Selasa, 11 Februari 2025

riwayat hidup nabi muhammad 9


 gantungkan kain untuk 

digunakan sebagai kamar tamu yang terpisah dari bagian yang 

dipergunakan oleh istri beliau. Kehidupan beliau begitu sederhananya 

sehingga Siti Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa di masa hidup Rasulullah 

s.a.w., mereka sering terpaksa hidup dari korma dan air saja dan pada 

hari wafat beliau tidak ada makanan di dalam rumah kecuali beberapa 

butir korma saja (Bukhari). 

Perhubungan Dengan Allah  

Tiap-tiap segi kehidupan Rasulullah s.a.w. jelas nampak diliputi 

dan diwarnai oleh cinta dan bakti kepada Allah . Walaupun tanggung-

jawab yang sangat berat terletak di atas bahu beliau, bagian terbesar dari 

waktu, siang dan malam, dipergunakan untuk beribadah dan berzikir 

kepada Allah . Beliau biasa bangkit meninggalkan tempat tidur tengah 

malam dan larut dalam beribadah kepada Allah  sampai saat tiba untuk 

pergi ke mesjid hendak sembahyang subuh. Kadang-kadang beliau 

begitu lama berdiri dalam sembahyang tahajud sehingga kaki beliau 

menjadi bengkak-bengkak, dan mereka yang menyaksikan beliau dalam 

keadaan demikian sangat terharu. Sekali peristiwa Aisyah r.a. berkata 

kepada beliau, “Allah  telah memberi kehormatan kepada engkau dengan 

cinta dan kedekatan-Nya. Mengapa engkau membebani diri sendiri 

dengan menanggung begitu banyak kesusahan dan kesukaran?” Beliau 

menjawab, “Jika Allah , atas kasih-sayang-Nya, mengaruniai cinta dan 

kedekatan-Nya kepadaku, bukankah telah menjadi kewajiban pada 

giliranku senantiasa menyampaikan terima kasih kepada Dia? 

Bersyukurlah hendaknya sebanyak bertambahnya karunia yang 

diterima.” (Bukhari, Kitab al-Kusuf). 

Beliau tidak pernah melangkah untuk menyelesaikan suatu usaha 

tanpa perintah Ilahi atau izin-Nya. Telah diriwayatkan dalam bab riwayat 

hidup beliau bahwa kendati menderita sebab  penindasan yang sangat 

aniaya oleh kaum Mekkah, beliau tidak meninggalkan kota itu sebelum 

mendapat perintah Ilahi. saat  perlawanan memuncak dan beliau 

mengizinkan para Sahabat mengungsi ke Abessinia, beberapa di antara 

mereka menyatakan keinginan supaya beliau berangkat bersama mereka. 

Beliau menolak atas dasar belum mendapat izin Ilahi. Jadi, di masa 

percobaan dan penindasan juga, saat  biasa orang suka kalau sahabat-

sahabat dan sanak saudaranya kumpul-kumpul di sekitarnya, beliau 

menyarankan kepada para Sahabat untuk mencari perlindungan di 

Abessinia dan beliau sendiri tetap tinggal di Mekkah, sebab Allah  

belum memberi perintah. 

Jika beliau mendengar Kalamullah dibacakan, beliau sangat 

terharu dan air mata mulai menitik, terutama jika beliau mendengar ayat-

ayat yang menekankan pada kewajiban beliau sendiri. Abdullah bin 

Mas'ud meriwayatkan bahwa ia sekali peristiwa disuruh Rasulullah 

s.a.w. membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Ia berkata, “Ya Rasulullah, 

Al-Qur’an telah diturunkan kepada anda (artinya: Anda telah lebih 

mengetahui dari pada siapa pun). Mengapa kemudian harus 

membacakannya kepada anda?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Aku suka 

juga mendengar Al-Qur’an dibaca oleh orang lain.” Maka Abdullah bin 

Mas'ud mulai membacakan ayat-ayat dari Surah An-Nisa. saat  

membaca: 

Maka, bagaimana keadaan mereka saat  Kami akan mendatangkan 

seorang saksi dari setiap umat, dan Kami akan mendatangkan engkau 

sebagai saksi terhadap mereka ini!” (4:42). 

Rasulullah s.a.w. berseru, “Cukup!” Abdullah bin Mas'ud 

melihat ke arah beliau dan melihat air mata mengalir dari mata 

Rasulullah s.a.w. (Bukhari, Kitab Fada'il al-Qur’an). 

Beliau begitu memandang penting ikut dalam sembahyang 

berjamaah sehingga tengah sakit keras, saat  dalam keadaan serupa itu 

bukan saja diizinkan untuk shalat seorang diri di dalam kamar namun 

bahkan diizinkan untuk mengerjakan shalat di atas tempat tidur sambil 

berbaring, beliau memaksakan diri pergi ke mesjid untuk menjadi imam. 

Sekali peristiwa, saat  beliau tidak sempat pergi ke mesjid, beliau 

menyuruh Sayyidina Abu Bakar untuk menjadi imam. namun , kemudian 

beliau merasakan ada perbaikan dalam kesehatannya dan minta supaya 

beliau dipapah berjalan ke mesjid. Beliau bersitopang pada pundak dua 

orang, namun keadaan beliau begitu lemahnya sehingga menurut Siti 

Aisyah r.a. kaki beliau terseret-seret (Bukhari). 

Menurut kebiasaan umum dalam mengungkapkan kegembiraan 

atau menarik perhatian kepada sesuatu ialah dengan bertepuk tangan - 

dan orang Arab juga berbuat seperti itu. namun , Rasulullah s.a.w. 

demikian suka berzikir Ilahi sehingga untuk keperluan pengungkapan 

rasa gembira itu juga memuji dan berzikir Ilahi ditetapkan untuk  alih-

alih tepuk tangan. Sekali peristiwa saat  beliau sibuk dengan urusan 

penting, waktu sembahyang pun mendekat dan beliau menyuruh 

Sayyidina Abu Bakar untuk menjadi imam. Tak lama kemudian beliau 

dapat menyelesaikan urusan beliau dan segera pergi ke mesjid. Abu 

Bakar menjadi imam, namun saat  jemaat melihat bahwa Rasulullah 

s.a.w. telah tiba, mereka segera bertepuk tangan untuk menyatakan 

kegembiraan atas kedatangan beliau dan menarik perhatian Abu Bakar 

dan memberi tahu bahwa Rasulullah s.a.w. telah tiba. Maka Abu Bakar 

undur dan memberi tempat kepada Rasulullah s.a.w. untuk mengimami 

shalat. Sesudah sembahyang selesai, Rasulullah s.a.w. bertanya kepada 

Abu Bakar, “Mengapa engkau undur sesudah aku menunjuk engkau 

sebagai imam?” Abu Bakar menjawab, “Ya Rasulullah, bagaimana akan 

pantas untuk anak Abu Quhafa menjadi imam sedang Rasulullah sendiri 

hadir?” Maka Rasulullah bertanya kepada jemaat, “Mengapa kamu 

sekalian bertepuk tangan? yaitu  tidak pantas bila kalian sedang larut 

dalam berzikir kepada Allah maka kalian bertepuk tangan. Jika kebetulan 

dalam waktu shalat perhatian harus tercurah kepada sesuatu, daripada 

bertepuk tangan kamu lebih baik menyebut 'Subhanallah' dengan suara 

nyaring. Hal itu akan menunjukan perhatian kepada perkara yang harus 

mendapat perhatian” (Bukhari). 

Rasulullah s.a.w. tidak menyukai shalat dan beribadah sebagai 

dilakukan sebagai hukuman atau sanksi atas diri sendiri untuk penebus 

dosa. Sekali peristiwa beliau sampai ke rumah dan melihat tali terentang 

antara dua tiang. Beliau menanyakan tujuannya dan mendapat 

keterangan bahwa istri beliau, Zainab, biasa berdiri tegak dengan 

bantuan tali jika dalam waktu mendirikan shalat ia menjadi letih dan 

payah. Beliau memerintahkan supaya membuang tali tersebut dan 

menerangkan bahwa shalat sebaiknya dilangsungkan selama dirasakan 

mudah dan ringan, dan jika ia menjadi terlalu lelah seseorang hendaknya 

ia duduk. Shalat itu bukan sanksi dan jika tetap diteruskan sesudah badan 

menjadi letih, maka sembahyang itu menyalahi tujuannya (Bukhari, 

Kitabal-Kusuf). 

Beliau mencela sekali tiap-tiap tindakan dan perbuatan yang 

berbau syirik walau sedikit. saat  akhir hayat beliau telah mendekat 

dan telah dicekam oleh derita sakratul maut, beliau dalam keresahan 

menggeleng badan dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan sambil 

berseru, “Terkutuklah orang-orang Yahudi dan Kristen yang telah 

mengubah kuburan nabi-nabi mereka menjadi tempat ibadah” (Bukhari). 

Beliau maksudkan, orang-orang Yahudi dan Kristen yang bersujud pada 

kuburan nabi-nabi mereka dan orang-orang suci mereka dan mendoa 

kepada mereka; dan beliau memaksudkan bahwa jika kaum Muslimin 

terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan semacam itu, mereka tidak 

berhak atas doa-doa beliau; namun sebaliknya, mereka telah memutuskan 

perhubungan mereka dengan beliau. 

