hati kita yang bobrok terlalu cepat merasakan suatu kenikmatan 

dan kepuasan tersembunyi saat  melihatnya: syukur, rasakan 

kamu. Mereka telah sesat. Padang gurun telah mengurung mereka. 

Atau, seperti yang dikatakan Tirus mengenai Yerusalem (Yeh. 

26:2), “Aku menjadi penuh, namun  ia menjadi reruntuhan.” “Orang 

mengharapkan kehancuran musuh-musuh atau saingan-saingan 

mereka demi membalas dendam atau membuat perhitungan, te-

tapi janganlah engkau bersikap tidak manusiawi seperti itu. Ja-

ngan bersukacita kalau musuh besarmu jatuh.” Bisa saja ada 

sukacita yang kudus dalam melihat kehancuran musuh-musuh 

Allah, sebab itu membawa kemuliaan bagi Allah dan kesejahtera-

an bagi jemaat (Mzm. 58:11). namun , dalam kehancuran musuh-

musuh kita, sebagai musuh-musuh kita sendiri, kita sama sekali 

tidak boleh bersukacita. Sebaliknya, kita bahkan harus menangis 

bersama mereka (seperti Daud, Mzm. 35:13-14), dan itu kita 

lakukan dalam ketulusan, dan tidak boleh membiarkan dengan 

diam-diam hati kita bergembira sedikit pun  atas malapetaka yang 

menimpa mereka.  

2. Amarah Allah yang bangkit   sebab  kesenangan itu dipakai seba-

gai alasan untuk memberikan larangan ini: TUHAN akan melihat-

nya, meskipun itu tersembunyi hanya di dalam hati, dan itu akan 

membuat-Nya murka. Ia marah seperti seorang ayah yang bijak-

sana melihat anak yang satu senang saat  anak yang lain dite-

gur, sementara seharusnya ia gemetar dan mengambil pelajaran, 

  sebab  ia tidak tahu seberapa cepat hal itu akan menimpa dirinya 

sendiri, sebab sudah sering kali ia melakukan sesuatu yang 

pantas ditegur. Salomo menambahkan sebuah alasan lagi ad 

hominem, ditujukan kepada orang yang bersangkutan: “Tidak ada 

kerugian apa-apa yang dapat engkau tambahkan kepada musuh-

mu dengan sukacitamu saat itu jatuh.   sebab  itu, untuk menen-

tangmu dan membuatmu kesal, Allah akan memalingkan murka-

Nya dari pada orang itu. Sebab, sama seperti amarah manusia 

tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah, demikian pula 

kebenaran Allah tidak pernah dimaksudkan untuk memuaskan 

amarah manusia, dan menghibur nafsu-nafsunya yang bodoh. 

dibandingkan  terkesan berbuat demikian, Ia akan menangguhkan 

pelaksanaan murka-Nya: bahkan, di sini tersirat bahwa jika  Ia 

memalingkan murka-Nya dari pada orang itu, Ia akan mengarah-

kannya kepadamu, dan cawan kegentaran akan diserahkan ke 

dalam tanganmu.” 

19 Jangan menjadi marah   sebab  orang yang berbuat jahat, jangan iri kepada 

orang fasik. 20   sebab  tidak ada masa depan bagi penjahat, pelita orang fasik 

akan padam.  


Di sini: 

1. Salomo mengulangi peringatan yang sudah diberikannya sebe-

lumnya untuk tidak iri hati terhadap segala kesenangan dan ke-

berhasilan orang fasik dalam jalan-jalan mereka yang fasik. Per-

kataan ini dikutip dari Daud ayahnya (Mzm. 37:1). Dalam perkara 

apa pun kita tidak boleh marah, atau membuat diri kita sendiri 

tidak tenang, apa pun yang diperbuat Allah dalam pemeliharaan-

Nya. Betapapun tidak selarasnya pemeliharaan-Nya itu dengan 

perasaan-perasaan, kepentingan-kepentingan dan harapan-harap-

an kita, kita harus menerimanya. Bahkan apa yang menyedihkan 

kita janganlah membuat kita marah. Juga, jangan kita meman-

dang siapa saja dengan mata yang jahat, sebab Allah itu baik. 

