Selasa, 03 Desember 2024

hadist politik 1



HADIS TENTANG

TERM POLITIK (SIYASAH)

َ

Dari Furat al-Qazzaz, mengatakan: aku telah mendengar Abu 

Hazim mengatakan: aku telah duduk (belajar) lima tahun sama 

Abu Hurairah, dan aku mendengarnya bercerita tentang Nabi. 

Nabi bersabda: yaitu  kaum Bani Israil dipimpin/diperintah oleh 

seorang Nabi. Setiap kali Nabi itu meninggal maka digantikan 

lagi dengan Nabi yang lain, dan tidak ada lagi Nabi sesudah  

aku (Muhammad); dan akan ada pemerintah (khalifah) yang 

jumlahnya banyak. Mereka mengatakan: Apa yang engkau 

perintahkan kepada kami. Nabi mengatakan: Penuhilah dan 

baiatlah yang pertama dan selanjutnya. Dan berikanlah hak 

1 Hadis riwayat Baihaqi, Assunan al-Kubra, (India: Majlis Dairatu al-Ma’arif), Jld.8.hal.144.

2      

mereka, sebab  sesungguhnya Allah akan menanyai mereka (di 

hari kemudian) tentang kepemimpinan mereka. 

Makna dan Kandungan Hadis

1. Istilah siyasah yang berarti politik sesungguhnya sudah dikenal 

sejak zaman jahiliyah. Sebagian pakar mengatakan bahwa al-Khansa 

yang nama aslinya Tadamur binti Amru bin Tsarid Assulammy 

seorang sastrawati Arab dianggap sebagai orang yang pertama kali 

menggunakan terminologi politik dalam penyusunan syair untuk 

mengekspresikan kehidupan politik di masanya. Penggunaan istilah 

itu dapat dilihat saat  terjadi perang antara kabilah al-Khansa dengan 

kabilah Sahar.2

2. Sebagian ahli sejarah seperti al-Makrizi (wafat 845 H.) menyatakan 

bahwa asal usul kata siyasah berasal dari bahasa Mongol yaitu yasa 

yang kemudian ditambah huruf sin di depannya sehingga menjadilah 

siyasah. Almakrizi menisbahkan kata ini  ke kitab al-yasa yang 

ditulis Jenkis Khan (wafat 624 H) sesudah  menguasai beberapa 

negeri Islam seperti dinasti al-Hawarizmiah di Turkistan pada masa 

pemerintahan Sultan Alauddin Muhammad Khawarizem Syah. 

Namun secara ilmiah, sebenarnya kedua kata yang disebutkan yakni 

siyasah dan yasa tidaklah memiliki relevansi sama sekali sebab  kata 

siyasah sendiri dalam terminologi Arab penggunaannya sudah banyak 

dipakai terutama dalam penulisan syair sebagai ekspresi kehidupan 

sosial politik yang sedang bergejolak seperti yang dilakukan al-Khansa, 

lalu kemudian diikuti oleh yang lainnya semisal Ibnu al-Mukaffa. 

Bangsa Arab jahiliyah telah menggunakan kata siyasah yang berarti 

cara, ketua dan pertahanan. 


bahwa warga  Arab sudah memahami makna implisit kalimat 

siyasah. sebab nya para ulama Islam telah banyak menorehkan 

dalam karya monumental mereka tentang sistem pemerintahan 

dalam Islam dengan sebutan siyasah seperti Ibnu Taimiyah dengan 

Judul: Assiyasah Assyar’iah fi Islahi Arra’i wa Arraiyah. Begitupula yang 

ditulis Ibnu Qayyim al-Jauziah dengan judul: Atturuk al-Hukumiah fi 

Assiyasah Assyar’iah. 

4. Para pemikir Islam memandang bahwa segala bentuk perilaku politik 

semestinya tidak terlepas dari nilai etika dan norma agama yang 

sifatnya transenden. sebab nya setiap individu atau kelompok harus 

mampu mengaktualisasikan nilai-nilai yang dimaksud sebab  alam 

ini ibarat common wealth yang mencakup dua unsur yaitu, Tuhan 

dan manusia yang saling terkait satu sama lain, apalagi jika dilihat 

dari sisi tujuan berdirinya sebuah negara yaitu  untuk mencapai 

kemaslahatan bersama, saling menguntungkan tanpa harus melihat 

ras, suku, bangsa, dan bahkan agama. 

