Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 16


  Mesir, yang

disalin dengan kiraah Hafsh ‘an Ashim, barangkali telah

menyurutkan minat mereka di bidang ini. Selain itu, kecemasan

akan reaksi keras yang dikemukakan kaum Muslimin terhadap

usaha  semacam itu merupakan faktor lain yang patut

diperhitungkan.

Kajian-kajian al-Quran Lainnya

Kajian-kajian al-Quran paling awal di Barat, yang bermula pada

abad pertengahan dengan serangkaian penerjemahan yang ada 

dalam Cluniac Corpus, pada faktanya, lebih menunjukkan karakter

apolegetik ketimbang karakter ilmiah. Suasana peperangan Salib –

dimana umat Kristiani Barat berhadap-hadapan dengan umat Is-

lam sebagai musuh bebuyutan – yang berlangsung selama beberapa

abad tampaknya yang paling bertanggung jawab terhadap

perkembangan semacam itu. Dalam suasana semacam ini, gagasan

fantastik dan imajiner tentang al-Quran, ataupun tentang

Muhammad dan Islam, ditempa dalam semangat apolegetik yang

tinggi untuk menunjukkan bahwa sekalipun kaum Muslimin secara

politik lebih superior, namun  secara religius mereka memiliki

keyakinan penuh bidah yang sangat inferior.

Seperti ditunjukkan Norman Daniel dan R.W. Southern, para

penulis Kristen abad pertengahan pada umumnya telah melakukan

tantangan yang bersifat apologetik terhadap al-Quran berpijak pada

beberapa  alasan yang didasarkan pada nalar dan kitab suci Kristen.28

Secara konstan mereka menegaskan ketidakbenaran al-Quran, atau

bahkan menuduh Muhammad sebagai Nabi palsu. namun ,

kebanyakan dari argumen yang diajukan didasarkan pada premis-

premis yang tidak dapat diterima oleh kaum Muslimin. Gagasan

Barat abad pertengahan tentang al-Quran ini bisa diilustrasikan

dengan berbagai pandangan Ricoldo da Monte Croce (w.1320),

seperti terekspresikan dalam Contra legem Saracenorum

(“Penolakan terhadap Hukum Sarasens”), yang dapat diringkas

sebagai berikut:

(i) Al-Quran tidak lebih dari ramuan bidah-bidah lama yang

ditolak sebelumnya oleh otoritas gereja.

(ii) Al-Quran tidak dapat dipandang sebagai “hukum Ilahi,”

sebab  tidak dinubuwatkan baik oleh Perjanjian Lama

maupun Baru. Lebih jauh, al-Quran dalam beberapa hal

secara eksplisit merujuk kepada Bible. Sedangkan doktrin

tentang pemalsuan Kitab Suci (tahrîf ) oleh kaum Kristiani

dan Yahudi tidak dapat diterima.

(iii) Gaya al-Quran tidak selaras dengan gaya suatu “Kitab

Suci.”

(iv) Tak satupun kandungan al-Quran yang berasal dari Tuhan,

seperti terlihat dalam berbagai kisah fantastik yang tidak

memiliki basis dalam tradisi biblikal. Lebih jauh, beberapa

konsepsi etik al-Quran bertentangan dengan pijakan

keyakinan filosofis.

(v) Al-Quran penuh dengan kontradiksi internal, atau betul-

betul kacau-balau (disorder).

(vi) Reliabilitas al-Quran tidak dibuktikan dengan mukjizat.

Pandangan populer kaum Muslimin bahwa Nabi telah

mendatangkan mukjizat bertentangan dengan kesaksian

al-Quran sendiri.

(vii) Al-Quran menentang nalar (reason). Hal ini terbukti oleh

cara hidup Muhammad yang tidak bermoral, dan  oleh

al-Quran sendiri yang berisi keyakinan-keyakinan yang

hina dan nonsen mengenai hal-hal yang bersifat ilahiyah.

(viii)Al-Quran mengajarkan kekerasan untuk menyebarkan Is-

lam dan mengakui berbagai ketidakadilan, seperti terlihat,

misalnya, dalam surat 

(ix) Teks al-Quran, sebagaimana terlihat dalam sejarahnya,

tidak menunjukkan sebagai suatu kepastian.

(x) Kisah mikraj Muhammad hanya merupakan fiksi dan

rekayasa.

Lebih jauh, Ricoldo juga membahas dalam salah satu bagian

bukunya berbagai kebohongan dan kekeliruan utama yang ada 

di dalam al-Quran, dan  yang dipandang sebagai kesalahpahaman

terhadap konsepsi-konsepsi biblikal atau dogmatik Kristen, seperti

masalah trinitas, penyaliban Isa, dan lainnya.30  Makna penting

gagasan-gagasan Ricoldo terletak dalam kenyataan bahwa gagasan-

gagasannya itu dipandang sebagai contoh klasik pandangan Barat

abad pertengahan yang paling berpengaruh tentang al-Quran.

Sementara bertahannya pengaruh Ricoldo selama beberapa abad

di Barat dapat dilihat pada usaha  Martin Luther menerjemahkan

risalah apologetik Ricoldo ke dalam bahasa Jerman, Verlegung des

Alkorans (“Penolakan atas al-Quran”), pada 1542.

Pada penghujung abad pertengahan, setelah Constantinople

jatuh ke tangan Turki, Perhatian Barat terhadap Islam semakin

bertambah. Nicholas of Cusa (w. 1464) yang menyepakati gagasan

Juan of Segovia tentang perlunya dialog dengan para ulama Islam,

mengusaha kan realiasasi gagasan ini  dengan menggarap suatu

kajian al-Quran, Cribratio Alchoran (“Penyaringan al-Quran”), yang

memanfaat terjemahan al-Quran Cliniac Corpus dan sumber

lainnya. namun , yang digarap Cusa dalam risalah ini  adalah

tema-tema apologi lama seperti yang telah dikemukakan Ricoldo

– salah satu sumber Cusa – dan ia hanya mengungkapkan kembali

dan  memperbarui argumen-argumen lama yang diwarisinya dari

sarjana-sarjana Kristen sebelumnya.31  Sekalipun demikian, karya

Cusa dipandang sebagai representasi periode ini.

Pergerakan Barat dalam mengapresiasi al-Quran berjalan

lambat. Beberapa abad setelah Cusa, belum terlihat pergeseran yang

berarti dari sikap apologetik anti-Islam yang ditunjukkan para

sarjana Barat. Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Italia yang

diterbitkan Arrivabene pada 1547, misalnya, mencakupkan de

doctrina, de generatione dan chronica sebagai bagian aktual al-

Quran. Bahkan, al-Quran versi Inggris dari terjemahan Perancis

du Ryer, yang digarap Ross pada 1649, masih memperlihatkan ciri

apologetik lama. Dalam pengantar terjemahan itu, Ross

memandang sangat bijaksana untuk melampirkan sanggahan atau

peringatan bagi orang-orang yang ingin mengetahui manfaat atau

bahaya yang bisa didapatkan dari membaca al-Quran. Ia memulai

kata pengantarnya dengan ungkapan: “Pembaca yang baik, setelah

berabad-abad lamanya, akhirnya penipu Arab yang agung (yakni

Muhammad – pen.) kini datang ke Inggris melalui Perancis, dan

Alcoran (al-Quran)-nya atau segudang kesalahan (...) telah belajar

berbahasa Inggris.”

Merosotnya pengaruh gereja di Barat pada abad ke-18, secara

substansial belum mengubah paradigma lama. Bahkan, latar

belakang dari berbagai serangan dan pujian kesarjanaan Barat

terhadap Islam pada dasarnya dimaksudkan untuk menyerang

Kristen. Senjata yang digunakan untuk tujuan ini  masih tetap

bersumber pada gagasan lama abad pertengahan. Sikap F.M.A.

Voltaire terhadap Islam, misalnya, hanya berbeda dari gagasan-

gagasan abad pertengahan dalam dua aspek. Dalam Fanatisme, ou

Mahomet le Prophète, ia lebih menyukai merekayasa legendanya

sendiri – ketimbang memanfaatkan yang sudah ada – yang terlihat

tidak begitu kasar untuk tujuannya, yaitu menyerang seluruh agama

wahyu pada umumnya. Di sisi lain, Voltaire juga telah mengikuti

kecenderungan Sale. Dalam Essai sur les moeurs, ia merasa puas

telah menganalisis keyakinan Islam untuk menunjukkan bahwa

keyakinan ini  diramu dari berbagai anasir yang telah eksis

sebelum Islam. Muhammad dipandang sebagai inventor suatu

agama yang berbagai ajarannya diadopsi dari gagasan yang ada di

sekelilingnya.

namun , selama abad ke-18 dan awal abad ke-19, suatu

kecenderungan mulai menguat dan berusaha  menaksir ulang

gagasan-gagasan Barat abad pertengahan. Kecenderungan ini,

sebagian kecilnya merupakan hasil dari reaksi terhadap Kristen,

dan bagian terbesarnya adalah hasil dari eksplorasi sumber-sumber

Islam yang otentik. Perubahan yang mendasar dalam gagasan ini

pertama kali muncul di Inggris, dimotori oleh Thomas Carlyle.

Dalam kuliah keduanya – “The Hero as Prophet: Mahomet: Is-

lam,” 34  disampaikan pada 8 Mei 1840 – Carlyle menertawakan

gagasan abad pertengahan tentang Muhammad sebagai seorang

penipu (impostor) yang menjadi pendiri salah satu agama besar

dunia.35  Carlyle memang telah berbuat banyak dalam

mempurifikasi sikap Barat terhadap Islam dan nabinya, namun  ia

gagal membangun pijakan teoritis yang absah untuk berbagai

apresiasinya. Hanya sisi praktis kuliahnya, yang mengganyang

gagasan-gagasan lama,  terlihat paling berharga.

Kecenderungan baru yang dimotori Carlyle kemudian marak

dalam berbagai belahan dunia Barat pada paruhan kedua abad ke-

19. Kajian-kajian al-Quran di Barat mulai menapaki sisi akademis

dengan munculnya edisi al-Quran yang disunting Fluegel. namun ,

sebagian besar sarjana Barat yang menekuni kajian al-Quran

mengawali karirnya dengan kajian atas kehidupan Nabi. Orang

pertama yang menerapkan metode kritik-historis terhadap biografi

Muhammad adalah Gustav Weil, seorang orientalis dari Heidel-

berg, dalam karya monumentalnya, Mohammed der Prophet, sein

Leben und seine Lehre (1843), yang sayangnya tidak didasarkan

pada sumber-sumber terbaik. Sekalipun demikian, sumbangan Weil

paling bermanfaat dalam karya ini adalah gagasannya untuk

menjadikan al-Quran sebagai sumber sejarah Nabi.36  Setelah itu,

Weil menyusulkan karyanya tentang al-Quran, Historische-Kritische

Einleitung in der Koran (1844),37  yang antara lain memuat

kajiannya tentang aransemen kronologis al-Quran. Rancangan

kronologi al-Quran versi Weil ini telah dikemukan dalam bab 3.

Sementara sarjana Jerman lainnya, Aloys Sprenger, setelah

menetap selama bertahun-tahun di India dan  menemukan sumber-

sumber biografi Nabi yang lebih baik dan  menyadari arti

pentingnya,  menerbitkan suatu esei  tentang  kehidupan Nabi,

Life of Mohammad (1851), di Allahabad India. Esei ini kemudian

direvisi dan diperluas dalam tiga jilid karyanya, Das Leben und

die Lehre des Mohammad (1861-1865), dimana sekitar 36 halaman

dalam jilid ketiganya dicurahkan pada kajian al-Quran. Hal-hal

yang dikemukakan dalam kajian al-Qurannya adalah perbedaan

antara surat-surat Makkiyah dan Madaniyah, dan  pengumpulan

al-Quran.

Misionaris Inggris, William Muir, yang juga pernah menetap

selama bertahun-tahun di India dan menemukan sumber-sumber

baru tentang kehidupan Nabi, mengikuti jejak Sprenger dalam

menulis biografi Nabi, namun  ia melangkah lebih jauh lagi ke dalam

penanggalan al-Quran. Eseinya tentang sumber-sumber biografi

Muhammad yang terlampir dalam empat jilid karya

monumentalnya, Life of Mahomet (1858-1861), memuat

kesimpulannya tentang kronologi al-Quran. namun , perhatiannya

yang serius terhadap kajian al-Quran dan penanggalan surat-

suratnya terlihat dalam karyanya, The Coran, Its Composition

and Teaching; and the Testimony its bears to the Holy Scripture

(1878).39  Gagasannya tentang penanggalan al-Quran telah

dikemukakan dalam bab 3.

Demikian pula, Theodor Noeldeke mengawali ketertarikannya

kepada al-Quran dengan menulis biografi Nabi dalam dua jilid

kecil karyanya, Das Leben Muhammed’s nach den Quellen

populaer dargestelt (1862). Setelah itu, ia memenangkan hadiah

monograf untuk penulisan sejarah kritis teks al-Quran yang

diadakan oleh Parisian Acadèmie des Inscriptions et Belles-Lettres,

dengan tulisannya dalam bahasa Latin yang membahas tentang

asal-usul dan komposisi al-Quran.  Tulisan ini kemudian direvisi

dan diperluas  ke dalam karyanya, Geschichte des Qorans, yang

terbit pada 1860.

Sejarah selanjutnya karya Noeldeke benar-benar seperti legenda.

saat  penerbit mengusulkan penerbitan edisi kedua karya ini 

pada 1898, Noeldeke – yang semakin menua – tidak sanggup

menyelesaikannya, dan akhirnya diambil alih muridnya, Friedrich

Schwally. Schwally menyelesaikan perevisiannya dengan sangat

lambat, lantaran kecermatan dan berbagai alasan lainnya,40  dan

baru pada 1909 terbit bagian pertamanya “tentang asal-usul al-

Quran” (Ueber den Ursprung des Qorans). Bagian keduanya,

“pengumpulan al-Quran” (Die Samlung des Qorans), juga muncul

dalam tenggang waktu yang lama pada 1919, setelah wafatnya

Schwally pada awal tahun itu, sehingga dalam proses pencetakan

diawasi oleh iparnya, Heinrich Zimmern, dan koleganya, A.

Fischer.41   Sebelum wafat, Schwally telah menulis lebih dari sekadar

pengantar untuk bagian ketiga, “sejarah teks al-Quran” (Geschichte

des Qorantexts). Bagian ini kemudian dilanjutkan penulisannya

oleh Gotthelf Bergstraesser dan diterbitkan secara terpisah dalam

tiga Lieferungen (bagian). Setelah publikasi Lieferung pertama dan

kedua (1926, 1929), beberapa  bahan penting ditemukan yang

mengakibatkan penundaan penerbitan Lieferung ketiga. Namun,

Bergstraesser tiba-tiba wafat pada 1933. Murid Noeldeke lainnya,

Otto Pretzl, kemudian menyelesaikan penulisan bagian ini 

dan baru diterbitkan pada 1938. Dengan demikian, proses

perevisian karya Noeldeke oleh murid-muridnya berjalan selama

60 tahun. namun , proses perevisian yang lama ini sebanding dengan

hasil  yang  dicapai  karya  ini .  Karya  yang  menunjukkan

hasil  kerjasama kesarjanaan yang menganggumkan itu telah

menjadi karya standar terbaik satu-satunya di bidang ini dan telah

menjadi fondasi bagi seluruh kajian kesarjanaan Barat tentang al-

Quran.42  Gagasan Noeldeke dan murid-muridnya tentang asal-usul

dan kronologi al-Quran, dan  lainnya, telah dikemukakan dalam

bab-bab terdahulu.

Prestasi luar biasa yang dicapai Geschichte des Qorans

membuat beberapa  sarjana Barat berlomba-lomba melakukan

penelitian mengenai kronologi al-Quran dan kajian-kajian lain-

nya tentang kitab suci ini . Hubert Grimme, misalnya,

mengungkapkan pandangannya tentang penanggalan al-Quran

dalam jilid kedua karyanya tentang biografi Nabi, Mohammed

(1892-1895). Demikian pula, Hartwig Hirschfeld pada 1902

menerbitkan penelitiannya tentang komposisi dan tafsir al-Quran,

New Researches into the Composition and Exegesis of The Qoran,

yang memuat gagasannya tentang kronologi al-Quran. Sementara

Richard Bell melakukan kajian tentang aransemen kronologis

“bagian-bagian” al-Quran dalam dua jilid terjemahannya, The

Qur’an Translated with a Critical Rearrangement of the Suras

(1937,1939). Senada dengan ini, Règis Blachère, selain membahas

tentang pengumpulan teks al-Quran, keragaman bacaan, sejarah

teks dan bahasan-bahasan lainnya dalam jilid pertama dari tiga

jilid terjemahannya, Le Coran, traduction selon un essai de

reclassement des sourates (1947-1951), juga mengemukakan

pandangan-pandangannya tentang penanggalan al-Quran.

Keseluruhan gagasan Barat tentang penanggalan al-Quran telah

didiskusikan dalam bab 3.

Sementara pada abad ke-20, selain berbagai kajian di atas,

muncul karya-karya kesarjanaan Barat lainnya, baik dalam bentuk

artikel maupun buku, yang membahas berbagai masalah yang

bertalian dengan al-Quran. beberapa  besar karya ini telah

didiskusikan dalam bab-bab yang lalu, sebab  itu tidak perlu

disinggung di sini. Sementara perhatian Barat terhadap sejarah

tafsir al-Quran juga terefleksikan dalam beberapa  buku dan

artikel.43  namun , karya klasik Ignaz Goldziher, Die Richtungen der

islamischen Koranauslegung (1920), masih tetap merupakan karya

standar di bidang ini. Sekalipun banyak penulis Barat telah menulis

semacam pengantar untuk sejarah tafsir, baik sebagai pengantar

untuk suatu buku,44  atau sebagai artikel jurnal,45  dan beberapa

penulis lainnya berusaha  menggarap semacam suplemen untuk

karya Goldziher yang mencakup keseluruhan periode tafsir hingga

periode modern,46  namun tampaknya tidak ada usaha  serius untuk

mengaktualkan, memperluas, atau bahkan menggantikan karya

standar Goldziher. Karya Jane I. Smith, An Historical and Seman-

tic Study of the Term “Islãm” As Seen in a Sequence of Qur’an

Commentaries (1975), sekalipun mencakupkan keseluruhan

periode sejarah tafsir kaum Muslimin, pusat perhatiannya hanya

terbatas pada penafsiran sarjana-sarjana Muslim tertentu terhadap

beberapa  bagian al-Quran yang bertalian dengan terma “islãm.”47

Dengan demikian, karya klasik Goldziher masih tetap tidak

tergantikan, meskipun telah agak ketinggalan dan butuh perevisian.

Yang lebih buruk lagi adalah perhatian kesarjanaan Barat

terhadap studi tentang al-Quran itu sendiri, yakni tafsîr dalam

pengertian sebenarnya. Dalam edisi revisi jilid dua dari Geschichte

des Qorans, Schwally mencatat bahwa karya kesarjanaan Barat

semacam itu belum pernah ditulis. Hasil penafsiran kesarjanaan

Barat umumnya ada  sebagiannya di dalam karya-karya tentang

biografi Nabi, sebagian lagi dalam penelitian-penelitian mandiri

yang beragam, dan sebagian lagi di dalam terjemahan al-Quran

berupa catatan-catatan penjelasan.48  Baru pada 1971 muncul karya

tafsir Paret, Der Koran: Kommentar und Konkordanz, sebagai

lanjutan dari terjemahan al-Qurannya. Sebagaimana terlihat dari

judulnya, karya ini merupakan suatu tafsir sekaligus konkordans,

atau semacam indeks al-Quran. Keduanya dikombinasi secara

berurutan antara satu dengan lainnya dan  disusun menurut

aransemen surat dan ayat. Kommentar hanya akan mengabdi pada

satu tujuan, yakni memaknai bunyi teks al-Quran menurut makna

orisinalnya, seperti dimaksudkan oleh Muhammad dalam berbagai

situasi historisnya. Sedangkan Konkordanz berusaha  sejauh

mungkin memberikan petunjuk silang kepada keseluruhan bagian

al-Quran lainnya untuk suatu makna terkait atau suatu ungkapan

yang muncul dalam suatu ayat tertentu. Petunjuk silang ini secara

sekuensial disusun berdasar   prioritas keterkaitannya: (i) ayat-

ayat yang identik atau hampir identik; (ii) ayat-ayat yang berkaitan

erat, yang disusun berdasar  tingkat kemiripan terhadap ayat

termaksud; dan (iii) ayat-ayat yang dapat dirujuk, namun  tingkat

keterkaitannya terbatas. Kesemuanya ini diberi tanda-tanda tertentu:

titik dua (:) untuk kategori pertama; Garis miring (/) untuk kategori

kedua; dan dalam tanda kurung ( ) untuk kategori ketiga.49  Dengan

demikian, Konkordanz Paret ini merupakan pengungkapan

kembali gagasan munãsabah tradisional Islam secara sangat

signifikan dan dalam alur yang progresif.