Adakah kita lebih bijak atau adil dibandingkan  Dia? Jika orang fasik 

makmur, kita tidak boleh berkeinginan untuk melakukan apa 

yang mereka lakukan.  

2. Salomo memberikan alasan untuk peringatan ini, didasarkan atas 

akhir dari jalan yang di dalamnya orang fasik berjalan. Jangan iri 

hati pada kemakmuran mereka, sebab,  

(1) Tidak ada kebahagiaan sejati di dalamnya: tidak ada masa 

depan bagi penjahat. Kemakmurannya hanya berguna bagi 

kelangsungan hidupnya sekarang. Hanya itu saja kebaikan-

kebaikan yang bisa diharapkannya. Selain dari itu, tidak ada 

kebaikan apa pun yang akan diberikan kepadanya di alam 

pembalasan. Ia sudah mendapat upahnya (Mat. 6:2). Ia tidak 

akan mendapat apa pun nanti. Kita tidak perlu iri hati terha-

dap orang-orang yang mendapat bagian mereka dalam kehi-

dupan ini, dan yang harus meninggalkannya sesudah mereka 

mati (Mzm. 17:14).  

(2) Kemakmuran mereka tidak akan berlangsung terus-menerus. 

Pelita mereka bersinar terang, namun  sebentar lagi akan padam, 

dan segala penghiburan mereka akan berakhir (Ayb. 21:14; Mzm. 

37:1-2). 


21 Hai anakku, takutilah TUHAN dan raja; jangan melawan terhadap kedua-

duanya. 22   sebab  dengan tiba-tiba mereka menimbulkan bencana, dan siapa 

mengetahui kehancuran yang didatangkan mereka? 


Perhatikanlah: 

1. Agama dan kesetiaan harus berjalan berdampingan. Sebagai ma-

nusia, sudah menjadi kewajiban kita untuk menghormati Pen-

cipta kita, untuk menyembah dan memuja-Nya, dan untuk selalu 

takut akan Dia. Sebagai anggota warga , yang bersatu padu 

demi keuntungan bersama, sudah menjadi kewajiban kita untuk 

setia dan patuh kepada pemerintah yang telah ditetapkan Allah 

atas kita (Rm. 13:1-2). Orang yang benar-benar beragama akan 

berlaku setia, sesuai dengan tuntutan hati nurani terhadap Allah. 

Orang saleh di negeri akan menjadi orang yang rukun di negeri. 

  sebab  itu, barangsiapa tidak sepenuhnya setia, atau hanya setia 

sebatas itu demi kepentingannya saja, maka dia tidaklah saleh 

adanya. Bagaimana orang bisa setia kepada rajanya bila ia ber-

dusta kepada Allahnya? Dan, jika kedua-duanya bersaing, per-

karanya sudah diputuskan, kita harus lebih taat kepada Allah 

dari pada kepada manusia. 

2. Berlaku macam-macam terhadap kedua-duanya haruslah dita-

kuti. Salomo tidak berkata, jangan berurusan dengan orang-orang 

yang berubah, sebab mungkin saja ada alasan untuk berubah 

menjadi lebih baik, namun  jangan berurusan dengan orang-orang 

yang suka berubah-ubah (KJV), yang ingin berubah demi perubah-

an itu sendiri,   sebab  kesal dan tidak puas dengan apa yang ada 

dan gemar akan hal baru, atau   sebab  ingin memancing di air 

keruh: jangan berurusan dengan orang yang suka berubah-ubah 

entah dalam hal agama atau pemerintahan sipil. Janganlah turut 

dalam permupakatan mereka. Jangan bergabung dengan mereka 

dalam komplotan-komplotan mereka, atau masuk ke dalam raha-

sia pelanggaran mereka.  

