HADIS TENTANG
TERM POLITIK (SIYASAH)
َ
Dari Furat al-Qazzaz, mengatakan: aku telah mendengar Abu
Hazim mengatakan: aku telah duduk (belajar) lima tahun sama
Abu Hurairah, dan aku mendengarnya bercerita tentang Nabi.
Nabi bersabda: yaitu kaum Bani Israil dipimpin/diperintah oleh
seorang Nabi. Setiap kali Nabi itu meninggal maka digantikan
lagi dengan Nabi yang lain, dan tidak ada lagi Nabi sesudah
aku (Muhammad); dan akan ada pemerintah (khalifah) yang
jumlahnya banyak. Mereka mengatakan: Apa yang engkau
perintahkan kepada kami. Nabi mengatakan: Penuhilah dan
baiatlah yang pertama dan selanjutnya. Dan berikanlah hak
1 Hadis riwayat Baihaqi, Assunan al-Kubra, (India: Majlis Dairatu al-Ma’arif), Jld.8.hal.144.
2
mereka, sebab sesungguhnya Allah akan menanyai mereka (di
hari kemudian) tentang kepemimpinan mereka.
Makna dan Kandungan Hadis
1. Istilah siyasah yang berarti politik sesungguhnya sudah dikenal
sejak zaman jahiliyah. Sebagian pakar mengatakan bahwa al-Khansa
yang nama aslinya Tadamur binti Amru bin Tsarid Assulammy
seorang sastrawati Arab dianggap sebagai orang yang pertama kali
menggunakan terminologi politik dalam penyusunan syair untuk
mengekspresikan kehidupan politik di masanya. Penggunaan istilah
itu dapat dilihat saat terjadi perang antara kabilah al-Khansa dengan
kabilah Sahar.2
2. Sebagian ahli sejarah seperti al-Makrizi (wafat 845 H.) menyatakan
bahwa asal usul kata siyasah berasal dari bahasa Mongol yaitu yasa
yang kemudian ditambah huruf sin di depannya sehingga menjadilah
siyasah. Almakrizi menisbahkan kata ini ke kitab al-yasa yang
ditulis Jenkis Khan (wafat 624 H) sesudah menguasai beberapa
negeri Islam seperti dinasti al-Hawarizmiah di Turkistan pada masa
pemerintahan Sultan Alauddin Muhammad Khawarizem Syah.
Namun secara ilmiah, sebenarnya kedua kata yang disebutkan yakni
siyasah dan yasa tidaklah memiliki relevansi sama sekali sebab kata
siyasah sendiri dalam terminologi Arab penggunaannya sudah banyak
dipakai terutama dalam penulisan syair sebagai ekspresi kehidupan
sosial politik yang sedang bergejolak seperti yang dilakukan al-Khansa,
lalu kemudian diikuti oleh yang lainnya semisal Ibnu al-Mukaffa.
Bangsa Arab jahiliyah telah menggunakan kata siyasah yang berarti
cara, ketua dan pertahanan.
bahwa warga Arab sudah memahami makna implisit kalimat
siyasah. sebab nya para ulama Islam telah banyak menorehkan
dalam karya monumental mereka tentang sistem pemerintahan
dalam Islam dengan sebutan siyasah seperti Ibnu Taimiyah dengan
Judul: Assiyasah Assyar’iah fi Islahi Arra’i wa Arraiyah. Begitupula yang
ditulis Ibnu Qayyim al-Jauziah dengan judul: Atturuk al-Hukumiah fi
Assiyasah Assyar’iah.
4. Para pemikir Islam memandang bahwa segala bentuk perilaku politik
semestinya tidak terlepas dari nilai etika dan norma agama yang
sifatnya transenden. sebab nya setiap individu atau kelompok harus
mampu mengaktualisasikan nilai-nilai yang dimaksud sebab alam
ini ibarat common wealth yang mencakup dua unsur yaitu, Tuhan
dan manusia yang saling terkait satu sama lain, apalagi jika dilihat
dari sisi tujuan berdirinya sebuah negara yaitu untuk mencapai
kemaslahatan bersama, saling menguntungkan tanpa harus melihat
ras, suku, bangsa, dan bahkan agama.
5. Sering terdengar di tengah warga termasuk di kalangan akademisi
sendiri bahwa politik itu kotor sebab hanya melahirkan figur-figur
yang ambivalen. Pernyataan ini mungkin ada benarnya, sebab
memang banyak indikator yang menunjukkan bahwa dalam proses
demokratisasi seringkali terjadi hal-hal yang tidak diinginkan tidak
hanya sebab melanggar aturan dan regulasi yang ada, namun memang
secara etika sangat tidak layak untuk dilakukan misalnya dengan
praktek money politik demi merebut kekuasaan. sebab itulah tidak
salah bila seorang sarjana Muslim bernama Muhammad Abduh
pernah mengatakan: auzu billahi minas siyasah, aku berlindung
kepada Allah dari politik.
6. Para sarjana Muslim sejak awal telah menjelaskan secara gamlang
tentang pentingnya etika dalam perilaku politik. Sebut saja misalnya,
Abdurrahman Ibnu Khaldun (732-808 H) dengan sederhana
memberi naratif bahwa perilaku politik seorang pemimpin tidak
terlepas dari tiga kategori: (1) almalik attabi’i. Perilaku politik seorang
pemimpin yang hanya berdasar intuisi semata. Jadi, semua bentuk
perilaku yang dilakukan seorang politisi dalam mencapai satu tujuan
tidak terlepas dari pengaruh intuisi yang dimilikinya, sehingga ada
kemungkinan otoriter dalam pengambilan sebuah keputusan. sebab
itu, Ibnu Khaldun memandang bagian ini sebagai perilaku politik
yang tidak terpuji, (2) almalik assiyasi. Perilaku politik seorang
pemimpin yang banyak dipengaruhi oleh akal dalam pengambilan
sebuah keputusan sangat tergantung pada nilai rasionalisasi masalah.
Bila perilaku ini dinilai rasional oleh publik maka akan sangat
signifikan sehingga dapat diterima. Sebaliknya jika tidak dinilai
sebagai sesuatu yang rasional maka akan dianggap destruktif dan
tidak dapat diterima. namun dalam prakteknya, para ahli hukum
tetap menilai bahwa perilaku politik seperti itu setidaknya dapat
memberi dampak positif pada setiap individu sebagai bagian dari
komunitas warga yang ada, misalnya rasa keadilan, kedamaian
dan ketenteraman hidup. Hanya saja, corak politik seperti ini masih
dianggap tabu dan kurang produktif, sebab hanya mementingkan
sisi duniawi saja dan kurang memperhatikan nilai-nilai spiritual
agama; (3) perilaku politik seorang pemimpin yang tidak terlepas
dari nilai moralitas agama. Segala aktivitas politik yang dilakukan
seorang politisi, baik berupa terobosan baru atau upaya menarik
empati warga terkontaminasi oleh nilai yang ada sehingga kecil
kemungkinan terjadi kecurangan. Selain itu, keseimbangan antara
privasi yang diberikan kepada setiap individu untuk menyatakan
aspirasi politiknya akan tetap sejalan dengan petunjuk agama.
7. Ibnu Taktaki dalam karya monumentalnya al-fakhri fi al-adab
assultaniyah menjelaskan bahwa seorang politisi yang kapabel
dan berintegritas yaitu yang mampu mengaktualisasikan nilai-
niali moralitas agama dalam setiap perilaku politiknya serta dapat
memenuhi kualifikasi umum yang ada, antara lain: (1) memiliki rasa
takut kepada Allah Swt. Hal ini sangat esensial sebab merupakan inti
dari segala sumber keberkahan yang ada. Seorang politisi yang mampu
menjadikan asas ini sebagai pijakannya dalam semua aktivitas
yang dilakukannya akan senantiasa mendapatkan kepercayaan yang
luar biasa dari rakyat. Sebagai contoh yang ditorehkan oleh sejarah
yaitu Khalifah Ali bin Abi Thalib. Suatu saat beliau memanggil
seorang pembantunya, lalu seorang lelaki menghampirinya seraya
berkata: “Wahai Amirul Mukminin, orang yang enkau panggil itu
ada di belakang pintu dan mendengar panggilanmu, namun ia
tidak mau menjawab”. sesudah yang dipanggil itu datang, Khalifah
Ali bertanya: “Kenapa engkau tidak menjawab panggilanku padahal
engkau mendengarnya? Dia menjawab: Aku tidak menjawab sebab
aku yakin engkau tidak akan menyakitiku. Khalifah Ali bin Abi
Thalib kemudian mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah
menciptakanku untuk tidak menyakiti hambanya”; (2) tidak dengki.
Sifat ini sangat penting, sebab sifat dengki dapat merusak niat
seseorang sehingga perilakunya banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang
tidak baik; (3) memiliki jiwa pemaaf dan reseptif terhadap orang lain.