Sekalipun karya Paret di atas muncul lebih awal, suatu tafsir

al-Quran yang digarap Richard Bell, sebagai lanjutan dari

terjemahan al-Qurannya, dipersiapkan dan selesai mendahului

karya Paret. namun  karya ini baru diterbitkan pada 1991 – hampir

setengah abad setelah Bell wafat (1952). Sejarah karya terakhir Bell

ini sangat menyedihkan. Setelah publikasi terjemahan al-Qurannya,

Bell menyadari bahwa rekonstruksi dan penyusunan kembali

bagian-bagian al-Quran yang dilakukannya dalam terjemahan

ini  perlu mendapat justifikasi secara rinci, lantaran beberapa 

besar catatan penjelasannya tidak terpublikasikan di dalamnya.

Diperkirakan bahwa catatan-catatan inilah yang dikembangkan

Bell dalam dua jilid tafsirnya, A Commentary on the Qur’an

(1991).50  Karya  Bell ini , setelah diselesaikan penulisannya

dengan susah payah dan melalui berbagai revisi,51  mengendap

puluhan tahun di tangan penerbit Edinburgh University Press.

Pada permulaan dekade 1970-an, pihak penerbit menyerahkan

naskahnya dalam bentuk mikrofilm kepada C.E. Bosworth, berikut

hak penerbitannya. namun  Bosworth melupakan mikrofilm ini ,

dan baru teringat saat  Josef van Ess menyatakan penyesalannya

bahwa Bell tidak pernah menyelesaikan penulisan tafsirnya untuk

menyertai terjemahan al-Qurannya.

Dalam pengantar karyanya, Bell menegaskan bahwa tafsirnya

tidak ditulis dengan tujuan polemik apapun, namun  dimaksudkan

untuk digunakan berdampingan dengan terjemahan al-Qurannya,

alinea per alinea, dan  untuk menjelaskan secara singkat dan

gamblang rekonstruksi dan rearansemen bagian-bagian al-Quran

dalam terjemahan ini . Ia juga menegaskan bahwa dalam

penafsirannya, berbagai pandangan mufassir Muslim ataupun

sarjana Barat sejauh mungkin dikesampingkan, diganti dengan

usaha  pembacaan tanpa prakonsepsi lewat pertolongan kamus,

tata bahasa, dan konkordansi al-Quran.

Eksistensi kedua karya tafsir di atas, demikian pula berbagai

kajian al-Quran Barat lainnya yang telah dikemukakan sejauh ini,

tentunya akan menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam

sendiri. Dalam suatu simposium tentang Islam dan sejarah agama-

agama yang diadakan di Arizona State University pada 1980,

kontroversi tentang keabsahan kajian-kajian keislaman yang

dilakukan oleh outsiders merebak. Dua penulis Muslim ternama,

Muhammad Abdul-Rauf dan Fazlur Rahman, memberikan respon

yang bertolak belakang tentangnya.

Abdul-Rauf, Rektor Universitas Islam Internasional, Kuala

Lumpur, mengungkapkan respon yang penuh kemarahan terhadap

kajian-kajian linguistik dan historis yang dilakukan Barat atas

materi-materi keislaman. Ia menilai kajian-kajian ini  –

menurutnya lebih bersifat historis dan konjektural  –  telah

menjadikan Islam sebagai sasaran analisis kritis yang salah arah,

terkadang keji dan biasanya tidak sensitif. Lebih jauh, ia juga

meletakkan batas-batas wilayah kajian yang tidak boleh dimasuki

outsider, yakni al-Quran dan sunnah Nabi. Kajian-kajian Barat

yang ada selama ini tentang keduanya, menurut Abdul-Rauf, tidak

hanya merupakan suatu serangan terhadap suara hati berjuta-juta

umat Islam, namun  juga menyesatkan dan tidak layak dipandang

sebagai ilmu,

Berseberangan dengan Abdul-Rauf, Rahman – dengan

memanfaatkan refleksi filosofis John Wisdom dalam karyanya,

Other Minds – memandang bahwa kajian Islam yang dilakukan

outsider bisa sama absahnya dengan insider. Kajian outsider  yang

dijalankan dengan tanpa prasangka (open-minded), sensitif,

simpatik dan memiliki kriteria keilmuan yang layak (knowledge-

able), dan  ditujukan untuk pemahaman atau apresiasi intelektual,

bukan hanya merupakan sejenis pengetahuan ilmiah, namun  juga

akan memungkinkan bagi insider dan outsider untuk saling

bertukar-pikiran. Serangan Abdul-Rauf, menurut Rahman, hanya

efektif terhadap non-Muslim yang tidak memenuhi kriteria ini .

Rahman mengakui bahwa merupakan tugas kaum Muslimin untuk

mengungkapkan Islam, namun  – menurutnya – Muslim (insider)

dan non-Muslim (outsider) tentunya dapat bekerja sama pada level

pemahaman intelektual.


sejarah alquran 15

 


ke dinasti

Abbasiyah.

namun , stase primitif tafsir al-Quran barangkali bisa dilihat

dalam keragaman bacaan al-Quran yang eksis pada awal Islam.

Dalam beberapa bab yang lalu, khususnya bab 4 dan 5, telah

ditunjukkan bahwa beberapa  keragaman bacaan yang eksis dalam

mushaf-mushaf pra-utsmani bisa dipandang merefleksikan tafsir-

tafsir yang berkembang di kalangan kaum Muslimin yang awal.65

Jadi, saat  beberapa  mushaf pra-utsmani membaca ungkapan wa-

l-shalãt al-wusthã (2:238) dengan tambahan wa-l-shalãt al-‘ashr –

sehingga bacaan lengkapnya adalah wa-l-shalãt al-wusthã wa-l-shalãt

al-‘ashr66  –  maka ungkapan pertama di sini telah ditafsirkan sebagai

shalat duhur. Contoh-contoh semacam ini, dan berbagai contoh

lainnya yang bisa dikategorikan sebagai penjelasan teks,

merefleksikan stase primitif dari perkembangan tafsir al-Quran di

dalam Islam. Ortodoksi Islam mengembangkan gagasan yang

kurang lebih senada tentang eksistensi keragaman bacaan yang

awal itu sebagai pantulan aktivitas tafsir. Al-Suyuthi, misalnya,

mengutip pandangan Abu Ubayd yang diekspresikannya dalam

Fadlã’il al-Qur’ãn: “al-maqshûd min al-qirã’ah al-syãdzdzah tafsîr

al-qirã’ah al-masyhûrah ….”

Dengan berlalunya waktu, khususnya setelah meluasnya do-

main politik Islam keluar wilayah Arab dan setelah orang-orang

non-Arab secara masif menyatakan keimanannya kepada risalah

yang dibawa Muhammad, penjelasan atas ayat dan ungkapan al-

Quran yang maknanya telah kabur menjadi suatu kebutuhan

mendesak. Salah seorang yang pertama kali merespon kebutuhan

ini adalah Ibn Abbas, sang penafsir terbaik (tarjumãn al-qur’ãn),

yang ilmunya sedalam lautan (al-bahr) dan merupakan intelektual

umat (habr al-ummah). Bapak tafsir al-Quran ini terlihat

menggunakan metode perujukan kepada syair-syair pra-Islam untuk

menjelaskan makna kata-kata kitab sucinya yang sulit.68  saat 

menjelaskan kata haraj dalam 22:78, Ibn Abbas mengungkapkan

metodenya: “Jika terlihat sesuatu di dalam al-Quran yang bersifat

asing, maka periksalah di dalam syair ….”69  Makna sekitar 200

kata yang dijelaskannya dengan mengutip syair pra-Islam untuk

menjawab pertanyaan Nafi‘ ibn al-Azraq – salah seorang muridnya

– direproduksi oleh al-Suyuthi dalam karyanya, al-Itqãn fî ‘Ulûm

al-Qur’ãn.

Sikap yang kurang skeptis terhadap eksistensi tafsir Ibn Abbas

telah dikemukakan seorang sarjana Muslim asal Turki, Fuat Sezgin.

Berpijak pada teknik periwayatan, Sezgin mengemukakan bahwa

adalah mungkin untuk membentuk gagasan tentang eksistensi tafsir

al-Quran Ibn Abbas, atau setidak-tidaknya tafsir murid-muridnya,

seperti Nafi‘, Mujahid, Waraqa’ ibn Umar, dan lainnya, berdasar 

sumber-sumber yang ada.71  namun , sarjana-sarjana lainnya

menafikan kemungkinan ini berdasar  beberapa  pijakan,

terutama keberatan terhadap historisitasnya.

Sejarah selanjutnya penafsiran al-Quran bisa didekati dengan

memanfaatkan tipologi Ignaz Goldziher dan menyeleksi secara

purposif mufassir-mufassir dari berbagai aliran yang ada untuk

dikaji secara ringkas. Ia mengasumsikan eksistensi lima aliran tafsir

di dalam Islam: (i) tradisionalis; (ii) dogmatis; (iii) mistik; (iv)

sektarian; dan (v) modernis.73  Tiga aliran pertama senada dengan

tipologi kesarjanaan Muslim, yakni: (i) tafsîr bi-l-riwãyah; (ii) tafsîr

bi-l-dirãyah; dan (iii) tafsîr bi-l-’isyãrah. Sementara dua aliran lainnya

– sektarian dan modernis – merupakan kategori tambahan atau

elaborasi dari tipologi kesarjanaan Muslim.

Tafsir al-Quran paling awal yang bisa diakses dewasa ini adalah

yang disusun oleh Ibn Jarir al-Thabari (w. 923), Jãmi‘ al-Bayãn ‘an

Ta’wîl Ãy al-Qur’ãn. Kitab tafsir ini dipandang Goldziher sebagai

karya puncak tafsir aliran tradisional.  Di kalangan ortodoksi

Islam, tafsir ini  dianggap sebagai salah satu contoh terbaik

dan terpenting dari tafsîr bi-l-ma’tsûr atau tafsîr bi-l-riwãyah – yakni

tafsir yang berpijak pada riwayat, sebagaimana dibedakan dari tafsîr

bi-l-ra’y atau tafsîr bi-l-dirãyah, yang berpijak pada penggunaan

nalar, dan tafsîr bi-l-’isyãrah, yang berpijak pada intuisi batin. Dalam

pendahuluan karyanya ini, ia mengemukakan pijakan hermeneutik

untuk tafsirnya. Menurut al-Thabari, bahan-bahan al-Quran  terbagi

ke dalam tiga bagian: Bagian pertama adalah yang hanya dapat

ditafsirkan oleh Nabi dalam kedudukannya sebagai otoritas yang

berhak menjelaskan al-Quran (16:44,64). Penjelasan Nabi bisa

mengambil bentuk suatu nashsh darinya (bi-nashsh minhu) atau

suatu penunjukan yang meyakinkan (bi-dalãlah) yang

diformulasikan untuk memperlihatkan hal-hal yang meng-

arahkannya kepada suatu penafsiran. Bagian kedua adalah yang

secara ekslusif hanya diketahui maknanya oleh Tuhan, seperti kapan

tepatnya kiamat tiba. Bagian ketiga adalah yang diketahui

penafsirannya oleh setiap orang yang memiliki pengetahuan bahasa

al-Quran. Pengetahuan bahasa ini mencakup pemahaman

menyeluruh tentang infleksi (i‘rãb), pengertian kata-kata yang tidak

homonim (gayr al-musytarak fîhã), dan pemahaman karakteristik

kata sifat deskriptif (al-mawshûfãt bi-shifãtihã al-khãshshah). Al-

Thabari kemudian melanjutkan kategori terakhir ini dengan

subdivisi konsep-konsep bahasa dan kandungan, sehingga

ketidaktahuan tentang halãl dan harãm bukan merupakan alasan

yang dapat dimaafkan, apakah seseorang bisa berbahasa Arab atau

tidak.75  Di sinilah letak kontribusi al-Thabari dalam perkembangan

teori hermeunetik al-Quran. Pengetahuan tentang tiga kategori

bahan-bahan al-Quran merupakan tahapan awal yang penting

dalam suatu metode tafsir. Kemampuan mengenali suatu bagian

al-Quran yang masuk ke dalam salah satu dari ketiga kategori itu,

mengikuti alur pemikiran al-Thabari, akan memberi petunjuk pada

penanganan bagian ini .

Dengan demikian, prinsip hermeneutik al-Thabari mengakui

eksistensi riwayat sebagai bagian terpenting dalam tafsir disamping

aspek bahasa. Hal ini terlihat dalam berbagai penafsirannya yang

tidak hanya menuturkan dan menganalisis berbagai hadits dan 

berbagai keragaman dalam bacaan al-Quran, namun  juga hal-hal

yang bertalian dengan aspek-aspek linguistik, dalam rangka

menguraikan makna dan tujuan suatu bagian al-Quran. Dalam

pendahuluan karyanya, al-Thabari mengungkapkan tentang

kelengkapan kitab tafsirnya dan menegaskan bahwa ia telah

mencantumkan berbagai dalil untuk perbedaan paham yang

mencapai konsensus atau tetap bertahan, dan  menyajikan alasan-

alasan setiap sudut pandang yang berkembang. Di samping itu, ia

juga menguraikan hal-hal yang dipandangnya sebagai kebenaran

dalam berbagai kontroversi itu.

Masih dalam jajaran tokoh tafsir tradisional adalah Ismail

Imad al-Din abu al-Fida’ ibn Katsir, terkenal sebagai Ibn Katsir (w.

1373). Ia menyusun suatu komentar al-Quran, Tafsîr al-Qur’ãn al-

‘Azhîm, yang dikalangan tertentu sarjana Muslim modern

dipandang sebagai salah satu tafsîr bi-l-ma’tsûr tersahih, kalau

bukan paling sahih.77  Sebagai murid reformis legendaris Ibn

Taimiyah, Ibn Katsir – walaupun hidup sekitar empat abad setelah

al-Thabari – cenderung kepada tafsir yang bersifat tradisional.

Dalam pendahuluan karya tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan

prosedur hermeneutiknya, yang dipandangnya sebagai metode

terbaik dalam tafsir al-Quran. Stase pertama dalam prosedur

ini  adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Tahapan

ini memperlihatkan gagasan tentang al-Quran sebagai suatu

keseluruhan yang padu dan kohesif, sehingga bagian-bagiannya

dapat menjelaskan antara satu dengan lainnya. Langkah kedua

mencakup pemerhatian terhadap sunnah Nabi, sebab  Nabi

merupakan penjelas paling otoritatif terhadap al-Quran (16:44,64;

4:105). Bagi Ibn Katsir, sunnah Nabi juga merupakan wahyu ilahi,

sekalipun tidak dibacakan oleh Jibril sebagaimana al-Quran.

Apabila tidak ada  penjelasan dari al-Quran ataupun sunnah

Nabi mengenai suatu bagian al-Quran, langkah hermeneutik ketiga

mesti ditempuh, yakni menelusuri pernyataan-pernyataan para

sahabat Nabi tentangnya. Pengikut Nabi dari generasi pertama

adalah saksi mata terhadap sirkumstansi dan situasi yang secara

khusus melibatkan mereka. Sekuensi hermeneutik ini terpotong

dengan pembahasan tentang dua masalah yang saling berkaitan:

Pertama adalah penggunaan bahan-bahan Yudeo-Kristiani (al-

ahãdîts al-isrã’îliyyah) dalam penafsiran al-Quran, yang menurutnya

hanya bersifat sokongan suplementer, bukan pijakan utama; dan

kedua, menelaah secara kritis riwayat-riwayat ini , mensahkan

yang benar dan  menolak yang palsu. Setelah itu, Ibn Katsir

melanjutkan prosedur hermeneutiknya dengan mengemukakan

langkah terakhir, yaitu menelusuri pernyataan-pernyataan generasi

kedua (tãbi‘ûn). Sehubungan dengan ini, Ibn Katsir menilai bahwa

pernyataan para tãbi‘ûn bukan merupakan sumber otoritatif saat 

saling bertentangan, bahkan dengan generasi sesudahnya.78

Prosedur hermeneutik yang digariskan Ibn Katsir di atas pada

faktanya merupakan langkah umum yang ditempuh dalam berbagai

kitab tafsir tradisional. namun , artikulasinya dalam bentuk yang

sistematis dan metodologis merupakan salah satu kontribusi Ibn

Katsir yang paling bermakna terhadap hermeneutik al-Quran. Dan

Ibn Katsir memang cukup konsisten dalam menjalankan tahapan-

tahapan prosedur ini  di dalam berbagai penafsiran al-

Qurannya. Sekalipun agak polemis, tafsiran-tafsirannya secara

umum tetap fair dan informatif.

Mufassir berikutnya yang menulis suatu komentar ekstensif

tentang al-Quran, al-Kasysyãf ‘an Haqã’iq al-Tanzîl,  adalah Abu

al-Qasim Jar Allah Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1143).

Pada umumnya, al-Zamakhsyari memiliki pengaruh religius yang

tidak begitu besar dalam dunia Islam lantaran berasal dari

kelompok teolog “heretik” mu‘tazilah. Sekalipun demikian, ia

terkenal dengan sebutan imãm al-dunyã, “imam universal,” dan

pakar linguistik terkemuka yang berpengaruh di bidang ini.

Mungkin lantaran pertimbangan afiliasi teologis inilah sehingga

Goldziher mengelompokkannya ke dalam jajaran komentator

aliran tafsir dogmatis, dan bahkan menilai kitab tafsirnya sebagai

model untuk aliran ini .  beberapa  besar sarjana Muslim juga

telah mengelompokkan tafsir Zamakhsyari ke dalam kategori tafsîr

bi-l-ra’y.80  Gagasan-gagasan teologis yang berbau mu‘tazili dalam

tafsir ini – sebagaimana dikemukakan Mahmoud Ayoub –

sebenarnya tidak telalu tegas.81  Hanya dalam beberapa  kecil masalah

pandangan teologisnya telah mempengaruhi penafsirannya atas

teks al-Quran. Dalam kebanyakan kasus, karya ini  lebih

menunjukkan kepiawaian Zamakhsyari dalam analisis filologis dan

sintaksis atas ayat-ayat al-Quran. Zamakhsyari bahkan

mengeksploitasi kekayaan khazanah bacaan al-Quran dalam

batasan-batasan linguistik untuk kepentingan tafsirnya. Dengan

demikian,  pendekatan  yang digunakan Zamakhsyari lebih bersifat

linguistik ketimbang teologis. Ia juga memanfaatkan hadits dalam

karyanya, namun  mengabaikan mata rantai periwayatannya (sanad)

ataupun keabsahan teks aktualnya (matn).

Karya besar Zamakhsyari  di atas telah diringkas dengan

beberapa  tambahan oleh Nashr al-Din ibn Sa‘id al-Baydlawi (w.

1270) dalam kitab tafsirnya, Anwãr al-Tanzîl wa Asrãr al-Ta’wîl.