3. Mereka yang jiwanya gelisah, suka melawan, dan bergejolak bia-

sanya menghasilkan kejahatan dari kepala mereka sendiri sebe-

lum mereka menyadarinya: dengan tiba-tiba mereka menimbulkan 

bencana. Walaupun mereka terus melanjutkan rancangan-ran-

cangan mereka dengan penuh kerahasiaan, mereka akan ketahu-

an, dan akan pantas mendapat hukuman, pada saat mereka tidak 

menyadarinya. Siapa mengetahui waktu dan cara kehancuran 

yang akan didatangkan baik oleh Allah maupun seorang raja ter-

hadap orang-orang yang mencemooh mereka, baik terhadap me-

reka maupun orang-orang yang berurusan dengan mereka? 


23 Juga ini yaitu  amsal-amsal dari orang bijak. Memandang bulu dalam peng-

adilan tidaklah baik. 24 Siapa berkata kepada orang fasik: “Engkau tidak ber-

salah”, akan dikutuki bangsa-bangsa, dilaknatkan suku-suku bangsa. 25 namun  

mereka yang memberi peringatan akan berbahagia, mereka akan mendapat 

ganjaran berkat. 26 Siapa memberi jawaban yang tepat mengecup bibir. 

Inilah pelajaran-pelajaran bagi orang-orang bijak, yaitu bagi para 

hakim dan raja. Sebagaimana rakyat harus melaksanakan kewajiban 

mereka dan taat kepada para penguasa, demikian pula para pengua-

sa harus melakukan kewajiban mereka dalam menjalankan keadilan 

kepada rakyat, baik dalam membela raja maupun dalam memutus-

kan perkara-perkara di antara berbagai pihak. Inilah pelajaran-pela-

jaran bagi mereka. 

1. Mereka harus selalu menimbang-nimbang salah benarnya suatu 

perkara, dan tidak digoyahkan oleh kepentingan apa pun bagi 

satu pihak tertentu: tidaklah baik dengan sendirinya, dan tidak 

akan pernah bisa berjalan dengan baik, memandang bulu dalam 

pengadilan.  Akibat-akibat dari perbuatan pandang bulu itu pasti 

akan mengakibatkan keadilan diselewengkan dan perbuatan sa-

lah terjadi dengan mengatasnamakan hukum dan keadilan. Ha-

kim yang baik akan melihat kebenaran, bukan melihat muka, 

sehingga ia tidak akan membenarkan seorang teman dan mem-

bantunya keluar dari suatu perkara buruk, atau menghapuskan 

apa saja yang bisa dikatakan dan dilakukan untuk memihak per-

kara yang benar, jika  itu yaitu  perkara orang yang ber-

musuhan dengan dia.  

2. Mereka tidak boleh sekali pun membiarkan atau mendorong orang 

fasik dalam perbuatan-perbuatan mereka yang fasik. Para hakim 

dengan kedudukan mereka dan hamba-hamba Tuhan dengan 

jabatan mereka, harus berlaku jujur dan setia bila berhadapan 

dengan orang fasik, sekalipun ia seorang pembesar atau seorang 

teman. Ia harus menghukum orang itu atas kefasikannya, untuk 

menunjukkan kepada dia apa yang akan menjadi akhir dari 

kefasikannya, dan untuk menelanjangi dia di hadapan orang lain, 

agar mereka menghindar darinya. namun  jika  orang-orang yang 

tugasnya harus menunjukkan orang lain mengenai pelanggaran-

pelanggaran mereka ternyata menganggap remeh sendiri pelang-

garan-pelanggaran itu dan mengabaikannya dengan cara mele-

paskan orang jahat, maka terlebih lagi mereka akan melakukan 

perbuatan lebih jahat lagi bila mereka sampai berpihak dan ber-

teman dengan orang-orang jahat. Mereka akan berpihak kepada 

orang jahat: engkau tidak bersalah. Orang-orang seperti ini sewa-

jarnya dipandang sebagai musuh-musuh bagi ketenteraman dan 

kesejahteraan warga , yang seharusnya mereka perjuangkan, 

dan bangsa-bangsa akan mengutuki mereka serta meneriakkan 

aib atas mereka. Bahkan suku-suku bangsa akan melaknati mere-

ka sebagai pengkhianat atas kepercayaan yang sudah diberikan 

kepada mereka.  