Ghairat beliau akan kemuliaan Allah  telah diceriterakan dalam 

bab riwayat hidup beliau. Kaum Mekkah telah berusaha menyampaikan 

segala macam bujukan dan mendesak beliau menghentikan perlawanan 

terhadap penyembahan kepada berhala (Tabari). Pamannya, Abu Thalib, 

juga mencoba mencegah beliau dengan membayangkan kekhawatirannya 

bahwa jika beliau bersikeras melancarkan serangan terhadap 

kemusyrikan, Abu Thalib akan terpaksa memilih antara berhenti 

melindungi beliau atau ia siap menerima perlawanan hebat dari 

kaumnya. Jawaban Rasulullah s.a.w. satu-satunya kepada pamannya 

pada peristiwa itu, “Jika orang-orang itu meletakkan matahari di tangan 

kananku dan bulan di tangan kiri, aku tidak akan berhenti 

mengumumkan dan menablighkan ajaran Tauhid” (Zurqani). Di tengah 

berkecamuknya Perang Uhud, saat  sisa pasukan Muslim yang luka-

luka berkumpul di sekitar beliau di kaki bukit dan musuh melampiaskan 

kegembiraan dengan teriakan-teriakan kemenangan sesudah  mematahkan 

barisan Muslim, dan pimpinan mereka, Abu Sufyan, berteriak: “Hidup 

Hubal (satu dari antara berhala-berhala kaum Mekkah). Hidup Hubal!” 

maka Rasulullah s.a.w., walaupun tahu dan sadar bahwa keselamatan 

beliau dan keselamatan serombongan kecil kaum Muslim sekitar beliau 

bergantung pada sikap tutup mulut, tidak dapat menahan kesabaran dan 

memerintahkan kepada para Sahabat untuk menjawab dengan pekikan: 

“Untuk Allah semata kemenangan dan kejayaan! Untuk Allah semata 

kemenangan dan kejayaan!” (Bukhari). 

Suatu salah pengertian yang sudah biasa ada pada para pengikut 

bermacam-macam agama sebelum kedatangan Islam ialah, kejadian-

kejadian di langit dan di bumi nampak sebagai tanda ikut bergembira 

atau bela sungkawa untuk nabi-nabi, wali-wali, dan orang-orang besar 

lainnya; dan bahkan gerakan-gerakan benda langit dikendalikan oleh 

mereka. Umpamanya, diriwayatkan tentang beberapa di antara mereka 

bahwa mereka dapat membuat matahari berhenti beredar dan 

menghentikan perjalanan bulan atau air berhenti mengalir. Islam 

mengajarkan bahwa faham demikian sama sekali tak beralasan dan 

bahwa ceritera keajaiban-keajaiban semacam itu dalam kitab-kitab suci 

hanya dipergunakan sebagai perlambang, dan bukan ditafsirkan menurut 

arti yang sebenarnya yang malah telah menimbulkan takhayul-takhayul. 

Walaupun demikian, sebagian orang Muslim cenderung menghubungkan 

keajaiban-keajaiban itu dengan kejadian-kejadian dalam kehidupan nabi-

nabi besar. Pada tahun-tahun terakhir kehidupan Rasulullah s.a.w. putera 

beliau Ibrahim, meninggal dalam umur dua setengah tahun. Pada hari itu 

terjadi gerhana matahari. Beberapa di antara orang-orang Muslim di 

Medinah menyebarkan faham bahwa matahari telah menjadi gelap pada 

peristiwa meninggalnya putera Rasulullah s.a.w. sebagai alamat bela 

sungkawa samawi. saat  hal itu diceriterakan kepada Rasulullah s.a.w., 

beliau nampak sangat kecewa dan sangat mencela faham itu. Beliau 

menerangkan bahwa matahari, bulan dan benda-benda langit lainnya, 

semuanya diatur oleh hukum-hukum Allah  dan bahwa peredaran 

matahari, bulan, dan gejala yang berkaitan dengan matahari dan bulan 

tidak ada sangkut-paut dengan hidup dan mati seseorang (Bukhari). 

Arabia yaitu  daerah yang sangat tandus dan hujan selalu 

disambut gembira. Bangsa Arab biasa menggambarkan dalam ingatan 

mereka bahwa hujan itu diatur oleh peredaran bintang. saat  seseorang 

mengungkapkan pikiran itu, Rasulullah s.a.w. sangat bingung dan 

memperingatkan kaumnya untuk tidak mengaitkan karunia yang mereka 

terima dari Allah  kepada sumber-sumber lain. Beliau menerangkan 

bahwa hujan dan lain-lain gejala alam itu semuanya diatur oleh hukum-

hukum Ilahi, bukan dikendalikan oleh kesenangan atau ketidaksenangan 

suatu dewa atau dewi atau suatu kekuatan lain (Muslim, Kitabal-Iman). 

Beliau memiliki  ketawakalan yang sempurna kepada Allah  

dan tidak akan goyah oleh kemajemukan keadaan yang tidak bersahabat. 

Sekali peristiwa seorang musuh melihat beliau tidur dan tidak berkawal; 

ia berdiri di hadapan beliau dengan pedang terhunus dan bersiap  

membunuh beliau dengan sesaat . Sebelum melakukan ia bertanya, 

“Siapa dapat menyelamatkan kamu dari keadaanmu sekarang?” 

Rasulullah s.a.w. menjawab dengan tenang, “Allah.” Beliau menyatakan 

dengan keyakinan yang begitu sempurna sehingga bahkan hati musuh 

yang kafir pun terpaksa mengakui keluhuran iman dan keikhlasan beliau 

kepada Allah s.w.t. Pedangnya terlepas dan jatuh; dan ia, yang sejenak 

sebelumnya telah siap membinasakan beliau, berdiri di hadapan beliau 

seperti seorang penjahat yang menunggu keputusan hakim (Muslim, 

Kitab al-Fada 'il dan Bukhari, Kitab al-Jihad). 

Di pihak lain nampak sikap rasa merendahkan diri yang 

sempurna di hadapan Allah -Nya. Abu Hurairah meriwayatkan: “Pada 

suatu hari aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa tidak ada 

manusia meraih keselamatan melalui amal salehnya sendiri, atas 

keterangan itu aku berkata, “Ya Rasulullah, anda pasti masuk surga 

melalui amal saleh anda.” Dijawab oleh Rasulullah s.a.w., “Tidak, aku 

pun tidak dapat masuk surga dengan perantaraan amal baikku kecuali 

oleh Kasih Sayang Allah “ (Bukhari, Kitab al Riqaq). 

Beliau senantiasa menganjurkan orang-orang untuk memilih dan 

menempuh jalan yang benar dan dengan rajin berikhtiar, dengan itu 

mereka dapat mencapai Qurb Ilahi (kedekatan kepada Allah ). Beliau 

mengajarkan bahwa jangan ada yang menginginkan kematian untuk 

dirinya, sebab jika ia orang baik, maka dengan kehidupan yang lebih 

lama dialami olehnya akan dapat meraih kebaikan yang lebih besar; dan 

jika ia jahat, ia dapat bertobat dari perbuatan-perbuatan jahatnya 

seandainya diberi waktu panjang dan memulai menempuh jalan yang 

baik. Cinta beliau dan ibadah beliau kepada Allah  nampak dalam 

berbagai-bagai cara. Umpamanya, manakala sesudah musim kemarau 

tetesan-tetesan hujan pertama mulai turun, beliau mengeluarkan lidah 

untuk menangkap tetesan-tetesan hujan itu dan berseru, “Inilah karunia 

rahmat terakhir dari Allah -ku.” Beliau senantiasa sibuk mendoa untuk 

memohon ampunan dan rahmat Allah , terutama jika beliau duduk-

duduk di antara orang banyak supaya mereka yang beserta beliau atau 

bergaul dengan beliau dan orang-orang Muslim pada umumnya akan 

terhindar dari murka Allah  dan menjadi layak meraih ampunan Allah. 

Kesadaran bahwa beliau senantiasa ada di hadapan Allah  tidak pernah 

lepas dari beliau. Jika beliau berbaring untuk tidur, beliau bersabda, “Ya 

Allah, matikan aku (tidurkan aku) dengan nama-Mu di bibirku, dan 

dengan nama-Mu di bibirku bangkitkan lagi hamba-Mu ini.” Jika beliau 

bangun, beliau biasa bersabda, “Segala puji bagi Allah  Yang 

menghidupkan diriku sesudah mati (tidur) dan pada suatu hari kita semua 

akan dikumpulkan di hadapan Dia” (Bukhari). 

Beliau senantiasa mendambakan Qurb Ilahi (kedekatan kepada 

Allah ), dan salah sebuah doa yang sering beliau ulang ialah: “Ya Allah! 

Penuhilah kiranya hatiku dengan nur-Mu dan penuhi mataku dengan nur-

Mu dan penuhi telingaku dengan nur-Mu dan letakkan nur-Mu di 

kananku dan letakkan nur-Mu di kiriku dan letakkan nur-Mu di atasku 

dan letakkan nur-Mu dibawahku dan letakkan nur-Mu dihadapanku dan 

letakkan nur-Mu di belakangku, dan wahai Allah , jadikanlah seluruh 

diriku nur” (Bukhari). 