Karya ini dimaksudkan sebagai buku pegangan untuk pengajaran

tafsir di sekolah-sekolah. sebab  itu, diusaha kan untuk

mengemukakan dalam bentuk singkat hal-hal terbaik dan tersahih

dalam berbagai tafsir sebelumnya, termasuk varian-varian tafsir

yang penting. Sekalipun Baydlawi berasal dari main stream teologi

filosofis Sunni dan, hingga taraf yang jauh, telah “membetulkan”

kekeliruan-kekeliruan mu‘tazili dalam tafsir Zamakhsyari, karya

tafsirnya tetap dipandang sebagian besar sarjana Muslim masuk

ke dalam kategori tafsîr bi-l-ra’y. Keterkaitan karyanya dengan

Zamakhsyari – yakni sebagai ringkasan karya sarjana ini  –

merupakan salah satu faktor yang berada di balik kategorisasi itu.

namun  salah satu kitab tafsir paling mewakili aliran tafsir

dogmatis adalah yang disusun oleh Fakhruddin al-Razi (w. 1209),

Mafãtih al-Gayb. Karya ini dikabarkan tidak sempat diselesaikan

al-Razi sebab  keburu dipanggil ke hadirat ilahi, dan penulisannya

diteruskan salah seorang muridnya. sebab  sang murid telah

menguasai metodologi dan idiom gurunya sedemikian tepatnya,

gaya penulisan keduanya tidak dapat dibedakan. Itulah sebabnya

muncul kontroversi di kalangan para ahli mengenai bagian mana

yang telah diselesaikan al-Razi dan bagian mana yang dilanjutkan

penulisannya oleh murid ini . Kontroversi selanjutnya adalah

apakah hanya satu murid al-Razi yang menyelesaikan penulisan

tafsirnya ataukah dua orang, ataukah lebih dari itu.82

Pendekatan yang digunakan al-Razi dalam tafsirnya berada

sepenuhnya dalam tradisi rasional filosofis. Al-Razi memang

merupakan seorang filosof cemerlang pada masanya, dan bukan

seorang pakar agama. Ia memulai tafsirnya atas ayat-ayat al-Quran

dengan cara yang rumit dan  melibatkan gaya yang terdiri dari

berlapis-lapis pendapat dan sanggahan, namun  sering tidak mencapai

kesimpulan apapun. Ia selalu bergerak demikian jauh dari pokok

permasalahan tafsir sehingga pembacanya bisa nyasar dalam

pertentangan filsafat dan teologi.83  Lantaran kecenderungan

semacam ini, otoritas terkemuka dalam kajian al-Quran, al-Suyuthi,

mengutip penilaian yang dikemukakan sebagian ulama bahwa karya

al-Razi itu “berisi segalanya kecuali tafsir.”84

Dalam jajaran aliran tafsir mistik, karya Muhyi al-Din ibn al-

‘Arabi (w. 1240), Tafsîr al-Qur’ãn al-Karîm, merupakan salah satu

tafsir sufistik yang tersebar cukup luas di dunia Islam. Ia dikenal

luas sebagai tokoh mistikus penganut doktrin pantheistik – yakni

doktrin yang memandang seluruh wujud adalah satu, sebab 

merupakan manisfestasi dari substansi Ilahi – dan  dikenal di

kalangan pengikutnya sebagai Syaikh al-Akbãr. Karya tafsirnya

dikabarkan ditulis salah seorang muridnya, Abd al-Razak al-

Qashani. namun , siapapun penulis sebenarnya, karya ini

merefleksikan pemikiran dan gaya Ibn al-‘Arabi.

Sebagaimana dengan mufassir sufi pada umumnya, metode yang

digunakan Ibn al-‘Arabi dalam penafsiran al-Quran adalah yang

dikarakterisasi oleh ortodoksi Islam sebagai ta’wîl – dalam pengertian

yang berkembang belakangan, yakni ta’wîl sebagai penjelasan inter-

nal (alegoris) atas kandungan al-Quran, yang dibedakan dari tafsir

sebagai penjelasan eksternalnya. Metode ini memang memberikan

kebebasan untuk masuk ke dalam tataran makna batin yang sangat

luas dan dalam dari teks, yang memang dituju para sufi. Menurut

Ibn al-‘Arabi, ta’wîl itu bervariasi selaras dengan keadaan

pendengarnya, seirama dengan momen-momennya dalam berbagai

stase (maqãmãt) perjalanan mistik dan  derajat-derajat pencapaian

yang berbeda. saat  seseorang sampai kepada tingkatan yang lebih

tinggi, maka terbukalah baginya pintu-pintu baru yang

memungkinkannya melihat makna-makna baru dan halus.85

Sementara dalam jajaran aliran tafsir sektarian, nama Abu al-

Hasan Ali ibn Ibrahim al-Qummi (w. 939) merupakan otoritas

klasik Syi‘ah Imamiyah yang terkemuka. Kitab tafsirnya, Tafsîr al-

Qummî, sekalipun sangat ringkas, merupakan karya terlengkap

pada masanya dan sangat kental nuansa Syi‘ahnya. Cara

penafsirannya sangat bersifat apologetis dan ditujukan untuk

memperkukuh beberapa  kepercayaan resmi Syi‘ah sembari

membantai gagasan-gagasan berseberangan ortodoksi Islam dan

beberapa  kepercayaan resminya.86  Al-Qummi, dalam penafsiran

al-Qurannya, berangkat dari posisi Syi‘ah yang tegas dan jelas

tentang eksistensi mushaf utsmani sebagai hasil manipulasi para

pengumpul al-Quran. Menurut keyakinan Syi‘ah, Utsman dan

komisi yang dibentuknya untuk mengumpulkan al-Quran telah

menggantikan dan tidak mencakupkan ke dalam kodifikasinya

beberapa  besar bagian kitab suci ini , baik dalam bentuk surat,

ayat, dan bahkan kata-kata tertentu, dan  telah memporak-

porandakan susunannya. Istilah yang biasanya digunakan untuk

mengemukakan berbagai tuduhan ini adalah tabdîl atau tahrîf .87

Doktrin inilah yang menjadi pijakan utama al-Qummi dalam

tafsirnya, yang ilustrasi penerapannya telah ditunjukkan dalam

bab 7.

Karya rintisan untuk aliran tafsir modernis adalah yang

disusun oleh Sayyid Ahmad Khan (w. 1898), Tafsîr al-Qur’ãn, dalam

bahasa Urdu. Tahun 1880, tahun diterbitkannya jilid pertama tafsir

ini ,88  dipandang J.M.S. Baljon sebagai tahun permulaan yang

menandai pembahasan tafsir al-Quran kaum modernis Muslim.89

Tafsir yang disusun bapak modernisme Islam ini pada dasarnya

merupakan suatu koleksi esei dan bukan tafsir dalam artian

tradisional. Sir Sayyid – demikian panggilan akrabnya di kalangan

kaum Muslimin anak benua Indo-Pakistan – hanya menafsirkan

ayat-ayat tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah yang

dianggap penting pada masanya, terutama yang berkaitan dengan

fenomena kealaman. Di samping itu, masalah hubungan antar

pemeluk agama yang berbeda dan  peperangan religius juga

mendapat porsi cukup banyak di dalam tafsirnya. Dengan

demikian, tafsir Sir Sayyid barangkali bisa dikategorikan sebagai

tafsir tematis (mawdlû‘î).

Sebagai pijakan untuk tafsirnya, Sir Sayyid menyusun lima

belas prinsip penafsiran al-Quran, Tahrîr fî Ushûl al-Tafsîr,90  yang

bermula dari korespondensinya dengan Muhsin al-Mulk. Di

samping berisi prinsip-prinsip linguistik tafsir, esei Sir Sayyid juga

memasukkan beberapa  asumsi dogmatik yang menyatu dengan

doktrin ajaran al-Quran, sehingga prinsip-prinsip semacam ini

memiliki kedudukan yang absah di antara kriteria-kriteria

penafsiran al-Quran. namun , sebagian dari prinsip-prinsip ini 

adalah asumsi-asumsi kredal yang lebih merupakan prakonsepsi

teologis, ketimbang prinsip-prinsip yang dengannya seseorang bisa

menafsirkan al-Quran, seperti eksistensi sifat dalam diri Tuhan

adalah mutlak, atau seluruh sifat Tuhan adalah infinit dan mutlak,

dan  prinsip lainnya yang sejenis.

Yang paling menonjol dalam berbagai prinsip tafsir yang

dirumuskan Sir Sayyid adalah prinsip “keselarasan dengan alam”

(conformity to nature), yakni bahwa vûrd af Gãd – transliterasi

Urdu dari word of God, “kalam Ilahi” – tidak boleh bertentangan

dengan vûrk af Gãd – transliterasi Urdu dari work of God, “ciptaan

Tuhan,” “makhluk” – dan keselarasan antara keduanya adalah

penting. Dengan prinsip ini, ia telah menolak penafsiran tradisional

tentang beberapa  bagian al-Quran sebagai mu‘jizãt (“supranatural”),

dan  menafsirkannya secara logis dan natural selaras dengan

perkembangan ilmu kealaman pada masanya.

Beberapa hal penting lainnya yang dikemukakan Sir Sayyid

dalam prinsip-prinsip tafsirnya adalah pewahyuan yang bersifat

internal bagi Nabi, dan sebab  itu jibril merupakan  fakultas

kenabian  yang  ada  di  dalam  diri  Nabi.   Ia  juga  menolak

prinsip nãsikh-mansûkh tradisional, dan menafsirkannya sebagai

penghapusan syariat-syariat pra-Islam. Sejalan dengan

skeptisismenya terhadap hadits, yang dikemukakannya jauh

mendahului skeptisisme Goldziher, Sir Sayyid menolak riwayat-

riwayat asbãb al-nuzûl dan menegaskan bahwa sebab-sebab

pewahyuan ini mesti ditemukan di dalam konteks dan  gaya al-

Quran setelah mempertimbangkan hal-hal mendasar yang

dinyatakan kitab suci ini . Demikian pula, riwayat-riwayat

isrã’îliyãt ditolak penggunaannya dalam penafsiran al-Quran.

Counterpart Sir Sayyid di Mesir adalah Muhammad Abduh

(w. 1905), bapak modernisme Islam Mesir. Karya tafsir Abduh

berawal dari penerbitan komentar juz’ ‘amma, yang lebih

merupakan tafsir atas kata atau ungkapan al-Quran ketimbang

ayat, bagian atau suratnya.91  Karakteristik ini berbeda dari karya

tafsir patungannya dengan Rasyid Ridla, Tafsîr al-Mannãr, yang

muncul belakangan dan paling populer di dunia Islam. Karya

patungan Abduh-Ridla bermula dari serangkaian kuliah tafsir yang

diberikan Abduh di Universitas al-Azhar. Muridnya yang berasal

dari Siria, Muhammad Rasyid Ridla, mengikuti kuliah ini 

dan membuat catatan tentangnya, yang setelah itu direvisi dan

diperluas. Hasilnya diperlihatkan kepada Abduh yang

menyetujuinya sembari mengoreksi yang dipandang perlu,

kemudian diterbitkan dalam jurnal Al-Mannãr sebagai karya tafsir

Abduh. namun , Abduh tidak dapat menyelesaikan karya ini sebab 

dipanggil pulang ke hadirat Ilahi, dan dari surat 4:125 hingga 12:107

dilanjutkan penulisannya oleh Ridla.92  Sekalipun penulisan

seluruh kitab  tafsir  ini   dilakukan  oleh Ridla,  sebagiannya

(hingga surat 4:124) berdasar  kuliah Abduh, namun  ia secara

jujur memberi indikasi di bagian-bagian mana ia dan Abduh

bertanggung jawab secara bersama-sama, di mana kata-kata Abduh

berakhir dan di mana perluasan yang dilakukannya dimulai, dan 

bagian mana yang merupakan tanggung jawabnya sendiri.

Dalam tafsir ini Abduh memberikan penekanan yang segar

terhadap al-Quran sebagai sumber hidãyah. Baginya, al-Quran

merupakan sumber yang darinya kaum Muslimin semestinya

mengambil gagasan-gagasan mereka tentang dunia sekarang dan

dunia mendatang. Dari sini, mengalir gagasan-gagasan Abduh yang

beragam tentang urgensi tafsir al-Quran. Inti dari sistem penafsiran

Abduh adalah keragu-raguannya dalam menerima bahan-bahan

dari luar al-Quran sebagai bermanfaat dalam penafsiran al-Quran.

Aturan penafsiran yang ada  di belakang seluruh karya tafsirnya

adalah hal-hal yang tidak dijelaskan al-Quran –  yakni mubham,

“obskur”, “samar-samar” atau “meragukan” – semestinya juga tidak

ditafsirkan. sebab  itu, mufassir mesti menjelaskan teks al-Quran

sebagaimana adanya dan tidak menambah hal-hal yang yang tidak

diidentifikasikan oleh kitab suci ini .

Abduh banyak memanfaatkan konteks sastra dalam me-

netapkan makna ayat atau kata-kata tertentu. namun , sebagaimana

Sir Sayyid, ia  tidak mengakui relevansi hadits – bahkan menolak

validitas sebagian di antaranya  –  dalam penafsiran al-Quran,

terutama riwayat-riwayat yang bertalian dengan isrã’îliyãt. Ia

memandang keseluruhan teks al-Quran sebagai ‘ãmm (“umum”),

yang berlaku secara universal – biasanya konsep dipertentangkan

dengan khãshsh, “khusus,” yakni teks yang diwahyukan dalam

suatu situasi spesifik dan berlaku untuk kasus spesifik ini ,

atau tidak memiliki validitas yang universal. Abduh menginginkan

tafsirnya menjadi sebuah instrumen yang dengannya kaum

Muslimin dapat terpimpin secara spiritual oleh al-Quran sendiri.

Ia menghendaki tafsir al-Qurannya tanpa spekulasi teoritis,

monograf gramatikal dan  kutipan-kutipan opini para pakar. namun ,

muridnya, Ridla, menambahkan kutipan hadits dan analisis

gramatik ke dalam karya patungan mereka.93

J.J.G. Jansen menilai bahwa inovasi yang nyata dalam

perkembangan tafsir al-Quran di Mesir diintroduksi oleh Abduh

dan Amin al-Khuli (w. 1967).94  Inovasi tokoh yang disebut terakhir

direalisasikan dalam penafsiran al-Quran oleh istrinya, Aisyah Abd

al-Rahman – terkenal dengan nama samaran Bint al-Syathi’ ((l.

1913), maha guru sastera dan bahasa Arab di Universitas Ain Syams

Mesir. Komentar Bint al-Syathi’, al-Tafsîr al-Bayãnî lî-l-Qur’ãn al-

Karîm,95  hanya menyangkut empat belas surat pendek al-Quran

dan tidak mencakup keseluruhan kitab suci ini . namun ,

sementara pengamat menilainya sebagai karya tafsir “paling

penting” di Mesir dewasa ini.96

Metode yang digunakan Bint al-Syathi’ dalam tafsir al-

Qurannya adalah metode inovasi suaminya, al-Khuli, yang

dikemukakan dalam buku Manãhij Tajdîd. Ia meringkas gagasan

metodologis al-Khuli itu sebagai berikut:

(1) Pada prinsipnya metodologi adalah penanganan yang

obyektif terhadap al-Quran. Ia dimulai dengan

mengumpulkan semua surah dan ayat yang ada di

dalam…(al-Quran) ke dalam tema yang akan dikaji.

(2) Dalam memahami nash, yang penting adalah menyusun

ayat-ayat menurut nuzûl-nya untuk mengetahui situasi

waktu dan tempat, seperti yang diungkapkan riwayat-

riwayat tentang asbãbun-nuzûl sebagai konteks yang

menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada

keumuman lafal, bukan pada sebab khusus turunnya ayat.

Asbãbun-nuzûl hendaknya tidak dipandang sebagai

penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan

diturunkan….

(3) Dalam memahami petunjuk lafal, saya menegaskan bahwa

bahasa Arab adalah bahasa al-Quran. sebab  itu,

hendaknya kita mencari petunjuk pada bahasa aslinya,

yang memberikan kepada kita rasa kebahasaan bagi lafal-

lafal yang digunakan secara berbeda, baik yang hakiki

maupun majazi, kemudian kita simpulkan muatan

petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafal yang ada

di dalamnya, lalu mencari konteksnya yang khusus dan

umum di dalam ayat dan surat al-Quran secara

keseluruhan.

(4) Dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan, kita

mengikuti konteks nash di dalam al-Quran baik dengan

berpegang pada makna nash maupun semangatnya.

Kemudian makna ini  kita konfirmasikan dengan

pendapat para mufassir. Melalui cara ini kita terima apa

yang ditetapkan nash, dan kita jauhi kisah-kisah israiliyat,

noda-noda nafsu, paham sektarian, dan takwil yang berbau

bid’ah.

Dengan demikian, meskipun berpijak pada beberapa  asumsi

klasik – seperti al-qur’ãn yufassiru ba‘dluhu ba‘dlan, atau asbãb al-

nuzûl sebagai pemasok konteks historis al-Quran yang dipahami

mengikuti prinsip al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzh lã bi khushûsh al-

sabab, dan lainnya – metode yang digunakan Bint al-Syathi’ telah

menghasilkan suasana segar dalam perkembangan tafsir.

Kebanyakan mufassir Muslim modern terlihat hanya membatasi

diri dalam menjiplak gagasan-gagasan linguistik Zamakhsyari, atau

lebih jelek lagi menyalin para penjiplak Zamakhsyari. Kenyataan

bahwa bahasan-bahasan filologis hampir seluruhnya bersifat

tradisional dan sangat bergantung pada Zamakhsyari, mungkin

telah membuat para sarjana ini  tidak menaruh perhatian

terhadap riset-riset filologis atas teks al-Quran. Pada butir ini

signifikansi tafsir Bint al-Syathi’  terlihat nyata.

namun , penerapan pendekatan linguistik modern dalam

penafsiran al-Quran yang diselaraskan dengan perkembangan

terakhir disiplin ini  dilakukan oleh sarjana Muslim terkemuka

asal al-Jazair, Mohammed Arkoun ((l. 1928), maha guru di Uni-

versitas Sorbonne, Paris. Sekalipun Arkoun tidak menulis sebuah

kitab tafsir secara spesifik, di dalam beberapa  artikelnya ia telah

mengaplikasikan pendekatan semiotik atau semiologi mutakhir –

yang menganalisis objek kajiannya sebagai suatu himpunan atau

sistem dari beberapa  tanda yang saling merujuk menurut aturan

tertentu – dalam menafsirkan surat-surat dan  tema-tema tertentu

al-Quran. Gagasan-gagasan tafsir dalam berbagai artikelnya

terhimpun dalam beberapa  karya, terutama Lectures du Coran.98

Sayangnya, keasyikan Arkoun menyelami berbagai teori linguistik

mutakhir yang marak berkembang di Paris dalam berbagai usaha 

penafsirannya telah membuat karya-karyanya terkadang sulit

dipahami pembacanya.

Di samping Arkoun, pemikir neo-modernis Pakistan, Fazlur

Rahman, dalam dekade-dekade terakhir kehidupannya telah

berusaha  merumuskan dan menawarkan suatu kerangka konseptual

penafsiran al-Quran untuk menjawab berbagai tantangan serius

yang disodorkan modernitas dan  mengatasi krisis yang dihadapi

pemikiran Islam modern. Sekalipun Rahman secara spesifik tidak

menulis suatu tafsir al-Quran yang memperlihatkan aplikasi

metodenya, dalam beberapa  tulisannya ia mengemukakan indikasi-

indikasi bagaimana metode itu dijalankan untuk membangun

kembali keseluruhan aspek pemikiran Islam: mulai dari perumusan

pandangan dunia al-Quran, sistematisasi  etik  al-Quran,  sampai

kepada  penubuhan  etik ini  ke  dalam konteks spatio-tempo-

ral yang konkret dewasa ini. Keseluruhan aspek ini , dalam

benak Rahman, berjalin secara koheren dan sekuensial.99  Satu-

satunya karya yang memperlihatkan keterlibatannya yang serius

dalam kajian al-Quran adalah sebuah tafsir tematis, Major Themes

of the Qur’ãn, yang sama sekali tidak memperlihatkan aplikasi

metode tafsir yang ditawarkannya. Karya ini lebih menunjukkan

bagaimana metode ini  telah “diperas” dan mengalami

pemiskinan konseptual.