Di saat Umar bin Khattab dilantik sebagai Khalifah, seorang badui
berteriak di depannya seraya melontarkan kata-kata mengancam:
“Wahai Umar berlaku adillah kepada kami, sebab kalau tidak, akulah
orang yang pertama kali akan memenggal lehermu dengan pedangku
ini”. Sesaat itu, para sahabat meminta kepada Umar bin Khattab agar
mereka diperkenankan memotong leher badui ini , tapi Umar
bin Khattab hanya tersenyum seraya berkata: “Wahai rakyatku, bila
engkau tidak menyampaikan aspirasimu kepada kami maka engkau
semua tergolong orang yang tidak punya kebajikan. Begitupula, jika
kami tidak mendengar apa yang engkau inginkan, maka kami pun
termasuk orang yang tidak punya kebajikan.
HADIS TENTANG
MENGANGKAT SEORANG PEMIMPIN
Dari Abdullah ibnu Amru, Nabi bersabda: Tidak halal/boleh bagi
tiga orang yang sedang berada (perjalanan) di padang yang luas
kecuali mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin.
َ
Dari Abu Hurairah mengatakan: Nabi bersabda: Jika tiga orang
sedang dalam perjalanan maka sebaiknya salah satu dari mereka
menjadi pemimpin.
َ
Nabi bersabda: Tidak halal (boleh) bagi seorang Muslim berdiam
(tinggal) dua malam tanpa membaiat (mengangkat) seorang
pemimpin.
Makna dan Kandungan Hadis
1. Pada dasarnya ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum
mengangkat seorang pemimpin/presiden. Pendapat mayoritas ulama
yaitu bahwa mengangkat seorang pemimpin hukumnya wajib,
baik dalam situasi aman tenteram, maupun dalam keadaan tidak
aman. Pendapat kedua mengatakan bahwa mengangkat seorang
pemimpin hukumnya tidak wajib baik dalam situasi aman tenteram,
maupun dalam keadaan tidak aman. Pendapat ketiga mengatakan
bahwa mengangkat seorang pemimpin hukumnya wajib bila dalam
keadaan kacau, namun tidak wajib jika dalam situasi aman tenteram.
Sedangkan pendapat keempat mengatakan bahwa mengangkat
seorang pemimpin hukumnya wajib dalam keadan aman, dan tidak
wajib jika dalam kondisi genting sebab terjadinya banyak kekacauan.
2. Berdasar pada hadis di atas dapat dipahami bahwa tidak halal
hukumnya bagi sekelompok manusia melakukan suatu perjalanan
jauh kecuali ada di antara mereka yang menjadi pemimpin. sebab
itu dalam komunitas yang lebih besar, mengangkat seorang pemimpin
hukumnya wajib. Ibnu Taimiyah mengatakan: Jika dalam komunitas
kecil, atau terdiri dari beberapa orang saja Nabi memerintahkan
untuk mengangkat seorang pemimpin maka tentu saja hal ini
menjadi dalil bahwa dalam komunitas yang lebih besar jauh lebih
penting (wajib) mengangkat seorang pemimpin. sebab itulah, semua
Ahlussunnah, semua kelompok Syiah, semua kelompok Murjiah, dan
mayoritas Mu’tazilah menyatakan bahwa mengangkat seorang kepala
negara hukumnya wajib. Dasar pernyataan mereka yaitu termasuk
hadis-hadis yang disebutkan di atas walau hukumnya wajib kifayah.
Artinya saat sudah ada yang diangkat maka gugurlah kewajiban itu.
namun bila tidak ada satu pun yang diangkat oleh orang-orang Islam
maka semuanya berdosa.
3. Ibnu Khaldun mengatakan: Mengangkat pemimpin di dalam
Islam hukumnya wajib, sebab itu sepeninggal Nabi, para sahabat
mengangkat Abu Bakar sebagai penerusnya, dan begitulah seterusnya
dari masa ke masa selalu terdapat seorang pemimpin di tengah
warga .8 sebab itu tidak ada perselisihan di antara sahabat
Nabi tentang wajibnya mengangkat seorang pemimpin, kendati
harus diakui bahwa memang di kalangan mereka sempat terjadi
silang pendapat tentang siapa yang paling layak diangkat menjadi
pemimpin menggantikan Nabi. Namun pada akhirnya mereka sepakat
mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti Nabi untuk memimpin
kaum Muslimin pada saat itu.
4. Mengaktualisasikan ajaran Islam dan membumikannya dalam
kehidupan nyata termasuk penegakan hukum, dan penjagaan terhadap
stabilitas dan keamanan negara telah menjadi bagian terpenting di
dalam mengelola sebuah pemerintahan agar tidak terjadi kesenjangan
sosial, kezaliman, dan kesewenangan di tengah-tengah warga .
Semua itu harus dilakukan agar hak dan kewajiban semua elemen
warga sebagai warga negara yang telah dijamin oleh undang-
undang dapat berjalan dengan baik dan teratur; dan semua itu hanya
bisa terealisasi dengan baik jika ada yang dipercaya dan disepakati
untuk menjadi memimpin di tengah mereka.
5. Di antara alasan wajibnya mengangkat seorang kepala negara
dalam Islam dalah: (1) pelaksanaan syariat Islam yaitu wajib, dan
semua itu hanya bisa terlaksana bila ada pemimpin, (2) mencegah
terjadinya kekacauan dan ketimpangan sebab dalam suatu
komunitas warga pasti akan terjadi perselisihan yang terkadang
memicu terjadinya pertumpahan darah; dan tentu saja hal itu
akan mengakibatkan kehancuran sehingga harus ada kekuasaan yang
mampu mencegahnya, (3) agar hukum dapat ditegakkan sesuai dengan
yang telah digariskan oleh syariat Islam. sebab nya Imam Abu Hamid
al-Gazali mengatakan: Agama dan kekuasaan yaitu kembar, agama
yaitu dasar, sedangkan kekuasaan yaitu penjaga, sesuatu yang
tidak punya dasar pasti akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak
ada penjaganya pasti akan hilang,9 (4) menciptakan rasa keadilan.
Keadilan tidak akan tercipta secara menyeluruh, dan tidak akan pernah
memberi kebahagiaan kepada manusia baik dalam kehidupan
duniawi maupun kehidupan ukhrawi kecuali ada pemerintah yang
dapat menerapkan aturan dan hukum-hukum agama. Itulah sebabnya
mengapa dianggap tidak boleh bagi seorang Muslim berdiam atau
tinggal dua malam tanpa seorang pemimpin. sebab itu kehadiran
seorang pemimpin sangat menentukan kesepahaman hidup dalam
suatu komunitas warga yang plural.
6. Sejarah telah menyatakan dengan transparan bahwa sesudah Nabi
meninggal, hal yang pertama dilakukan oleh para sahabat yaitu
memilih pemimpin di antara mereka. Walau pada awalnya yang
menjadi masalah di tengah mereka yaitu terkait dengan siapa
sahabat yang paling layak untuk meneruskan perjuangan Nabi. namun
tidak lama kemudian pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai
khalifah pertama, lalu sesudah itu, Umar bin Khattab, lalu kemudian
sesudah nya Usman bin Affan, dan yang terakhir yaitu Ali bin Abi
Thalib; dan begitulah seterusnya setiap kurun waktu tertentu selalu
ada pemimpin.
7. Baik kelompok Syiah maupun kelompok Sunni sama-sama menyatakan
bahwa mengangkat seorang pemimpin hukumnya wajib. namun
keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda dalam hal bagaimana
tata-cara memilih dan mengangkat seorang pemimpin. Mengangkat
seorang pemimpin menurut kelompok Sunni tidak terlepas dari
tiga cara: 1) pengangkatan seorang pemimpin dengan cara memilih
seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Cara seperti ini biasa
disebut dengan baiatu ahlil halli wal-akdi, 2) pengangkatan seorang
pemimpin dengan cara penunjukan dari pemimpin sebelumnya
yang masih berkuasa kepada seseorang yang dianggap memenuhi
kualifikasi atau dalam bahasa fiqh disebut al-istikhlaf wawilayatu al-
ahdi, 3) pengangkatan seorang pemimpin dengan cara pemaksaan/
kudeta atau dalam bahasa fiqh disebut al-kahru wal-istiylaau. Ketiga
cara yang disebutkan merupakan cara yang lazim dipakai dalam
mengangkat seorang pemimpin dalam literatur Sunni. Berbeda
halnya dengan Syiah Imamiyah. Mereka menyatakan bahwa ketiga
cara ini di atas justru tidak diakui oleh mereka.
