iterima bila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai
sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak
keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu .
Pasal 135
Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal
116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti
penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang
memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan
itu telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 136
1. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat berdasar pertimbangan bahaya yang mungkin
96
ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri
itu untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:
a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang
menjadi hak isteri.
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur bila suami atau isteri meninggal sebelum
adanya putusan pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 138
1. bila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak
memiliki tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan
cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan
Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar
atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass
media itu ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua
3. Tenggang waktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa
hadirnya tergugat, kecuali bila gugatan itu tanpa hak atau tidak
beralasan.
Pasal 140
bila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik
negara kita setempat
97
Pasal 141
1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat
gugatan perceraian.
2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatikan
tentang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan itu oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
3. bila tergugat berada dalam keadaan seperti itu dalam pasal
116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya
gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 142
1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang
sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan
pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk
hadir sendiri.
Pasal 143
1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan
kedua belah pihak.
2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 144
bila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasar alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum
perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya
perdamaian.
Pasal 145
bila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang tertutup.
98
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung
sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah memiliki
kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 146
Pasal 147
(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan
Agama menyampaikan salinan surat putusan itu kepada suami
isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-
masing yang bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai
salinan putusan Pengadilan Agama yang telah memiliki kekuatan
hukum yang tetap tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah
yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterangan kepada
masing-masing suami isteri atau kuasanya bahwa putusan itu ayat
(1) telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti
perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang
tersedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka
telah bercerai.
Catatan itu berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian,
nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera.
(5) bila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah
tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan
putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi
tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi perkawinan yang
dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai
Pencatat Nikah Jakarta.
(6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan itu dalam ayat (1) menjadi
tanggungjawab Panitera yang bersangkutan, bila yang demikian itu
mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.
Pasal 148
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan
khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama
99
yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-
alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri
dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan itu Pengadilan Agama Memberi penjelasan
tentang akibat khuluk, dan Memberi nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan,
maka Pengadilan Agama Memberi penetapan tentang izin bagi
suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama.
Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan
kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam
pasal 131 ayat (5).
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau
iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara
biasa.
BAB XVII
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Akibat Talak
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a. Memberi mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas isteri itu qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam
iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau nusyur dan
dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh bila
qobla al dukhul;
d. Memberi biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun
100
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju' kepada bekas istrinya yang masih
dalam iddah.
Pasal 151
Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya
kecuali ia nusyuz.
Bagian Kedua
Waktu Tunggu
Pasal 153
1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan
karena kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. bila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al
dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:
b. bila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. bila perkawinan putus karena perceraian sedang janda itu
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan;
d. bila perkawinan putus karena kematian, sedang janda itu
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda itu dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang memiliki
101
kekuatan hukum yang tetap, sedang bagi perkawinan yang putus
karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian
suami.
5. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu
menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali
waktu haid.
6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka
iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun
itu ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 154
bila isteri bertalak raj'I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, di
tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan
sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk,
fasakh dan li'an berlaku iddah talak.
Bagian Ketiga
Akibat Perceraian
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan o leh :
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya;
102
c. bila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah
kepada kerabat lain yang memiliki hak hadhanah pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak itu
dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama Memberi putusannya berdasar huruf (a), (b),
dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-
anak yang tidak turut padanya.
Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana itu dalam
pasal 96, 97.
Bagian Keempat
Mut'ah
Pasal 158
Mut'ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a. belum ditetapkan mahar bagi isteri ba'da al dukhul;
b. perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159
Mut'ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat itu pada
pasal 158.
Pasal 160
Besarnya mut'ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
103
Bagian Kelima
Akibat Khuluk
Pasal 161
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat
dirujuk.
Bagian Keenam
Akibat Li'an
Pasal 162
Bilamana li'an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan
anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas
dari kewajiban memberi nafkah.
BAB XVIII
RUJUK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 163
(1) Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa iddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:
a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh
tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul;
b. putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan
alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.
Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj'I berhak mengajukan keberatan
atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah
disaksikan dua orang saksi.
104
Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat
dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk
dan bila bukti itu hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan
lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya
semula.
Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk
Pasal 167
(1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya
ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa
penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang
diperlukan.
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu
memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah
rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj'i, apakah
perempuan yang akan dirujuk itu yaitu isterinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran
Rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami isteri tentang hukum-hukum
dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168
(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh
105
masing-masing yang bersangkutan besreta saksi-saksi, sehelai dikirim
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-
surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran
Rujuk dan yang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
sesudah rujuk dilakukan.
(3) bila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,
dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
Pasal 169
(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya
rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat
berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan isteri
masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut
contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk itu datang ke Pengadilan Agama di tempat
berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan
akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan
oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia ppada Kutipan
Akta Nikah itu , bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk,
tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran
Rujuk dan tanda tangan Panitera.
BAB XIX
MASA BERKABUNG
Pasal 170
(1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan
sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung
menurut kepatutan.
106
BUKU II
HUKUM K F, W ARISAN
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal 171
Yang dimaksud dengan:
a. Hukum kewarisan yaitu hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.
b. Pewaris yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasar putusan Pengadilan beragama
Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c. Ahli waris yaitu orang yang pada saat meninggal dunia memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik
yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris yaitu harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah dipakai untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang
dan pemberian untuk kerabat.
f. Wasiat yaitu pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain
atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
g. Hibah yaitu pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan
dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
h. Anak angkat yaitu anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung
jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasar
putusan Pengadilan.
i. Baitul Mal yaitu Balai Harta Keagamaan.
107
BABU
AHLI WARIS
Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam bila diketahui dari Kartu
Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedang bagi bayi
yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya
atau lingkungannya.
Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris bila dengan putusan hakim
yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Pasal 174
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah :
- Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
(2) bila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan
hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Pasal 175
(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris yaitu :
a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan,
termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;
108
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
d. membagi harta warisan di antara wahli waris yang berhak.
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris
hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
BAB III
BESARNYA BAHAGIAN
Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila
dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian,
dan bila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka
bagian anak laki-laki yaitu dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.*
Pasal 178
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau
lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia
mendapat sepertiga bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau
duda bila bersama-sama dengan ayah.
Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak,
dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagaian.
berdasar Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 1994, maksud pasal itu ialah :
ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami
dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
109
Pasal 180
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat
seperdelapan bagian.
Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia
memiliki satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua
mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan itu bersama-sama
dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
Bila saudara perempuan itu bersama-sama dengan saudara laki-laki
kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu
dengan saudara perempuan.
Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan
hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasar keputusan
Hakim atas usul anggota keluarga.
Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
itu dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti.
110
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan saling
mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Pasal 187
(1) bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh
pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk
beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan
tugas :
a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda
bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh
para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya
dengan uang;
b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai
dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c.
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas yaitu merupakan harta warisan
yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat
mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan
pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui
permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.
Pasal 189
(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya
kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana
semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris
yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan itu pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan
karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang
memerlukan uang, maka lahan itu dapat dimiliki oleh seorang atau
lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli
waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.
111
Pasal 190
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing
isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan
suaminya, sedang keseluruhan bagian pewaris yaitu menjadi hak para
ahli warisnya.
Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta itu atas putusan
Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk
kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.
BAB IV
AUL DAN RAD
Pasal 192
bila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya
Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka
penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang,
dan baru sesudah itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka
pembilang.
Pasal 193
bila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli waris
Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka
penyebut, sedang tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta
warisan itu dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-
masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.
BAB V
WASIAT
Pasal 194
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat
dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga.
112
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195
(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis
dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta
warisan kecuali bila semua ahli waris menyetujui.
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara
lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang
saksi di hadapan Notaris.
Pasal 196
Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan
dengan tegas dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan
menerima harta benda yang diwasiatkan.