Kerangka konseptual yang diusulkan Rahman – berupa gerakan

ganda: dari situasi sekarang ke masa pewahyuan al-Quran,

kemudian kembali lagi ke masa kini – mengharuskan kita

memandang ajaran al-Quran secara utuh dan dalam bentangan

pewahyuannya, tanpa memperlakukan ayat-ayat tertentu al-Quran

secara terpilah-pilah. Dengan mendasarkan diri pada kajian

menyeluruh terhadap latar belakang kesejarahan makro al-Quran

dan situasi-situasi kesejarahan mikro di mana ajaran-ajaran spesifik

dipermaklumkan, langkah selanjutnya adalah menggeneralisasikan

jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakannya sebagai

pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial

umum. Setelah sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan

tujuan-tujuan jangka panjang al-Quran melalui langkah-langkah

ini , pandangan umum ini harus ditubuhkan ke dalam konteks

sosio-historis yang konkret dewasa ini, dengan terlebih dahulu

mengkaji cermat situasi kekinisinian untuk mendeterminasi

bagaimana nilai-nilai al-Quran dapat diaplikasikan secara segar.

Pada titik “pembumian” ini, bisa saja terjadi pengubahan ketentuan-

ketentuan masa lampau selaras dengan perubahan situasi masa

kini – asalkan tidak mengkhianati prinsip-prinsip umum dan nilai-

nilai yang telah diperoleh – atau pengubahan situasi sekarang hingga

selaras dengan prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai ini .

Penelusuran terhadap berbagai tafsir modernis akan

memperlihatkan suatu kenyataan sangat mencolok, yakni

penerimaan umum mereka terhadap keseragaman teks dan bacaan

al-Quran. Pencetakan al-Quran edisi standar Mesir memang sangat

berpengaruh dalam menciptakan keseragaman ini  tidak hanya

di dunia Islam, namun  juga di dunia akademik Barat. Bahkan,

pendekatan-pendekatan linguistik dalam tafsir modernis telah

mengabaikan aspek keragaman teks dan bacaan al-Quran yang

mewarnai sejarah awal Islam. Hal ini bisa ditelusuri dalam tafsirnya

Bint al-Syathi’ ataupun dalam berbagai tulisan Arkoun – yang dalam

penafsirannya berangkat dari atau bertumpu pada “Korpus Resmi

Tertutup,” sebagaimana diistilahkannya. Pada butir ini, tradisi yang

diwariskan Zamakhsyari telah ditinggalkan. Padahal pendekatan-

pendekatan linguistik yang mereka gunakan akan membuka

nuansa-nuansa pemaknaan yang lebih luas dan dalam jika

melibatkan tradisi keragaman teks dan bacaan al-Quran.


Terjemahan dan Suntingan al-Quran

Perhatian ilmiah kesarjanaan Barat terhadap al-Quran bermuladengan kunjungan Petrus Venerabilis, Kepala Biara Cluny, ke

Toledo pada perempatan kedua abad ke-12. Dengan pertimbangan

utama membasmi kepercayaan heretik – yakni Yahudi dan Islam –

dan membela keyakinan kristiani, ia membentuk dan membiayai

suatu tim penerjemah yang ditugaskannya menerjemahkan

serangkaian teks Arab yang secara keseluruhan akan merupakan

pijakan ilmiah bagi para misionaris Kristen yang berurusan dengan

Islam. Hasil kerja tim ini , dikenal sebagai Cluniac Corpus,

kemudian tersebar luas. namun , kumpulan terjemahan ini tidak

digunakan secara menyeluruh: hanya bagian-bagian yang memiliki

manfaat langsung dan berguna dalam polemik yang dieksploitasi

dan  dikutip tanpa komentar.

Trauma yang membekas akibat Perang Salib – di mana umat

Kristen berhadapan dengan umat Islam sebagai musuh – tampaknya

telah menyulut semangat apologetik kristiani. Sarjana-sarjana Kristen

yang berada di garis belakang peperangan berusaha  membuat

gambaran-gambaran yang bersifat imajiner untuk mengobarkan

semangat umat Kristiani dan kemudian disebarkan ke berbagai

kalangan di dalam Kristen.2  Jadi, bisa dikatakan bahwa Perang Salib

pada faktanya telah memberi andil yang cukup besar dalam

menciptakan berbagai kesalahpahaman Barat terhadap Islam,3  selain

telah mendorong munculnya usaha -usaha  yang terorganisasi untuk

mempelajari agama ini  melalui kitab sucinya.

Sebagai bagian dari Cluniac Corpus adalah terjemahan al-

Quran ke dalam bahasa Latin yang digarap Robert of Ketton, Liber

legis Saracenorum quem Alcoran Vocant. Terjemahan ini selesai

digarap pada 1143, namun  tidak tersebar luas hingga akhirnya dicetak

di Basle pada 1543 oleh Theodore Bibliander.4  Setelah itu, karya

ini  diterjemahkan ke dalam bahasa Italia, Jerman dan Belanda.

Karya ini memiliki pengaruh cukup luas di kalangan sarjana selama

berabad-abad di Barat dan merupakan sumber utama pengetahuan

orang-orang Eropa tentang al-Quran hingga penghujung abad ke-

17. Ia digunakan oleh hampir seluruh apolog Kristen untuk

menolak Islam, seperti Nicholas of Cusa, Dionysius Carthusianus,

Juan of Torquemada, Juan Luis Vives, Martin Luther, Hugo Grotius,

dan lainnya.5  Namun, terjemahan pertama al-Quran ke dalam

bahasa Latin ini memiliki beberapa  cacat mendasar dan, dalam

kebanyakan kasus, tidak akurat atau bahkan salah-terjemah (mis-

translation).6  Dikabarkan bahwa Robert selalu cenderung

memperbesar atau melebih-lebihkan suatu teks yang tidak

berbahaya untuk menekankan kejelekan dan kebejatannya, dan 

lebih menyukai suatu pemaknaan yang mustahil dan tidak

memuaskan ketimbang pemaknaan yang memungkinkan, namun 

normal dan pantas.

Dengan jatuhnya Constantinople – kemudian berganti nama

menjadi Istanbul – di belahan benua Eropa ke tangan Turki pada

1453, sikap kalangan tertentu sarjana Kristen terhadap Islam mulai

berubah. Pada 1454, Juan of Segovia mengusulkan diadakannya

serangkaian konferensi dengan para fuqahã’ Muslim. Menurutnya,

cara semacam ini sangat bermanfaat sekalipun tidak dapat

mengubah keyakinan keagamaan mereka. Ia juga dikabarkan

menggarap suatu terjemahan al-Quran – kini telah hilang – yang

di dalamnya diusaha kan untuk menghindar dari kekeliruan-

kekeliruan terjemahan Cluniac Corpus yang telah mengubah

makna orisinal katab suci itu dengan menyelaraskannya kepada

konsep-konsep Latin.8  Gagasan Segovia mendapat dukungan dari

beberapa  kecil sarjana, di antaranya adalah Nicholas of Cusa, namun 

secara umum kecenderungan positif ini tidak begitu berpengaruh

di dalam dunia Kristen saat  itu hingga beberapa waktu

kemudian.

Pada permulaan abad ke-16 sarjana-sarjana Eropa mulai secara

serius mengkaji Islam. Guillaume Postel merupakan tokoh yang

paling bermakna kontribusinya dalam pengembangan kajian-kajian

bahasa dan warga  Timur, dan  pada waktu yang sama juga

telah mengumpulkan beberapa  besar manuskrip.10  Kemajuan luar

biasa ini, khususnya dalam studi bahasa Arab, telah membuahkan

hasil berupa sikap kritis terhadap terjemahan al-Quran Cluniac

Corpus. Pada permulaan abad berikutnya, Joseph Scaliger dan Tho-

mas Erpenius dari Universitas Leiden dengan jelas menegaskan

ketidaksempurnaan terjemahan Latin al-Quran dalam korpus

ini . Pada permulaan abad berikutnya, Adrian Reland,

orientalis Belanda terkemuka dari Utrecht, memberi peringatan

kepada mahasiswa jurusan teologi untuk tidak menggunakan

sumber-sumber selain yang berbahasa Arab dalam rangka

memperoleh informasi yang betul tentang Islam. Peringatan ini

dikemukakan dalam karya berbahasa Latinnya, De reliogione

Mohammedica libri duo (1705), dan di antara buku-buku yang

secara eksplisit diingatkannya untuk tidak digunakan adalah

terjemahan Latin al-Quran Cluniac Corpus.

Terjemahan al-Quran berikutnya dalam bahasa Latin, Alcorani

Textus Universus,  digarap seorang pendeta Italia, Ludovico Marraci,

langsung dari teks Arab. Terjemahan ini dipublikasi di Padua pada

1698, bersama-sama dengan teks orisinalnya, dan  catatan-catatan

penjelasan dan bantahan (Refutatio Alcorani). Teks Arab yang

didan kan Marraci dalam terjemahannya disusun berdasar 

beberapa  manuskrip. Dibandingkan terjemahan pertama al-Quran

Cluniac Corpus, terjemahan Marraci terlihat lebih cermat.

Dikabarkan bahwa ia telah mempelajari al-Quran selama 40 tahun

dan mengakrabi karya-karya mufassir Muslim terkemuka.12  Tentang

terjemahan ini, George Sale berkomentar: “Secara umum,

terjemahannya sangat tepat, namun  mengikuti ungkapan Arab terlalu

harfiah, sehingga tidak mudah dipahami.” Catatan penjelasannya,

menurut Sale, cukup berharga, namun  bantahannya “tidak

memuaskan dan terkadang menyimpang.”

Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Eropa lainnya pertama

kali dilakukan ke dalam bahasa Italia oleh Andrea Arrivabene,

Alcorano di Macometto, dan diterbitkan pada 1547.14  Sekalipun

penerjemahnya mengklaim langsung menerjemahkan dari teks

Arab, namun  hasil penelitian menunjukkan bahwa karya ini 

merupakan salinan Italia dari terjemahan Latin Cluniac Corpus.

Dengan demikian, berbagai kelemahan yang ada dalam terjemahan

pertama Latin itu juga menimpa karya ini. Belakangan, muncul

terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Italia lainnya, seperti yang

digarap, antara lain, oleh Calza (1847), Fracassi (1914), Bonelli

(1929), Bausani (1955), dan Moreno (1967).

Meski dengan kualitas yang kurang baik, terjemahan Italia

Arrivabene telah digunakan dalam terjemahan pertama al-Quran

ke dalam bahasa Jerman pada 1616. Terjemahan ini digarap

Solomon Schweigger, pendeta  gereja perempuan di Nuernberg.

Pada gilirannya, terjemahan Schweigger membentuk basis

terjemahan anonim al-Quran pertama ke dalam bahasa Belanda,

De Arabische Alcoran, yang terbit pada 1641. Terjemahan al-Quran

ke dalam bahasa Jerman yang didasarkan langsung pada teks

orisinal Arab, pertama kali dilakukan oleh D.F. Mergelin, Die

tuerkische Bibel, yang terbit pada 1772 di Frankfurt. Setelah itu,

menyusul terjemahan al-Quran lainnya ke dalam bahasa Jerman,

seperti yang digarap oleh Lange (1688), Arnold (1746), Boysen

(1773) yang kemudian direvisi oleh Wahl (1828), Ulmann (1840),

Henning (1901), dan Paret (1966). Sementara terjemahan lainnya

ke dalam bahasa Belanda, antara lain, digarap oleh  Glazemaker

(1658), Tollens (1859), Keyzer (1860), dan Kramers (1956).15

Noeldeke menilai bahwa terjemahan-terjemahan al-Quran

berbahasa Jerman yang ada – paling tidak sampai ke masanya –

belum bisa menandingi terjemahan al-Quran ke dalam bahasa

Inggris.16  Penilaian Noeldeke atas terjemahan-terjemahan al-Quran

ke dalam bahasa Jerman ini barangkali tidak dapat diaplikasikan

secara sepenuhnya terhadap terjemahan Rudi Paret, Der Koran

(1966), seorang  sarjana Jerman yang menjadikan al-Quran sebagai

pusat perhatian utamanya. Terjemahan Paret muncul secara berkala

dalam empat Lieferungen (“bagian”) mulai 1963 sampai 1966 di

Stuttgart, kemudian diterbitkan secara lengkap dalam berbagai edisi.

Terjemahan ini, selain dimaksudkan untuk mengungkapkan

pemahaman al-Quran secara historis, terutama didasarkan pada

perbandingan menyeluruh atas semua contoh penggunaan

ungkapan al-Quran. sebab  itu, karya Paret menjanjikan suatu

terjemahan yang akurat dari makna-makna al-Quran sebagaimana

dipahami pendengar pertamanya. Tidak ada usaha  untuk

menerapkan analisis sturktural yang “njelimet,” dan tidak ada

catatan apapun, selain tambahan penjelasan yang ditempatkan

dalam teks terjemahan di dalam tanda kurung, dan  dalam catatan

kaki untuk terjemahan harfiah kata-kata tertentu yang dalam teks

utama diterjemahkan secara bebas demi kepentingan gaya dan 

kejelasan makna. namun , dalam edisi belakangan

(Taschenbuchausgabe, “edisi buku-saku,” 1979), selain sistem

penghitungan   ayat  al-Quran edisi  Fluegel   ditinggalkan   dan

diganti dengan   sistem penomoran ayat al-Quran edisi standar

Mesir, catatan-catatan kaki kini ditempatkan ke dalam teks. Dengan

demikian, jumlah penjelasan yang ditempatkan di dalam tanda

kurung bertambah banyak. Namun, sekalipun tidak begitu disukai

Paret, hal ini diimbangi dengan penghilangan ungkapan-ungkapan

Arab yang ditransliterasikan dalam edisi sebelumnya dan

ditempatkan dalam tanda kurung.

Andrew Du Ryer, yang pernah menjadi Konsul Perancis di

Mesir, merupakan penerjemah pertama al-Quran ke dalam bahasa

Perancis. Karya terjemahannya, L’alcoran de Mahomet translatè

d’arabe en françois, muncul dalam berbagai edisi antara 1647

sampai 1775. Setiap edisinya berisi suatu ringkasan “agama orang

Turki” – yakni Islam – dan dokumen-dokumen lainnya. namun ,

Sale menilai terjemahan ini tidak akurat, mengandung banyak

perubahan, pengurangan dan bahkan tambahan. Terjemahan ke

dalam bahasa Perancis yang lebih baik muncul setelah itu, antara

lain digarap oleh Savary (1751), Kasimirski (1840), Pauthier (1852),

Montet (1929), Blachere (1949), Mercier (1956), dan Mason (1967).

Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Inggris pertama kali

digarap oleh Alexander Ross dan terbit pada 1649. Karya ini tidak

langsung mengacu kepada teks orisinal Arab, namun  didasarkan

pada terjemahan Perancis Du Ryer. Dengan demikian, berbagai

kelemahan dalam terjemahan Du Ryer juga menimpa terjemahan

Ross. Tingkat akurasi yang lebih baik dicapai dalam terjemahan

al-Quran yang disusun George Sale, terbit pada 1734. Dalam

terjemahannya, Sale menyertakan suatu “Prawacana” (Preliminary

Discourse) berisi pemikiran-pemikiran obyektif yang ringkas

tentang Islam. Terjemahan ini didasarkan pada karya-karya para

mufassir Muslim, khususnya al-Baydlawi, dan didan i catatan-

catatan penjelasan yang singkat, berimbang dan informatif. Setelah

itu, muncul berbagai terjemahan Inggirs lainnya, seperti yang

digarap oleh Rodwell (1861), Palmer (1880), Bell (1937-1939), dan

Arberry (1953).

Terjemahan Bell, The Qur’an Translated, with a critical rear-

rangement of the Surahs, terbit dalam dua jilid, merupakan

terjemahan yang unik, sebab  usaha  penyusunnya untuk menata

ulang secara kritis materi-materi al-Quran ke dalam berbagai periode

pewahyuan. Lantaran asumsi-asumsinya tentang al-Quran, seperti

telah diutarakan dalam bab 3, Bell memilah-milah bagian-bagian

– bahkan ayat – al-Quran  ke dalam potongan-potongan kecil dalam

usaha  memberikan penanggalan atasnya. namun , usaha  ini sebagian

besarnya lebih bersifat tentatif ketimbang meyakinkan.18

Pemotongan-pemotongan yang dilakukan Bell, pada faktanya, lebih

banyak mengganggu alur terjemahan dan menyulitkan

pembacanya.

Sementara dua jilid terjemahan Arthur J. Arberry, The Koran

Interpreted (1955), dapat dipandang sebagai salah satu terjemahan

terbaik al-Quran ke dalam bahasa Inggris.19  Karya ini adalah

kelanjutan dari terbitan perdananya, The Holy Qur’an: An Intro-

duction with Selections (1953),yang merupakan suatu terjemahan

eksperimental bagian-bagian terpilih al-Quran dengan

menggunakan berbagai metode. Dalam The Koran Interpreted,

Arberry memperlakukan setiap surat sebagai suatu kesatuan di

dalam dirinya dan  memandang al-Quran sebagai suatu wahyu

yang sederhana dan konsisten. Tentang terjemahannya, yang

berusaha  menjaga keindahan ritme al-Quran sejauh mungkin,

Arberry menulis “Karakteristik paling menonjol al-Quran ini –

yakni ‘simfoni yang tidak tertirukan,’ sebagaimana orang beriman

seperti Pickthall melukiskan kitab sucinya: ‘suara terdalam yang

membuat manusia menangis dan gembira’ – hampir secara total

dikesampingkan penerjemah-penerjemah al-Quran yang sudah-

sudah.”20  Sekalipun demikian, Arberry – sehubungan dengan usaha 

pemeliharaan ritme ini  – mengakui terjemahannya merupakan

“poor echo ... of the glorious original.”21

ada  terjemahan-terjemahan al-Quran lainnya ke dalam

berbagai bahasa Eropa yang digarap beberapa  sarjana Barat. Secara

ringkas, terjemahan-terjemahan ini dapat dikemukakan sebagai

berikut:

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Rusia digarap antara

lain oleh Postnikov (1716), Veryovkin (1790), Nikolaev

(1864), Sublukov (1877), Krimskiy (1902), Krackovskiy

(1963), dan lainnya.

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Polandia digarap

oleh  Sobolewski (1828), dan Buczacki (1858).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Hungaria disusun

oleh Szdmajer (1831), menyusul terjemahan Szokolay

(1854).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Swedia digarap oleh

Crusenstolpe (1843), Tornberg (1874), Zettersteen (1917),

dan Ohlmarks (1961).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Spanyol dibuat oleh

Gerber de Robles, Ortiz de la Puebla (1872), Bergua (1931),

Cansinos Assens (1951), Vernet Gines (1953), Cardona

Castro (1965), dan lain-lain.

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Yunani oleh Pentake

(1878), dan Zographou-Meraniou (1959).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Potugis terbit

pertama kali tanpa nama penerjemah (anonim) pada 1882,

menyusul terjemahan Castro (1964).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Serbo-Kroasia

dilakukan oleh Ljubibratic (1895), Pandza dan Causevic

(1936), dan Karabeg (1937).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Bulgaria disusun

oleh Lica (1902), menyusul terjemahan Tomov dan Skulov

sekitar 1930.

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Rumania digarap

oleh Isopescul (1912).

- Terjemahan al-Quran kedalam bahasa Cheko ditulis oleh

Vesely (1913), Nykl (1934), dan Hrbek (1972).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Denmark digarap

oleh Buhl (1921, edisi kedua 1954), dan Madsen (1967),

yang disusun secara kronologis.

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Finlandia ditulis

oleh ahsen Boere (1942), dan kemudian  Aro (1957).