3. Mereka harus menentang dan mencela segala penipuan, kekeras-

an, ketidakadilan, dan pelanggaran susila. Meskipun dengan me-

lakukan demikian mereka mungkin melawan seseorang, namun 

mereka akan dikenan baik oleh Allah maupun manusia. Biarlah 

para hakim dan hamba Tuhan, dan juga pribadi-pribadi yang 

mampu melakukannya, memberi peringatan kepada orang fasik, 

supaya orang fasik itu bertobat atau merasa malu. Dengan begitu 

mereka akan mendapatkan penghiburan darinya di dalam hati 

mereka sendiri: mereka akan berbahagia, saat  hati nurani 

mereka bersaksi bagi mereka bahwa mereka sudah menjadi saksi-

saksi bagi Allah. Mereka akan mendapat ganjaran berkat, berkat 

dari Allah dan dari orang-orang baik. Mereka akan dipandang se-

bagai pelindung-pelindung agama dan pahlawan-pahlawan bang-

sa. Lihat pasal 28:23.  

4. Mereka harus selalu memberikan penghakiman sesuai dengan 

keadilan (ay. 26). Mereka harus memberi jawaban yang tepat, ya-

itu, memberikan pendapat mereka dan menjatuhkan penghakim-

an sesuai dengan hukum dan salah benarnya suatu perkara. Dan 

siapa berbuat demikian akan mengecup bibir, maksudnya, orang-

orang akan mengasihi dan menghormati dia, dan tunduk kepada 

perintah-perintahnya, sebab ada ciuman kesetiaan serta ciuman 

sayang. Siapa yang dalam percakapan sehari-hari berbicara de-

ngan tepat dan tulus, ia akan dipuji oleh teman-temannya dan 

dicintai serta dihormati oleh semua orang. 

27 Selesaikanlah pekerjaanmu di luar, siapkanlah itu di ladang; baru kemu-

dian dirikanlah rumahmu. 

Ini yaitu  aturan untuk berhati-hati dan bijak dalam mengelola urus-

an-urusan rumah tangga. Sebab semua laki-laki yang baik harus 

menjadi suami-suami yang baik dan pengelola yang arif. Dengan de-

mikian mereka akan mencegah terjadinya banyak dosa, permasalah-

an, dan aib terhadap tanggung jawab mereka. 

1. Kita harus lebih mengutamakan kebutuhan-kebutuhan pokok 

dibandingkan  kenyamanan-kenyamanan hidup, dan tidak memamer-

kan apa yang harus digunakan untuk menopang keluarga. Kita 

harus puas dengan gubuk yang hina sebagai tempat tinggal kita, 

dibandingkan  harus kekurangan, atau berutang, untuk mendapatkan 

makanan pokok.  

2. Kita tidak boleh berpikir untuk membangun rumah sebelum kita 

sanggup membayar biayanya: “Pertama-tama, selesaikanlah peker-

jaanmu di luar. Hendaklah tanahmu diolah dengan baik. Rawatlah 

ladang dan ternakmu, sebab dengan itulah engkau akan mendapat 

penghasilan. Dan, sesudah engkau hidup baik dengan ladang dan 

ternakmu itu, maka barulah, dan hanya baru sesudah itu, eng-

kau boleh berpikir untuk mendirikan kembali rumahmu dan mem-

percantiknya, sebab untuk rumah itu, dan di dalamnya, engkau 

akan mempunyai alasan untuk membelanjakan uangmu.” Banyak 

orang sudah menghancurkan harta benda dan keluarga mereka 

dengan mengeluarkan uang untuk suatu hal yang tidak meng-

hasilkan apa-apa. Mereka mulai mendirikan namun  tidak sanggup 

menyelesaikannya. Sebagian orang memahaminya sebagai nasihat 

kepada orang muda untuk tidak menikah (sebab melalui perni-

kahanlah rumah didirikan) sebelum mereka hidup mapan, sehing-

ga dapat merawat istri dan anak-anak mereka dengan nyaman.  