5. Sering terdengar di tengah warga  termasuk di kalangan akademisi 

sendiri bahwa politik itu kotor sebab  hanya melahirkan figur-figur 

yang ambivalen. Pernyataan ini  mungkin ada benarnya, sebab  

memang banyak indikator yang menunjukkan bahwa dalam proses 

demokratisasi seringkali terjadi hal-hal yang tidak diinginkan tidak 

hanya sebab  melanggar aturan dan regulasi yang ada, namun  memang 

secara etika sangat tidak layak untuk dilakukan misalnya dengan 

praktek money politik demi merebut kekuasaan. sebab  itulah tidak 

salah bila seorang sarjana Muslim bernama Muhammad Abduh 

pernah mengatakan: auzu billahi minas siyasah, aku berlindung 

kepada Allah dari politik. 

6. Para sarjana Muslim sejak awal telah menjelaskan secara gamlang 

tentang pentingnya etika dalam perilaku politik. Sebut saja misalnya, 

Abdurrahman Ibnu Khaldun (732-808 H) dengan sederhana 

memberi  naratif bahwa perilaku politik seorang pemimpin tidak 

terlepas dari tiga kategori: (1) almalik attabi’i. Perilaku politik seorang 

pemimpin yang hanya berdasar  intuisi semata. Jadi, semua bentuk 

perilaku yang dilakukan seorang politisi dalam mencapai satu tujuan 

tidak terlepas dari pengaruh intuisi yang dimilikinya, sehingga ada 

kemungkinan otoriter dalam pengambilan sebuah keputusan. sebab  

itu, Ibnu Khaldun memandang bagian ini sebagai perilaku politik 

yang tidak terpuji, (2) almalik assiyasi. Perilaku politik seorang 

pemimpin yang banyak dipengaruhi oleh akal dalam pengambilan 

sebuah keputusan sangat tergantung pada nilai rasionalisasi masalah. 

Bila perilaku ini  dinilai rasional oleh publik maka akan sangat 

signifikan sehingga dapat diterima. Sebaliknya jika tidak dinilai 

sebagai sesuatu yang rasional maka akan dianggap destruktif dan 

tidak dapat diterima. namun  dalam prakteknya, para ahli hukum 

tetap menilai bahwa perilaku politik seperti itu setidaknya dapat 

memberi dampak positif pada setiap individu sebagai bagian dari 

komunitas warga  yang ada, misalnya rasa keadilan, kedamaian 

dan ketenteraman hidup. Hanya saja, corak politik seperti ini masih 

dianggap tabu dan kurang produktif, sebab  hanya mementingkan 

sisi duniawi saja dan kurang memperhatikan nilai-nilai spiritual 

agama; (3) perilaku politik seorang pemimpin yang tidak terlepas 

dari nilai moralitas agama. Segala aktivitas politik yang dilakukan 

seorang politisi, baik berupa terobosan baru atau upaya menarik 

empati warga  terkontaminasi oleh nilai yang ada sehingga kecil 

kemungkinan terjadi kecurangan. Selain itu, keseimbangan antara 

privasi yang diberikan kepada setiap individu untuk menyatakan 

aspirasi politiknya akan tetap sejalan dengan petunjuk agama.