Selain  itu, ada  beberapa  terjemahan parsial al-Quran ke

dalam bahasa Albania dan Norwegia, juga sebuah manuskrip

terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Ukraina yang digarap

Volodymyr Lezevyc. Artikel J.D. Pearson, “Bibliography of Trans-

lations of the Koran into European Languages,” dalam The Cam-

bridge History of Arabic Literatur, memberikan gambaran lengkap

tentang berbagai usaha  penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa-

bahasa Eropa yang dilakukan para sarjana Barat maupun Mus-

lim,

Dalam kaitannya dengan penyuntingan teks al-Quran, di atas

telah disebutkan usaha  rintisan yang dilakukan Marraci dari

beberapa  manuskrip al-Quran untuk tujuan penerjemahan Latin

yang dilakukannya. namun , tingkat kesarjanaan yang lebih baik

dicapai Gustav Leberecht Fluegel dalam suntingannya, Corani

Textus Arabicus (1834).24  usaha  penyuntingannya dilakukan

dengan meramu bacaan-bacaan kanonik yang tujuh dalam rangka

memperoleh suatu teks al-Quran yang relatif lancar dan mudah

dipahami. namun  lantaran harmonisasi ini, dan juga sebab 

pertimbangan terhadap kesatuan gagasan dan akhiran rima, sistem

penomoran ayat yang digunakan dalam edisi ini  berbeda dari

berbagai edisi al-Quran yang telah eksis di Barat. Bahkan  teks

edisi Fluegel  juga  relatif  berbeda dari tradisi tekstual yang ada di

dunia Islam  –  yang secara konsisten mengikuti salah satu dari

ketujuh bacaan resmi dalam penulisan al-Quran – maupun dengan

teks edisi standar Mesir. namun , seleksi berbagai bacaan dalam kiraah

tujuh yang dipraktekkan Fluegel, pada faktanya, merupakan

penerapan kembali prinsip ikhtiyãr dalam kiraah dari periode klasik

Islam yang, dalam perjalanan sejarah Islam, telah mengalami proses

pemiskinan konseptual dan bisa dikatakan selesai setelah penerbitan

al-Quran edisi standar Mesir pada 1923. Fluegel juga menyertakan

semacam indeks untuk edisi al-Qurannya, Concordantiae Corani

Arabicae, yang diterbitkan secara terpisah pada 1842.

Kedua karya Fluegel di atas memiliki pengaruh yang merata

di kalangan sarjana Barat hingga beberapa dekade setelah penerbitan

al-Quran edisi standar Mesir. namun , dominasinya mulai menyurut

pada penghujung abad ke-20, saat  edisi standar Mesir memperluas

pengaruhnya ke Barat dan menggantikan peran edisi Fluegel sebagai

rujukan satu-satunya di belahan dunia ini , sebagaimana halnya

di sebagian besar dunia Islam.

Tabel berikut memperlihatkan perbedaan sistem penomoran

ayat dalam teks Fluegel dari sistem penomoran ayat edisi al-Quran

Mesir, yang sekaligus berfungsi sebagai tabel konversi ayat untuk

kedua teks ini :

Tabel Perbandingan dan Konversi

Ayat Teks Fluegel dan Teks Mesir

     No. Surat                 Nama Surat                     Nomor Ayat                Nomor Ayat

                                                                        Teks Fluegel                 Teks Mesir

1 al-Fãtihah 1-6 + 1

2 al-Baqarah 1-19 + 1

19-38 + 2

38-61 + 3

61-63 + 4

63-73 + 5

73-137 + 6

138-172 + 5

173-212 + 4

213-216 + 3

217-218 + 2

219-220 + 1

236-258  - 1

259-269  - 2

270-273  - 3

273-274  - 2

274-277  - 1

3 Ãli ‘Imrãn 1-4 + 1

4-18 + 2

19-27 + 1

27-29 + 2

29-30 + 3

30-31 + 4

31-34 + 5

43-44 + 6

44-68 + 7

69-91 + 6

92-98 + 5

99-122 + 4

122-126 + 5

126-141 + 6

141-145 + 7

146-173 + 6

174-175 + 5

176-179 + 4

180-190 + 3

191-193 + 2

194 + 1

196-198 + 1

    4 al-Nisã’ 3-5 + 1


7-13  -1

14  -2

15  -3

16-29  -4

30-32  -5

32-45  -4

45-47  -3

47-48  -2

49-70  -3

70-100  -2

100-106  -1

118-156 +1

156-170 +2

171-172 +1

174-175 +1

5 al-Mã’idah 3-4  -1

5-8  -2

9-18  -3

18-19  -2

20-35  -3

35-52  -4

53-70  -5

70-82  -4

82-88  -3

88-93  -2

93-98  -1

101-109 +1

6 al-An‘ãm 66-72 +1

136-163  -1

7 al-A‘rãf 1-28 +1

28-103 +2

103-131 +3

131-139 +4

140-143 +3

144-146 +2

147-157 +1

166-186 +1

191-205 +1

8 al-Anfãl 37-43  -1

44-64  -2

64-76  -1

9 al-Tawbah 62-130 - 1

10 Yûnus 11-80 - 1

11 Hûd 6  -1

7-9  -2

10-22  -3

22-54  -2

55-77  -3

77-84  -2

84-87  -1

88-95  -2

96-99  -3

99-120  -2

120-122  -1

12 Yûsuf 97-103  -1

13 al-Ra‘d 6-18  -1

28-30 +1

14 Ibrãhîm 10-11  -1

12-13  -2

14-24  -3

25-26  -4

27-37  -5

37  -4

37-41  -3

41-42  -2

42-45  -1

46-47  -2

47-51  -1

15 al-Hijr Identik  Identik

16 al-Nahl 22-24  -1

25-110  -2

110-128  -1

17 al-Isrã’ 10-26  -1

27-48  -2

49-53  -3

53-106  -2

106-108  -1

18 al-Kahfi 2-21 +1

23-31 +1

31-55 +2

56-83 +1

83-84 +2

85-97 +1

19 Maryam 1-3 +1

8-14  -1

27-76  -1

77-78  -2

79-91  -3

91-93  -2

93-94  -1

20 Thã-hã 1-9 +1

16-34  -1

40-41  -1

42-63  -2

64-75  -3

75-79  -2

80-81  -3

81-88  -2

89-90  -3

90-94  -2

94-96  -1

106-115 +1

115-121 +2

122-123 +1

21 al-Anbiyã’ 29-67  -1

22 al-Hajj 19-21  -1

26-43 +1

43-77 +1

23 al-Mu’minûn 28-34  -1

35-117  -2

117  -1

24 al-Nûr 14-18 +1

44-60 +1

25 al-Furqãn 4-20  -1

21-60  -2

60-66  -1

26 al-Syu‘arã’ 1-48 +1

228  -1

27 al-Naml 45-66  -1

67-95  -2

28 al-Qashash 1-22 +1

29 al-’Ankabût 1-51 +1

30 al-Rûm 1-54 +1

31 Luqmãn 1-32 +1

32 al-Sajdah 1-9 +1

33 al-Ahzãb 41-49 +1

34 Saba’ 10-53 +1

35 Fãthir 8-20  -1

20-21 +1

21-25 +2

25-34 +3

35-41 +2

42-44 +1

36 Yã-Sîn 1-30 +1

37 al-Shãffãt 29-47 +1

47-100 +2

101 +1

38 Shãd 1-43 +1

76-85 +1

39 al-Zumar 4  -1

5-9  -2

10-14  -3

14-19  -2

19-63  -1

40 al-Mu’minûn 1-2 +1

19-32  -1

33-39  -2

40-56  -3

56-73  -2

73-74  -1

41 Fushshilat 1-26 +1

42 al-Syûrã 1-11 +2

12-31 +1

31-42 +2

43-50 +1

43 al-Zukhruf 1-51 +1

44 al-Dukhãn 1-36 +1

45 al-Jãtsiyah 1-36 +1

46 al-Ahqãf 1-34 +1

47 Muhammad 5-16  -1

17-40  -2

48 al-Fath Identik Identik

49 al-Hujurãt Identik Identik

50 Qãf 13-44 +1

51 al-Dzãriyãt Identik Identik

52 al-Thûr Identik Identik

53 al-Najm 27-58  -1

54 al-Qamar Identik Identik

55 al-Rahmãn 1-16 +1

56 al-Wãqi‘ah 22-46 +1

66-91 +1

57 al-Hadîd 13-19 +1

58 al-Mujãdalah 3 - 21  -1

59 al-Hasyr Identik Identik

60 al-Mumtahanah Identik Identik

61 al-Shaff Identik Identik

62 al-Jumu‘ah Identik Identik

63 al-Munãfiqûn Identik Identik

64 al-Tagãbun Identik Identik

65 al-Thalãq Identik Identik

66 al-Tahrîm Identik Identik

67 al-Mulk Identik Identik

68 al-Qalam Identik Identik

69 al-Hãqqah Identik Identik

70 al-Ma‘ãrij Identik Identik

71 Nûh 5-22 +1

26-29 +1

72 al-Jinn 23-26  -1

73 al-Muzzammil Identik Identik

74 al-Muddatstsir 32  -1

33  -2

34-41  -3

41-42  -2

42-51  -1

54-55 +1

75 al-Qiyãmah Identik Identik

76 al-Insãn Identik Identik

77 al-Mursalãt Identik Identik

78 al-Naba’ 41  -1

79 al-Nãzi‘ãt Identik Identik

80 ‘Abasa 15-18 +1

81 al-Takwîr Identik Identik

82 al-Infithãr Identik Identik

83 al-Muttaffifîn Identik Identik

84 al-Insyiqãq Identik Identik

85 al-Burûj Identik Identik

86 al-Thãriq Identik Identik

87 al-A‘lã Identik Identik

88 al-Gãsyiyah Identik Identik

89 al-Fajr 1-14 +1

17-25  -1

90 al-Balad Identik Identik

91 al-Syams Identik Identik

92 al-Layl Identik Identik

93 al-Dluhã Identik Identik

94 Alam nasyrah Identik Identik

95 al-Tîn Identik Identik

96 al-‘Alaq Identik Identik

97 al-Qadr Identik Identik

98 al-Bayyinah 2-7 +1

99 al-Zalzalah Identik Identik

100 al-‘Ãdiyat Identik Identik

101 al-Qãri‘ah 1-5 +1

5-6 +2

6-8 +3

102 al-Takãtsur Identik Identik

103 al-‘Ashr Identik Identik

104 al-Humazah Identik Identik

105 al-Fîl Identik Identik

106 Quraisy 3 +1

107 al-Mã‘ûn Identik Identik

108 al-Kawtsar Identik Identik

109 al-Kãfirûn Identik Identik

110 al-Nashr Identik Identik

111 al-Masad Identik Identik

112 al-Ikhlãsh Identik Identik

113 al-Falaq Identik Identik

114 al-Nãs Identik Identik

Keterangan:

Hanya perbedaan dalam penomoran ayat yang dikemukakan dalam tabel di atas. Kolom ketiga menyajikan

nomor ayat dalam teks al-Quran edisi Fluegel. Nomor ayat yang berbeda dalam edisi Mesir diperoleh

dengan menambahkan (+) atau mengurangkan (-), seperti ditunjukkan. Contohnya, surat 1:1 edisi Fluegel

sama dengan surat 1:2 dalam edisi Mesir, yakni diperoleh dengan menambahkan satu (+1) ayat. Pada titik-

titik peralihan ayat, penambahan atau pengurangan hanya diterapkan pada suatu bagian ayat dalam salah

satu dari kedua edisi al-Quran ini .

Rencana yang lebih ambisius untuk menyiapkan edisi kritis

al-Quran kemudian dicanangkan oleh Gotthelf Bergstraesser,

Arthur Jeffery dan Otto Pretzl.26  Pada 1926, Jeffery dan Bergstraesser

mencapai kata sepakat untuk berkolaborasi dalam rencana besar

menyiapkan arsip bahan-bahan yang suatu saat  akan

memungkinkan penulisan sejarah perkembangan teks al-Quran.

Sebagai salah satu tahap pelaksanaan rencana besar ini adalah

penerbitan edisi teks al-Quran dengan apparatus criticus yang

mengungkapkan himpunan berbagai varian tekstual yang

dikumpulkan dari kitab-kitab tafsir, leksika, kitab-kitab kiraah, dan

sumber-sumber lainnya. namun , mendadak Bergstraesser wafat, dan

Pretzl – pelanjut Bergstraesser di Muenchen – mengambil alih

tanggung jawabnya dalam pelaksanaan rencana ini . Pretzl telah

mulai mengorganisasi arsip yang dibutuh oleh Komisi al-Quran,

yang dibentuk oleh Akademi Bavaria atas prakarsa Bergstraesser,

dan telah menghimpun beberapa  besar salinan fotografis

manuskrip al-Quran beraksara kufi yang awal dan karya-karya awal

tentang kiraah yang belum diterbitkan. Di sisi lain, Jeffery juga

telah menghimpun beberapa  bahan dari masa awal Islam dan

menelusuri berbagai varian bacaan dalam karya-karya klasik.

Bahan-bahan yang dikumpulkan ketiga sarjana diatas

sebagiannya telah mulai diterbitkan. namun , perang Dunia ke-2,

yang meluluhlantakkan Jerman dan membagi negeri itu menjadi

dua, telah memporak-porandakan rencana besar ketiga sarjana

ini . beberapa  besar bahan yang dengan susah payah telah

dihimpun, musnah dihajar bom-bom Sekutu. Sampai wafatnya

Pretzl dan Jeffery, rencana ambisius penerbitan edisi kritis al-Quran

tidak pernah terlaksana.

Sekalipun manuskrip-manuskrip lama kini mudah didapatkan,

yang tentunya akan menjustifikasi rencana edisi kritis al-Quran,

namun  tidak satu pun sarjana Barat yang berminat melanjutkannya.

Gerd-R. Puin mengemukakan secara implisit kemungkinan

pelaksanaan rencana ini . Menurutnya, sekalipun suatu

himpunan lengkap varian bacaan al-Quran tidak akan

menimbulkan suatu terobosan dalam kajian-kajian al-Quran, namun 

himpunan ini akan mengungkapkan tahapan-tahapan ortografi

al-Quran dan tulisan Arab.27  Bisa ditambahkan bahwa penerimaan

umum sarjana Barat terhadap al-Quran edisi standar


sejarah alquran 14


 hasil

memapankan dirinya sebagai textus receptus.

Edisi kanonik utsmani, selaras dengan kenyataan sejarah, telah

mencakupkan keseluruhan wahyu ilahi yang diterima Nabi yang

semestinya dimasukkan ke dalamnya. ada  berbagai laporan

tentang eksistensi bagian-bagian tertentu al-Quran yang tidak

direkam secara tertulis ke dalam mushaf oleh komisi Zayd, dan

sebab  itu menggoyahkan otentisitas dan  integritas kodifikasi

Utsman. namun , sebagian besar laporan ini  secara pasti

merupakan fabrikasi belakangan. Ortodoksi Islam mengajukan

solusi lain tentangnya dengan mengaplikasikan doktrin al-nãsikh

wa-l-mansûkh dan menghitung materi-materi yang ada di dalam

laporan-laporan ini  masuk ke dalam kategori wahyu “yang

terhapus” baik hukum maupun bacaannya atau sekedar terhapus

bacaannya saja. Solusi ini jelas tidak realistik dan lebih merupakan

usaha  untuk menjustifikasi berbagai perbedaan dalam penafsiran

al-Quran.  Sementara beberapa  sekte Islam – seperti Syi‘ah dan

Khawarij – juga mengajukan skeptisismenya terhadap otentisitas

dan integritas mushaf utsmani, namun keberatan mereka lebih

bertumpu pada prasangka dogmatis atau etis dan tidak memiliki

pijakan apapun yang solid. Hal yang sama juga berlaku untuk

serangan lainnya yang datang dari beberapa  pengamat Barat.

usaha  Utsman untuk melakukan unifikasi atau standardisasi

teks dan bacaan al-Quran terlihat belum mencapai hasil yang

dihajatkan. Scriptio defectiva yang digunakan untuk menyalin al-

Quran saat  itu masih membuka peluang bagi pembacaan teks

kitab suci secara beragam. Selain non-eksistensi tanda-tanda vokal,

beberapa  konsonan yang berbeda dalam aksara ini dilambangkan

dengan simbol-simbol yang sama. Kekeliruan pembacaan teks al-

Quran (tashhîf ) yang disalin dalam aksara semacam itu tentu saja

bisa diminimalisasi atau dihindari jika seseorang mempunyai tradisi

hafalan yang kuat, atau paling tidak memiliki tingkat keakraban

yang tinggi terhadap teks al-Quran. Bahkan, ada  kesan  yang  kuat

bahwa scriptio defectiva juga turut berperan dalam memunculkan

variae lectiones. namun , asumsi semacam ini tidak dibenarkan dalam

pandangan dunia tradisional, yang menganggap bacaan-bacaan

ini  – khususnya dalam kategori mutawãtir (kiraah tujuh) dan

masyhûr (kiraah sepuluh) – merupakan bacaan-bacaan otentik

untuk al-Quran yang bersumber dari Nabi. Pandangan ini

dipijakkan pada beberapa  hadits yang mengungkapkan tentang

pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahrûf. Namun, hadits-hadits ini,

yang dipandang mutawãtir lantaran diriwayatkan beberapa  besar

sahabat Nabi, layak dipertanyakan keabsahannya. Kalangan Syi‘ah,

misalnya, tidak mengenal keberadaan hadits-hadits semacam itu

dan meyakini bahwa al-Quran hanya diwahyukan dalam satu harf.

Menurut penjelasan tradisional, kekeliruan pembacaan al-

Quranlah yang mendorong dilakukannya penyempurnaan terhadap

rasm al-Quran atas prakarsa otoritas politik, seperti Ziyad ibn

Samiyah dan al-Hajjaj ibn Yusuf. Langkah aktual penyempurnaan-

nya – yakni penciptaan tanda-tanda vokal, titik-titik diakritis untuk

pembedaan konsonan-konsonan bersimbol sama, dan  beberapa 

tanda ortografis lainnya – dikabarkan telah dilakukan oleh beberapa

pakar bahasa, seperti Abu al-Aswad al-Du‘ali, Nashr ibn Ashim,

Yahya ibn Ya‘mur, al-Khalil ibn Ahmad dan lainnya.

Versi tradisional tentang penyempurnaan aksara Arab itu, selain

berkontradiksi antara satu dengan lainnya, juga bertabrakan dengan

temuan-temuan paleografi atau manuskrip-manuskrip al-Quran

yang awal. Dari berbagai temuan ini, dapat disimpulkan bahwa

scriptio plena tidak muncul dalam sesaat , namun  diintroduksi

secara gradual melalui serangkaian perubahan yang bersifat

eksperimental. Penyempurnaan aksara Arab baru mencapai titik

finalnya pada penghujung abad ke-3H/9. Introduksi scriptio plena

dalam penulisan al-Quran juga tidak berlangsung mulus, namun 

penuh dengan kontroversi yang akut dan berkepanjangan di

kalangan sarjana Muslim.

Bentuk tulisan al-Quran, setelah diintroduksinya scriptio plena,

bisa dikatakan sebagai aksara “gado-gado,” lantaran tarik-menarik

dan kompromi antara kekuatan-kekuatan yang menghendaki

penyempurnaan ortografi utsmani dan yang mempertahankan

bentuk orisinalnya. Namun, ortodoksi Islam dengan tegas

menyatakan bahwa penyimpangan terhadap rasm utsmani, yang

diyakini bersifat tawqîfî dan disepakati (ijmã‘ ) dua generasi pertama

Islam, merupakan dosa yang tidak terampuni. Meskipun tidak

ada  keseragaman dalam textus receptus yang awal, namun 

penyimpangan-penyimpangan terhadap rasm al-Quran selalu

diusaha kan dengan berbagai cara untuk diperas keluar.

Dengan demikian, pandangan dunia tradisional telah

melakukan sakralisasi terhadap suatu bentuk tulisan yang lazimnya

dipandang sebagai produk budaya manusia. Suatu usaha 

desakralisasi rasm utsmani mungkin perlu dilakukan, mengikuti

kaidah-kaidah yang lazim dalam penulisan, jika kepentingan

warga  Muslim awam non-Arab dimasukkan ke dalam

pertimbangan. Pada titik ini, kalangan tertentu sarjana Muslim

bahkan mengajukan proposal penggantian aksara Arab dengan

aksara Latin. Gagasan semacam ini mendapat angin dengan

munculnya transliterasi Latin al-Quran di Turki dan beredarnya

salinan tercetak surat-surat tertentu al-Quran dalam aksara Latin –

misalnya surat 36. namun , bentuk teks Arab yang lebih diakrabi

warga  awam tetap merupakan alternatif yang harus

diusaha kan.

Proses sakralisasi yang sama, seperti ditunjukkan dalam

lampiran pertama,  juga terjadi dengan bahasa Arab. Lantaran

dipandang sebagai lingua sacra, berbagai usaha  penerjemahan al-

Quran ke dalam bahasa-bahasa non-Arab telah mengalami

tantangan serius dari mayoritas ortodoksi Islam – kecuali mazhab

Hanafiyah – setidak-tidaknya hingga permulaan abad ke-20.