Ibnu Abbas meriwayatkan: “Tak lama sebelum wafat Rasulullah 

s.a.w., Musailima (seorang nabi palsu) datang ke Medinah dan 

menyatakan bahwa jika Nabi Muhammad s.a.w. mau menunjuk dia 

sebagai pengganti beliau, ia bersedia menerima beliau. Musailima diikuti 

oleh suatu rombongan pengiring yang berjumlah amat besar, dan 

kabilahnya yaitu  terbesar dari antara kabilah-kabilah yang ada di Arab. 

saat  Rasulullah s.a.w. diberitahu tentang kedatangannya, beliau 

menjumpainya disertai oleh Tsabit bin Qais bin Syams. Beliau 

memegang ranting pohon korma kering. saat  beliau datang ke kemah 

Musailima, beliau menuju kepadanya dan berdiri di hadapannya. Pada 

waktu itu telah banyak sahabat-sahabat datang dan berdiri di sekitar 

beliau. Beliau bersabda kepada Musailima, “Telah disampaikan 

kepadaku bahwa anda telah mengatakan jika aku tunjuk anda sebagai 

penggantiku, anda bersedia menjadi pengikutku, namun aku tidak akan 

memberikan ranting pohon korma kering ini pun kepada anda jika 

bertentangan dengan perintah Allah . Kesudahan anda akan menjadi 

sebagaimana telah ditetapkan Allah . Jika anda berpaling dari padaku, 

Allah  akan memberi anda kegagalan. Aku melihat dengan jelas bahwa 

Allah  akan memperlakukan anda seperti yang telah diwahyukan 

kepadaku.” Beliau kemudian meneruskan, “Sekarang aku akan pergi. 

Jika anda ingin mengatakan sesuatu, anda dapat menghubungi Tsabit bin 

Qais bin Syams yang akan bertindak sebagai wakilku.” Kemudian beliau 

berangkat. Abu Hurairah juga beserta beliau. Salah seorang menanyakan 

kepada Rasulullah s.a.w. apa maksud beliau dengan kata-kata “Allah  

akan memperlakukan Musailima seperti yang telah diwahyukan kepada 

beliau.” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Saya melihat dalam mimpi itu aku 

disuruh Allah  untuk meniup gelang-gelang itu. saat  kutiup gelang-

gelang itu, kedua-duanya lenyap. Aku menantikan bahwa sesudahku 

akan timbul dua pendakwa (nabi) palsu” (Bukhari, Kitab al-Maghazi). 

Perisitiwa ini terjadi pada waktu mendekatnya wafat Rasulullah s.a.w.. 

Suku Arab terakhir dan terbesar yang sampai pada waktu itu belum 

menerima beliau telah bersiap-siap untuk masuk Islam dan satu-satunya 

syarat yang mereka ajukan ialah bahwa Rasulullah s.a.w. menunjuk 

pemimpin mereka menjadi pengganti beliau. Jika Rasulullah s.a.w. 

sedikit saja didorong oleh alasan-alasan pribadi, maka tidak ada lagi 

yang menjadi rintangan untuk mempersatukan seluruh Arabia dengan 

menjanjikan pengganti beliau kepada pemimpin suku yang terbesar dari 

Arabia. Rasulullah s.a.w. tak punya putera dan tidak ada keinginan 

mendirikan wangsa yang dapat merintangi pengaturan demikian, namun 

beliau tidak pernah memandang barang sekecil-kecilnya pun sebagai hak 

beliau dan menjadi milik beliau secara mutlak. Maka beliau tidak dapat 

memandang kepemimpinan kaum Muslim itu seakan-akan hak beliau 

untuk memberikannya menurut kehendak beliau sendiri. Beliau 

memandangnya sebagai amanat Allah  yang suci dan beranggapan 

bahwa Allah  akan memberikannya kepada siapa yang dipandang-Nya 

layak. Maka beliau menolak usul Musailima dengan tegas dan 

mengatakan bahwa jangankan kedudukan kepemimpinan kaum Muslim, 

ranting pohon korma kering sekalipun tidak beliau bersedia memberikan 

kepadanya. 

Kapan saja Rasulullah s.a.w. menyinggung atau membicarakan 

Allah , nampak kepada yang menyaksikan seolah-olah seluruh wujud 

beliau ada dalam haribaan cinta dan pengabdian kepada Allah . Beliau 

senantiasa menekankan kesederhanaan dalam beribadah. Mesjid yang 

didirikan beliau dan di dalamnya beliau senantiasa mendirikan 

sembahyang, lantainya dari tanah biasa tanpa alas atau tikar dan atapnya 

yang dibuat dari dahan dan daun pohon korma, bocor jika hujan. Dalam 

keadaan demikian Rasulullah s.a.w. dan para jemaah basah kuyup sebab  

air hujan dan lumpur, namun beliau terus menyelesaikan sembahyang 

sampai akhir dan tak pernah beliau memberi isyarat supaya menunda 

sembahyang atau pindah ke tempat yang lebih terlindung (Bukhari, Kitab 

al-Saum). 

Beliau sangat waspada juga akan peri keadaan para Sahabat. 

Abdullah bin Umar yaitu  orang yang sangat bertakwa dan zuhud. 

Mengenai dia Rasulullah s.a.w. bersabda pada sekali peristiwa, 

“Abdullah bin Umar akan lebih baik lagi jika ia lebih dawam 

sembahyang tahajud.” saat  sabda itu disampaikan kepada Abdullah 

bin Umar, maka sesudah itu tak pernah lagi ia meninggalkan 

sembahyang tahajud. Diriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. saat  

beliau ada di rumah puterinya, Fatimah, menanyakan apa Fatimah dan 

suaminya, Ali, dawam menjalankan sembahyang tahajud mereka, Ali 

menjawab, “Ya Rasulullah, kami berusaha bangun untuk sembahyang 

tahajud, namun bila menurut kehendak Allah  kami tidak dapat bangun, 

kami meninggalkannya.” Beliau pulang dan dalam perjalanan beliau 

mengulangi beberapa kali ayat Al-Qur’an yang mengandung arti bahwa 

orang seringkali segan mengakui kesalahannya dan mencoba 

menutupinya dengan macam-macam alasan (Bukhari, Kitab al-Kusuf). 

Rasulullah s.a.w. bermaksud mengatakan bahwa Ali hendaknya tidak 

melemparkan kesalahannya kepada Allah  dengan mengatakan bahwa 

jika Allah  menghendaki mereka tidak bangun mereka tidak dapat 

bangun pada waktunya, namun ia hendaknya mengakui kelemahannya 

dalam hal ini.  

 

Tidak Menyetujui Penghukuman Terhadap Diri 

Sendiri Untuk Menebus Dosa 

namun , Rasulullah s.a.w. sangat tidak menyetujui cara-cara yang 

dibuat-buat dalam urusan ibadah dan mencela praktek penghukuman diri 

sendiri untuk menebus dosa sebagai suatu bentuk ibadah. Beliau 

mengajarkan bahwa ibadah terdiri atas penggunaan kemampuan-

kemampuan yang dianugerahkan Allah  kepada manusia. Allah  telah 

memberi mata untuk melihat; maka bukan ibadah namun aniaya namanya 

kalau mata dibiarkan kejam atau dibuang. Bukan penggunaan 

kemampuan melihat secara tepat yang dapat dipandang dosa, melainkan 

penyalahgunaan daya itulah yang menjadi dosa. Orang yang 

melenyapkan kemampuan mendengar dinilai sangat tidak berterimakasih 

kepada Allah , walaupun penggunaan daya itu untuk mendengarkan 

fitnah dan memburuk-burukkan orang lain akan merupakan perbuatan 

dosa. Meninggalkan makan (kecuali pada saat-saat yang diperintahkan 

atau dipandang baik) dapat dianggap bunuh diri dan dengan demikian 

merupakan dosa yang tak dapat dimaafkan, walaupun juga menjadi dosa 

untuk seseorang yang sangat mementingkan makanan dan minuman atau 

mengasyikkan diri dalam makan-minum barang-barang terlarang atau 

tidak layak. Itulah asas luhur yang diajarkan dan ditekankan oleh 

Rasulullah s.a.w. dan yang belum diajarkan oleh nabi terdahulu 

manapun. 

Penggunaan tepat daya alami merupakan taraf akhlak yang 

tinggi; menggagalkan kerja atau melumpuhkan daya itu merupakan 

perbuatan yang bodoh. Penyalahgunaannya itulah yang merupakan 

kejahatan dan dosa. Penggunaan tepat kemampuan-kemampuan itu 

merupakan nilai akhlak yang sejati. Itulah inti ajaran akhlak yang 

ditanamkan oleh Rasulullah s.a.w. Dan, pendek kata, itu semua 

merupakan pula gambaran kehidupan dan perilaku beliau. Siti Aisyah 

r.a. meriwayatkan: “Bilamana Rasulullah dihadapkan kepada pilihan 

antara dua cara berbuat, beliau senantiasa memilih jalan yang termudah, 

asalkan bebas dari segala kecurigaan bahwa itu salah satu dosa. Kalau 

arah perbuatan itu membuka kemungkinan timbulnya kecurigaan serupa 

itu, maka Rasulullah s.a.w. itulah orangnya, dari antara seluruh umat 

manusia, yang paling menjauhinya” (Muslim, Kitab al-Fada'il). Hal itu 

sungguh merupakan jalan yang paling luhur dan paling mengagumkan 

untuk manusia. Beberapa orang dengan suka rela menderita sakit dan 

berkekurangan, tidak dengan tujuan untuk mencari keridhaan Ilahi, 

sebab ridha Ilahi tidak dapat dicapai dengan mencari sakit dan derita 

bagi dirinya sendiri yang tak bertujuan apapun selain dengan tujuan 

menipu umat manusia. Orang demikian memiliki  sedikit kebaikan 

dalam diri mereka namun mau menutupi kesalahan-kesalahan mereka dan 

mendapat kehormatan dalam pandangan orang-orang lain dengan 

menggunakan kebaikan semu. namun tujuan Rasulullah s.a.w. yaitu  

untuk menggapai kebaikan yang sungguh-sungguh dan guna menarik 

ridha Ilahi. Dengan demikian beliau sama sekali bebas dan kepalsuan 

dan kepura-puraan. sebab  itu beliau sama sekali bersih dari kepura-

puraan. Bahwa dunia akan memandang beliau jahat atau akan 

memiliki  penilaian baik yaitu  soal yang beliau sama sekali tidak 

menghiraukan. Apa yang penting untuk beliau yaitu  bagaimana beliau 

sendiri menilai diri sendiri dan bagaimana Allah  akan menilainya. Jika 

di samping kesaksian kata hati beliau sendiri dan ridha Ilahi, beliau 

mendapat juga persaksian yang benar dari umat manusia, beliau sangat 

bersyukur, namun jika orang memandang kepada beliau dengan 

pandangan iri hati dan curiga, beliau merasa sayang terhadap nasib 

mereka dan beliau tidak menghiraukan pendapat mereka. 