7. Ibnu Taktaki dalam karya monumentalnya al-fakhri fi al-adab 

assultaniyah menjelaskan bahwa seorang politisi yang kapabel 

dan berintegritas yaitu  yang mampu mengaktualisasikan nilai-

niali moralitas agama dalam setiap perilaku politiknya serta dapat 

memenuhi kualifikasi umum yang ada, antara lain: (1) memiliki rasa 

takut kepada Allah Swt. Hal ini sangat esensial sebab  merupakan inti 

dari segala sumber keberkahan yang ada. Seorang politisi yang mampu 

menjadikan asas ini  sebagai pijakannya dalam semua aktivitas 

      

yang dilakukannya akan senantiasa mendapatkan kepercayaan yang 

luar biasa dari rakyat. Sebagai contoh yang ditorehkan oleh sejarah 

yaitu  Khalifah Ali bin Abi Thalib. Suatu saat  beliau memanggil 

seorang pembantunya, lalu seorang lelaki menghampirinya seraya 

berkata: “Wahai Amirul Mukminin, orang yang enkau panggil itu 

ada di belakang pintu dan mendengar panggilanmu, namun ia 

tidak mau menjawab”. sesudah  yang dipanggil itu datang, Khalifah 

Ali bertanya: “Kenapa engkau tidak menjawab panggilanku padahal 

engkau mendengarnya? Dia menjawab: Aku tidak menjawab sebab  

aku yakin engkau tidak akan menyakitiku. Khalifah Ali bin Abi 

Thalib kemudian mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah 

menciptakanku untuk tidak menyakiti hambanya”; (2) tidak dengki. 

Sifat ini sangat penting, sebab  sifat dengki dapat merusak niat 

seseorang sehingga perilakunya banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang 

tidak baik; (3) memiliki jiwa pemaaf dan reseptif terhadap orang lain. 

Di saat Umar bin Khattab dilantik sebagai Khalifah, seorang badui 

berteriak di depannya seraya melontarkan kata-kata mengancam: 

“Wahai Umar berlaku adillah kepada kami, sebab  kalau tidak, akulah 

orang yang pertama kali akan memenggal lehermu dengan pedangku 

ini”. Sesaat  itu, para sahabat meminta kepada Umar bin Khattab agar 

mereka diperkenankan memotong leher badui ini , tapi Umar 

bin Khattab hanya tersenyum seraya berkata: “Wahai rakyatku, bila 

engkau tidak menyampaikan aspirasimu kepada kami maka engkau 

semua tergolong orang yang tidak punya kebajikan. Begitupula, jika 

kami tidak mendengar apa yang engkau inginkan, maka kami pun 

termasuk orang yang tidak punya kebajikan.



HADIS TENTANG

MENGANGKAT SEORANG PEMIMPIN


Dari Abdullah ibnu Amru, Nabi bersabda: Tidak halal/boleh bagi 

tiga orang yang sedang berada (perjalanan) di padang yang luas 

kecuali mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin.

َ

Dari Abu Hurairah mengatakan: Nabi bersabda: Jika tiga orang 

sedang dalam perjalanan maka sebaiknya salah satu dari mereka 

menjadi pemimpin.

 َ


Nabi bersabda: Tidak halal (boleh) bagi seorang Muslim berdiam 

(tinggal) dua malam tanpa membaiat (mengangkat) seorang 

pemimpin.

Makna dan Kandungan Hadis

1. Pada dasarnya ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum 

mengangkat seorang pemimpin/presiden. Pendapat mayoritas ulama 

yaitu  bahwa mengangkat seorang pemimpin hukumnya wajib, 

baik dalam situasi aman tenteram, maupun dalam keadaan tidak 

aman. Pendapat kedua mengatakan bahwa mengangkat seorang 

pemimpin hukumnya tidak wajib baik dalam situasi aman tenteram, 

maupun dalam keadaan tidak aman. Pendapat ketiga mengatakan 

bahwa mengangkat seorang pemimpin hukumnya wajib bila dalam 

keadaan kacau, namun  tidak wajib jika dalam situasi aman tenteram. 

Sedangkan pendapat keempat mengatakan bahwa mengangkat 

seorang pemimpin hukumnya wajib dalam keadan aman, dan tidak 

wajib jika dalam kondisi genting sebab  terjadinya banyak kekacauan.