Sakralisasi bahasa Arab dengan jelas memposisikan al-Quran di

luar jangkauan mayoritas Muslim non-Arab. Kompromi dalam

bentuk kuasi-terjemahan interlinear memang berhasil dicapai, namun 

kemungkinan terjemahan harfiahnya telah ditolak berdasar 

pijakan-pijakan dogmatis. Dalam kasus inipun usaha  desakralisasi

mesti dilakukan. Adalah benar bahwa Tuhan, selaras dengan tradisi

pengutusan-Nya, telah membuat atau mewahyukan al-Quran dalam

bahasa Arab. namun , manusia juga bisa membuat kitab suci itu

menjadi berbahasa Persia, Turki, Urdu, negara kita , atau lainnya.

Kompromi lama tentang terjemahan interlinear barangkali mesti

dipertahankan dalam rangka memelihara kemurnian teks, asalkan

teks yang digunakan itu memberikan “kemudahan” bagi

pembacanya. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam

terjemahan al-Quran adalah eksistensi keragaman teks dan bacaan

kitab suci ini . Tradisi yang sangat kaya ini, jika dieksploitasi

sebagaimana mestinya, jelas akan sangat membantu dalam proses

penerjemahan.

Berdampingan dengan proses introduksi scriptio plena dalam

penyalinan al-Quran, usaha  unifikasi berbagai bacaan al-Quran

(variae lectiones) semakin mengkristal di dalam tubuh umat Is-

lam, seirama dengan penerimaan mushaf utsmani sebagai textus

receptus. usaha  ini mencapai momentumnya pada awal abad ke-

4H/10 setelah scriptio plena mencapai bentuk akhirnya. Proses

unifikasi variae lectiones berlangsung dalam dua etape: unifikasi

bacaan di dalam suatu wilayah, dan unifikasi bacaan antara wilayah-

wilayah. Proses ini berjalan lewat ikhtiyãr yang berorientasi kepada

prinsip mayoritas (ijmã‘ ). namun , saat  tengah berada di etape

kedua, muncul kecenderungan tradisionalisme yang kaku dan

sangat dominan – lantaran dukungan otoritas politik – dan  telah

mendistorsi jalannya proses unifikasi ini . Ibn Mujahid, lewat

kompilasi kiraah tujuhnya, mendesak bahwa penggabungan antara

ragam bacaan yang memiliki asal-usul berbeda tidak diperkenankan,

dan menuntut bahwa setiap sistem bacaan al-Quran mesti

disampaikan dalam keseluruhan bentuknya tanpa perubahan.

Hasilnya, ortodoksi Islam – dengan dukungan penuh otoritas

politik –  menyepakati eksistensi kiraah tujuh (al-qirã’ãt al-sab‘ )

yang dihimpun Ibn Mujahid sebagai bacaan-bacaan otentik atau

lectio vulgata  bagi textus receptus.

Sebagaimana dengan tulisan dan bahasa al-Quran, sakralisasi

juga dilakukan ortodoksi Islam terhadap bacaan kanonik yang

tujuh. Gagasan-gagasan yang berseberangan dengan kesepakatan

tentangnya selalu diusaha kan untuk diperas keluar, dan beberapa 

sarjana Muslim terpaksa menerima nasib sial sebab  menganut

pandangan berbeda. usaha  kritisisme terhadap keragaman bacaan

al-Quran lewat ikhtiyãr, sekalipun masih berlangsung beberapa

saat setelah Ibn Mujahid, tidak memiliki pengaruh yang berarti

dalam pandangan dunia tradisional dan kehilangan maknanya

saat  berhadapan dengan ortodoksi Islam. Kegagalan usaha -usaha 

ini  bisa – atau mesti – dikaitkan dengan kecenderungan umum

yang muncul saat  itu (sekitar abad ke-10) yang memandang bahwa

gerbang ijtihãd telah tertutup. sebab  itu, usaha  untuk

mengaplikasikan ikhtiyãr – yang merefleksikan salah satu aspek

ijtihãd – dalam rangka membangun suatu sistem bacaan yang

tersendiri, tentunya merupakan hal yang tidak diperkenankan lagi.

Seirama dengan pemiskinan konsep ijtihãd – setelah itu hanya

dibatasi pada ijtihãd parsial yang membolehkan reinterpretasi

dalam batas-batas mazhab yang dianut seseorang, atau dalam

masalah-masalah tertentu – iktiyãr juga mengalami proses

pemiskinan konseptualisasi. beberapa  besar otoritas yang

mempraktekkan ikhtiyãr tidak lagi menyeleksi berbagai bacaan

untuk membangun sistem bacaan yang mandiri, namun  hanya untuk

memilih diantara berbagai transmisi (riwãyãt dan thuruq) dalam

satu sistem bacaan kanonik untuk mengisi berbagai kekosongan

yang ada di dalamnya.

Kecenderungan kuat ke arah unifikasi bacaan semakin

mengkristal pada masa-masa selanjutnya. Penemuan mesin cetak

pada abad ke-15 dan penggunaannya dalam pencetakan al-Quran,

telah mempercepat penyebaran naskah yang dicetak menurut suatu

sistem bacaan. Sekalipun sistem bacaan yang tujuh disepakati dalam

teori sebagai bacaan-bacaan otentik al-Quran, namun dalam praxis

hanya dua dari empat belas versi (riwãyãt) bacaan ini  yang

dicetak dan digunakan dewasa ini di dunia Islam. Versi pertama,

kiraah Warsy ‘an Nafi‘, digunakan beberapa  kecil kaum Muslimin

di daerah barat dan baratlaut Afrika, dan  di Yaman, khususnya di

kalangan sekte Zaydiyah. Sementara versi kedua, bacaan Hafsh

‘an Ashim, digunakan mayoritas kaum Muslimin di hampir seluruh

dunia Islam, termasuk negara kita . Pencetakan al-Quran edisi standar

Mesir pada 1923, yang disalin dengan bacaan Hafsh ‘an Ashim,

telah menjadikannya semacam supremasi kanonik. Dapat

dibayangkan bahwa pada masa-masa mendatang bacaan Hafsh ‘an

Ashim akan mengeliminasi eksistensi tertulis bacaan lain yang

tersisa, seperti terjadi dengan teks al-Quran edisi  Fluegel di dunia

akademik Barat.

Pada titik ini, gagasan untuk melanjutkan proses unifikasi

bacaan yang terputus dengan munculnya tradisionalisme kaku Ibn

Mujahid bisa dijustifikasi. namun , sebagaimana terlihat, proses

ini  telah lama mandeg dan berbagai usaha  untuk mencairkan

kebekuannya telah berhadapan secara frontal dengan ortodoksi

Islam yang memainkan peran sebagai “polisi” penjaga akidah umat.

usaha -usaha  semacam ini tentunya akan dipandang sebagai bid‘ah

atau penyimpangan terhadap kesepakatan yang telah mapan dalam

pandangan dunia ortodoksi Islam, dan sebab  itu akan selalu

diusaha kan untuk diperas keluar dengan berbagai cara.

namun , implikasi dari proses unifikasi itu, dalam kenyataannya,

telah mempersempit ruang gerak berbagai usaha  serius untuk

memikirkan kembali Islam yang dengan setia berpijak pada akar

spiritualnya. sebab  usaha -usaha  semacam ini hanya bisa bertumpu

pada “Korpus Resmi Tertutup” atau tradisi teks dan bacaan tunggal

yang disepakati. Solusi yang agak moderat dan mungkin bisa

diterima ortodoksi Islam adalah para mufassir modern barangkali

perlu menengok ke dalam tradisi penafsiran al-Quran yang awal –

seperti dicontohkan al-Thabari, Zamakhsyari, dan lainnya – saat 

menjalankan ikhtiyãr atas berbagai keragaman tradisi teks dan

bacaan al-Quran yang ada. Keragaman tradisi teks dan bacaan,

seperti disimpulkan di atas, merupakan fenomena yang menonjol

dalam perjalanan historis al-Quran yang awal. Dengan me-

manfaatkan khazanah yang amat kaya ini secara kritis dalam

penafsiran al-Quran, maka konsensus tentang tradisi teks dan

bacaan tunggal tidak akan dicederai. Di sini, desakralisasi teks dan

bacaan al-Quran hanya terjadi dalam wilayah penafsiran kitab suci

ini .

Akhirnya, tujuan dari kajian ini adalah mengusaha kan suatu

rekonstruksi yang agak rinci terhadap perjalanan historis al-Quran.

Namun, sebagaimana terlihat, tidak seluruh aspek kesejarahan al-

Quran berhasil direkonstruksi secara meyakinkan. Masalah tentang

kronologi pewahyuan al-Quran dan sejarah kemunculan berbagai

tradisi teks dan bacaan al-Quran yang awal – yang sebagian besarnya

telah menghilang di dalam limbo sejarah – dan  sejarah teks dan

bacaan al-Quran pada perkembangan formatifnya, masih tetap

menyimpan beberapa  besar misteri yang menuntut penelitian lebih

jauh dan mendalam tentangnya di masa-masa mendatang.

Wa-llãh a‘lam bi-l-shawãb.


Kaum Muslimin dan al-Quran

Penghafalan dan Pembacaan al-Quran

Dalam bab 4 telah diperlihatkan bahwa bentuk paling awaldari proses interaksi antara generasi pertama Islam dan kalam

ilahi adalah penghafalan wahyu-wahyu yang diterima Nabi. Bentuk

tulisan Arab saat  itu – secara teknis dikenal sebagai scriptio

defectiva – yang lebih merefleksikan dirinya sebagai alat untuk

memudahkan hafalan, telah menunjang proses pemeliharan ver-

bum dei ke dalam “dada-dada manusia.” Bahkan terminus technicus

yang digunakan untuk menunjukkan proses pengumpulan wahyu-

wahyu yang diterima Nabi – yakni jam‘u-l-qur’ãn – juga

mencakupkan hafalan sebagai salah satu kandungan maknanya.

Hafalan, memang merupakan salah satu tradisi bangsa Arab

yang sangat menonjol saat  al-Quran diwahyukan. Lewat tradisi

ini, keseluruhan wahyu yang diterima Nabi telah dipelihara dari

kemusnahannya. Belakangan, saat  dilakukan kodifikasi resmi al-

Quran pada masa pemerintahan Khalifah Utsman, komisi yang

dibentuknya – diketuai oleh Zayd ibn Tsabit – juga telah

memanfaatkan “dada-dada manusia,” yakni hafalan, sebagai sumber

kodifikasi, disamping sumber-sumber tertulis lainnya.

Setelah penyebarluasan salinan-salinan kodifikasi resmi al-Quran

ke berbagai wilayah utama Islam, transmisi al-Quran secara lisan

dalam bentuk hafalan dari generasi ke generasi tetap dipertahankan,

dan merupakan suatu tradisi oral independen yang terpisah dari

teks tertulis.1  Bentuk scriptio defectiva yang digunakan saat  itu

untuk menyalin al-Quran, memang menyulitkan orang untuk

berpijak semata-mata pada teks dalam pembacaan al-Quran. Lantaran

kelemahan scriptio defectiva, sebagian ulama mengungkapkan


laporan lainnya bahwa saat  Utsman mendistribusi salinan-salinan

mushaf resminya ke berbagai wilayah utama imperium Islam, ia

juga mengirim beberapa  qurrã’ menyertai salinan-salinan itu untuk

mengajarkan warga  di wilayah-wilayah ini  bagaimana

membaca teks resmi al-Quran secara tepat.2  namun , kisah semacam

ini tentunya tidak sejalan dengan keberadaan ragam bacaan kanonik

atau lectio vulgata – yakni bacaan tujuh – dan  ragam bacaan non-

utsmani. Jika Utsman telah melakukan kebijakan ini , tidak

mungkin muncul perbedaan bacaan yang relatif cukup banyak di

antara berbagai kawasan Islam ataupun di dalam tradisi bacaan

kanonik itu sendiri. Bahkan, seperti ditunjukkan dalam bab 9,

dalam kasus-kasus tertentu, bacaan-bacaan kanonik juga telah

menyimpang dari teks utsmani.

Menurut keyakinan kaum Muslimin, Al-Quran telah

disampaikan secara oral oleh Nabi kepada pengikut-pengikut

pertamanya (cf.27:92), yang kemudian ditransmisikan juga secara

oral dari generasi ke generasi. Sebagian kaum Muslim bahkan

meyakini bahwa verbum dei telah disampaikan secara oral oleh

Jibril – yang menjelma secara visual – kepada Nabi.4   namun ,

keyakinan terakhir ini mungkin sulit  dijelaskan,  sebab   al-Quran

sendiri menegaskan bahwa ia diwahyukan ke dalam hati Nabi

(26:193; 2:97; 42:4). Penyampaian oral wahyu al-Quran di sini

barangkali mesti ditafsirkan bahwa Nabi memang secara aktual

“mendengar” kata-kata wahyu, namun  dalam pengertian mental,

bukan akustik, sebab  agen wahyu (Jibril) dan “suara” wahyu itu

bersifat internal baginya.

ada  beberapa  hadits yang menjelaskan berbagai usaha 

Nabi dalam mendorong penghafalan wahyu-wahyu yang telah

diterimanya. Salah satu di antaranya adalah riwayat Utsman ibn

Affan bahwa Nabi pernah bersabda: “Yang terbaik di antara kamu

adalah mereka yang mempelajari al-Quran kemudian

mengajarkannya.”6  Nabi, sebagaimana diberitakan, juga mengirim

para sahabat untuk mengajarkan Islam dan al-Quran di berbagai

daerah. Setelah Perjanjian Aqabah, Mus‘ab ibn Umair, misalnya,

diutus Nabi dari Makkah ke Madinah untuk mengajarkan Islam

dan al-Quran kepada orang-orang Islam di kota itu.7  Nabi bahkan

menyarankan kepada umat Islam untuk mempelajari al-Quran dari

Ibn Mas‘ud, Salim, Muadz dan Ubay.

Al-Quran sendiri memberikan rangsangan senada kepada

pembacaan dan penghafalannya. Menurut beberapa  sarjana Mus-

lim, permulaan wahyu yang disampaikan kepada Nabi adalah

perintah untuk membaca (96:1-5).  Dalam 75:18, Nabi

diperintahkan mengikuti pembacaan al-Quran, dan dalam 17:106

dijelaskan bahwa pewahyuan gradual al-Quran dimaksudkan agar

Nabi dapat membacakannya kepada manusia secara bertahap,

menurut kemampuan penerimaan mereka. saat  Nabi

membacakan al-Quran kepada khalayak ramai, Tuhan membuat

penghalang antara yang beriman dan tidak beriman (17:45).

Pengikut-pengikut Nabi, yang mendengar pembacaan al-Qurannya,

diminta untuk mendengar secara hikmat dan menyimak secara

saksama agar beroleh nikmat Tuhan (7:204). Mereka diperintahkan

membaca bagian-bagian termudah al-Quran di dalam shalat (73:20).

Perintah ini, secara jelas akan memotivasi kaum Muslimin untuk

menghafalkan al-Quran.

Dengan demikian, eksistensi beberapa  penghafal al-Quran –

qurrã’, “pembaca-pembaca,” atau hamalãt al-Qur’ãn, “pengemban

atau pembawa (tradisi) Quran,” belakangan juga dikenal sebagai

hãfizh, jamak huffãzh, “penghafal” – jelas merupakan suatu

keharusan sejarah. Dari generasi pertama Islam dikabarkan bahwa

orang pertama yang membaca bagian-bagian al-Quran dengan suara

lantang dan terbuka di Makkah adalah Ibn Mas‘ud, sekalipun ia

mendapat tantangan keras dari orang-orang Quraisy yang

melemparinya dengan batu.9  Diriwayatkan juga bahwa Abu Bakr

selalu membaca ayat-ayat al-Quran secara terang-terangan di depan

rumahnya.10  Lebih jauh hadits-hadits, sebagaimana telah

dikemukakan, melaporkan keberadaan beberapa  besar sahabat Nabi

yang menghafal al-Quran.11  namun , sebab  pewahyuan saat  itu

belum selesai, maka permasalahan tentang kadar hafalan al-Quran

para sahabat ini  tidak dapat ditetapkan secara pasti.

Dalam laporan lainnya, sebagaimana yang juga telah

dikemukakan, disebutkan sekitar 70 hingga 500 qurrã’ yang

meninggal pada pertempuran Yamamah (12H.).12  Laporan ini

tampaknya terlalu dibesar-besarkan, sebab  kebanyakan Muslim

yang meninggal pada pertempuran ini  – jumlahnya sekitar

1200  orang – hampir seluruhnya merupakan pengikut-pengikut

baru Islam. F. Schwallybahkan hanya menemukan dua penghafal


al-Quran – yakni Abd Allah ibn Hafsh ibn Ganim dan Salim ibn

Ma‘qil – yang tewas dalam pertempuran itu.

Sekalipun hanya ditemukan dua penghafal al-Quran yang

meninggal dalam pertempuran Yamamah, namun laporan semacam

ini secara implisit menunjukkan banyaknya kaum Muslimin yang

hafal al-Quran saat  itu, baik sebagian ataupun seluruhnya. namun ,

sebagaimana ditunjukkan di dalam beberapa bab yang lalu, ada 

keragaman bacaan   –   juga teks   –   di antara para  qurrã’,   yang

tetap  dipelihara  dalam transmisinya dari generasi ke generasi.

Setelah penerimaan umum terhadap teks utsmani sebagai textus

receptus, muncul usaha  di kalangan sarjana untuk membatasi

bacaan al-Quran yang bersesuaian dengan teks ini . Namun,

sebab  teks itu tertulis dalam scriptio defectiva, perbedaan-

perbedaan bacaan masih tetap eksis. Setelah proses penyempurnaan

aksara Arab selesai pada penghujung abad ke-9 dan diterapkan

dalam penyalinan al-Quran, muncul usaha  yang lebih kuat ke

arah keseragaman bacaan pada awal abad ke10, yang biasanya

dikaitkan dengan nama besar Ibn Mujahid. Dengan dukungan

otoritas politik, gerakan ini berhasil memeras beberapa  besar bacaan

yang eksis di kota-kota besar Islam saat  itu menjadi tujuh bacaan

(al-qirã’ãt al-sab‘ ), yang kemudian mendominasi pembacaan dan

penghafalan al-Quran di kalangan kaum Muslimin.

Dominasi ini bisa dilacak dalam berbagai sistem pengajaran

al-Quran dan kiraah yang berjalan setelah itu. Al-Syathibi (w. 590H),

misalnya, mengharuskan murid-muridnya yang hendak menjadi

pengajar al-Quran menamatkan secara keseluruhan tiga kali

pembacaan al-Quran menurut masing-masing kiraah dalam bacaan

tujuh – setiap kalinya menurut dua versi (riwãyah) dari tiap-tiap

kiraah,  kemudian sekali lagi dengan mengumpulkan kedua versi

itu secara bersama-sama (jam‘ ).14  Sebelum masa al-Syathibi,

tuntutan yang diajukan pengajar al-Quran lebih berat lagi. Al-

Hushri (w. 486H), mengharuskan 70 kali pengkhataman tujuh

bacaan kanonik.15  Di samping itu, dalam proses pembelajaran ini,

mata rantai periwayatan tiap-tiap kiraah mesti dikuasai.

Tradisi kaum Muslimin, dengan demikian, memberikan tempat

yang sangat khusus kepada pembacaan atau penghafalan al-Quran.

Bahkan, ada  penekanan yang tegas pada pentingnya

pembelajaran al-Quran dalam usia belia. Dikabarkan bahwa salah

satu khalifah banu Umaiyah, Hisyam ibn Abd al-Malik (w. 743),

setelah menunjuk Sulaiman ibn al-Kalbi sebagai tutor agama

anaknya, memberinya petuah: ”Nasihatku yang pertama kepadamu

adalah usaha kanlah agar ia (anakku) belajar Kitab Allah. Setelah

itu, barulah engkau bisa menyampaikan kepadanya karya-karya

puitis pilihan.”