8. Pengangkatan seorang pemimpin dalam literatur Syiah sendiri terjadi
perbedaan satu sama lain. Sebagai contoh, Syiah Imamiyah meyakini
bahwa pengangkatan seorang pemimpin haruslah berdasar
teks/nash, atau dalam bahasa sederhananya pengangkatan seorang
pemimpin telah ditentukan dengan nash/teks atau penunjukan dan
penetapan secara langsung dari Nabi SAW.10 Sedangkan menurut Syiah
Zaidiyah bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan kedua putranya
yakni Hasan dan Husain merupakan penetapan langsung dari Nabi
sekalipun penetapannya tidak transparan atau disebut annassu
alkhafiy. Sedangkan keturunan Ali yang lain, kepemimpinannya
dengan dakwah dan keluar (khuruj) di tengah orang banyak lalu
mengaku sebagai pemimpin.11 Berdasar pada penjelasan ini
dapat dipahami bahwa pengangkatan seorang pemimpin menurut
Syiah Zaidiyah dapat dilakukan dengan dua cara: 1) untuk Ali bin
Abi Thalib dengan kedua putranya, ditentukan langsung oleh Nabi;
2) selain Ali dan kedua putranya, harus dengan cara keluar di tengah
orang banyak lalu menyatakan diri sebagai seorang pemimpin. Cara
ini biasa disebut al-khuruj wa adda’wah ila annafs. Syiah Zaidiyah
mengatakan bahwa orang yang keluar di tengah warga sambil
menyatakan diri sebagai pemimpin, agar dapat diterima maka ia harus
memenuhi beberapa syarat:12 1) harus dari keturunan Fatimah baik
dari Hasan maupun dari Husain; 2) harus cerdas dan tergolong sebagai
mujtahid, walau tidak disyaratkan mengetahui atau menghafal kitab-
kitab fiqh beserta bab-babnya. namun cukup dengan kemampuannya
untuk membedakan mana pendapat yang kuat dalam suatu masalah
atau sebaliknya; 3) harus wara’ sehingga dapat diterima dan dipercaya
apa yang dikatakannya, sebab jika ia termasuk orang yang susah
dipercaya maka tentu ia tidak boleh mengangkat seorang hakim
(kadhi), atau menyatakan bahwa saksi yang ada dalam suatu perkara
yaitu adil termasuk melaksanakan dan mengaplikasikan semua
hukum yang mesti diberlakukan; 4) harus berani dan kuat pendirian,
sebab kalau tidak demikian maka tentu ia tidak mampu memimpin
bala tentara dan berperang melawan musuh. Keempat syarat ini
mesti dipenuhi oleh seorang yang keluar menyatakan diri sebagai
pemimpin. Olehnya itu, jika seorang yang keluar menyatakan diri
sebagai pemimpin ternyata tidak memenuhi kualifikasi ini maka
tidak menjadi keharusan bagi orang-orang Islam atau warga
umum menyatakan dukungan dan persetujuannya.
9. Konsep tentang bagaimana memilih dan mengangkat seorang
pemimpin di dalam Islam, telah terjadi perbedaan interpretasi di
kalangan ulama dan para sarjana Muslim. Dua sekte Islam yang
berseberangan berkaitan dengan cara pengangkatan seorang
pemimpin yakni Syiah dan Sunni disebabkan oleh perbedaan keduanya
tentang berbagai riwayat yang diyakini sebagai pernyataan langsung
dari Nabi terkait dengan siapa yang paling berhak menggantikan
beliau sepeninggalnya di satu sisi, dan ketidak-absahan riwayat
ini menurut pihak lain di sisi lain.
10. Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa ada sebagian berpendapat bahwa
mengangkat seorang pemimpin tidaklah wajib hukumnya. Artinya,
khilafah sebagai suatu sistem pemerintahan tidak menuntut adanya
seorang presiden, yang penting hukum syariat dapat ditegakkan
dengan baik seperti pendapat al-Asam dari Mu’tazilah dan sebagian
kelompok Khawarij.
11. Memang harus diakui bahwa saat melihat al-Qur’an maupun
hadis memang tidak menyebutkan tata-cara pengangkatan seorang
pemimpin. Justru masalahnya diserahkan sepenuhnya kepada
warga untuk mencari cara yang lebih cocok untuk dijadikan
sebagai acuan dalam pengangkatan seorang pemimpin di antara
mereka sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.14 Nabi tidak
menetapkan cara mengangkat seorang pemimpin, sebab itu para
sahabat saat Nabi meninggal, persoalan yang muncul di tengah-
tengah sahabat yaitu terkait dengan siapa yang berhak menggantikan
beliau. Hal ini dapat dilihat saat beberapa sahabat berkumpul
di tsakifah bani saidah.
12. Melihat kenyataan yang ada memang masih banyak anggota dari
suatu elemen warga tidak memahami secara baik arti dan
tujuan pengangkatan seorang pemimpin sehingga sampai dewasa
ini masih sering terjadi hal-hal yang tidak diharapkan terutama
di negara yang terbilang masih terbelakang dari sisi ekonomi dan
politik. Dengan demikian, dalam konteks fiqh, cara yang paling ideal
dalam mengangkat seorang pemimpin yaitu melalui orang-orang
yang tidak diragukan kemampuannya, kejujurannya, loyalitasnya
terhadap semua yang berkaitan dengan kepentingan warga .
Mereka yaitu orang-orang yang paling tepat untuk diserahi tugas
mengangkat seorang pemimpin.
13. Di sisi lain, dalam konteks demokrasi modern, pengangkatan seorang
presiden yang dilakukan dengan cara pemilihan umum dengan
melibatkan semua warga negara yang dianggap telah memenuhi
syarat sebagai pemilih tetap sesuai dengan undang-undang
pemilihan yang berlaku, misalnya umur yang bersangkutan tidak
boleh kurang dari 17 tahun, nampak berbeda dengan sistem yang
pernah dirumuskan oleh para ulama Islam klasik dimana mereka
melihat bahwa sistem pengangkatan presiden akan lebih ideal bila
diserahkan saja sepenuhnya kepada orang-orang yang memang tidak
diragukan integritasnya dalam berbangsa dan bernegara yang dikenal
dalam bahasa fiqh dengan ahlul halli wal akdi. Dalam konteks fiqh
klasik, pengangkatan seorang pemimpin tidak diserahkan kepada
warga secara keseluruhan untuk memilih sebab berbagai alasan
dan pertimbangan seperti yang telah disinggung termasuk sebab
seringnya terjadi hal-hal yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan
seperti praktek money politik yang menjadi faktor terkikisnya nilai-
nilai kejujuran.
14. Dalam konteks negara bangsa, Polandia sebagai salah satu negara
di Eropa pernah memberlakukan pengangkatan seorang pemimpin
yang hampir sama dengan cara yang dijelaskan di dalam fiqh Islam.
Sistem pengangkatan pemimpin di negara ini dijelaskan dalam
undang-undang yang dikeluarkan pada tahun 1935 yakni dengan
melalui lembaga khusus yang terdiri dari para senator, ketua parlemen,
ketua lembaga kementerian, ketua mahkamah agung, pejabat tinggi
militer dan sekitar 75 anggota yang dipilih langsung oleh anggota
parlemen dan para senator dari para tokoh warga yang dianggap
memenuhi syarat yang telah ditentukan.15 Bahkan sampai dewasa ini,
beberapa negara di dunia termasuk di beberapa Arab masih ada yang
mengadopsi sistem pengangkatan presiden dengan pemilihan melalui
parlemen dengan tidak melibatkan warga secara keseluruhan.
HADIS TENTANG
PEMIMPIN YANG TERBAIK
ِ
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda: Barangsiapa yang mempekerjakan
seorang lelaki dari suatu kelompok, dan dari kelompok ini
ada yang lebih baik maka sungguh ia telah menghianati Allah,
menghianati rasul-Nya; dan menghianati semua orang Mukmin.
َ
Dari Ibnu Abbas, dari Nabi. Beliau bersabda: Barangsiapa yang
mempekerjakan seorang dari kaum Muslimin, dan ia tahu bahwa
di antara mereka ada yang lebih baik darinya; dan lebih paham
kitab Allah, dan sunnah Nabi, maka sungguh ia telah menghianati
Allah, menghianati rasul-Nya; dan menghianati semua orang
Muslim.
Makna dan Kandungan Hadis
1. Hadis di atas secara tekstual menjelaskan bahwa mengangkat seorang
pejabat yang tidak kompeten dan profesional dalam suatu komunitas
warga padahal dalam komunitas ini ada yang lebih baik
maka sungguh ia telah menghianati Allah, rasul-Nya; dan semua orang
Muslim.
2. Dalam literatur Islam, mengangkat seorang pejabat yang telah
memenuhi kriteria merupakan hal yang sangat fundamental. Walau
demikian, para ulama menyatakan bahwa mengangkat seseorang
menjadi pejabat padahal ada yang lebih baik hukumnya boleh-boleh
saja dan kepemimpinannya dianggap sah seperti yang dinyatakan
Ibnu Hazm.