2. Berdasar pada hadis di atas dapat dipahami bahwa tidak halal 

hukumnya bagi sekelompok manusia melakukan suatu perjalanan 

jauh kecuali ada di antara mereka yang menjadi pemimpin. sebab  

itu dalam komunitas yang lebih besar, mengangkat seorang pemimpin 

hukumnya wajib. Ibnu Taimiyah mengatakan: Jika dalam komunitas 

kecil, atau terdiri dari beberapa orang saja Nabi memerintahkan 

untuk mengangkat seorang pemimpin maka tentu saja hal ini  

menjadi dalil bahwa dalam komunitas yang lebih besar jauh lebih 

penting (wajib) mengangkat seorang pemimpin. sebab  itulah, semua 

Ahlussunnah, semua kelompok Syiah, semua kelompok Murjiah, dan 

mayoritas Mu’tazilah menyatakan bahwa mengangkat seorang kepala 

negara hukumnya wajib. Dasar pernyataan mereka yaitu  termasuk 


hadis-hadis yang disebutkan di atas walau hukumnya wajib kifayah.

Artinya saat  sudah ada yang diangkat maka gugurlah kewajiban itu. 

namun  bila tidak ada satu pun yang diangkat oleh orang-orang Islam 

maka semuanya berdosa. 

3. Ibnu Khaldun mengatakan: Mengangkat pemimpin di dalam 

Islam hukumnya wajib, sebab  itu sepeninggal Nabi, para sahabat 

mengangkat Abu Bakar sebagai penerusnya, dan begitulah seterusnya 

dari masa ke masa selalu terdapat seorang pemimpin di tengah 

warga .8 sebab  itu tidak ada perselisihan di antara sahabat 

Nabi tentang wajibnya mengangkat seorang pemimpin, kendati 

harus diakui bahwa memang di kalangan mereka sempat terjadi 

silang pendapat tentang siapa yang paling layak diangkat menjadi 

pemimpin menggantikan Nabi. Namun pada akhirnya mereka sepakat 

mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti Nabi untuk memimpin 

kaum Muslimin pada saat itu.

4. Mengaktualisasikan ajaran Islam dan membumikannya dalam 

kehidupan nyata termasuk penegakan hukum, dan penjagaan terhadap 

stabilitas dan keamanan negara telah menjadi bagian terpenting di 

dalam mengelola sebuah pemerintahan agar tidak terjadi kesenjangan 

sosial, kezaliman, dan kesewenangan di tengah-tengah warga . 

Semua itu harus dilakukan agar hak dan kewajiban semua elemen 

warga  sebagai warga negara yang telah dijamin oleh undang-

undang dapat berjalan dengan baik dan teratur; dan semua itu hanya 

bisa terealisasi dengan baik jika ada yang dipercaya dan disepakati 

untuk menjadi memimpin di tengah mereka.

5. Di antara alasan wajibnya mengangkat seorang kepala negara 

dalam Islam dalah: (1) pelaksanaan syariat Islam yaitu  wajib, dan 

semua itu hanya bisa terlaksana bila ada pemimpin, (2) mencegah 

terjadinya kekacauan dan ketimpangan sebab  dalam suatu 

komunitas warga  pasti akan terjadi perselisihan yang terkadang 


memicu  terjadinya pertumpahan darah; dan tentu saja hal itu 

akan mengakibatkan kehancuran sehingga harus ada kekuasaan yang 

mampu mencegahnya, (3) agar hukum dapat ditegakkan sesuai dengan 

yang telah digariskan oleh syariat Islam. sebab nya Imam Abu Hamid 

al-Gazali mengatakan: Agama dan kekuasaan yaitu  kembar, agama 

yaitu  dasar, sedangkan kekuasaan yaitu  penjaga, sesuatu yang 

tidak punya dasar pasti akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak 

ada penjaganya pasti akan hilang,9 (4) menciptakan rasa keadilan. 

Keadilan tidak akan tercipta secara menyeluruh, dan tidak akan pernah 

memberi  kebahagiaan kepada manusia baik dalam kehidupan 

duniawi maupun kehidupan ukhrawi kecuali ada pemerintah yang 

dapat menerapkan aturan dan hukum-hukum agama. Itulah sebabnya 

mengapa dianggap tidak boleh bagi seorang Muslim berdiam atau 

tinggal dua malam tanpa seorang pemimpin. sebab  itu kehadiran 

seorang pemimpin sangat menentukan kesepahaman hidup dalam 

suatu komunitas warga  yang plural.