Dikabarkan bahwa pernah menjadi kebiasaan di kalangan

kaum Muslimin untuk mulai mengajarkan anak mereka menghafal

al-Quran saat  berusia empat tahun. Praktek semacam ini biasanya

dihubungkan dengan hadits-hadits tertentu Nabi atau dengan

praktek generasi awal Islam. Jadi, Abu Abd Allah Muhammad ibn

Idris al-Syafi‘i (w. 820), pendiri mazhab Syafi‘iyah, misalnya,

dikabarkan telah menghafal keseluruhan al-Quran saat  berusia

tujuh tahun. namun  Malik ibn Anas tidak menyukai praktek

semacam itu, sebab  menguatirkan kekeliruan artikulasi kata-kata

al-Quran oleh anak-anak yang masih terlalu kecil. Di samping itu,

menurutnya, praktek ini  tentunya akan menghambat

kebebasan bermain mereka yang sangat vital untuk perkembangan

fisiknya.

Selama berabad-abad telah muncul di berbagai wilayah Islam

sekolah-sekolah khusus yang mengajarkan al-Quran kepada anak-

anak kaum Muslimin, baik dengan tujuan agar mereka “melek”

baca al-Quran ataupun mampu menghafalkannya. Nama populer

untuk sekolah ini sangat bervariasi,  namun   pada umumnya dikenal

sebagai kuttãb (jamak: katãtîb). Secara historis, sekolah semacam

itu pertama kali diinstruksikan pembangunannya oleh Khalifah

Umar ibn Khaththab. Sebelumnya, pengajaran al-Quran bagi anak-

anak hanya merupakan urusan pribadi kaum Muslimin, dan

biasanya orang tua mengajarkan anaknya secara privat.18

Sejalan dengan institusionalisasi pengajaran al-Quran, dan

terutama sekali setelah proses unifikasi bacaan al-Quran,

berkembang ilmu spesifik untuk pembacaan al-Quran yang dikenal

sebagai tajwîd – dari kata jawwada, “membuat sesuatu menjadi

lebih baik.” Tajwîd memberikan pedoman bagaimana membaca

al-Quran secara tepat, benar, sempurna, dan – sebab  itu – bertujuan

melindungi lidah melakukan kekeliruan dalam resitasi verbum

dei. Selain membahas masalah artikulasi huruf-huruf hijaiyah, ilmu

ini juga membicarakan tentang aturan-aturan yang mengatur


masalah pausa (waqf), inklinasi (imãlah), dan kontraksi (ikhtishãr),

dan lainnya.

Dalam khazanah literatur Islam, selain tajwîd, ada 

beberapa istilah lain yang lazim digunakan untuk merujuk ilmu

spesifik pembacaan al-Quran ini, yaitu:

(i) Tartîl , berasal dari kata rattala , “melagukan,”

“menyanyikan,” yang pada awal Islam hanya bermakna

pembacaan al-Quran secara melodik. Al-Suyuthi

menjelaskan bahwa tartîl mencakup pemahaman tentang

pausa dalam pembacaan dan artikulasi yang tepat huruf-

huruf hijaiyah. Dewasa ini, istilah ini  tidak hanya

merupakan suatu terma generik untuk pembacaan al-

Quran, namun  juga merujuk kepada pembacaannya secara

cermat dan perlahan-lahan.

(ii) Tilãwah, berasal dari kata talã, “membaca secara tenang,

berimbang dan menyenangkan.” Di masa pra-Islam, kata

ini digunakan untuk merujuk pembacaan syair.

Pembacaan semacam ini mencakup cara sederhana

pendengungan atau pelaguan yang disebut tarannum.

(iii) Qirã’ah, berasal dari kata qara’a, “membaca,” yang mesti

dibedakan dari penggunaannya untuk merujuk keragaman

bacaan al-Quran. Di sini, pembacaan al-Quran mencakup

hal-hal yang ada di dalam istilah-istilah lain, seperti

titinada tinggi dan rendah, penekanan pada pola-pola

durasi bacaan, pausa, dan sebagainya.

Secara historis, pembacaan al-Quran – sebagaimana dituju

dalam tajwîd – telah dimulai pada masa awal Islam. Al-Quran

barangkali telah dibaca sebagaimana pembacaan syair dan sajak

yang menjadi ciri periode ini . M. Talbi mengemukakan bahwa

generasi pertama Islam telah melantunkan al-Quran dengan lagu

yang sederhana.22  namun , setelah berkembang menjadi suatu

disiplin, ilmu tentang seni baca al-Quran ini telah menjadi basis

teoretis dan praxis pengajaran al-Quran di berbagai belahan dunia

Islam.

Di negara kita , pengajaran al-Quran dilakukan dalam bentuk

privat dan institusional.23  Dalam sistem privat, yang biasanya

diberikan di rumah atau di surau, penekanan utamanya hanya

pada tataran “melek” baca al-Quran dengan materi hafalan surat-

surat pendek. Sistem yang digunakan mengikuti kaidah bagdadiyah,

mulai dari pengenalan huruf hijaiyah, dilanjutkan dengan

pembacaan juz ‘amma (juz ke-30, surat 78-114) yang surat-suratnya

disusun terbalik – mulai surat-surat pendek ke arah surat-surat

yang lebih panjang. Pada tahap ini, penghafalan surat-surat pendek

dalam juz ini  ditekankan. Setelah itu, barulah pembacaan

aktual al-Quran dilakukan, mulai dari surat 1 sampai surat 114.

Sistem pengajaran semacam ini membutuhkan waktu yang relatif

cukup lama, namun  penghafalan surat-surat pendek al-Quran –

khususnya juz ‘amma – terlihat berhasil dicapai.

Lantaran berbagai kelemahannya, belakangan sistem

pengajaran ini disempurnakan dengan diintroduksinya metode

baru yang dikenal sebagai iqrã’. Metode ini – ditunjang dengan

beberapa  modul pengajaran – memperkenalkan cara cepat membaca

al-Quran.24  Dalam sistem ini, anak didik pertama-tama diharuskan

menyelesaikan enam modul,25  kemudian dilanjutkan dengan

pembacaan aktual al-Quran –  disebut “tadarus” – yang dimulai

dari surat pertama hingga surat terakhir, sesuai  dengan sekuensi

resmi mushaf  utsmani. Dalam berbagai tahapan pengajaran, anak

didik juga diharuskan menghafalkan surat-surat pendek, bacaan-

bacan untuk praktek ibadah, dan doa-doa sehari-hari, yang juga

memiliki modul tersendiri.

Metode iqrã’ tampaknya cukup berhasil. Hal ini bisa dilihat

dari kemunculan berbagai TPA (Taman Pendidikan al-Quran) dan

TKA (Taman Kanak-kanak Al-Quran) di seluruh wilayah Indone-

sia yang rata-rata menggunakan modul metode ini . namun ,

tujuan penghafalan surat-surat pendek al-Quran dalam sistem ini

terlihat tidak begitu berhasil dibandingkan dengan sistem

sebelumnya – kaidah bagdadiyah.

Sistem pengajaran al-Quran secara institusional diterapkan

dalam berbagai lembaga pendidikan umat Islam, seperti pesantren,

madrasah ataupun perguruan tinggi. Di sini, di samping berbagai

ilmu keislaman lainnya, al-Quran diajarkan secara lebih sistematis

dan dengan pijakan-pijakan teoritis – baik tradisional ataupun

modern – yang solid. Dalam lingkungan lembaga pendidikan

pesantren, ada  beberapa institusi yang mengkhususkan diri

pada penghafalan al-Quran.Pada tingkat perguruan tinggi,

ada  jurusan tafsir-hadits – yang mengikuti model universitas

al-Azhar di Mesir – pada fakultas syari’ah, yang kemudian ditransfer

ke fakultas ushuluddin, di berbagai IAIN (Institut Agama Islam

Negeri) yang ada. Bahkan ada  sebuah perguruan tinggi yang

mengkhususkan diri dalam studi-studi al-Quran, yakni Institut

Ilmu Al-Quran di Jakarta.

Setiap tiga tahun di negara kita  diadakan suatu turnamen

berskala nasional untuk pembacaan al-Quran. Para kontestannya

datang dari seluruh propinsi negeri ini, dan dibedakan menurut

jenis kelamin – pria dan wanita – untuk penjurian. Di samping

itu, pedan  yang buta juga membentuk satu kategori penilaian

yang mencakup penilaian hafalan. Turnamen yang disebut sebagai

MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an, “Kompetisi Pembacaan al-

Quran”) ini, secara luas dipandang kaum Muslimin negara kita 

sebagai suatu disiplin nasional. Kompetisi-kompetisi pada tingkat

kecamatan, kabupaten dan propinsi, biasanya diadakan terlebih

dahulu menjelang turnamen nasional.

namun , salahsatu negeri Islam yang paling terkemuka dalam

pembelajaran al-Quran adalah Mesir, tanah air salah satu perawi

kiraah tujuh, Warsy, yang dilukiskan al-Jazari sebagai syaikh al-

qurrã’.27  Dalam perjalanan sejarah Islam, negeri ini telah menjadi

salah satu pusat pengajaran al-Quran yang terkemuka, di mana

beberapa  mazhab kiraah terkenal berada. Hingga dewasa ini,

penghafalan al-Quran merupakan kesibukan utama anak-anak

kaum Muslimin pada sekolah-sekolah tingkat dasar di Mesir. Dalam

kenyataannya, mata pelajaran inti dalam kurikulum sekolah-sekolah

tingkat dasar, katãtîb dan sekolah-sekolah sejenis, adalah

penghafalan al-Quran. Mata pelajaran lain diajarkan sebagai

tambahan untuk mata pelajaran inti ini . Universitas al-Azhar,

dan pusat-pusat studi yang berafiliasi dengannya, seperti Dar al-

‘Ulum dan Akademi Hukum Syari‘ah, bahkan mensyaratkan

penerimaan mahasiswa yang hafal keseluruhan al-Quran.

Terjemahan al-Quran

Salah satu cara bagi kaum Muslimin non-Arab yang tidak bisa

berbahasa Arab untuk memahami al-Quran adalah lewat

terjemahan kitab suci itu ke dalam bahasa ibu mereka. namun ,

apakah al-Quran – yang menyatakan dirinya diturunkan dalam

bahasa Arab29  – bisa diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa non-

Arab merupakan suatu masalah yang telah menimbulkan

kontroversi akut dan berkepanjangan di dalam sejarah Islam.

Pada masa Nabi, barangkali tidak ada yang pernah mem-

bayangkan kemungkinan bahwa al-Quran mesti diterjemahkan

secara sebagian atau seluruhnya ke dalam suatu bahasa asing.saat 

itu, Islam memang belum melangkah ke luar kawasan Arab. namun ,

dengan tersebarnya Islam memasuki kawasan-kawasan non-Arab,

khususnya Persia untuk tahap awal setelah wafatnya Nabi,

kebutuhan pemeluk-pemeluk baru Islam yang non-Arab akan suatu

terjemahan al-Quran dalam rangka memahami ajaran-ajaran

Islam mulai muncul ke permukaan.

Masalah terjemahan ini pertama kali muncul di kalangan

pengikut baru Islam asal Persia dalam kaitannya dengan pembacaan

al-Quran di dalam shalat: Apakah boleh membaca terjemahan al-

Quran dalam bahasa Persia saat  shalat? Abu Hanifah (w. 767),

pendiri mazhab Hanafiyah, mendeklarasikan kebolehannya baik

untuk yang mengetahui bahasa Arab ataupun tidak.30  Pandangan

ini memang bisa dikaitkan dengan asal-usul Persia Abu Hanifah.

namun , concern keagamaan yang sejati dan pertimbangan-

pertimbangan praktis – yakni membengkaknya pengikut baru Is-

lam non Arab yang berasal dari latar belakang etnis dan linguistik

berbeda – tampaknya lebih menonjol dalam membentuk opini

ini . Dengan demikian, gagasan Abu Hanifah mesti

dipandang sebagai suatu usaha  untuk memecahkan permasalahan

pelik yang dihadapi Muslim-Muslim non-Arab dengan adanya

kewajiban membaca bagian atau ayat-ayat pendek di dalam shalat.

Berbeda dengan mazhab Hanafiyah, mayoritas mazhab Sunni

lainnya – Malikiyah, Syafi‘iyah dan Hanbaliyah – menegaskan

bahwa teks al-Quran mesti dibaca dalam bahasa aslinya, yakni

bahasa Arab. saat  seorang Muslim tidak sanggup membaca al-

Fãtihah dalam bahasa Arab di dalam shalatnya, maka ia harus

menggantinya dengan bagian al-Quran lain yang ia kuasai, atau

berdiam diri, atau mengulang-ulang pembacaan nama Allah untuk

jangka waktu yang sama dengan pembacaan al-Fãtihah.32

Pandangan mazhab Hanafiyah tentang kebolehan penggunaan

terjemahan al-Quran telah memberi tanda bahaya dan bahkan

memperkeras gagasan ortodoksi Islam tentang masalah terjemahan

al-Quran pada umumnya. Untuk menentang penggunaan

terjemahan dalam shalat, fuqahã’ mazhab Sunni lainnya membatasi

persetujuan mereka terhadap penerjemahan al-Quran untuk tujuan-

tujuan di luar shalat dengan syarat-syarat yang tidak jarang

mengarah kepada pelarangannya. Dan gagasan semacam inilah

yang mendominasi ortodoksi Islam selama berabad-abad.

Menurut gagasan mayoritas dalam ortodoksi Islam, terjemahan

al-Quran – dalam pengertian yang sebenarnya dari kata ini  –

adalah suatu kemustahilan. Gagasan ini terutama didasarkan pada

karakter i‘jãz (“keunikan”) al-Quran, yang tidak bisa diimitasi atau

ditandingi manusia dengan cara apapun. Menurut sudut pandang

ini, karakteristik ini  akan hilang dalam terjemahan al-Quran,

sebab  terjemahan dibuat oleh manusia.

Seluruh keberatan ortodoksi Islam terhadap penerjemahan al-

Quran pada faktanya timbul secara logis dari doktrin i‘jãz. Untuk

memperkukuh sudut pandang yang semata-mata bersifat doktrinal

ini, superioritas bahasa Arab atas bahasa-bahasa lainnya dijadikan

sebagai argumen utama. Al-Jahiz (w. 869) dalam salah satu karyanya,

Kitãb al-Hayawãn, bahkan menegaskan kemustahilan penerjemahan

syair-syair Arab ke dalam bahasa-bahasa lainnya,  terlebih lagi bahan-

bahan yang berhubungan dengan agama Islam dan al-Quran

sendiri.Dengan demikian, gagasan-gagasan semacam ini telah

menjadikan bahasa Arab sebagai lingua sacra – bertentangan dengan

pandangan umum yang menganggap bahasa sebagai produk budaya

manusia.

Lebih jauh, ortodoksi Islam menegaskan bahwa suatu

terjemahan al-Quran yang sekaligus bersifat literal dan tepat dari

segi maknanya adalah mustahil. namun , suatu terjemahan dalam

pengertian tafsir dapat dilakukan berdasar  asumsi bahwa teks

orisinal al-Quran tidak tergantikan olehnya. Jadi, naskah-naskah

al-Quran, menurut sudut pandang ini, dapat dilengkapi dengan

semacam kuasi-terjemahan yang bersifat interlinear.  Dan inilah

yang dilakukan selama berabad-abad oleh sarjana Muslim, bahkan

hingga dewasa ini.

Perbedaan antara tafsir dan terjemah tentu saja sangat

mendasar. Analogi persamaan keduanya telah ditentang dengan

keras oleh ortodoksi Islam. Ilustrasi tentangnya bisa dilihat dalam

pernyataan al-Qaffal, seorang yuris mazhab Syafi‘iyah, saat 

pandangannya tentang terjemahan Persia al-Quran sebagai hal yang

mustahil dipermasalahkan: “Kalau begitu, apakah anda mengatakan

bahwa tidak seorang pun yang dapat menafsirkan al-Quran?” Al-

Qaffal tidak mengakui bahwa analogi tentang tafsir sebagai terjemah

ini benar, dan berkata: “Adalah memungkinkan dalam tafsir untuk

menangkap makna beberapa kata dari  firman Allah dan salah

menanggapi kata-kata lainnya; dalam terjemahan, yang

menggantikan satu kata dengan kata lainnya, adalah mustahil

menyampaikan seluruh makna kata-kata Tuhan.”  Jadi, dalam

kasus tafsir, teks orisinal wahyu tetap terjaga dalam bahasa Arab;

sementara dalam kasus terjemahan, teks orisinal wahyu digantikan

oleh terjemahan. Seluruh fuqahã’ bersepakat bahwa tafsir tidak

dapat dibaca dalam shalat, namun  mazhab Hanafiyah membolehkan

pembacaan terjemahan al-Quran.

Barangkali inilah keberatan utama terhadap terjemahan, yakni

ia bisa menggantikan pembacaan teks wahyu orisinal dalam shalat

dan mungkin akan dipandang sebagai al-Quran yang diwahyukan

– suatu gagasan yang dipandang sebagai kekeliruan nyata oleh

seluruh jajaran ortodoksi Islam, kecuali mazhab Hanafiyah. namun 

pandang mazhab Hanafiyah yang tersendiri ini tidak mendapatkan

pengakuan universal, bahkan ditolak di kalangan tertentu pengikut

mazhab ini .

Dengan demikian, pembacaan al-Quran dalam bahasa Persia

merupakan kebolehan teoritis, namun  dalam prakteknya terjemahan

parsial atau keseluruhan al-Quran juga telah diusaha kan. Sayangnya

manuskrip-manuskrip terjemahan al-Quran yang ada – paling awal

berasal dari abad ke-14 dan ke-15 – tidak memungkinkan untuk

menetapkan kapan terjemahan itu pertama kali dilakukan. Memang

ada  laporan bahwa suatu terjemahan al-Quran ke dalam bahasa

Persia telah digarap salah seorang sahabat Nabi, Salman al-Farisi,

pada masa empat khalifah pertama. Demikian pula, ada 

laporan tentang terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Berber

(127H) dan bahasa Sindhi (270H).39  Sayangnya, tak satu pun dari

terjemahan ini  sampai ke tangan kita, sehingga sulit

membuktikan kebenaran laporan-laporan tentangnya.

Dengan dominannya doktrin ortodoksi yang kaku mengenai

terjemahan al-Quran, adalah wajar jika berbagai usaha 

penerjemahan kitab suci ini  ke dalam bahasa-bahasa dunia

Islam non-Arab telah mengalami tantangan serius. Bahkan, sampai

ke masa Syah Wali Allah al-Dihlawi (w. 1762), masalah terjemahan

al-Quran masih tetap ditabukan. Wali Allah dikabarkan telah

menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Persia, yang diberinya

judul Fath al-Rahmãn. namun , usaha  ini mendapat reaksi keras

dari kalangan ulama saat  itu.

Lantaran kuatnya oposisi terhadap terjemahan, tidaklah

mengherankan jika usaha  awal untuk menerjemahkan al-Quran

ke dalam bahasa non Arab dilakukan dengan menerjemahkan

karya-karya tafsir. Salah satu karya tertua dalam bahasa Persia yang

bisa diselamatkan adalah terjemahan kitab tafsir al-Thabari, yang

digarap untuk Abu Shalih Manshur ibn Nuh, penguasa dinasti

Samani di Transoxania dan Khurasan (961-976). Sekalipun tidak

ada  catatan akurat tentang waktu penggarapannya –

diperkirakan digarap pada abad ke-10 –  dalam bagian

pendahuluannya dijelaskan bahwa Abu Shalih, setelah bertanya

kepada para ulama tentang legalitas terjemahan al-Quran ke dalam

bahasa Persia yang dijawab secara negatif, kemudian menitahkan

penggarapan terjemahan karya tafsir ini  kepada ulama dari

berbagai kota di wilayah kekuasaannya.