Sikap Terhadap Istri-Istri Sendiri 

Beliau sangat baik dan adil terhadap istri-istri sendiri. Jika pada 

suatu saat salah seorang di antara mereka tidak dapat membawa diri 

dengan hormat yang layak terhadap beliau, beliau hanya tersenyum dan 

hal itu dilupakan beliau. Pada suatu hari beliau bersabda kepada Siti 

Aisyah r.a., “Aisyah, jika kau sedang marah kepadaku, aku senantiasa 

dapat mengetahuinya.” Aisyah r.a. bertanya, “Bagaimana?” Beliau 

menjawab, “Aku perhatikan bahwa jika kau senang kepadaku dan dalam 

percakapan kau menyebut nama Allah , kausebut Dia sebagai Allah  

Muhammad. namun , jika kau tidak senang kepadaku, kausebut Dia 

Allah  Ibrahim.” Mendengar keterangan itu Aisyah r.a. tertawa dan 

mengatakan bahwa beliau benar (Bukhari, Kitabun-Nikah). Siti Khadijah 

r.a. yaitu  istri beliau yang pertama dan telah mengadakan pengorbanan-

pengorbanan besar untuk kepentingan beliau. Ia jauh lebih tua daripada 

Rasulullah s.a.w.. Sesudah ia wafat, beliau menikah dengan wanita-

wanita yang lebih muda, namun tidak pernah kenang-kenangan kepada 

Khadijah r.a. itu menjadi luntur. Bila saja salah seorang dari sahabat-

sahabat Khadijah berkunjung kepada beliau, beliau biasa berdiri 

menyambutnya (Muslim). Jika beliau kebetulan melihat sesuatu yang 

dahulu menjadi milik atau ada kaitannya dengan Khadijah r.a., hati 

beliau senantiasa terusik oleh rasa sendu. 

Di antara tawanan-tawanan yang ditangkap oleh kaum Muslimin 

dalam Perang Badar ada seorang mantu Rasulullah s.a.w.. Ia tak punya 

apa-apa untuk dibayarkan sebagai penebus kemerdekaannya. Istrinya 

yang bernama Zainab (puteri Rasulullah s.a.w.) mengirimkan ke 

Medinah seuntai kalung perhiasan yang asalnya milik ibunya (Khadijah 

r.a.) dan menyerahkannya sebagai penebus suaminya. saat  Rasulullah 

s.a.w. melihat kalung itu, beliau mengenalnya kembali dan beliau begitu 

terharunya. Beliau bersabda kepada para Sahabat, “Aku tidak berhak 

memberi petunjuk mengenai hal ini, namun aku tahu bahwa kalung ini 

dicintai oleh Zainab sebagai tanda kenang-kenangan kepada ibunya yang 

telah wafat. Maka, jika hal itu ada artinya untuk kalian, aku ingin 

menganjurkan supaya Zainab tidak kehilangan barang ini, dan barang ini 

dikembalikan kepadanya.” Mereka semua menegaskan bahwa tidak ada 

kesenangan yang lebih besar daripada itu dan bersedia menerima anjuran 

beliau (Halbiyya, jilid 2). Beliau sering memuji-muji Khadijah di 

hadapan istri-istri beliau lainnya dan menekankan kebaikannya dan 

pengorbanannya untuk kepentingan Islam. Pada suatu peristiwa 

semacam itu, Aisyah r.a. merasa iri hati dan berkata, “Ya Rasulullah, 

mengapa selalu membicarakan wanita tua itu? Allah  telah 

menganugerahkan istri-istri yang lebih baik, lebih muda, dan lebih 

menarik kepada anda.” Rasulullah s.a.w. tersinggung perasaannya 

mendengar kata-kata itu dan menukas, “Tidak Aisyah! Kau tidak tahu 

betapa besar kebaikan Khadijah kepadaku” (Bukhari). 

Ketinggian Akhlak 

Beliau senantiasa sangat sabar dalam kesukaran dan kesusahan. 

Beliau, dalam keadaan susah, tak pernah putus asa dan beliau tidak 

pernah dikuasai oleh suatu keinginan pribadi. Telah diriwayatkan bahwa 

ayah beliau meninggal dunia sebelum beliau dilahirkan dan ibu beliau 

berpulang saat  beliau masih kanak-kanak. Sampai usia delapan tahun 

beliau dirawat oleh kakek beliau, dan sepeninggalnya, dirawat oleh 

pamannya, Abu Thalib. Terdorong oleh cinta kasih pribadi dan juga atas 

pesan ayahnya, Abu Thalib senantiasa membimbing anak kemenakannya 

dengan sungguh-sungguh dan murah hati, namun istrinya tidak dihinggapi 

oleh pertimbangan dan perasaan yang sama seperti suaminya. Seringkali 

terjadi ia membagi-bagi sesuatu di antara anak-anaknya sendiri dan 

mengabaikan anak kemenakan yang masih kecil itu. Jika Abu Thalib, 

pada peristiwa serupa itu, kebetulan datang ke rumah lalu dilihatnya 

kemenakan kecil itu duduk menyendiri, penuh komara, tanpa tanda 

murung atau sedih di wajahnya, beliau atas dorongan rasa cinta dan 

kesadaran atas kewajibannya, lantas melangkah menuju anak itu, 

mendekapnya seraya berseru, “Perhatikan juga anakku yang satu ini!” 

Peristiwa semacam itu tidak jarang, dan mereka yang menyaksikan 

semuanya sepakat dalam persaksian mereka bahwa Muhammad sebagai 

anak-anak, tidak pernah menampakkan gejala yang terpengaruh oleh 

perlakuan-perlakuan itu dan iri hati terhadap saudara-saudara sepupunya. 

Kemudian hari, saat  beliau sudah mampu menolong dan merawat 

sanak-saudaranya, beliau sendiri merawat dan mendidik putera-putera 

pamannya, Ali dan Jafar, dan menjalankan kewajiban beliau dengan cara 

yang sesempurna-sempurnanya. 

Rasulullah s.a.w. sepanjang hidup dihadapkan kepada rentetan 

pengalaman demi pengalaman yang pahit. Dilahirkan sebagai anak 

yatim, ibu beliau wafat saat  beliau masih kecil dan kehilangan kakek 

pada usia delapan tahun. sesudah  menikah, beliau harus menanggung 

sedih oleh kehilangan beberapa anak, yang satu sesudah yang lain, dan 

kemudian istri beliau, Khadijah, yang sangat dicintai dan dirasakan 

pengabdiannya wafat. Beberapa istri beliau yang dinikah kemudian 

meninggal dunia di masa hidup beliau. Menjelang akhir kehidupan 

beliau menanggung derita akibat kehilangan putera beliau, Ibrahim. 

Semua kehilangan dan malapetaka itu ditanggung beliau dengan tabah, 

dan tak satu pun berpengaruh kepada kebulatan tekad beliau atau kepada 

perangai yang ramah dari beliau itu. Kesedihan-kesedihan pribadi tak 

pernah dipamerkan di muka umum dan beliau senantiasa menjumpai 

tiap-tiap orang dengan wajah yang berseri dan dengan perlakuan yang 

sama ramah dan sopan-santunnya. Sekali peristiwa beliau menjumpai 

seorang wanita yang baru ditinggal mati oleh anaknya, dan melolong-

lolong dekat kuburan anaknya. Beliau menasihatkan agar bersabar dan 

menerima takdir Allah  dengan rela dan menyerahkan diri. Wanita itu 

tidak mengetahui bahwa ia ditegur oleh Rasulullah s.a.w. dan menjawab, 

“Andaikan engkau pernah mengalami sedih ditinggal mati oleh anak 

seperti yang kualami, engkau akan mengetahui betapa sukar untuk 

bersabar di bawah himpitan penderitaan serupa itu.” Rasulullah s.a.w. 

menjawab, “Aku telah kehilangan bukan seorang namun tujuh anak” dan 

beliau terus berlalu. Selain menyinggung kehilangan atau kemalangan 

beliau dengan cara yang tidak langsung demikian, beliau tidak pernah 

dihanyutkan perasaan sedih yang berlarut-larut atau membiarkan 

kemalangan-kemalangan itu menghalangi pengabdian beliau yang tidak 

ada henti-hentinya kepada seluruh umat manusia dan kebersamaan beliau 

menanggung segala beban penderitaan mereka. 