6. Sejarah telah menyatakan dengan transparan bahwa sesudah  Nabi 

meninggal, hal yang pertama dilakukan oleh para sahabat yaitu  

memilih pemimpin di antara mereka. Walau pada awalnya yang 

menjadi masalah di tengah mereka yaitu  terkait dengan siapa 

sahabat yang paling layak untuk meneruskan perjuangan Nabi. namun  

tidak lama kemudian pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai 

khalifah pertama, lalu sesudah  itu, Umar bin Khattab, lalu kemudian 

sesudah nya Usman bin Affan, dan yang terakhir yaitu  Ali bin Abi 

Thalib; dan begitulah seterusnya setiap kurun waktu tertentu selalu 

ada pemimpin.

7. Baik kelompok Syiah maupun kelompok Sunni sama-sama menyatakan 

bahwa mengangkat seorang pemimpin hukumnya wajib. namun  

keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda dalam hal bagaimana 

tata-cara memilih dan mengangkat seorang pemimpin. Mengangkat 

seorang pemimpin menurut kelompok Sunni tidak terlepas dari 

tiga cara: 1) pengangkatan seorang pemimpin dengan cara memilih 

seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Cara seperti ini biasa 

disebut dengan baiatu ahlil halli wal-akdi, 2) pengangkatan seorang 

pemimpin dengan cara penunjukan dari pemimpin sebelumnya 

yang masih berkuasa kepada seseorang yang dianggap memenuhi 

kualifikasi atau dalam bahasa fiqh disebut al-istikhlaf wawilayatu al-

ahdi, 3) pengangkatan seorang pemimpin dengan cara pemaksaan/

kudeta atau dalam bahasa fiqh disebut al-kahru wal-istiylaau. Ketiga 

cara yang disebutkan merupakan cara yang lazim dipakai dalam 

mengangkat seorang pemimpin dalam literatur Sunni. Berbeda 

halnya dengan Syiah Imamiyah. Mereka menyatakan bahwa ketiga 

cara ini  di atas justru tidak diakui oleh mereka. 

8. Pengangkatan seorang pemimpin dalam literatur Syiah sendiri terjadi 

perbedaan satu sama lain. Sebagai contoh, Syiah Imamiyah meyakini 

bahwa pengangkatan seorang pemimpin haruslah berdasar  

teks/nash, atau dalam bahasa sederhananya pengangkatan seorang 

pemimpin telah ditentukan dengan nash/teks atau penunjukan dan 

penetapan secara langsung dari Nabi SAW.10 Sedangkan menurut Syiah 

Zaidiyah bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan kedua putranya 

yakni Hasan dan Husain merupakan penetapan langsung dari Nabi 

sekalipun penetapannya tidak transparan atau disebut annassu 

alkhafiy. Sedangkan keturunan Ali yang lain, kepemimpinannya 

dengan dakwah dan keluar (khuruj) di tengah orang banyak lalu 

mengaku sebagai pemimpin.11 Berdasar pada penjelasan ini  

dapat dipahami bahwa pengangkatan seorang pemimpin menurut 

Syiah Zaidiyah dapat dilakukan dengan dua cara: 1) untuk Ali bin 

Abi Thalib dengan kedua putranya, ditentukan langsung oleh Nabi; 