3. jika  kita sedang menyusun suatu rancangan besar apa saja, 

berhikmatlah kita jika kita membentangkannya di hadapan kita, 

dan membuat persiapan-persiapan yang diperlukan, sebelum kita 

keluar untuk bekerja. Dengan begitu, jika  sudah dimulai, ren-

cana itu tidak akan terhambat   sebab  kekurangan bahan. Salomo 

menerapkan aturan ini sendiri dalam mendirikan rumah Allah. 

Semuanya sudah dipersiapkan di penggalian (1Raj. 6:7). 

(24:28-29) 

28 Jangan menjadi saksi terhadap sesamamu tanpa sebab, dan menipu de-

ngan bibirmu. 29 Janganlah berkata: “Sebagaimana ia memperlakukan aku, 

demikian kuperlakukan dia. Aku membalas orang menurut perbuatannya.” 

Di sini kita dilarang untuk berbuat apa saja yang menyakiti sesama 

kita, terutama yang berupa dan melalui bentuk-bentuk hukum, entah, 

1. Sebagai seorang saksi: “Jangan pernah bersaksi melawan siapa 

pun tanpa sebab, kecuali engkau tahu bahwa apa yang engkau 

katakan itu sungguh-sungguh benar, dan engkau benar-benar 

yakin terpanggil untuk bersaksi baginya. Jangan pernah bersaksi 

dusta melawan siapa pun.” Sebab kelanjutannya, “Jangan menipu 

dengan bibirmu. Jangan menipu hakim dan juri, jangan menipu 

orang-orang yang sedang berbicara denganmu, dengan omongan-

omongan yang jahat tentang sesamamu. jika  berbicara tentang 

sesamamu, bukan saja engkau harus mengatakan apa yang benar, 

namun  juga berjaga-jagalah dengan caramu berbicara, jangan sam-

pai engkau menyelipkan sesuatu yang tidak benar, sehingga eng-

kau menipu melalui sindiran atau ucapan yang berlebih-lebihan.” 

Atau,  

2.  Sebagai penggugat atau jaksa. Jika ada kesempatan untuk mem-

perkarakan suatu perbuatan atau informasi melawan sesamamu, 

janganlah itu   sebab  semangat untuk membalas dendam. “Ja-

nganlah berkata, aku bertekad untuk impas dengannya: sebagai-

mana ia memperlakukan aku, demikian kuperlakukan dia.” Bah-

kan perkara yang benar menjadi tidak benar jika  diusung 

dengan kebencian seperti itu. Janganlah berkata, “Aku membalas 

orang menurut perbuatannya, dan membuat dia membayar mahal 

untuk perbuatannya itu.” Sebab, hak istimewa Allah-lah untuk 

berbuat demikian, dan kita harus menyerahkannya kepada Dia, 

dan tidak melangkahi takhta-Nya atau merebut pekerjaan-Nya 

dari tangan-Nya. Jika kita ingin menjadi pemahat bagi patung kita 

sendiri, dan menjadi hakim bagi perkara kita sendiri, maka kita 

menyia-nyiakan keuntungan untuk bisa naik banding ke peng-

adilan Allah. Oleh sebab itu, kita tidak boleh membalas dendam 

sendiri,   sebab  Ia sudah berkata, Akulah yang akan menuntut 

pembalasan. 