Menguasai Diri 

Beliau senantiasa dapat menguasai diri. Bahkan saat  beliau 

sudah menjadi orang yang paling berkuasa sekalipun, selalu beliau 

dengarkan dengan sabar kata tiap-tiap orang, dan jika seseorang 

memperlakukan beliau dengan tidak sopan, beliau tetap melayaninya dan 

tidak pernah mencoba mengadakan pembalasan. Kebiasaan orang Timur 

 235 

dalam menunjukkan penghormatan terhadap orang lain yang diajak 

bicara ialah dengan tidak memanggil dengan nama pribadinya. Kaum 

Muslimin biasa memanggil Rasulullah s.a.w. dengan kata-kata, “Ya 

Rasulullah,” dan kaum bukan-Muslim memanggil beliau, Abul Qasim 

(artinya Bapak si Qasim, sebab  salah seorang anak beliau bernama 

Qasim). Sekali peristiwa seorang Yahudi datang kepada beliau di 

Medinah dan mulai bertukar pikiran dengan beliau. Dalam percakapan 

itu ia berulang-ulang memanggil, “Hai Muhammad, hai Muhammad.” 

Rasulullah s.a.w. sendiri tidak menghiraukan cara sapaan itu dan terus 

dengan tenangnya menerangkan soal yang dipercakapkan. namun para 

Sahabat menjadi marah atas panggilan kurang sopan yang dipergunakan 

oleh orang itu sampai akhirnya seorang di antara mereka tidak dapat 

menguasai dirinya lagi dan memperingatkan agar tidak menyebut 

Rasulullah s.a.w. dengan nama asli beliau, namun dengan sebutan Abul 

Qasim. Orang Yahudi itu mengatakan bahwa ia akan menyebut beliau 

dengan nama yang diberikan oleh orang tua beliau. Rasulullah s.a.w. 

tersenyum dan bersabda, ”Ia benar, aku diberi nama Muhammad pada 

saat aku dilahirkan, dan sama sekali tidak ada alasan untuk marah sebab  

ia memanggilku dengan nama itu.” Kadang-kadang orang menghentikan 

beliau di perjalanan dan mengajak bercakap-cakap, menerangkan 

kebuAllah nya dan meminta pertolongan kepada beliau. Beliau selalu 

mendengarkan dengan penuh sabar dan membiarkan mereka terus bicara 

dan beliau baru meneruskan perjalanan kalau urusannya sudah selesai. 

Pada waktu orang-orang berjumpa dan bersalam-salaman, orang kadang-

kadang memegang tangan beliau beberapa lama, dan walaupun beliau 

beranggapan hal itu kurang enak dan membuang percuma waktu yang 

berharga, tidak pernah beliau lebih dahulu melepaskan tangan. Orang 

bergaul bebas dengan beliau dan memaparkan kesusahan dan kesukaran 

mereka kepada beliau dan meminta pertolongan beliau. Jika beliau 

mampu memberikannya, beliau tidak pernah menolak. 

Terkadang beliau diusik orang-orang dengan aneka ragam 

permintaan yang sangat berat dan mendesak, namun beliau selalu 

mengabulkan dan melaksanakan sejauh yang dimungkinkan. Sekali 

peristiwa, sesudah  memenuhi suatu permintaan, beliau memberi nasihat 

kepada orang yang bersangkutan agar lebih bertawakal kepada Allah  

dan menjauhi kebiasaan meminta kepada orang lain untuk meringankan 

bebannya. 

Pada suatu hari seorang Muslim yang mukhlis minta uang untuk 

kesekian kalinya kepada beliau dan permintaannya selalu diluluskan, 

namun hari itu beliau bersabda, “Sebaiknya seseorang bertawakal kepada 

Allah  dan menjauhi kebiasaan meminta-minta.” Orang tersebut seorang 

muttaqi. Untuk menjaga perasaan Rasulullah s.a.w., pemberian itu tidak 

dikembalikannya namun ia bersumpah tidak akan meminta apa pun 

kepada siapa pun juga pada hari-hari mendatang dalam keadaan 

bagaimana juga. Beberapa tahun kemudian ia ikut serta dalam suatu 

peperangan. Ia menunggang kuda dan saat  pertempuran tengah 

berkecamuk, saat riuh gemerincingnya senjata dengan senjata saling 

beradu sampai di puncaknya dan ia dikepung musuh, cambuknya 

terlepas dan jatuh. Seorang prajurit Muslim yang berjalan kaki melihat 

keadaan itu dan membungkuk untuk mengambilkan cambuk itu, namun 

orang berkendaraan itu melarangnya, lalu ia sendiri melompat dari 

kudanya dan mengambil cambuk itu sambil berkata bahwa ia telah lama 

berjanji kepada Rasulullah s.a.w. tidak akan meminta lagi pertolongan 

kepada siapa pun sehingga kalau mengizinkan sang prajurit itu 

mengambilkan cambuknya akan sama halnya seperti meminta 

pertolongan secara tidak langsung dan dengan demikian telah berdosa, 

melanggar janjinya kepada Rasulullah s.a.w.. 

Keadilan Dan Perlakuan Adil 

Bangsa Arab sangat suka mengagumi pribadi-pribadi tertentu 

dan menerapkan berbagai patokan kepada berbagai orang. Bahkan di 

antara bangsa-bangsa yang disebut beradab dewasa ini kita menyaksikan 

adanya keengganan mengadakan tuntutan terhadap orang-orang 

terkemuka atau yang memiliki  kedudukan atau jabatan yang tinggi 

atas perbuatan mereka, walaupun hukum diberlakukan secara ketat 

terhadap warga negara biasa. namun , Rasulullah s.a.w. yaitu  mandiri 

dalam menerapkan keadilan dan perlakuan adil. Sekali peristiwa, suatu 

perkara dihadapkan kepada beliau tatkala seorang bangsawati terbukti 

telah melakukan pencurian. Hal itu menggemparkan, sebab  jika 

hukuman yang berlaku dikenakan terhadap wanita muda usia itu, 

martabat suatu keluarga yang sangat terhormat akan jatuh dan terhina. 

Banyak yang ingin mendesak Rasulullah s.a.w., demi kepentingan orang 

yang berdosa itu, namun tidak memiliki  keberanian. Maka Usama 

diserahi tugas melaksanakan itu. Usama menghadap Rasulullah s.a.w. 

namun sesaat  beliau mengerti maksud tugasnya itu, beliau sangat marah 

dan bersabda, “Kamu sebaiknya menolak. Bangsa-bangsa telah celaka 

sebab  mengistimewakan orang-orang kelas tinggi tapi berlaku kejam 

terhadap rakyat jelata. Islam tidak mengizinkan dan aku pun sekali-kali 

tidak akan mengizinkan. Sesungguhnya, jika Fatimah, anakku sendiri, 

melakukan kejahatan, aku tidak akan. segan-segan menjatuhkan 

hukuman yang adil” (Bukhari, Kitab al-Hudud). 

Telah diriwayatkan bahwa saat  paman Rasulullah s.a.w., 

Abbas, menjadi tawanan Perang Badar, ia diikat erat-erat seperti 

tawanan-tawanan lainnya dengan tali untuk mencegah usaha melarikan 

diri. Tali itu begitu eratnya sehingga ia mengerang-erang kesakitan 

sepanjang malam. Rasulullah s.a.w. mendengar erangan itu dan 

sebab nya beliau tidak dapat tidur. Para Sahabat mengetahui hal itu dan 

melonggarkan ikatan Abbas. saat  Rasulullah s.a.w. mengetahuinya, 

beliau memerintahkan supaya semua tawanan diperlakukan sama seperti 

paman beliau dengan mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk 

menunjukkan keistimewaan kepada keluarga beliau sendiri. Beliau 

menuntut mereka supaya melonggarkan ikatan semua tawanan atau 

kebalikannya memperkuat lagi ikatan Abbas seperti tawanan-tawanan 

lain. sebab  para Sahabat tidak menghendaki beliau gundah hanya 

sebab  paman beliau, mereka memutuskan untuk menjaga tawanan-

tawanan itu lebih keras lagi dan melonggarkan ikatan semua tawanan 

(Zurqani, Jilid 3, hlm. 279). 

Bahkan dalam keadaan bahaya perang pun beliau sangat cermat 

dalam melaksanakan peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan yang 

baku. Sekali peristiwa beliau mengirim serombongan sahabat-sahabat 

pada sebuah ekspedisi penyelidikan. Mereka bertemu dengan beberapa 

orang musuh pada hari akhir bulan suci Rajab. Berpikir bahwa akan 

sangat berbahaya melepaskan mereka itu sehingga akan membawa berita 

ke Mekkah tentang rombongan penyelidik yang begitu dekat, musuh itu 

disergap oleh mereka dan dalam perkelahian itu, seorang di antaranya 

terbunuh. sesudah  rombongan penyelidik itu kembali ke Medinah, kaum 

Mekkah mengajukan protes bahwa penyelidik-penyelidik Muslim telah 

membunuh salah seorang dari orang-orang mereka. Orang-orang 

Mekkah sendiri sering melanggar Bulan Suci dalam menghadapi orang-

orang Muslim, bila hal itu dipandang baik oleh mereka, dan sebenarnya 

telah menjadi jawaban yang layak terhadap tuduhan mereka itu untuk 

mengatakan bahwa sebab  kaum Mekkah sendiri telah melanggar 

perjanjian tentang Bulan Suci, maka mereka itu tidak berhak menuntut 

supaya dipatuhi oleh kaum Muslimin. namun , Rasulullah s.a.w. tidak 

memberikan jawaban demikian. Beliau sangat menyesali anggota-

anggota rombongan itu, menolak menerima harta rampasan perang, dan 

menurut beberapa riwayat malah membayar uang darah untuk orang 

yang terbunuh itu, sehingga ayat 2:218 menjernihkan seluruh keadaan 

(Tabari dan Halbiyya). 