Pasal 197
(1) Wasiat menjadi batal bila calon penerima wasiat berdasar
putusan Hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dihukum
karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat kepada pewasiat;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam
hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat
untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk
kepentingan calon penerima wasiat;
d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan
surat wasiat dan pewasiat.
(2) Wasiat menjadi batal bila orang yang ditunjuk untuk menerima
wasiat itu :
113
a. tidak mengetahui adanya wasiat itu sampai meninggal dunia
sebelum meninggalnya pewasiat;
b. mengetahui adanya wasiat itu , tapi ia menolak untuk
menerimanya;
c. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan
menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum
meninggalnya pewasiat.
(3) Wasiat menjadi batal bila yang diwasiatkan musnah.
Pasal 198
Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu
benda harus diberikan jangka waktu tertentu.
Pasal 199
(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat
belum menyatakan persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan
tetapi kemudian menarik kembali.
(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh
dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi
atau berdasar akte Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan
cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasar
akte Notaris.
(4) Bila wasiat dibuat berdasar akte Notaris, maka hanya dapat dicabut
berdasartkan akte Notaris.
Pasal 200
Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab
yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum
pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima
harta yang tersisa.
Pasal 201
bila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedang ahli
waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai
sepertiga harta warisnya.
114
Pasal 202
bila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedang
harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat menentukan kegiatan
mana yang didahulukan pelaksanaannya.
Pasal 203
(1) bila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya di
tempat Notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-
surat yang ada hubungannya.
(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 maka
surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.
Pasal 204
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan
disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris,
disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara
pembukaan surat wasiat itu.
(2) Jikas surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka
penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau Kantor
Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan
Agama itu membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal
ini.
(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh
Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat
guna penyelesaian selanjutnya.
Pasal 205
Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk
dalam golongan tentara dan berada dalam daerah pertewmpuran atau yang
berda di suatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan
membuat surat wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan
dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan
membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim kapal, dan jika
115
pejabat itu tidak ada, maka dibuat di hadapan seorang yang
menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 207
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan
perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutran
kerohanian sewaktu ia mewnderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali
ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.
Pasal 208
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte
itu .
Pasal 209
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasar Pasal 176 sampai
dengan Pasal 193 itu di atas, sedang terhadap orang tua angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya
1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya.
BAB VI
HIBAH
Pasal 210
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat
tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3
harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang
saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Pasal 211
Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai
warisan.
116
Pasal 212
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada
anaknya.
Pasal 213
Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit
yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli
warisnya.
Pasal 214
Warga negara negara kita yang berada di negara asing dapat membuat
surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik negara kita setempat
sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.
117
118
BUKU III
HUKUM PERWAKAFAN
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal 215
Yang dimaksud dengan:
(1) Wakaf yaitu perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau
badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif yaitu orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan benda miliknya.
(3) Ikrar yaitu pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda
miliknya.
(4) Benda wakaf yaitu segala benda baik benda bergerak atau tidak
bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan
bernilai menurut ajaran Islam.
(5) Nadzir yaitu kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW
yaitu petugas pemerintah yang diangkat berdasar peraturan-
peraturan yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar dan wakaf dan
menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk
kelestarian perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6), diangkat
dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
119
BABII
FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF
Bagian Kesatu
Fungsi Wakaf
Pasal 216
Fungsi wakaf yaitu mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan
tujuan wakaf.
Bagian Kedua
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf
Pasal 217
(1) Badan-badan Hukum negara kita dan orang atau orang-orang yang telah
dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk
melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan
benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas
namanya yaitu pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus
merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan,
sitaan dan sengketa.
Pasal 218
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas
dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian
menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam
ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri Agama.