3. Bolehnya imamatul mafduli alal afdali tidak bertentangan dengan
hadis Nabi di atas yang menyatakan bahwa pemimpin harus yang
terbaik sebab hadis-hadis ini hanya sebagai penekanan saja
yang mengarah pada kesempurnaan dan dalam kondisi stabil. Apalagi
misalnya jika terjadi kekacauan seperti perang di negara ini .
Demikian yang dikatakan Imam Abu Bakar al-Baqillani. Dalam sejarah
disebutkan bahwa para sahabat nabi sepakat tentang kepemimpinan
Khalid bin Walid dalam perang Yarmuk padahal ada sahabat yang
lebih layak untuk kepemimpinan itu, yakni Abu Ubaidah bin Jarrah.19
4. Mengangkat orang yang tidak tepat sebab adanya hubungan
kekeluargaan atau adanya pemerdekaan, atau adanya pertemanan,
atau sebab berasal dari kampung yang sama, atau sebab adanya
gratifikasi atau sogokan yang diambil darinya baik berupa harta barang
atau manfaat maka sungguh ia telah menghianati Allah dan Rasul-
Nya.20 Nabi tidak pernah mengistimewakan salah seorang keluarganya
untuk menjabat suatu jabatan struktural atau fungsional. Bahkan ia
sendiri tidak pernah memilah-milah sahabatnya. saat nabi memilih
panglima perang, beliau memilih Usama, bukannya memilih kerabat
terdekatnya. Beliau memilih Usama bin Zaid sebab ia memang layak
untuk memangku jabatan itu. Standar yang dijadikan acuan oleh Nabi
dalam memilih seorang pejabat yaitu kelayakan bukan sebab yang
lain. Hal ini dapat dipahami dari penegasan Nabi kepada Abu
Zar al-Gifari saat meminta jabatan, namun Nabi tidak memberinya
sebab dianggap tidak mampu.
5. Soal jabatan politik, Nabi tidak pernah menunjukkan isyarat
mempersiapkan pengganti atau putra/putri mahkota yang akan
menggantikan dirinya sebagai kepala pemerintahan di Madinah,
meskipun ia mempunyai beberapa kerabat dekat. Nabi mempunyai
anak perempuan, Fatimah di samping suaminya, Ali atau keluarga
dekat lainnya. Bisa saja ia paksakan salah seorang di antaranya menjadi
pewaris tahta pemerintahan namun itu tidak pernah dilakukan.
Seandainya saja memang ada yang telah ditetapkan oleh Nabi sebagai
penggantinya di kemudian hari, maka pasti para sahabatnya akan
menjelaskan dan menyatakan hal ini saat Nabi meninggal.
namun semua itu tidak terjadi. Maka dari itu, perselisihan yang
terjadi di tsakifah bani saidah hanya seputar siapa yang akan menjadi
khalifah.
6. Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah pertama menggantikan Nabi
padahal beliau sendiri tidak pernah meminta apalagi memaksa kalau
dirinya yang harus melanjutkan dan mengambil alih perjuangan Nabi.
Bahkan pada awalnya beliau menawarkan ke Umar bin Khattab tapi
Umar justru mengatakan kepadanya: bukalah kedua tanganmu wahai
Abu Bakar, lalu Umar membaiat beliau bersama dengan para sahabat
yang hadir pada saat itu. Nanti keesokan harinya barulah kemudian
beliau dibaiat oleh para sahabat yang lain baik yang berasal dari
Makkah (muhajirin) maupun penduduk asli Madinah (anshar).
7. Diriwayatkan oleh Abdul Malik bin Umair bahwa pernah suatu saat
Umar bin Khattab mengatakan: barang siapa yang mempekerjakan
seseorang semata-mata sebab hubungan kekerabatan dan
persahabatan maka sungguh ia telah menghianati Allah, rasul-
Nya dan orang-orang Mukmin. Diceritakan juga oleh Imran bin
Sulaim bahwa Umar bin Khattab pernah berkata: barang siapa yang
mempekerjakan seorang yang jahat, dan dia tahu bahwa itu orang
jahat maka sesungguhnya orang ini sama dengan dirinya.22
HADIS TENTANG
KEPEMIMPINAN ORANG QURAIYS
َ
Sukain bin Abdul Aziz mengatakan: Sayyar bin Salamah Abu
al-Minhal telah menceritakan kepada kami bahwa dirinya telah
datang/masuk bersama dengan bapakku ke Abarzah dan dikedua
telingaku terdapat dua anting-anting karna waktu itu aku masih
kecil. Nabi bersabda: Kekuasaan/pemerintahan dari Quraiys ada
tiga selama mereka melakukan tiga hal. Selama mereka berkuasa
mereka berlaku adil; dan jika dimintai kasih sayangnya maka
mereka akan mengasihi; dan jika mereka berjanji maka mereka
akan memenuhi janjinya. Barangsiapa di antara mereka yang
tidak melakukan hal ini maka Allah, malaikat; dan semua
orang akan melaknatnya.
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi bersabda: Para pemimpin
dari Quraiys, sebab jika mereka yang berkuasa/memimpin maka
mereka adil, dan jika mereka berjanji maka mereka menepati
janji; dan jika mereka dimintai untuk menyayangi maka mereka
akan menyayangi.
ُ
Dari Anas bin Malik, Nabi bersabda: Para pemimpin dari Quraiys.
َ
Dari Ali, bahwasanya Nabi bersabda seperti yang aku ketahui:
Dahulukanlah orang-orang Quraiys, dan janganlah engkau
mendahuluinya, seandainya bukan sebab keangkuhan orang-
orang Quraiys maka pasti aku akan menyampaikan kepadanya
tentang kelebihan yang mereka miliki di sisi Allah.
Abdullah Ibnu Umar berkata: bahwa Nabi bersabda: Kekuasaan
ini akan senantiasa dipegang orang-orang Quraiys selama masih
ada dua orang manusia yang hidup.َ
Dari Muawiah, berkata: aku telah mendengar Nabi bersabda:
Sesungguhnya perkara ini (kepemimpinan dan kekuasaan)
hanyalah untuk kaum Quraiys, dan tidaklah seseorang memusuhi
mereka kecuali Allah akan menyungkurkan wajahnya selama
mereka (Quraiys) menegakkan agama.
Makna dan Kandungan Hadis
1. Berdasar pada hadis yang disebutkan di atas maka ulama Islam pada
umumnya termasuk Ahlussunnah, semua sekte Syiah, sebagian besar
kelompok Mu’tazilah, dan mayoritas Murjiah mengatakan bahwa
seorang kepala negara di dalam literatur Islam harus berasal dari suku
Quraiys.29
2. Kelompok Khawarij secara keseluruhan mengatakan bahwa
kepemimpinan tertinggi dalam suatu negara (imamah atau khilafah)
bisa saja dijabat oleh selain kaum Quraiys. Mereka menyatakan bahwa
Islam tidak membedakan seseorang baik dari sisi keturunannya, jenis
ras dan sukunya, maupun warna kulitnya. Semuanya sama saja selama
mereka konsisten dengan al-Qur’an dan hadis Nabi; dan memang
layak untuk menjabat sebagai pemimpin. Mereka berdalil dengan satu
riwayat yang disebutkan oleh Imam al-Bagdadi bahwa orang-orang
Islam telah membai’at Nafi bin al-Azraq, al-Qatariy bin al-Fuja’ah,
Najdah, dan Atiyah padahal mereka semua bukanlah keturunan
Quraiys.30 Bahkan sebagian ulama dari kalangan Mu’tazilah misalnya
Dirar bin Amru al-Gatfaniy mengatakan bahwa jika berkumpul dua
calon pemimpin negara yang satunya berasal dari suku Quraiys dan
yang lainnya yaitu seorang Habasyah maka yang harus diutamakan
yaitu yang dari Habasyah sebab sangat mudah dicopot bila
melanggar aturan yang semestinya dipatuhi.31 Berbeda dengan tokoh
Mu’tazilah yang lain seperti al-Ka’biy (Abu al-Qasim bin Muhammad
al-Ka’biy wafat 319 H) mengatakan bahwa dalam kondisi stabil seorang
dari suku Quraiys tetap harus didahulukan daripada yang lain, namun
jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka boleh saja pemimpin tertinggi
itu bukan dari kalangan Quraiys.