Di negara kita , cara semacam ini juga ditempuh Abd al-Rauf

Ali al-Fansuri (w. 1690), seorang ulama dari Singkel-Aceh. Menurut

Snouck Hurgronje, pada abad ke-17 Abd al-Rauf menggarap

semacam terjemahan tafsir al-Baydlawi, Anwãr al-Tanzîl, ke dalam

bahasa Melayu. Pendapat ini diikuti oleh penulis Sejarah al-Quran,

AbuBakar Aceh.42  namun , sebagaimana ditunjukkan A.H. Johns

yang digarap Abd al-Rauf adalah terjemahan Tafsîr al-Jalãlayn –

disusun oleh Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuthi –

dengan tambahan beberapa  kutipan dari tafsir al-Baydlawi, bagian

ekstensif dari terjemah-tafsir Melayu surat al-Kahfi yang disusun

oleh al-Khazin, dan beberapa  bagian tentang qirã’ãt yang tidak

terambil dari Tafsîr al-Jalãlayn ataupun tafsir al-Baydlawi.

Permasalahan apakah al-Quran dapat dibaca dalam bahasa non-

Arab di dalam shalat dan  apakah boleh memproduksi dan

menggunakan terjemahan al-Quran, sekali lagi menjadi masalah

akut saat  otoritas politik Turki yang sekuler mulai melakukan

“nasionalisasi” terhadap berbagai bentuk ibadah Islam dan

menerbitkan suatu terjemahan al-Quran dalam bahasa Turki yang

tidak didan i dengan teks asli berbahasa Arab pada penghujung

abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. beberapa  besar otoritas

Sunni di Mesir dan Siria mengutuk usaha  “nasionalisasi” ini ,

bahkan sampai kepada penyitaan dan pelarangan beberapa  besar

terjemahan al-Quran dalam bahasa Inggris dan Turki. Pernyataan-

pernyataan yang dikemukakan dalam hal ini terutama lebih bersifat

polemis dan negatif. Syaikh Muhammad Syakir, mantan Wakîl

Universitas al-Azhar, misalnya, menolak kebolehan membaca

terjemahan al-Quran dalam shalat dan bahkan mencap usaha 

penerjemahannya sebagai perbuatan heretik (bid‘ah). Demikian

pula, Syaikh Muhammad Rasyid Ridla (w.1935) – murid Bapak

modernisme Islam Mesir, Muhammad Abduh (w. 1905) – mengutuk

keras usaha  “nasionalisasi” di Turki dan usaha  penerjemahan al-

Qurannya.46  Oposisi yang kuat terhadap berbagai kebijakan yang

dilakukan di Turki sebenarnya lebih bersifat politik ketimbang

religius. Penghapusan institusi kekhalifahan yang ada di Turki dan

sekularisasi ekstrem yang menjadi kebijakan pokok otoritas politik

di negeri itu, merupakan latar belakang utama dari berbagai

serangan ini .

namun , ulama Hanafiyah terkemuka dari al-Azhar, Musthafa

al-Maragi (w. 1945), dalam suatu artikelnya, “Bahts fî Tarjamat al-

Qur’ãn al-Karîm wa Ahkãmihã” yang dipublikasikan pada 1932,

mengemukakan bahwa seorang Muslim yang tidak memiliki

pengetahuan bahasa Arab secara mutlak wãjib membaca terjemahan

al-Quran yang memadai dalam shalat. Menurutnya, hal terpenting

di dalam shalat adalah makna teks al-Quran, bukan karakter i‘jãz-

nya, dan makna sebenarnya bisa ditransmisikan melalui terjemahan.

Lebih jauh, al-Maragi menilai bahwa adalah tidak realistik

mewajibkan bagian terbesar warga  Muslim dari negeri-negeri

non-Arab untuk mempelajari bahasa Arab lantaran al-Quran yang

berbahasa Arab. Tesis bahwa al-Quran tidak lagi menjadi verbum

dei dalam terjemahan, menurut al-Maragi, hanya absah dengan

prasyarat tertentu. Terjemahan al-Quran secara sederhana tidak

merepresentasikan kata-kata manusia (kalãm al-nãs), sebab 

sekalipun tidak mengandung Kalam Allah secara harfiah,

kandungan terjemahan terdiri dari makna kata-kata Tuhan.  Sejalan

dengan ini, ulama terkenal Mesir lainnya, Farid Wajdi, juga

menunjukkan bahwa menerjemahkan makna (ma‘ãnî) al-Quran

itu diizinkan.

Beberapa saat menjelang dan setelah surutnya kontroversi

tentang “nasionalisasi” Islam di Turki, bermunculan beberapa 

terjemahan al-Quran dalam berbagai bahasa dunia Islam, seperti

dalam bahasa Persia, Urdu, Cina, Burma, Tionghoa dan lainnya.

Dalam bahasa negara kita , muncul beberapa terjemahan al-Quran

yang digarap antara lain oleh A. Hasan, Munawar Khalil, Mahmud

Yunus, dan Kemajuan Islam Yogyakarta. Penerjemahan al-Quran

ke dalam beberapa bahasa daerah di negara kita  – seperti bahasa

Jawa, Sunda, Melayu, Bugis, Makassar, dan lainnya – juga dilakukan.

Pada 1967, Pemerintah negara kita  secara resmi membentuk tim

penerjemah al-Quran yang beranggotakan beberapa  pakar al-Quran

terkemuka di negeri ini – seperti Hasbi Ashshiddieqy, Bustami A.

Gani, Muchtar Yahya, Mukti Ali, KH. A. Musaddad, KH. Ali

Maksum,  dan lainnya. Setelah bekerja selama delapan tahun, tim

ini berhasil menyelesaikan Al-Quran dan Terjemahnya, yang

kemudian diterbitkan dengan anggaran rutin Pemerintah Indone-

sia.

Sementara beberapa  sarjana Muslim lainnya – seperti Maulana

Muhammad Ali, Mirza Abu’l Fazl,50  Bashir al-Din Ahmad,

Muhammad Hamidullah, Sadr-ud-Din, Marmaduke Pickthall,

Muhammad Asad, dan lainnya – juga telah mengusaha kan

penerjamahan al-Quran ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Dengan

pengecualian beberapa terjemahan ke dalam bahasa Eropa,

keseluruhan terjemahan al-Quran dalam berbagai bahasa ini,

sebagaimana dengan terjemahan al-Quran yang digarap pada masa-

masa sebelumnya, mengikuti praktek kuasi-terjemahan yang bersifat

interlinear, di mana setiap baris teks Arab diikuti dengan

terjemahannya, atau teks Arab dan terjemahannya diletakkan secara

berdampingan. Demikian pula, sebagian besar karya ini

menggunakan istilah tafsir sebagai judulnya.

Permasalahan tentang boleh tidaknya menerjemahkan al-

Quran barangkali mesti dilacak di dalam al-Quran sendiri dan

fenomena Islam yang awal. Memang benar bahwa al-Quran itu

diwahyukan dalam bahasa Arab, seperti yang diklaim kitab suci

itu dalam beberapa  kesempatan. namun , pewahyuan dalam bahasa

Arab ini juga mesti diselaraskan dengan doktrin lainnya tentang

universalisme Islam: risalah yang dibawa Nabi adalah untuk seluruh

umat manusia,51  bukan hanya untuk orang Arab.

Penelaahan terhadap konteks beberapa  bagian al-Quran yang

mengekspresikan pewahyuannya dalam bahasa Arab akan

menjelaskan bahwa pemilihan bahasa ini lebih didasarkan pada

tradisi Tuhan yang selalu mengutus rasul dengan bahasa kaumnya

(14:4), berdasar  pertimbangan agar mudah dipahami orang-

orang yang menjadi sasaran dakwah Nabi (12:2; 42:7; 43: 3;) dan

memudahkan bagi Nabi sendiri (19:97). Jika al-Quran diwahyukan

dalam bahasa non-Arab, maka hal ini – selain tidak patut, sebab 

Nabi adalah seorang Arab – akan sulit  dipahami oleh  orang-

orang yang menjadi sasaran dakwah Nabi (41:44). Jadi, alasan

pewahyuan al-Quran dalam bahasa Arab terlihat sangat naturalistik

dan logis, dan  tidak memberi kesan tentang bahasa Arab sebagai

lingua sacra. Penekanannya dalam hal ini adalah pada kemudahan

manusia dalam memahami pesan-pesan Ilahi. Dengan demikian,

doktrin universalisme pesan-pesan ilahi yang dibawa Nabi mesti

dipahami di dalam kerangka tradisi pengutusan ilahi dan

pertimbangan pemilihan bahasa yang sangat naturalistik dan logis

itu.

Di atas telah disinggung bahwa setelah wafatnya Nabi, terjadi

perluasan domain politik ke Persia, dan pada titik ini mulai muncul

masalah tentang terjemahan al-Quran. Ada dua laporan mengenai

aktivitas Salman al-Farisi dalam menangani masalah ini .

Laporan pertama mengemukakan bahwa beberapa orang Persia

meminta Salman menuliskan sesuatu dari al-Quran bagi mereka

dalam bahasa Persia. Salman kemudian menerjemahkan surat al-

Fãtihah untuk mereka. Laporan kedua mengungkapkan bahwa

orang-orang Persia berkirim surat kepada Salman memintanya

menerjemahkan surat al-Fãtihah ke dalam bahasa Persia, yang

dilakukannya. Mereka menggunakan terjemahan itu di dalam shalat

hingga terbiasa. Salman lalu menyampaikan hal ini kepada Nabi,

dan ia tidak mencelanya.

Laporan tentang terjemahan Salman di atas, terutama laporan

kedua, bisa diragukan otentisitasnya, sebab   pada masa Nabi do-

main politik Islam belum meluas ke Persia. Lebih jauh, apabila

Nabi menyetujui pembacaan bagian al-Quran dalam bahasa Per-

sia di waktu shalat, maka masalahnya telah selesai dan tidak

mungkin timbul kontroversi akut tentangnya pada masa

belakangan. Tampaknya, asal-usul Persia Salman, seorang sahabat

Nabi yang merupakan salah satu pengikut Islam pertama dari

kalangan non-Arab, telah membuatnya dijadikan otoritas untuk

fabrikasi kedua laporan ini .

Terlepas dari otentisitas kedua laporan di atas, elan dasar yang

dikandungnya terlihat bersesuaian dengan sikap Nabi terhadap

teks verbal wahyu, seandainya hadits-hadits tentang pewahyuan

al-Quran dalam tujuh ahrûf dipandang absah. Sebagaimana

ditunjukkan dalam bab 9, Nabi biasanya menyelesaikan masalah

perbedaan bacaan al-Quran di kalangan para pengikutnya yang

awal secara fleksibel dan toleran dengan mengungkapkan

pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahruf , dan  selalu

menekankannya sebagai  kemudahan dalam pembacaan kitab suci

itu.

Penyelesaian Nabi ini merupakan pijakan otoritatif bagi

keragaman bacaan yang mewarnai sejarah awal al-Quran,

sebagaimana telah ditunjukkan dalam beberapa bab yang lalu,

khususnya bab 4 dan seterusnya. Kata-kata al-Quran, menurut alur

ini, dapat dibaca menurut berbagai dialek Arab dari mana

pembacanya berasal. namun , di sini timbul permasalahan: apakah

hal ini merupakan suatu lisensi untuk menyimpang secara harfiah

dari teks, dengan ketentuan spirit teksnya tetap terjaga? Al-Thabari,

saat  mendiskusikan berbagai keragaman bacaan al-Quran dalam

tafsirnya, memperlihatkan secara jelas bahwa perbedaan yang terjadi

dalam keragaman pembacaan al-Quran adalah dalam tilãwah,

bukan dalam ma‘ãnî.53  Dengan kata lain, perbedaan terjadi dalam

huruf-huruf teks, bukan dalam spirit teks. Dalam bab 4 dan 5 di

atas juga telah ditunjukkan bahwa dalam mashãhif para sahabat

Nabi – seperti Ali, Ubay, Ibn Mas‘ud dan Ibn Abbas – kemunculan

beberapa  kata yang merupakan sinonim untuk kata-kata dalam

teks utsmani, penyingkatan atau penambahan yang tidak

mempengaruhi makna, dan kasus lainnya yang sejenis, merupakan

hal yang lazim ditemui. Ibn Hajar juga mengemukakan bahwa al-

Quran biasanya dibaca para sahabat Nabi dengan menggunakan

sinonim-sinonim untuk kata-kata yang tidak bisa diucapkan,

sekalipun tidak ada  otoritas tentangnya.54  Sementara Ibn

Mas‘ud bahkan dikabarkan telah melangkah lebih jauh lagi dan

membolehkan pembacaan al-Quran menurut maknanya (al-qirã’-

ah bi-l-ma‘nã). namun , Ibn al-Jazari dengan keras menolak pekabaran

ini: “ wa ammã man yaqûlu innã ba‘da al-shahãbah ka ibn mas‘ûd

kãna yujîzu al-qirã’ah bi-l-ma‘nã  fa qad kadzaba.” 

Sekalipun demikian, jika berbagai ragam bacaan dalam teks

Arab dipraktekkan dan dibolehkan, maka apakah hal ini, secara

analogis, menunjukkan kebolehan menerjemahkan al-Quran ke

dalam bahasa selain Arab?  ada  beberapa isyarat dalam

beberapa  surat Nabi yang dikirim ke berbagai penguasa dunia saat 

itu mengenai masalah ini.56  Jadi, saat  Nabi menulis surat dalam

bahasa Arab ke Penguasa Bizantium, ia tentunya berharap agar

suratnya – di dalamnya ada  suatu kutipan ayat al-Quran (3:64)

– diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, susaha  dapat dipahami

maksudnya. Sebagaimana dikabarkan Ibn Abbas dari Abu Sufyan

ibn Harb bahwa Heraclius memanggil seorang penerjemah untuk

membacakan surat Nabi itu dalam bahasa Yunani, yang berbunyi:

“Dengan Nama Allah Yang Pengasih Yang Penyayang. Dari

Muhammad Utusan Allah kepada Heraclius Penguasa Romawi ….

Hai ahli kitab, marilah menuju suatu kata yang sama antara kami

dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak

menyekutukan sesuatupun dengannya ….”

Dengan demikian, baik al-Quran maupun tradisi kesejarahan

Islam yang awal tidak memberikan petunjuk apapun bagi usaha 

sakralisasi bahasa al-Quran yang dilakukan pada masa belakangan.

Pelarangan terjemahan al-Quran ke dalam berbagai bahasa – sebagai

akibat dari sakralisasi ini  – telah menciptakan kesulitan bagi

pemeluk-pemeluk Islam non-Arab. Hal ini secara jelas bertentangan

dengan tujuan pewahyuan al-Quran – yakni agar manusia bisa

memahaminya – dan bertabrakan dengan keyakinan tentang

universalisme Islam. Adalah benar bahwa Tuhan telah membuat

atau mewahyukan al-Quran dalam bahasa Arab, namun  manusia

bisa membuatnya menjadi berbahasa Persia, Turki, Urdu, Cina,

negara kita , atau bahasa-bahasa dunia lainnya.

Tafsir al-Quran

usaha  lain untuk memahami al-Quran, yang dalam

kenyataannya paling banyak dilakukan di kalangan kaum

Muslimin, adalah melalui tafsir. Istilah tafsîr – berasal dari kata

fassara, “menjelaskan,” “menerangkan,” “menyingkap” atau

“menampakkan” – secara khusus bermakna penjelasan atas al-

Quran atau ilmu tentang penafsiran kitab suci ini .  Sinonim

untuk kata ini adalah syarh atau ta’wîl. Istilah syarh tidak digunakan

dalam perbendaharaan tafsir, sekalipun memiliki makna senada,

sebab  telah menjadi terminologi teknis dalam ilmu-ilmu hadits

untuk komentar atas hadits. Sementara ta’wîl – berasal dari kata

awl, “kembali ke asal,” di dalam al-Quran bermakna “akibat,”

“kesudahan” (7:53; 10:39) – masih tetap eksis dalam perbendaharaan

kajian-kajian al-Quran. Pada awalnya, kata ini digunakan sebagai

sinonim untuk tafsîr dan tetap seperti itu setidak-tidaknya hingga

ke masa al-Thabari. Mufassir agung dalam jajaran tradisional ini

masih menggunakan kata ta’wîl sebagai sinonim untuk tafsîr dalam

magnum opus-nya. Bahkan judul karya agungnya, Jãmi‘ al-Bayãn

‘an Ta’wîl Ãy al-Qur’ãn, dengan jelas merefleksikan sinonim antara

kata tafsîr dan  ta’wîl.

Belakangan kata ta’wîl berubah menjadi istilah teknis untuk

penjelasan internal atas material atau kandungan al-Quran,

sedangkan tafsîr diterapkan untuk penjelasan filologis yang bersifat

eksternal terhadap al-Quran. Tafsîr mencakup penjelasan tentang

sebab pewahyuan suatu bagian al-Quran, kedudukan bagian

ini  dalam surat termaksud, dan kisah sejarahnya. Penjelasan

ini juga menyangkut penentuan masa pewahyuan (Makkiyah-

Madaniyah), muhkam-mutasyãbih, nãsikh-mansûkh, ‘ãm-khashsh

dan lainnya. Sementara ta’wîl mencakup penjelasan makna umum

maupun khusus kata-kata al-Quran,59  atau istilah teknis untuk

penjelasan alegoris dan metaforis terhadap al-Quran.60  sebab  itu,

ta’wîl tidak begitu disukai kalangan ortodoksi Islam. Pembedaan

ini tampaknya dilakukan untuk menghantam berbagai

kecenderungan liar dalam penafsiran yang, lewat penjelasan alegoris,

telah memaksakan gagasan-gagasan “aneh” ke dalam teks literal

al-Quran.

Sebagai usaha  untuk memahami dan menjelaskan kandungan

pesan al-Quran, tafsir – berdasar  beberapa  pernyataan al-Quran

– dapat dikatakan telah eksis pada awal Islam dan dimotori oleh

Nabi Muhammad sendiri. Salah satu bagian al-Quran yang

mengungkapkan peran Muhammad sebagai penjelas wahyu ilahi

adalah 16:44, “Telah Kami turunkan kepadamu al-dzikr ( yakni al-

Quran), agar kamu jelaskan kepada umat manusia apa-apa yang

telah diturunkan kepada mereka” (cf. 16:64).

Penafsiran al-Quran yang dilakukan Nabi direkam dalam

berbagai koleksi hadits, biasanya dengan judul kitãb al-tafsîr, yang

disusun mengikuti sekuensi surat dalam mushaf utsmani.61  Jumlah

riwayat tafsir ini relatif sedikit dan tidak mencakup keseluruhan

al-Quran. Salah satu ilustrasi paling populer – di mana Nabi

menafsirkan kata zhulm  (6:82) sebagai syirk (31:13) – adalah yang

riwayat dari Abd Allah berikut ini:

saat  diturunkan ayat: “Orang-orang yang beriman dan tidak

mencampuradukkan iman mereka dengan zhulm…” (6:82),

maka ia menyusahkan para sahabat dan mereka berkata: “Siapa

di antara kita yang tidak mencampuradukkan keimanannya

dengan kezaliman?” Maka bersabdalah Nabi: “Ayat itu tidaklah

seperti yang kalian pikirkan, namun  seperti yang dikatakan

Luqman kepada anaknya: ‘Sesungguhnya sirik adalah

kezaliman yang besar’ (31:13).”

beberapa  sarjana Muslim lebih jauh menekankan bahwa

penjelasan Nabi terhadap al-Quran tidak hanya bersifat verbal,

namun  juga bersifat praktis. Prilaku (sunnah) aktual Nabi, dengan

demikian, dipandang sebagai penjelasan par exellence atas al-Quran.

Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab Hanbaliyah, misalnya,

menegaskan bahwa sunnah menerangkan al-Quran dan

menjelaskannya.63  Gagasan semacam inilah yang kemudian

menjadi basis teoritis eksploitasi hadits-hadits Nabi dalam

penafsiran al-Quran.

Generasi pertama Islam telah mentransmisikan berbagai

penjelasan Nabi atas al-Quran dan berbagai tindakan ekstra

quraniknya dari generasi ke generasi. Namun, sebab  pemahaman

mereka yang baik terhadap bahasa, pengetahuan mereka yang luas

terhadap suasana dan umwelt pewahyuan, dan  wawasan mereka

yang dalam tentang agama, para sahabat ini juga melengkapi

transmisi itu dengan penjelasan mereka sendiri. Proses transmisi

ini kemudian berujung pada pembukuan atau kompilasi hadits

yang terjadi pada masa peralihan dari dinasti Umaiyah