Pasal 219
120
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari
perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. sudah dewasa;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. tidak berada di bawah pengampuan;
f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang
diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum negara kita dan berkedudukan di negara kita ;
b. memiliki perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang
diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari
Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di
hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan
sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai
berikut:
’’Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi
Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun
tidak Memberi atau menjanjikan ataupun Memberi sesuatu
kepada siapapun juga”
’’Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung
atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
’’Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas
dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam
pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti
dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang
dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan
Camat setempat.
121
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas
kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai
dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri
Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal
yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan
tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.
Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
karena:
a. meninggal dunia;
b. atas permohonan sendiri;
c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir;
d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2) Bilamana ada lowongan jabatan Nadzir karena salah satu alasan
sebagaimana itu dalam ayat (1), maka penggantinya diangkat oleh
Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli
warisnya.
Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan
jumlahnya ditentukan berdasar kelayakan atas saran Majelis Ulama
Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.
122
BAB III
TATA CARA PERWAKAFAN
DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF
Bagian Kesatu
Tata Cara Perwakafan
Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar
wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf,
dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang saksi.
(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang
mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang itu
dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a. tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka
harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat
oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak
bergerak dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari
benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan
kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan
guna menjaga keutuhan dan kelestarian.
123
BAB IV
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN
PENGAWASAN BENDA WAKAF
Bagian Kesatu
Perubahan Benda Wakaf
Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat
dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud
dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuan itu dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan
berdasar saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat
dengan alasan:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan
oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf
Pasal 226
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda
wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengawasan
Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir
dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan agama yang
mewilayahinya.
124
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum
dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan ini.
Ketentuan Penutup
Pasal 229
Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai
hukum yang hidup dalam warga , sehingga putusannya sesuai dengan
rasa keadilan.
PENJELASAN
ATAS
BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM
PENJELASAN UMUM
1. Bagi bangsa dan negara negara kita yang berdasar Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, yaitu mutlak adanya suatu hukum
nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan
kesadaran hukum warga dan bangsa negara kita .
2. berdasar Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, j o Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama
memiliki kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan
lainnya sebagai peradilan negara.
3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan
Agama yaitu Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-
bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan.
berdasar Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari
1958 Nomor B/I/735 hukum Materiil yang dijadikan pedoman dalam
bidang-bidang hukum itu di atas yaitu bersumber pada 13 kitab
yang kesemuanya madzhab Syafi’i.
4. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum warga semakin
berkembang sehingga kitab-kitab itu dirasakan perlu pula untuk
diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang
lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya
membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa
para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.
5. Hukum Materiil itu perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu
dokumen Yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat
dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama
sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang
diajukan kepadanya.
126
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 s/d 6
Cukup jelas
Pasal 7
Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan
agama.
Pasal 8 s/d 18
Cukup jelas
Pasal 19
Yang dapat menjadi wali terdiri dari wali nasab dan wali hakim, wali
anak angkat dilakukan oleh ayah kandung.
Pasal 20 s/d 71
Cukup jelas
Pasal 72
Yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku jejaka pada
waktu nikah kemudian ternyata diketahui sudah beristeri sehingga
teijadi poligami tanpa izin Pengadilan. Demikian pula penipuan
terhadap identitas diri.
Pasal 73 s/d 86
Cukup jelas
Pasal 87
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang
Peradilan Agama.
Pasal 88 s/d 93
Cukup jelas
127
Pasal 94
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang
Peradilan Agama.
Pasal 95 s/d 97
Cukup jelas
Pasal 98
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang
Peradilan Agama.
Pasal 99 s/d 102
Cukup jelas
Pasal 103
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang
Peradilan Agama.
Pasal 104 s/d 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang
Peradilan Agama.
Pasal 108 s/d 118
Cukup jelas
Pasal 119
Setiap talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan agama yaitu talak ba’in
sughraa.
Pasal 120 s/d 128
Cukup jelas
128
Pasal 129
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang
Peradilan Agama.
Pasal 130
Cukup jelas
Pasal 131
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang
Peradilan Agama.
Pasal 132
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang
Peradilan Agama.
Pasal 133 s/d 147
Cukup jelas
Pasal 148
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang
Peradilan Agama.