3. Sebagian ulama kontemporer seperti Abdul Aziz Izzat al-Khayyat33
menjelaskan sebab perbedaan ulama Islam klasik tentang keharusan
seorang pemimpin tertinggi dalam suatu negara dari kalangan
Quraiys. Menurutnya, hadis yang mengatakan bahwa pemimpin harus
dari kalangan Quraiys yaitu sesuatu yang tidak dapat dipastikan
terkait garis keturunan. Selain itu, hadis ini bertentangan
dengan hadis yang lain yang menyatakan bahwa orang-orang Islam
itu semuanya sama. Bahkan hadis tentang kepemimpinan Quraiys
hanya menunjukkan sebatas kemuliaan yang mereka miliki termasuk
penyampaian kepada semua bahwa memang merekalah yang pertama
kali memeluk Islam dan mendakwahkannya sebab mereka sangat
dekat dengan Nabi sejak awal turunnya wahyu.34
4. Terlepas apakah hadis yang menunjukkan bahwa pemimpin di awal
Islam harus berasal dari Quraiys dengan pemahaman secara tekstual,
ataukah hadis ini hanya berupa penegasan akan kemuliaan
yang dimiliki orang-orang Qurays ketimbang yang lain dengan
pemahaman secara kontekstual. namun yang pasti yaitu bahwa
dalam suatu komunitas warga mesti ada seorang pemimpin
yang bertanggung jawab terhadap segala urusan warga secara
umum sesuai dengan pendapat mayoritas ulama seperti yang telah
disinggung sebelumnya.
HADIS TENTANG
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
َ
Dari Abu Bakarah, berkata: aku telah mendengar Nabi bersabda:
Tidak akan beruntung suatu kaum menyerahkan/menyandarkan
urusannya kepada seorang perempuan.
َ
Dari Abu Bakarah, berkata: Allah telah memberi manfaat padaku
dengan kalimat yang telah aku dengar dari Nabi sesudah hampir
saja aku bergabung bersama dengan ashabul jamal dan berperang
bersama mereka. Suatu berita sampai kepada Nabi bahwa
penduduk Persia telah mengangkat putri raja sebagai penguasa
di tengah mereka. Nabi bersabda: Tidak akan beruntung suatu
kaum menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan.
Makna dan Kandungan Hadis
1. berdasar hadis di atas mayoritas ulama fiqh37 mengatakan bahwa
perempuan tidak diperkenankan menjadi kepala negara. Salah satu
alasannya yaitu sebab pemimpin tertinggi di dalam Islam bebannya
sangat berat seperti memimpin pasukan militer saat terjadi perang.38
Di antara ulama yang mengatakan tidak boleh seorang perempuan
menjadi pemimpin tertinggi dalam suatu negara ialah Imam Abu
Hamid al-Gazali, Imam al-Qalqasyandi, dan Imam Ibnu Abidin.39
Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer seperti Muhammad
Abduh, dan Muhammad bin Tahir Ibnu Asyur.
2. Sebagian yang lain mengatakan bahwa perempuan boleh saja
menjadi kepala negara. Mereka memahami hadis ini di atas
dalam konteks tertentu dan kasuistik yakni saat putri raja Persia
menggantikan ayahnya sebagai penguasa. sebab itu, mereka melihat
bahwa hadis ini di atas tidak berlaku secara umum.40
3. Yusuf Qardawi mengemukakan beberapa alasan terkait dengan
tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin seperti kepala
negara, 1) adanya faktor fisik dan naluri. Menurutnya, perempuan
diciptakan untuk mengemban tugas keibuan, mengasuh, dan
mendidik anak. Itulah sebabnya perempuan memiliki perasaan
yang peka dan emosional. Dengan naluri kewanitaan ini, wanita
biasanya menonjolkan perasaan emosi dari pada penalaran dan
hikmah; 2) faktor kodrati. Perempuan tidak terlalu tepat memangku
jabatan dalam urusan umum, sebab perubahan fisiknya selalu terjadi
sebab menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui anak. Semua
ini membuat fisik, psikis, dan pemikiran perempuan tidak mampu
mengemban tugasnya di luar rumah tangganya.41
4. Bagi ulama yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi
pemimpin tertinggi pada waktu yang sama mereka menjelaskan
bahwa dalam kondisi tertentu jika ternyata ada seorang perempuan
yang menjadi pemimpin tertinggi maka kepemimpinannya tetap
dianggap sah namun dianggap sebagai kepemimpinan darurat. Artinya,
kepemimpinannya tetap diterima hanya saja bila memungkinkan
secepatnya harus diadakan pemilihan kepala negara yang baru.
5. Adapun jabatan perempuan sebagai hakim (Qadhi) oleh sebagian
ulama diperbolehkan seperti Imam Ibnu Jarir Attabari dalam suatu
riwayat. Menurutnya, perempuan boleh menjadi hakim dan dapat
menangani semua perkara baik masalah perdata maupun masalah
pidana. Laki-laki tidaklah menjadi syarat dalam masalah kehakiman,
sebab menurutnya perempuan bisa jadi mufti di mana tugas pokoknya
yaitu menjelaskan hukum-hukum agama, sementara hakim juga
memiliki tugas yang sama.
6. Sementara yang lain mengatakan bahwa perempuan juga tidak boleh
menjabat sebagai hakim walau menangani kasus tertentu. sebab nya,
mereka berpandangan bahwa seorang kepala negara jika mengangkat
seorang perempuan menjadi hakim maka dianggap berdosa. namun
bagaimana hukumnya jika seandainya pengangkatannya sudah
terlanjur dan telah memutuskan perkara yang ada? Sebagian
dari mereka mengatakan bahwa keputusannya tetap tidak boleh
dilaksanakan walau dalam kasus tertentu. namun di sisi lain para ulama
Hanafiah berpandangan bahwa jika perempuan terlanjur diangkat
sebagai hakim oleh penguasa tertinggi lalu ia memutuskan perkara
yang berkaitan dengan masalah yang boleh baginya menjadi saksi
maka keputusannya boleh dilaksanakan namun yang mengangkatnya
berdosa.42 sebab itulah ulama Hanafiah tetap tidak membolehkan
melaksanakan keputusan seorang hakim perempuan jika terkait
dengan kasus pidana dan kriminal atau dalam bahasa fiqh disebut
al-hudud wa addima’
7. Walau kepemimpinan perempuan dalam urusan tertentu seperti
menjadi kepala negara telah dinyatakan tidak sah menurut mayoritas
ulama. Namun di sisi lain, bukan berarti bahwa mereka sama sekali
tidak boleh menjabat dalam urusan tertentu sebab mereka juga
diberi hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki, misalnya
menjadi seorang ahli fatwa (mufti). Aisyah misalnya sebagai isteri
Nabi, banyak sahabat yang belajar agama kepadanya sesudah Nabi
mengatakan kepada para sahabatnya: Ambillah setengah agamamu
dari khumaira’ ini, yakni Aisyah. Bahkan pada masa pemerintahan
Umar bin Khattab, seorang perempuan bernama al-Syifa yang
memiliki kepandaian dalam tulis-menulis ditugasi oleh Umar untuk
menjadi petugas khusus menangani pasar di Madinah.
HADIS TENTANG
MEREBUT KEKUASAAN DENGAN KUDETA
Dari Abdullah bin Amru bin Ash, mengatakan: Nabi bersabda:
Barangsiapa yang telah membaiat (mengangkat) seorang
pemimpin lalu ia menyerahkan urusan sepenuhnya kepadanya
maka hendaklah ia menaatinya jika ia mampu. Dan jika datang
yang lain merongrongnya (ingin mengambil kekuasaan itu
darinya) maka tebaslah batang lehernya.
Makna dan Kandung Hadis
1. Seorang pemimpin yang merebut kekuasan dengan cara pemaksaan
atau kudeta dalam fiqh siyasah disebut al-kahru wal-istiylaau.
2. Kelompok Khawarij dan Mu’tazilah mengatakan bahwa pengangkatan
seorang pemimpin hanya boleh dengan bai’at dan terlepas dari cara-
cara pemaksaan dan kekerasan
3. Para ulama ahlussunnah waljama’ah mengatakan bahwa seseorang
yang merebut kekuasaan dengan cara pemaksaan dan kudeta
hukumnya yaitu sah. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: barang
siapa yang mengalahkan suatu komunitas dengan pedang sehingga ia
menjadi penguasa (khalifah) maka tidak boleh bagi siapa pun yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk tinggal di rumahnya
kecuali ia harus mengakui orang ini sebagai pemimpinnya.46
Bahkan seandainya yang melakukan kudeta yaitu perempuan lalu
kemudian berhasil menjadi pemimpin maka kepemimpinannya juga
dianggap sah.
4. Merebut kekuasaan dengan pemaksaan dan kudeta dianggap juridis
sebab dikhawatirkan terjadi pertumpahan darah antara yang
dikudeta dan yang mengkudeta. Alasannya sebab hukum agama
harus dilaksanakan dan dibumikan; dan hal itu hanya dapat terlaksana
bila ada yang memimpin.