Orang-orang pada umumnya berhati-hati supaya jangan 

menyakiti perasaan sahabat-sahabat mereka dan sanak-saudara mereka, 

namun Rasulullah s.a.w. sangat memperhatikan asas itu, malah terhadap 

orang-orang yang memusuhi beliau sekalipun. Sekali peristiwa seorang 

Yahudi datang kepada beliau dan menerangkan bahwa Abu Bakar telah 

melukai perasaannya dengan mengatakan bahwa Allah  telah memberi 

kedudukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. lebih tinggi di atas Nabi 

Musa a.s.. Rasulullah s.a.w. memanggil Abu Bakar dan menanyakan 

kepadanya, apa yang telah dikatakannya. Abu Bakar menerangkan 

bahwa orang Yahudi itu mulai lebih dahulu menyatakan bahwa ia 

bersumpah dengan nama Musa a.s. yang menurut kata orang itu, Allah  

telah memuliakannya di atas seluruh umat manusia dan bahwa Abu 

Bakar menyambutnya dengan bersumpah atas nama Muhammad s.a.w., 

yang Allah  telah mengangkatnya di atas Nabi Musa a.s.. Rasulullah 

s.a.w. bersabda, “Anda seharusnya tidak mengatakan itu, sebab  

perasaan orang-orang lain harus diperhatikan juga. Siapa pun tidak boleh 

mengangkatku di atas Nabi Musa a.s.” (Bukhari, Kitab al-Tauhid). Hal 

itu tidak berarti bahwa Rasulullah s.a.w. menurut kenyataannya tidak 

memiliki  kedudukan yang lebih tinggi daripada Nabi Musa a.s., namun 

menyatakan hal itu kepada orang Yahudi dapat dengan mudah menyakiti 

perasaannya dan hal itu harus dihindarkan. 

Perhatian Terhadap Orang-Orang Miskin 

Rasulullah s.a.w. senantiasa prihatin memikirkan untuk 

memperbaiki keadaan golongan yang miskin dan mengangkat taraf hidup 

mereka di tengah-tengah masyarakat. Sekali peristiwa, saat  beliau 

sedang duduk-duduk dengan para Sahabat, lewatlah seorang kaya, 

Rasulullah s.a.w. menanyakan kepada salah seorang dari para Sahabat, 

apa pendapatnya tentang orang itu. Ia menjawab, “Ia seorang berada lagi 

terkenal. Jika ia meminang seorang gadis idamannya akan diterima 

dengan baik dan jika ia menjadi perantara untuk kepentingan seseorang, 

perantaraannya itu akan diterima.” Tak lama kemudian, lewatlah seorang 

orang lain yang nampaknya miskin dan tidak mampu. Rasulullah s.a.w. 

menanyakan kepada Sahabat tadi, bagaimana orang itu menurut 

pendapatnya. Ia menjawab, “Ya Rasulullah! Ia seorang miskin. Jika ia 

meminang seorang gadis, permintaannya tidak akan diterima dengan 

baik dan jika ia menjadi perantara untuk seseorang, perantaraannya akan 

ditolak dan jika ia berusaha mengajak bercakap-cakap dengan seseorang, 

ia tidak akan mendapat perhatian.” sesudah  mendengar jawaban itu 

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Nilai orang miskin itu jauh lebih tinggi dari 

nilai sejumlah emas yang cukup untuk mengisi sekalian alam” (Bukhari, 

Kitabal-Riqaq). 

Seorang wanita Muslim biasa membersihkan Mesjid Nabi di 

Medinah. Rasulullah s.a.w. sudah beberapa hari tidak melihatnya lagi di 

mesjid dan beliau menanyakan keadaannya. Disampaikan kepada beliau 

bahwa ia sudah meninggal. Beliau bersabda, “Mengapa aku tidak diberi 

tahu kalau ia meninggal? Aku pasti akan ikut dalam sembahyang 

jenazahnya,” dan menambahkan, “Barangkali kalian tidak 

memandangnya cukup penting sebab  ia miskin. Anggapan itu salah. 

Bawalah aku ke kuburannya.” Kemudian beliau pergi ke sana dan 

mendoa untuk dia (Bukhari, Kitabal-Shalat). Beliau biasa bersabda 

bahwa ada orang-orang dengan rambut kusut-masai, tubuhnya tertutup 

dengan debu, dan mereka tidak disambut oleh orang-orang berada, namun 

begitu tinggi dihargai Allah  sehingga jika dengan bertawakal kepada 

Allah  mereka bersumpah atas nama Allah bahwa suatu hal akan 

mengalami perubahan, Allah  akan membantu mereka” (Muslim, 

Kitabal-Bir wal Sila).  

Sekali peristiwa beberapa Sahabat, bekas budak-budak tapi 

sudah dimerdekakan, bersama-sama duduk saat  Abu Sufyan (seorang 

pemimpin Quraisy yang memerangi kaum Muslim sampai hari jatuhnya 

Mekkah dan baru masuk Islam pada peristiwa itu) lewat disitu. Para 

Sahabat menegurnya dan mengingatkannya kembali kepada kemenangan 

yang dianugerahkan Allah  kepada Islam. Abu Bakar mendengarnya dan 

tidak berkenan di hatinya bahwa seorang pemimpin Quraisy 

diperingatkan kepada penghinaan yang dideritanya, lalu kumpulan 

Sahabat itu ditegurnya. Ia menghadap Rasulullah s.a.w. dan 

menceriterakan peristiwa itu kepada beliau. Rasulullah s.a.w. bersabda, 

“Hai, Abu Bakar! Aku khawatir engkau telah melukai hati hamba-hamba 

Allah itu. Jika demikian, Allah  akan murka terhadapmu.” Abu Bakar 

segera kembali kepada para Sahabat itu dan bertanya, “Wahai, saudara-

saudaraku! Apakah saudara-saudara sakit hati atas apa yang kukatakan 

tadi?” Mereka menjawab, “Kami tidak mendendam atas perkataan anda. 

Semoga Allah  memaafkan anda“ (Muslim, Kitab al-Fada'il). 

namun , sementara Rasulullah s.a.w. menuntut supaya kaum 

miskin dihargai dan perasaan mereka tidak dilukai, dan memenuhi segala 

kebuAllah  mereka, beliau berusaha juga meresapkan rasa harga diri ke 

dalam hati mereka dan mengajarkan agar tidak meminta-minta. Beliau 

biasa mengatakan bahwa tidak pantas bagi seorang orang miskin merasa 

puas dengan sebutir atau dua butir korma atau sesuap atau dua suap 

makanan, namun ia harus menghindarkan diri dari meminta-minta, 

betapapun beratnya cobaan yang dihadapinya (Bukhari, Kitab al-Kusuf). 

Sebaliknya, beliau biasa mengatakan juga bahwa tidak ada suatu kenduri 

mendapat berkah selama beberapa orang miskin juga tidak diundang. 

Aisyah r.a. menceriterakan bahwa seorang wanita miskin pada suatu 

saat  datang kepada beliau disertai oleh dua anak perempuannya yang 

masih kecil. Aisyah r.a. tak punya apa-apa pada saat itu, kecuali sebutir 

korma yang dapat diberikan oleh beliau kepada wanita itu. Wanita itu 

membagikannya kepada dua anaknya yang kecil itu dan kemudian 

mereka itu berlalu. saat  Rasulullah s.a.w. tiba di rumah, Aisyah r.a. 

menceriterakan hal itu kepada beliau dan Rasulullah s.a.w. bersabda, 

“Jika seorang miskin memiliki  anak-anak perempuan dan ia 

memperlakukannya dengan baik, Allah  akan menyelamatkan dia dari 

api neraka,” dan menambahkan, “Allah  akan menyediakan surga kepada 

wanita itu disebabkan oleh perlakuan baiknya terhadap anak-anak 

perempuan” (Muslim). Sekali peristiwa diceriterakan kepada beliau 

bahwa seorang Sahabat bernama Said, seorang yang berada, 

membanggakan diri tentang hasil usahanya kepada orang-orang lain. 

saat  Rasulullah s.a.w. mendengar hal itu, beliau bersabda, “Janganlah 

seorang menyangka bahwa kekayaan atau kedudukan atau kekuasaannya 

yaitu  semata-mata buah usahanya sendiri. Keadaannya tidak demikian. 

Kekuasaanmu dan kedudukanmu serta kekayaanmu, semuanya diperoleh 

dengan perantaraan si miskin.” 

Salah satu doa beliau ialah, “Ya Allah ! Buatlah hamba ini tetap 

merendahkan diri selama hamba hidup, dan buatlah hamba merendahkan 

diri jika hamba mati dan bangkitkanlah hamba pada Hari Pembalasan 

bersama mereka yang merendahkan diri” (Tirmidhi, Abwab al-Zuhd). 