2) selain Ali dan kedua putranya, harus dengan cara keluar di tengah 

orang banyak lalu menyatakan diri sebagai seorang pemimpin. Cara 

ini biasa disebut al-khuruj wa adda’wah ila annafs. Syiah Zaidiyah 

mengatakan bahwa orang yang keluar di tengah warga  sambil 

menyatakan diri sebagai pemimpin, agar dapat diterima maka ia harus 

memenuhi beberapa syarat:12 1) harus dari keturunan Fatimah baik 

dari Hasan maupun dari Husain; 2) harus cerdas dan tergolong sebagai 

mujtahid, walau tidak disyaratkan mengetahui atau menghafal kitab-

kitab fiqh beserta bab-babnya. namun  cukup dengan kemampuannya 

untuk membedakan mana pendapat yang kuat dalam suatu masalah 

atau sebaliknya; 3) harus wara’ sehingga dapat diterima dan dipercaya 

apa yang dikatakannya, sebab  jika ia termasuk orang yang susah 

dipercaya maka tentu ia tidak boleh mengangkat seorang hakim 

(kadhi), atau menyatakan bahwa saksi yang ada dalam suatu perkara 

yaitu  adil termasuk melaksanakan dan mengaplikasikan semua 

hukum yang mesti diberlakukan; 4) harus berani dan kuat pendirian, 

sebab  kalau tidak demikian maka tentu ia tidak mampu memimpin 

bala tentara dan berperang melawan musuh. Keempat syarat ini 

mesti dipenuhi oleh seorang yang keluar menyatakan diri sebagai 

pemimpin. Olehnya itu, jika seorang yang keluar menyatakan diri 

sebagai pemimpin ternyata tidak memenuhi kualifikasi ini  maka 

tidak menjadi keharusan bagi orang-orang Islam atau warga  

umum menyatakan dukungan dan persetujuannya.

9. Konsep tentang bagaimana memilih dan mengangkat seorang 

pemimpin di dalam Islam, telah terjadi perbedaan interpretasi di 

kalangan ulama dan para sarjana Muslim. Dua sekte Islam yang 

berseberangan berkaitan dengan cara pengangkatan seorang 

pemimpin yakni Syiah dan Sunni disebabkan oleh perbedaan keduanya 

tentang berbagai riwayat yang diyakini sebagai pernyataan langsung 

dari Nabi terkait dengan siapa yang paling berhak menggantikan 

beliau sepeninggalnya di satu sisi, dan ketidak-absahan riwayat 

ini  menurut pihak lain di sisi lain.

10. Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa ada sebagian berpendapat bahwa 

mengangkat seorang pemimpin tidaklah wajib hukumnya. Artinya, 

khilafah sebagai suatu sistem pemerintahan tidak menuntut adanya 

seorang presiden, yang penting hukum syariat dapat ditegakkan 

dengan baik seperti pendapat al-Asam dari Mu’tazilah dan sebagian 

kelompok Khawarij.

11. Memang harus diakui bahwa saat  melihat al-Qur’an maupun 

hadis memang tidak menyebutkan tata-cara pengangkatan seorang 

pemimpin. Justru masalahnya diserahkan sepenuhnya kepada 

warga  untuk mencari cara yang lebih cocok untuk dijadikan 

sebagai acuan dalam pengangkatan seorang pemimpin di antara 

mereka sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.14 Nabi tidak 

menetapkan cara mengangkat seorang pemimpin, sebab  itu para 

sahabat saat  Nabi meninggal, persoalan yang muncul di tengah-

tengah sahabat yaitu  terkait dengan siapa yang berhak menggantikan 

beliau. Hal ini  dapat dilihat saat  beberapa sahabat berkumpul 

di tsakifah bani saidah. 

12. Melihat kenyataan yang ada memang masih banyak anggota dari 

suatu elemen warga  tidak memahami secara baik arti dan 

tujuan pengangkatan seorang pemimpin sehingga sampai dewasa 

ini masih sering terjadi hal-hal yang tidak diharapkan terutama 

di negara yang terbilang masih terbelakang dari sisi ekonomi dan 

politik. Dengan demikian, dalam konteks fiqh, cara yang paling ideal 

dalam mengangkat seorang pemimpin yaitu  melalui orang-orang 

yang tidak diragukan kemampuannya, kejujurannya, loyalitasnya 

terhadap semua yang berkaitan dengan kepentingan warga . 

Mereka yaitu  orang-orang yang paling tepat untuk diserahi tugas 

mengangkat seorang pemimpin.