5. Imam Nawawi pernah mengatakan bahwa pengangkatan seorang
pemimpin dapat dilakukan dengan tiga cara termasuk dengan
cara kudeta. Bila seorang pemimpin meninggal lalu kemudian ada
seorang yang memenuhi syarat memaksa warga dengan pasukan
tentaranya maka kepemimpinannya dianggap sah. Jika yang memaksa
itu tidak memenuhi syarat kepemimpinan misalnya ia seorang fasik
maka kepemimpinannya dianggap sah.49 Walau kepemimpinannya
disebut kepemimpinan darurat.50 Di samping itu kekuasaan ini
juga dinamai khilafah gair kamilah51 atau hukumatu amril waki.52
6. Merebut kekuasaan dengan cara kudeta dianggap sebagai pengecualian
agar tidak terjadi fitnah dan pertumpahan darah yang lebih banyak.
Imam Abu Hamid al-Gazali mengatakan bahwa addarurat tubiyhu
almahzurat (sesuatu yang darurat membolehkan sesuatu tidak
dibolehkan).
7. Sebagian sarjana Muslim mengatakan bahwa pencetus sistem ini
di atas di dalam sejarah Islam yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan.
8. Dalam fiqh Islam semua ulama sepakat bahwa seorang non Muslim
yang merebut kekuasaan tertinggi dengan cara kudeta tidak boleh
dibiarkan. Artinya syarat “Islam” bagi seorang pemimpin dalam
konteks agama merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar
dan harus diberhentikan walau dengan kekuatan senjata.55
9. Agar kepemimpinan yang direbut dengan cara kudeta dapat diakui
maka para ulama tata negara Islam menyatakan bahwa kekuasaan
ini dapat diterima dengan dua unsur utama yakni unsur waki’i
(faktor kondisi dan kenyataan) dan unsur syar’i (faktor hukum agama).
Unsur waki’iy dapat diartikan sebagai suatu kekuatan yang dimiliki
oleh pemimpin yang merebut kekuasaan dengan cara kudeta. Dengan
kekuatan ini , ia mampu menguasai semua wilayah kekuasaan
yang masuk dalam kepemimpinannya. sebab itu, bila ia tidak mampu
mengendalikan semua wilayah yang ada dalam kekuasaannya maka
ia dianggap pemberontak. Yang kedua yaitu unsur syar’i yakni
pengakuan warga terkait dengan kepemimpinan itu sendiri.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara semua warga menyatakan
dukungannya kepada pemimpin ini dengan membai’atnya
sekalipun hanya sebatas formalitas.
HADIS TENTANG
MEMINTA JABATAN
َ
Dari Abu Zar, mengatakan: wahai baginda Nabi, angkatlah aku
sebagai pejabat, lalu ia mengatakan: Nabi memukulkan tangannya
ke pundakku sambil mengatakan: “Wahai Abu Zar, aku melihatmu
sangat lemah, dan sesungguhnya yang engkau minta itu yaitu
amanah; dan sesungguhnya hal itu di hari kemudian yaitu
kehinaan dan penyesalan kecuali yang mengambil/menjabatnya
sebab layak dan menunaikannya dengan baik dan sempurna.
Dari Abu Hurairah, mengatakan: Nabi bersabda: Sesungguhnya
kalian akan sangat berambisi terhadap jabatan/kekuasaan, dan
sesungguhnya jabatan/kekuasaan itu di hari kiamat akan menjadi
kerugian dan penyesalan, maka sebaik-baiknya orang yaitu yang
menyusui, dan sejelek-jeleknya orang yaitu yang berhenti/tidak
menyusui lagi.
َ
Dari Abu Burdah, dari Abu Musa, mengatakan: aku bersama
dengan dua dari anak pamanku telah masuk menemui Nabi,
lalu salah satu dari keduanya mengatakan: wahai baginda Nabi,
angkatlah kami sebagai pejabat dari beberapa jabatan yang
diberikan oleh Allah padamu. Nabi mengatakan: Demi Allah, kami
tidak mengangkat/memberi jabatan ini kepada seseorang
yang memintanya atau yang optimis terhadapnya.
Dari Abdurrahman bin Samurah, bahwasanya Nabi bersabda:
Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta kepemimpinan.
sebab jika engkau diberi sebab memintanya niscaya akan
dibebankan kepadamu, dan tidak akan ditolong oleh Allah. namun
jika diberikan kepadamu tanpa memintanya niscaya engkau akan
ditolong oleh Allah.
Makna dan Kandungan Hadis
1. Berdasar pada hadis di atas bahwa Nabi tidak gampang memberi
suatu jabatan tertentu kepada sahabat apalagi jika mereka meminta
seperti yang diceritakan oleh Abu Musa al-Asy’ari tentang kedua anak
pamannya yang datang kepada Nabi. Selain itu juga misalnya Abu Zar
al-Gifari saat datang kepada Nabi agar diberi tugas khusus. Nabi pun
mengatakan kepadanya aku melihatmu sangat lemah, pekerjaan itu
yaitu amanah; dan akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali
bila menjabat sebab layak dan menunaikannya dengan baik dan
sempurna. sebab itu, sebaiknya jabatan tidak diminta agar Allah
selalu berkenan untuk memberi petunjuknya untuk berbuat yang
lebih baik.
2. Menjadi seorang pejabat memang menyenangkan apalagi jika jabatan
itu sangat strategis, di samping dapat mengangkat derajat sosial
seseorang di mata orang lain, juga dapat mendatangkan banyak materi.
namun pada waktu yang sama, jika seseorang tidak siap secara mental
maka boleh jadi jabatan yang sedang ia emban akan menjadi petaka
baginya akibat ketidakmampuannya untuk mengendalikan diri dari
hal-hal yang dapat merusak seperti penyelewengan, menyalahgunakan
wewenang, dan korupsi yang kemudian menggiring dirinya untuk
berurusan dengan hukum.
3. Disebutkan dalam kitab fathul al-bari’ bahwa: “ambisi untuk
memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan salah satu faktor
yang dapat mendorong seseorang untuk saling membunuh. Hingga
tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-
kemaluan wanita, yang kemudian memicu terjadinya kerusakan
yang besar di muka bumi”.
4. Dalam syarah kitab riyadu assalihin disebutkan bahwa: “seseorang
yang meminta jabatan biasanya sebab ingin meninggikan dirinya di
hadapan orang lain, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya.
Tentu saja tujuan seperti itu sangat tidak baik. sebab nya, balasan
yang akan didapatkan ialah kalau dirinya tidak akan mendapatkan
bagiannya di akhirat. sebab itu, seseorang dilarang meinta jabatan”.
5. Disebutkan juga dalam kitab yang sama bahwa: “makna ucapan Nabi
kepada sahabatnya Abu Zar al-Gifari yaitu bahwa beliau melarang
Abu Zar menjadi seorang pemimpin sebab ia memiliki sifat lemah,
sementara kepemimpinan membutuhkan seorang sosok yang kuat
lagi terpercaya. Kuat sebab ia memiliki kekuasaan dan perkataan
yang dapat didengar dan ditaati, dan tentu saja seorang pemimpin
yang kuat akan dapat menunaikan hak-hak Allah, dan tidak akan
melampaui batas-batas-Nya”.
6. Dalam syarah sahih muslim, Imam Nawawi menjelaskan terkait
dengan hadis yang berkaitan sahabat Nabi, Abu Zar al-Gifari. Beliau
mengatakan: Hadis ini merupakan pokok yang mulia untuk menjauhi
kepemimpinan ini . Adapun kehinaan dan penyesalan akan
diperoleh oleh orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak
pantas dengan kedudukan ini , atau ia mungkin pantas namun
tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya sehingga Allah
menghinakannya di hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan
menyesali kesia-siaan yang dilakukannya. Berbeda dengan orang yang
pantas menjadi pemimpin dan berlaku adil, maka akan mendapatkan
keutamaan yang besar sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa
hadis yang lain seperti: “ada tujuh golongan yang akan dilindungi oleh
Allah di hari kiamat, di antaranya yaitu pemimpin yang adil”.
HADIS TENTANG
TIDAK IKUT DALAM PEMILIHAN (GOLPUT)
َ
Dari Muawiyah berkata: aku mendengar Nabi bersabda:
Barangsiapa yang meninggal dan ia tidak pernah memilih
(mengangkat) seorang pemimpin maka matinya dianggap mati
jahiliah.
َ
Dari Ibnu Umar mengatakan: aku telah mendengar Nabi bersabda:
Barangsiapa yang meninggal tanpa Imam (pemimpin) maka ia
mati seperti mati jahiliah; dan barangsiapa yang mencabut (tidak
taat) kepada pemimpin maka ia di hari kiamat tidak memiliki
hujjah (pembela).
َ
Dari Abdullah Ibnu Umar berkata: Abdullah Ibnu Umar
datang kepada Abdullah Ibnu Muti’, sesudah ia melihatnya, ia
mengatakan: berilah Abdurrahman sebuah bantal. Lalu ia
mengatakan: sesungguhnya aku datang bukan untuk duduk,
namun aku datang kepadamu untuk menyampaikan sebuah hadis
yang aku dengarkan dari Nabi. Beliau bersabda: Barangsiapa yang
mencabut (tidak taat) kepada pemimpin maka ia akan menemua
Allah di hari kemudian dalam keadaan tidak ada hujjah (pembela);
dan barangsiapa yang meninggal dan ia tidak pernah memilih
(mengangkat) seorang pemimpin maka matinya dianggap mati
jahiliah.