Kebun Anggur Orang Malas  

30 Aku melalui ladang seorang pemalas dan kebun anggur orang yang tidak 

berakal budi. 31 Lihatlah, semua itu ditumbuhi onak, tanahnya tertutup de-

ngan jeruju, dan temboknya sudah roboh. 32 Aku memandangnya, aku mem-

perhatikannya, aku melihatnya dan menarik suatu pelajaran. 33 “Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk 

tinggal berbaring,” 34 maka datanglah kemiskinan seperti seorang penyerbu, 

dan kekurangan seperti orang yang bersenjata. 

Inilah: 

1. Apa yang dilihat Salomo pada ladang dan kebun anggur seorang 

pemalas. Ia tidak sengaja masuk untuk melihatnya, namun , saat  

ia lewat, sambil mengamat-amati suburnya tanah, seperti yang 

wajar saja dilakukan orang yang lewat, dan bagaimana rakyatnya 

mengolah tanah mereka, seperti yang amat pantas dilakukan para 

penguasa, ia melayangkan pandangannya pada sebuah ladang 

dan kebun anggur yang tidak sama seperti yang lainnya. Sebab, 

meskipun tanahnya baik, tidak ada suatu apa pun yang tumbuh 

di dalamnya selain onak dan jeruju, dan bukan cuma satu di sana 

sini, namun  semuanya tertutup ilalang. Dan, kalaupun pernah 

tumbuh buah, buah itu pasti sudah dimakan oleh binatang, 

sebab tidak ada pagar: temboknya sudah roboh. Lihatlah dampak-

dampak dari kutuk itu terhadap tanah itu (Kej. 3:18), “semak duri 

dan rumput duri akan dihasilkannya bagimu, dan tidak ada yang 

lain, kecuali engkau bersusah payah untuk mengolahnya.” Lihat-

lah betapa panggilan menjadi seorang petani itu sungguh mem-

beri berkat bagi dunia ini, dan betapa bumi ini, bahkan tanah Ka-

naan sendiri, akan menjadi padang gurun tanpa dia. Raja sendiri 

akan dilayani oleh ladangnya, namun  ia tidak akan dilayani dengan 

baik jika Allah tidak mengajarkan kepada para petani kebijak-

sanaan dan ketekunan untuk membersihkan ladang itu, untuk 

menanaminya, menaburinya, dan memagarinya. Lihatlah betapa 

besar perbedaan yang ada di antara sebagian orang dan sebagian 

yang lain bahkan dalam mengelola urusan-urusan duniawi mere-

ka, dan betapa sedikitnya sebagian dari mereka memperhatikan 

nama baik mereka. Mereka tidak peduli, sekalipun akibat-akibat 

kemalasan mereka itu tampak jelas di mata semua orang yang 

lewat, dan sekalipun hasil-hasil kerajinan orang lain tampak mem-

permalukan mereka.  

2. Renungan-renungan yang dibuat Salomo tentang apa yang dilihat-

nya itu. Ia berhenti sejenak dan memperhatikannya, melihatnya 

sekali lagi, dan menarik suatu pelajaran. Ia tidak lantas marah-

marah dan mencela pemiliknya, tidak menyebutnya dengan juluk-

an-julukan yang tidak baik, namun  ia berusaha sendiri untuk men-

dapat kebaikan melalui pengamatannya dan menggugah diri sendir

untuk bertekun. Perhatikanlah, orang-orang yang harus memberi-

kan didikan kepada orang lain harus terlebih dahulu menerima di-

dikan sendiri. Dan didikan itu dapat diterima bukan hanya dari 

apa yang kita baca dan dengar, melainkan juga dari apa yang kita 

lihat. Bukan hanya dari apa yang kita lihat pada pekerjaan-peker-

jaan Allah, melainkan juga dari apa yang kita lihat pada perilaku 

manusia. Bukan hanya dari tingkah laku manusia yang baik, 

melainkan juga dari tingkah laku mereka yang jahat. Plutarkh 

(seorang pengajar moral berkebangsaan Yunani yang hidup seki-

ta