Pasal 149 s/d 185
Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan yaitu anak
yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang
tidak sah.
Pasal 187 s/d 228
Cukup jelas
Pasal 229
Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Buku I, Buku II dan Buku III.
129
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK negara kita
NOMOR 1 TAHUN 1991
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
Menimbang
Mengingat
a. bahwa Alim Ulama negara kita dalam lokakarya yang
diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5
Pebruari 1998 telah menerima baik tiga rancangan
buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang
Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum
Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan;
b. bahwa Kompilasi Hukum Islam itu dalam huruf
a oleh Instansi Pemerintah dan oleh warga yang
memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman
dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang
itu ;
c. bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam
itu dalam huruf a perlu disebarluaskan.
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
MENGINSTRUKSIKAN
Kepada : Menteri Agama
Untuk
PERTAMA : Menyebarkan uaskan Kompilasi Hukum Islam yang
terdiri dari:
a. Buku I tentang Hukum Perkawinan
b. Buku II tentang Hukum Kewarisan
c. Buku III tentang Hukum Perwakafan
131
Sebagai telah diterima dalam Loka Karya di Jakarta pada
tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988, untuk
dipakai oleh instansi Pemerintah dan oleh warga
yang memerlukannya.
KEDUA : Melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dengan
penuh tanggungjawab.
Dikeluarkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Juni 1991
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
ttd
SOEHARTO
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan
ttd
BAMBANG KESOWO, SH, LL M.
132
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita
untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya
Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi
semua warga negara.
Mengingat 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1)
dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
IV/MPR/1973.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik negara kita .
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
133
BABI
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Mahaesa.
Pasal 2
(1) Perkawinan yaitu sah, bila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki
seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang bila dikehendaki oleh fihak-fihak yang
bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
sebagaimana itu dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka
ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya Memberi izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang bila :
1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
134
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami bila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalanr
perjanjian, atau bila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang:
kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BABU
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang memiliki hubungan
darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
135
perkawinan atas permintaan orang itu dapat Memberi izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang itu dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan itu ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua itu dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku
juga dalam hal permintaan dispensasi itu ayat (2) pasal ini dengan
tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak
tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. memiliki hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
136
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang itu pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-undang ini.
Pasal 10
bila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu itu ayat (1) akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersendiri.
BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah, bila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali,
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
(2) Mereka yang itu pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan bila salah seorang dari calon mempelai
137
berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan itu
nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang
lainnya, yang memiliki hubungan dengan orang-orang seperti
itu dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 15
Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari
kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2)
dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya
perkawinan bila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana itu pada ayat (1)
pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah
hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberita
hukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan
pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh
pegawai pencatat perkawinan.
Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau
dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh
yang mencegah.
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan bila pencegahan belum dicabut.
138
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelang
garan dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan
Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan itu ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia
akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan, oleh pegawai pencatat perkawinan akan
diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan itu disertai
dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan
permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai
pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk
Memberi keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan
penolakan itu diatas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan
Memberi ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan itu
ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan itu hilang dan para pihak yang ingin
kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, bila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
139
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk itu ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan
setiap orang yang memiliki kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan itu , tetapi hanya setelah perkawinan itu
putus.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari
kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam
daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal
kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, walinikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas
dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasar alasan
dalam ayat (1) pasal ini gugur bila mereka telah hidup bersama
sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang
dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan
perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan bila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan bila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
140
(3) bila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah
itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan
haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya
gugur.
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan
memiliki kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu ;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali
terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan
atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik
sebelum keputusan tentang pembatalan memiliki kekuatan
hukum tetap.
BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian itu tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian itu mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian itu tidak dapat
dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
141
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan warga .
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri yaitu seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam warga .
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami yaitu kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami isteri harus memiliki tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan Memberi segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugutan kepada Pengadilan.
142
BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, yaitu
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri memiliki
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus kare