Makna dan Kandungan Hadis
1. Pada dasarnya ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum
mengangkat seorang pemimpin/presiden. Mayoritas ulama
mengatakan bahwa mengangkat seorang pemimpin hukumnya
wajib, baik dalam situasi aman tenteram, maupun dalam keadaan
tidak aman atau genting. Pendapat kedua mengatakan bahwa
mengangkat seorang pemimpin hukumnya tidak wajib dalam semua
kondisi. Pendapat ketiga mengatakan bahwa mengangkat seorang
pemimpin hukumnya wajib bila dalam keadaan kacau, namun tidak
wajib jika dalam situasi aman tenteram. Sedangkan pendapat keempat
mengatakan bahwa mengangkat seorang pemimpin hukumnya wajib
dalam keadan aman, dan tidak wajib jika dalam keadaan genting.64
2. Melihat perbedaan di atas, pendapat yang paling kuat yaitu
pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa mengangkat
seorang pemimpin/presiden hukumnya wajib baik dalam situasi
aman tenteram, maupun dalam keadaan tidak aman atau genting.
Alasannya yaitu sebab kehidupan manusia tidak mungkin
menjadi baik, aman, sejahtera dan saling menghargai satu sama
lain kecuali dengan kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah
mereka. Kehadiran seorang pemimpin akan sangat menentukan
kesepahaman hidup dalam suatu komunitas warga yang plural
termasuk yang berkaitan dengan pemberlakuan hukum. Pendapat
inilah yang kemudian diperpegangi oleh kebanyakan ulama termasuk
para ulama Syiah, semua Murjiah, mayoritas Mu’tazilah, dan semua
ulama Sunni. sebab itu Nabi menyatakan bahwa barangsiapa yang
meninggal tanpa pemimpin maka ia mati seperti mati jahiliah; dan
barangsiapa yang tidak taat kepada pemimpin maka ia di hari kiamat
tidak memiliki pembela.
3. Sebagian pakar mengatakan bahwa mengangkat seorang pemimpin
semestinya diserahkan saja kepada para ahli dan profesional sebab
merekalah yang dapat melihat lebih jauh siapa yang paling cocok.
namun kenyataannya justru diserahkan kepada semua orang yang
telah memenuhi syarat secara hukum yang berlaku padahal belum
tentu semuanya mengerti tentang siapa yang semestinya dipilih. Di
sisi lain, adanya parlemen yang dijumpai di berbagai negara dewasa
ini yang telah menampung para wakil-wakil rakyat yang kemudian
diserahi kewenangan termasuk memilih pemimpin seperti yang
masih berlaku di beberapa negara sekarang ini ternyata juga masih
belum dapat dikatakan sebagai cara yang paling tepat walau wakil-
wakil ini memenuhi kualifikasi serta pengetahuan politik yang
mapan. Alasannya yaitu anggota parlemen secara keseluruhan
hanya mewakili sebagian besar warga yang memilihnya
sebab yang lainnya tidak ikut berpartisipasi secara aktif. Akibatnya
terjadi keberpihakan sebagian anggota parlemen baik terhadap
partai yang diwakilinya maupun terhadap konsetuennya saja tanpa
memperhatikan aspirasi orang-orang yang memang sejak awal
tidak memilihnya.65 Selain itu, seringnya terjadi kecurangan dalam
pemilihan di lain sisi, dan banyaknya hal-hal yang terjadi menyalahi
regulasi yang telah ditetapkan terkait dengan proses pemilihan
itu sendiri seperti money politik yang kesemuanya menjadi faktor
terkikisnya nilai-nilai kejujuran baik pada diri si pemilih maupun pada
diri yang dipilih. sebab nya sebagian sarjana Muslim melihat bahwa
sistem pengangkatan seorang presiden dalam konteks pemerintahan
modern seperti pemilihan secara langsung oleh rakyat, pemilihan
melalui anggota parlemen, pemilihan melalui lembaga swadaya, atau
dengan melalui lembaga khusus yang anggota-anggotanya berasal
dari beberapa elemen warga seperti yang pernah diberlakukan
di Amerika tidak dapat dikatakan sebagai cara yang paling tepat dan
ideal dengan alasan, antara lain:66 (1) tidak semua anggota warga
memahami secara baik siapa yang paling layak dan tepat untuk
diangkat menjadi pemimpin; (2) kalau pun ada yang memahami
secara baik bahwa yang paling layak diangkat menjadi pemimpin
yaitu si A atau si B, namun terkadang jumlahnya jauh lebih sedikit
daripada yang tidak paham meski tingkat pemahaman ekonomi,
politik, budaya dan peradaban bangsa ini terbilang maju.
4. Melihat kenyataan yang ada memang masih banyak anggota dari
suatu elemen warga tidak memahami secara baik arti dan
tujuan pengangkatan seorang pemimpin sehingga sampai dewasa
ini masih sering terjadi hal-hal yang tidak diharapkan terutama di
negara yang masih terbilang sangat terbelakang dari segi ekonomi dan
politik. Dengan demikian, dalam konteks fiqh, cara yang paling ideal
dalam mengangkat seorang pemimpin yaitu melalui orang-orang
yang tidak diragukan kemampuannya, kejujurannya, loyalitasnya
terhadap semua yang berkaitan dengan kepentingan warga .
Mereka yaitu orang-orang yang paling tepat untuk diserahi tugas
mengangkat seorang pemimpin.
5. Golput merupakan sebuah fenomena politik yang sangat dipengaruhi
oleh faktor, 1) golput muncul disebabkan sebab adanya rasa kecewa
yang diderita oleh sebagian warga akibat harapan-harapan
mereka seringkali tidak dipenuhi termasuk oleh lembaga eksekutif
dan lembaga legislatif. sebab itu mereka justru berkeyakinan bahwa
partisipasi dalam suatu pemilihan tidaklah penting sebab bisa jadi
caleg-caleg yang ada tidak ada yang lebih dari yang lain. Sehingga
menurut mereka, siapa pun yang naik hasilnya sama saja. Dengan
begitu, mereka tidak akan maksimal bekerja untuk kepentingan rakyat,
apalagi kepentingan agama. Bahkan sebab fenomena seperti ini, tidak
jarang di antara mereka ada yang menganggap bahwa berpartisipasi
dalam pemilu yang tidak memberi signfikansi yaitu dosa besar
sebab menurut mereka sama halnya dengan berpartisipasi dalam
sebuah tindak kejahatan. (2) munculnya golput sebab dipicu oleh
adanya kesadaran global bahwa partisipasi publik bukanlah sebuah
kewajiban, namun itu hanyalah hak rakyat semata.67 Alasan-alasan
yang diungkapkan itu tentu saja kontradiksi dengan hadis-hadis yang
disebutkan yang pada intinya menegaskan bahwa golput (golongan
putih) dalam suatu pemilihan dianggap sebagai sesuatu yang tidak
baik, bahkan haram hukumnya sebab adanya ancaman yang begitu
besar bagi pelakunya.
6. Golput sendiri oleh para pakar memiliki pengertian yang luas di
antaranya: pertama: tidak menentukan pilihan. Kedua: mencoblos
lebih dari satu pilihan. Ketiga: tidak memilih sebab n alasan sedang
merantau. Tentu saja dari beberapa pengertian yang disebutkan
tentang golput, Islam secara khusus menyikapi hal itu dengan
penegasan bahwa golput merupakan indikasi ketidaktaatan seseorang
kepada aturan yang ada. Bukankah Nabi sudah menjelaskan secara
panjang lebar tentang pentingnya mengangkat seorang pemimpin.
Bahkan al-Qur’an sendiri menyatakan dengan jelas bahwa: taatilah
Allah dan rasul-Nya, dan ulil amri diantara kalian. (QS. Annisa: 59).
Ulil amri dalam ayat ini oleh kebanyakan ulama dimaksudkan
sebagai pemerintah. sebab nya, mentaati aturan dan kebijakan
pemerintah merupakn hal yang harus diindahkan selama aturan
ini tidak bertentangan secara transenden dengan nilai-nilai
Islam itu sendiri.
7. Pada tahun 2009, Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam pertemuannya
di Padang Panjang Sumatera Barat telah mengeluarkan fatwa tentang
haramnya golput. Fatwa ini didukung oleh beberapa MUI yang
ada di beberapa daerah. sebab itu, sebagai seorang muslim, dan
sebagai warga negara yang baik tidak akan pernah mengambil sikap
golput dalam setiap pesta demokrasi sebab memilih dan mengangkat
seorang pemimpin hukumnya wajib seperti yang telah dijelaskan.