Sekali peristiwa di musim panas, saat  beliau berjalan melalui 

suatu jalan raya dilihat beliau seorang Muslim yang sangat miskin sedang 

memikul barang-barang berat dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ia 

seorang dengan paras amat sederhana dan nampak lebih tidak menarik 

lagi dengan baju yang kotor oleh keringat dan debu. Pandangannya sayu. 

Rasulullah s.a.w. mendekatinya dengan diam-diam dari belakang dan 

beliau seperti anak-anak kadang-kadang berbuat dalam senda gurau, 

menjulurkan tangan beliau ke muka dan menutup mata kuli itu agar ia 

menerka siapa beliau. Orang itu menjulurkan tangannya ke belakang dan 

sambil meraba-raba badan Rasulullah s.a.w. ia mengetahui bahwa 

Rasulullah s.a.w.- lah yang ada di belakangnya. Barangkali ia dapat 

menerka juga bahwa tak ada orang lain yang memperlihatkan kecintaan 

yang begitu mesra terhadap orang seperti dia. sebab  hatinya senang dan 

padanya timbul keberanian, ia merapatkan dirinya ke tubuh Rasulullah 

s.a.w. serta menggosok-gosokkan badannya yang berdebu dan 

berkeringat itu ke pakaian Rasulullah, barangkali hendak meyakinkan 

dirinya sampai di mana Rasulullah s.a.w. mau membiarkan dirinya 

diperlakukan serupa itu. Rasulullah s.a.w. tetap mengulum senyum dan 

tidak menyuruhnya berhenti dari perbuatannya itu. saat  orang itu telah 

merasa puas dan juga merasa terharu, Rasulullah s.a.w. bertanya, “Aku 

memiliki  seorang budak. Adakah menurut pendapatmu, orang yang 

mau membelinya?”  

Orang itu menyadari bahwa barangkali tak ada seorang pun di 

seluruh dunia kecuali Rasulullah s.a.w. sendiri yang berminat kepadanya 

dan dengan menghela nafas sedih ia menjawab, “Ya Rasulullah. Tidak 

ada seorang pun di bumi ini yang bersedia membeliku.” 

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidak! Tidak! Kamu jangan berkata 

demikian. Kamu sangat berharga dalam pandangan Ilahi” (Syarh al-

Sunnah). 

Bukan saja beliau sangat prihatin akan kesejahteraan si miskin, 

namun beliau senantiasa menganjurkan pula kepada orang-orang lain 

untuk berbuat serupa. 

Abu Musa Asy'ari meriwayatkan bahwa jika seorang miskin 

menghadap Rasulullah s.a.w. dan mengajukan permintaan, beliau biasa 

bersabda kepada orang di sekitar beliau, “Kamu juga hendaknya 

memenuhi permintaannya itu sehingga mendapat pahala sebagai orang 

yang berperan serta dalam menggalakkan perbuatan baik” (Bukhari dan 

Muslim), dengan tujuan membangkitkan rasa cenderung untuk menolong 

si miskin di satu pihak dalam hati para Sahabat, dan di pihak lain 

menimbulkan kesadaran dalam hati kaum fakir-miskin adanya cinta dan 

rasa kasih saudara-saudara mereka yang kaya.  

Menjaga Kepentingan Si Miskin 

saat  Islam berangsur diterima secara umum oleh bagian 

terbesar bangsa Arab, Rasulullah s.a.w. sering menerima barang dan 

uang berlimpah-limpah, beliau segera membagi-bagikan hadiah-hadiah 

itu di antara mereka yang sangat membutuhkan. Sekali peristiwa anak 

beliau, Fatimah, datang mendapatkan beliau dan sambil memperlihatkan 

telapak tangannya yang tebal dan keras akibat pekerjaan menepung 

gandum dengan batu, memohon agar diberi seorang budak untuk 

meringankan pekerjaannya. Rasulullah s.a.w. menjawab, “Aku akan 

menceriterakan kepadamu sesuatu yang nanti akan terbukti jauh lebih 

berharga dari pada seorang budak. Jika engkau mau tidur pada malam 

hari, engkau hendaknya membaca Subhanallah tiga puluh tiga kali, 

Alhamdulillah tiga puluh tiga kali, dan Allahu Akbar tiga puluh empat 

kali. Hal itu akan jauh lebih banyak menolongmu daripada memelihara 

seorang budak” (Bukhari). 

Sekali peristiwa, saat  sedang membagi-bagikan uang, sekeping 

mata uang terjatuh, meluncur, dan menghilang. Sesudah selesai 

membagi-bagikan uang itu beliau pergi ke mesjid untuk memimpin 

sembahyang. Beliau biasa duduk-duduk sejenak selepas sembahyang 

berzikir Ilahi. Sesudah itu orang-orang diberi kesempatan untuk 

menghadap dan bertanya atau mengajukan permohonan. Tapi kali itu, 

begitu usai sembahyang, beliau bangkit dan cepat-cepat pulang. Beliau 

mencari mata uang yang hilang tadi dan sesudah ditemukannya kembali, 

beliau kembali dan memberikan uang itu kepada orang yang 

membutuhkannya. Beliau menerangkan bahwa mata uang itu jatuh 

saat  membagi-bagikan uang dan hal itu kemudian beliau lupakan, 

namun saat  dengan tiba-tiba pada waktu mengimani sembahyang 

teringat kembali maka beliau menjadi gelisah sebab  diusik pikiran 

bahwa jika beliau wafat sebelum menemukan kembali uang itu dan 

memberikannya kepada orang yang membutuhkan, beliau akan dituntut 

pertanggung-jawaban di hadapan Allah , itulah sebabnya beliau 

meninggalkan mesjid begitu tergesa-gesa untuk menemukan kembali 

uang tersebut (Bukhari, Kitab al-Kusuf). 

sebab  besarnya minat beliau menjaga kepentingan kaum fakir-

miskin begitu jauh, sehingga beliau menetapkan bahwa untuk selama-

lamanya sedekah tidak boleh diberikan kepada keturunan beliau, sebab  

khawatir jangan-jangan orang-orang Muslim, sebab  cinta dan bakti 

terhadap beliau, pada suatu waktu akan mengutamakan sedekah kepada 

keturunan beliau dan dengan demikian merampas hak kaum fakir-

miskin. Sekali peristiwa seseorang membawa kepada beliau sejumlah 

korma dan mempersembahkannya sebagai sedekah. Cucu beliau, Imam 

Hassan, yang pada saat itu baru berusia dua setengah tahun, kebetulan 

duduk-duduk bersama Rasulullah s.a.w.. Ia mengambil sebutir korma 

dan memasukkan ke dalam mulut. Rasulullah s.a.w. segera memasukkan 

jari ke dalam mulut si anak dan mengeluarkan korma itu dengan paksa 

sambil bersabda, “Kita tidak berhak atas ini. Ini hak orang-orang miskin 

dari antara makhluk Allah ” (Bukhari, Kitab al-Kusuf). 

Perlakuan Terhadap Budak-Budak 

Beliau senantiasa menganjurkan kepada mereka yang 

memiliki  budak-budak supaya memperlakukan mereka dengan baik 

serta kasih sayang. Beliau menetapkan bahwa jika si pemilik memukul 

budaknya atau memaki-makinya, maka satu-satunya perbaikan yang 

dapat dilakukannya ialah memerdekakannya (Muslim, Kitab al-Iman). 

Beliau membuat sarana untuk mendorong dan memerdekakan budak 

pada tiap-tiap kesempatan. Beliau bersabda, “Jika seseorang memiliki  

budak-budak lalu memerdekakan mereka, Allah  akan membalasnya 

dengan menyelamatkan tiap-tiap bagian tubuhnya sesuai dengan tiap-tiap 

bagian tubuh budak itu, dari siksaan neraka.” Pula, beliau menetapkan 

bahwa seorang budak hendaknya disuruh hanya melaksanakan tugas-

tugas yang ia dengan mudah dapat melakukannya dan bahwa jika ia telah 

diberi tugas, tuannya hendaknya membantu melakukannya sehingga 

budak itu tidak boleh mengalami perasaan dihina atau direndahkan 

(Muslim). Jika tuannya bepergian dan diikuti oleh seorang budaknya, 

maka menjadi kewajiban bagi tuannya untuk menaiki tunggangan baik 

bersama-sama atau bergantian. Abu Hurairah yang biasa mengisi semua 

waktunya, sesudah  ia masuk Islam, dengan ikut bersama Rasulullah s.a.w. 

dan acapkali mendengarkan fatwa Rasulullah s.a.w. mengenai perlakuan 

terhadap budak-budak; ia berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah  

Yang ditangan-Nya terletak kehidupanku bahwa seandainya tidak ada 

kesempatan ikut berjihad dan naik Haji dan seandainya tidak memiliki  

kesempatan mengkhidmati ibuku yang sudah tua, aku ingin mati sebagai 

seorang budak, sebab  Rasulullah s.a.w. senantiasa menuntut supaya 

budak-budak diperlakukan dengan baik dan kasih sayang (Muslim). 

Ma'rur bin Suwaid meriwayatkan, “Aku melihat Abu Dharr 

Ghaffari (seorang Sahabat) mengenakan pakaian yang betul-betul sama 

dengan pakaian yang dikenakan oleh budak-budaknya. Aku menanyakan 

kepadanya alasan tentang itu dan ia berkata, “Di zaman Rasulullah s.a.w. 

sekali peristiwa aku memaki-maki seorang laki-laki dan menghinanya 

sebab  ibunya seorang budak. Menyaksikan hal itu Rasulullah s.a.w. 

menyesaliku dan bersabda, “Kamu agaknya masih terbiasa dengan 

tingkah-laku jahiliah. Apakah budak itu? Mereka saudaramu dan sumber 

kekuatanmu. Allah  Yang Maha Bijaksana telah memberikan kepadamu, 

untuk sementara waktu, kekuasaan di atas mereka. Yang memiliki  

kekuasaan terhadap saudaranya, hendaknya memberi makan seperti ia 

makan sendiri, memberi pakaian seperti yang dipakai sendiri dan 

hendaknya tidak memberi tugas di luar kemampuannya dan 

membantunya dalam melaksanakan tugasnya.” Pada peristiwa lain 

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Jika pelayanmu memasak makanan untuk 

kamu dan menghidangkannya kepadamu, kamu hendaknya mengajaknya 

makan dan duduk bersama atau sekurang-kurangnya ikut makan 

sebagian makanan itu bersama kamu, sebab ia telah membuat dirinya 

berhak atas itu dengan bekerja menyiapkannya” (Muslim). 

Perlakuan Terhadap Wanita 

Rasulullah s.a.w. sangat berhasrat memperbaiki keadaan wanita 

di tengah masyarakat, menjamin mereka mendapat kedudukan terhormat 

dan perlakuan wajar lagi pantas. Islam yaitu  agama pertama yang 

memberikan hak waris kepada wanita. Al-Qur’an menjadikan anak-anak 

perempuan, bersama-sama dengan anak-anak lelaki, ahli waris kekayaan 

orang tua mereka. Demikian pula ibu menjadi ahli waris harta benda 

peninggalan anak laki-laki atau anak perempuan; dan seorang istri jadi 

ahli waris harta-benda suaminya. Jika seorang saudara laki-laki menjadi 

ahli waris harta-benda saudaranya yang meninggal, maka saudara 

perempuan juga jadi ahli waris harta-benda itu. Tidak ada agama 

sebelum Islam begitu jelas dan tegas dalam menjamin hak waris wanita 

dan hak memiliki harta kekayaan. Dalam Islam, seorang wanita menjadi 

pemilik mutlak harta-bendanya sendiri dan suaminya tak dapat 

memiliki  hak sedikit pun mengendalikan harta-benda itu hanya 

semata-mata sebab  alasan ia suaminya. Seorang wanita bebas 

sepenuhnya bertindak atas harta-bendanya menurut kehendaknya sendiri. 

Rasulullah s.a.w. begitu berhati-hati mengenai perlakuan 

terhadap wanita, sehingga mereka yang ada di sekitar beliau, yang 

sebelumnya tidak biasa memandang kepada wanita sebagai kawan dan 

mitra, merasa sukar untuk menyesuaikan diri pada standar yang 

Rasulullah s.a.w. begitu menghendaki sekali supaya dilaksanakan dan 

dipelihara. Sayyidina Umar meriwayatkan, “Istriku kadang-kadang 

berusaha mencampuri urusanku dengan memberi saran dan usul, dan aku 

biasa memarahinya dengan mengatakan bahwa bangsa Arab tidak pernah 

mengizinkan istrinya mencampuri urusannya. Ia membantah, “Masa itu 

telah lewat. Rasulullah s.a.w. mengizinkan istri-istri beliau memberi 

saran dan usul dalam urusan beliau dan beliau tidak melarangnya. 

Mengapa engkau tidak mengikuti contoh beliau?” Maka aku biasa 

menjawab: Mengenai Aisyah, Rasulullah s.a.w. sangat senang 

kepadanya, namun mengenai anakmu (Hafsah), jika ia berbuat demikian, 

pada suatu hari ia akan menderita oleh kelancangannya. Telah terjadi 

bahwa sekali peristiwa Rasulullah s.a.w. marah, sebab  suatu sebab 

memutuskan untuk hidup pisah dari istri-istri beliau, untuk sementara 

waktu. saat  aku mengetahui itu kukatakan kepada istriku: Apa yang 

kutakutkan telah terjadi. Kemudian aku pergi ke rumah anakku, Hafsah, 

dan mendapatkannya sedang menangis. Kutanyakan apa sebab-sebabnya, 

dan apakah Rasulullah s.a.w. telah menceraikan. Ia menjawab, “Aku tak 

tahu apa-apa tentang perceraian, namun Rasulullah s.a.w. telah 

memutuskan untuk hidup pisah, untuk sementara waktu, dari kami 

semua. “Aku katakan kepadanya, Bukankah aku telah sering mengatakan 

bahwa kau jangan begitu lancang seperti Aisyah terhadap beliau, sebab 

Rasulullah s.a.w. sangat mencintai Aisyah, namun kau agaknya telah 

menerima akibat yang aku khawatirkan”. Kemudian aku menghadap 

Rasulullah s.a.w. dan melihat beliau sedang berbaring di atas tikar kasar. 

Beliau pada waktu itu tidak memakai kemeja dan pada tubuh beliau 

nampak kesan tapak tikar. Aku duduk dekat beliau dan berkata, “Ya 

Rasulullah! Kaisar dan Kisra tidak berhak menikmati karunia Ilahi 

sedikit pun, namun walaupun demikian, mereka hidup dalam kemewahan; 

sedangkan anda, sebagai Rasul Allah, begitu sengsara. Rasulullah s.a.w. 

menjawab, “Itu tidak benar. Dan Utusan-utusan Allah tidak diharapkan 

akan menggunakan waktunya dalam kesenangan. Kehidupan demikian 

hanya pantas untuk raja-raja duniawi”. Kemudian aku menyampaikan 

kepada Rasulullah apa yang terjadi antara istriku dan anakku. Mendengar 

hal itu Rasulullah s.a.w. tertawa dan bersabda, “Tidak benar aku telah 

menceraikan istri-istriku. Aku hanya memandang ada baiknya kalau 

hidup untuk sementara waktu pisah dan mereka“ (Bukhari, Kitab al-

Nikah).  

Beliau begitu hati-hati mengenai perasaan wanita-wanita 

sehingga sekali peristiwa, saat  beliau memimpin sembahyang dan 

mendengar seorang anak menangis, beliau menyelesaikan shalat secepat 

mungkin. Beliau menerangkan kemudian bahwa saat  beliau 

mendengar tangisan anak itu, beliau membayangkan bahwa ibu anak itu 

tentu amat gelisah, dan oleh sebab  itu beliau menyelesaikan shalat itu 

dengan cepat sehingga ibu itu dapat pergi ke anaknya dan mengurusnya. 

Jika dalam salah satu perjalanan beliau ada pula wanita-wanita 

ikut serta, beliau senantiasa memberi petunjuk supaya kafilah bergerak 

lambat dan berhenti secara bertahap. Pada suatu kesempatan serupa itu 

saat  orang-orang ingin sekali maju cepat, beliau bersabda, “Perhatikan 

kaca! Perhatikan kaca!” dengan maksud mengatakan bahwa ada wanita-

wanita dalam rombongan dan bahwa jika unta-unta dan kuda-kuda 

berlari cepat, mereka itu akan menderita dan bantingan-bantingan 

binatang-binatang itu (Bukhari, Kitab al-Adab). 

Pada suatu pertempuran timbul kekacauan di tengah barisan-

barisan berkuda dan binatang-binatang itu pun tidak terkendalikan. 

Rasulullah s.a.w. jatuh dari kuda, begitu pula beberapa wanita jatuh dari 

tunggangan mereka. Seorang dari antara sahabat-sahabat yang 

mengendarai unta amat dekat di belakang Rasulullah s.a.w., turun 

dengan meloncat dan berlari-lari kepada Rasulullah s.a.w. sambil 

berteriak. “Biarlah aku berkorban untuk anda, ya Rasulullah.” Kaki 

Rasulullah s.a.w. masih tersangkut di sanggurdi. Beliau melepaskan 

dengan segera kaki itu dan bersabda, “Jangan perdulikan aku, lekas 

tolong wanita-wanita itu.” Sesaat sebelum beliau wafat, salah satu dari 

perintah yang ditujukan kepada kaum Muslimin dan sangat ditekankan 

oleh beliau ialah, mereka hendaknya senantiasa memperlakukan wanita 

dengan baik dan kasih sayang. Beliau seringkali dan berulang-ulang 

mengatakan, jika seseorang memiliki  anak-anak perempuan dan ia 

telah berusaha agar mereka mendapat didikan dan ia berusaha keras 

memelihara mereka, Allah  akan menyelamatkannya dari siksaan neraka 

(Tirmidhi). 

Telah menjadi kebiasaan pada orang-orang Arab memberi 

siksaan jasmani kepada wanita atas tiap-tiap kesalahan kecil. Rasulullah 

s.a.w. mengajarkan bahwa wanita itu sama seperti pria selaku makhluk 

Allah  dan bukan budak kaum pria dan tidak boleh dipukul. Tatkala 

wanita-wanita mengetahui hal itu, ulah mereka menjadi sama sekali 

terbalik dan mulai berani membantah kaum pria dalam segala hal, 

akibatnya ialah dalam beberapa rumah