Dalam kaedah fiqh disebutkan: “mala yatimmul wajibu illa bihi fahuwa
wajibun”. Sesuatu yang menjadi sempurna sebab nya, maka ia menjadi
wajib. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sebuah negara akan
sempurna bila memiliki seorang pemimpin, maka memilih seorang
pemimpin hukumnya wajib alias tidak boleh golput. Itulah sebabnya
sebagian pakar mengatakan bahwa negara tanpa pemerintah akan
hancur, demikian kurang lebih yang pernah dikatakan oleh Syeh Said
Muhammad Ramadhan al-Buthi ketua umum persatuan ulama bilad
Syam (Suriah).
HADIS TENTANG
PEMIMPIN yaitu MANUSIA BIASA
َ
Dari Ali bin al-Husain, Nabi bersabda: Janganlah engkau sekalian
mengangkat aku (derajat) melebihi hakku, sesungguhnya Allah
telah menjadikan Aku sebagai hamba-Nya sebelum menjadikan
Aku sebagai Nabi.
Sufyan mengatakan: telah sampai kepadaku bahwasanya Nabi
bersabda: Janganlah engkau sekalian berlebihan memujiku
seperti orang Nasrani memuji Isa Ibnu Maryam, namun katakanlah:
hamba Allah dan rasul-Nya.
َ
Dari Ibnu Mas’ud, seorang lelaki berbicara dengan Nabi pada
hari fathu Makkah (pembebasan/pembukaan kota Makkah) lalu
ia gemetar, maka Nabi mengatakan kepadanya: Santai saja, aku
ini yaitu anak seorang perempuan dari Quraiys yang memakan
daging dendeng.
َ
Dari Ummu Salamah, Nabi bersabda: Sesungguhnya aku yaitu
manusia seperti kalian, dan sesungguhnya engkau sekalian
mengadukan perkara kepadaku, maka semoga bukti di antara
kalian jauh lebih baik dari yang lain sehingga aku dapat
memutuskan perkaranya sesuai dengan yang aku dengar, maka
barangsiapa yang perkaranya telah aku putuskan untuknya
maka janganlah yang lain menuntutnya/mengambilnya
sebab sesungguhnya yang aku berikan padanya yaitu bagian
(potongan) dari api neraka.
Makna dan Kandungan Hadis
1. Berdasar pada hadis di atas dapat dipahami bahwa seorang pemimpin
statusnya yaitu manusia biasa. Mereka sama sekali tidak ada
bedanya dengan warga nya. sebab itu Nabi memberi
pelajaran kepada para sahabatnya agar mereka tidak mengangkat
Nabi ke derajat yang melebihi haknya, seperti yang telah dilakukan
oleh orang-orang Nasrani terhadap Isa ibnu Maryam. Nabi hanyalah
seorang hamba sebelum Allah mengangkatnya sebagai seorang Nabi.
Seorang sahabat pernah berbicara dengan Nabi dengan gemetar,
lalu Nabi mengatakan kepadanya: Biasa-biasa saja, aku ini hanyalah
seorang anak dari seorang perempuan Quraiys yang juga memakan
daging dendeng.
2. sebab pemimpin juga yaitu manusia biasa seperti yang lain maka ia
pun harus tunduk kepada aturan dan hukum yang berlaku. sebab itu,
jika ia melanggar aturan yang ada maka ia pun harus dihukum seperti
yang lain. Imam Ibnu Qudamah telah menjelaskan bahwa hukum
qisas antara pemimpin dengan rakyat tetap berlaku. Hal yang sama
ditegaskan oleh Imam al-Qurtubi kalau ulama sudah sepakat bahwa
penguasa pun dihukum bila melakukan hal-hal yang mencederai
rakyatnya. Itulah sebabnya mengapa para sahabat Nabi seperti Abu
Bakar, Umar bin Khattab, dan Amru bin Ash menghukum para
aparatnya yang telah melakukan kesalahan. Semua itu menandakan
bahwa pemerintahan di dalam Islam bukan pemerintahan otoriter;
dan seorang penguasa yaitu manusia biasa sehingga tampuk
kekuasaan yang diamanahkan kepadanya tidak bersifat absolut.
3. sebab pemimpin di dalam Islam yaitu manusia biasa maka
pemerintahan di dalam Islam juga disebut sebagai pemerintahan sipil
dan bukan pemerintahan yang berbau ketuhanan atau biasa disebut
dengan pemerintahan teokrasi. Teokrasi secara epistemologi yaitu
suatu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh seseorang dengan
mengatasnamakan Tuhan. Itulah sebabnya, seorang pemimpin
mengklaim dirinya mendapatkan kekuasaan dari Tuhan. Islam sebagai
agama memang sering dikaitkan dengan ke-Tuhanan yang apabila
dilihat dalam konteks sistem kekuasaan, berhubungan erat dengan
teokrasi. Walau demikian, pemerintahan Islam tidak dapat disebut
dengan pemerintahan teokrasi seperti yang dikatakan oleh sebagian
orientalis yang memaksa warga untuk tunduk secara mutlak
kepada penguasa.
4. Munculnya ide teokrasi untuk menggambarkan praktek mengenai
sistem kekuasaan raja sekaligus mengklaim dirinya sebagai utusan
Tuhan, jelmaan Tuhan, atau jelmaan para dewa yang bersifat
supranatural.73 Akibatnya, semua perkataan raja dianggap identik
dengan perkataan Tuhan yang tidak boleh dibantah. Raja dan
keluarganya menjadi subjek yang suci yang tidak mungkin melakukan
kesalahan sekecil apapun, “the king can do no wrong”. Hal seperti inilah
yang berkembang di Eropa dan juga di seluruh dunia seperti dengan
munculnya konsep ‘raja-dewa’ dalam tradisi Hindu di India, dan ‘raja-
pendeta’ dalam tradisi bangsa-bangsa Eropa yang apabila diilmiahkan
biasa dikaitkan dengan doktrin teokrasi yang berlumur kekejaman
dan penindasan terhadap rakyat
5. Sebagian pakar mengatakan bahwa pemerintah kerap melakukan
legitimasi atas kebijakannya yang menyengsarakan rakyat dengan
mengatasnamakan Tuhan. Hal ini terjadi di daratan Eropa pada
abad pertengahan, dimana gereja mengatasnamakan Tuhan dalam
mempertahankan “ideologi ketuhanan” mereka yang banyak
merugikan orang lain. Mereka menganggap orang yang tidak sepaham
dengan ‘ideologi ketuhanan’ mereka sebagai kaum heretics (kafir).
Mereka melakukan penyiksaan, penganiayaan, dan bahkan sampai
pada pembunuhan besar-besaran pada orang-orang yang tidak
sepaham dengannya.
6. Tentu saja teokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan tidak ada
hubungannya dengan Islam, sebab Islam telah ada sekitar sepuluh
abad sebelum adanya teori teokrasi yang lahir untuk menjustifikasi
kekuasaan para raja-raja non Muslim di Eropa. Di dalam Islam, semua
orang sama. Nabi sendiri tidak pernah mengklaim dirinya sebagai
raja, bahkan dalam menjalankan dakwahnya penuh susah payah, dan
sering mendapat intimidasi dari pihak Quraiys sehingga tidak heran
bila Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Nabi harus dipatuhi bukan
sebab beliau seorang penguasa, akan namun sebab beliau yaitu
utusan Allah untuk manusia (rasulullah ilannasi).
7. Muhammad Abduh mengatakan: khalifah di kalangan orang Muslim
bukanlah seorang yang terjaga dari kesalahan dan dosa (ma’sum);
dan bukan juga orang yang mendapatkan wahyu. Dengan dasar ini,
agama tidak memberi kekhususan kepada mereka, termasuk
mengangkat mereka ke derajat tertentu. Mereka tidak ada bedanya
dengan yang lain. Orang-orang hanya berbeda dengan kejernihan
akalnya dan kebenarannya dalam hukum. Selain itu, ia hanya dapat
ditaati selama mengindahkan nilai-nilai agama yang bersumber
dari al-Qur’an dan hadis. Bila ia melenceng dari kedua nilai-ini
maka orang-orang Islam harus menasehatinya. Orang-orang Islam lah
yang mengangkatnya sebagai pemimpin, dan mereka pulalah yang
memberhentikan dari jabatannya.
8. Mahmud Syaltut mengatakan bahwa seorang penguasa bukanlah
orang yang terjaga dari kesalahan dan dosa; dan bukan juga orang
yang mendapat wahyu; dan ia tidak memiliki kelebihan dalam melihat
dan memahami sesuatu. Ia hanya dapat memberi nasehat dan arahan,
menegakkan hukum sesuai dengan yang digariskan oleh Allah. Dalam
tugasnya ia sebagai wakil umat, ditaati selama ia melaksanakan
tugasnya sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh Allah; dan bila
ia m