13. Di sisi lain, dalam konteks demokrasi modern, pengangkatan seorang 

presiden yang dilakukan dengan cara pemilihan umum dengan 

melibatkan semua warga negara yang dianggap telah memenuhi 

syarat sebagai pemilih tetap sesuai dengan undang-undang 

pemilihan yang berlaku, misalnya umur yang bersangkutan tidak 

boleh kurang dari 17 tahun, nampak berbeda dengan sistem yang 

pernah dirumuskan oleh para ulama Islam klasik dimana mereka 

melihat bahwa sistem pengangkatan presiden akan lebih ideal bila 

diserahkan saja sepenuhnya kepada orang-orang yang memang tidak 

diragukan integritasnya dalam berbangsa dan bernegara yang dikenal 

dalam bahasa fiqh dengan ahlul halli wal akdi. Dalam konteks fiqh 

klasik, pengangkatan seorang pemimpin tidak diserahkan kepada 

warga  secara keseluruhan untuk memilih sebab  berbagai alasan 

dan pertimbangan seperti yang telah disinggung termasuk sebab  

seringnya terjadi hal-hal yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan 

seperti praktek money politik yang menjadi faktor terkikisnya nilai-

nilai kejujuran. 

14. Dalam konteks negara bangsa, Polandia sebagai salah satu negara 

di Eropa pernah memberlakukan pengangkatan seorang pemimpin 

yang hampir sama dengan cara yang dijelaskan di dalam fiqh Islam. 

Sistem pengangkatan pemimpin di negara ini  dijelaskan dalam 

undang-undang yang dikeluarkan pada tahun 1935 yakni dengan 

melalui lembaga khusus yang terdiri dari para senator, ketua parlemen, 

ketua lembaga kementerian, ketua mahkamah agung, pejabat tinggi 

militer dan sekitar 75 anggota yang dipilih langsung oleh anggota 

parlemen dan para senator dari para tokoh warga  yang dianggap 

memenuhi syarat yang telah ditentukan.15 Bahkan sampai dewasa ini, 

beberapa negara di dunia termasuk di beberapa Arab masih ada yang 

mengadopsi sistem pengangkatan presiden dengan pemilihan melalui 

parlemen dengan tidak melibatkan warga  secara keseluruhan. 

    

HADIS TENTANG

PEMIMPIN YANG TERBAIK

ِ

Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda: Barangsiapa yang mempekerjakan 

seorang lelaki dari suatu kelompok, dan dari kelompok ini  

ada yang lebih baik maka sungguh ia telah menghianati Allah, 

menghianati rasul-Nya; dan menghianati semua orang Mukmin.

 َ

Dari Ibnu Abbas, dari Nabi. Beliau bersabda: Barangsiapa yang 

mempekerjakan seorang dari kaum Muslimin, dan ia tahu bahwa 

di antara mereka ada yang lebih baik darinya; dan lebih paham 

kitab Allah, dan sunnah Nabi, maka sungguh ia telah menghianati 

Allah, menghianati rasul-Nya; dan menghianati semua orang 

Muslim.

Makna dan Kandungan Hadis

1. Hadis di atas secara tekstual menjelaskan bahwa mengangkat seorang 

pejabat yang tidak kompeten dan profesional dalam suatu komunitas 

warga  padahal dalam komunitas ini  ada yang lebih baik 

maka sungguh ia telah menghianati Allah, rasul-Nya; dan semua orang 

Muslim. 

2. Dalam literatur Islam, mengangkat seorang pejabat yang telah 

memenuhi kriteria merupakan hal yang sangat fundamental. Walau 

demikian, para ulama menyatakan bahwa mengangkat seseorang 

menjadi pejabat padahal ada yang lebih baik hukumnya boleh-boleh 

saja dan kepemimpinannya dianggap sah seperti yang dinyatakan 

Ibnu Hazm.

3. Bolehnya imamatul mafduli alal afdali tidak bertentangan dengan 

hadis Nabi di atas yang menyatakan bahwa pemimpin harus yang 

terbaik sebab  hadis-hadis ini  hanya sebagai penekanan saja 

yang mengarah pada kesempurnaan dan dalam kondisi stabil. Apalagi 

misalnya jika terjadi kekacauan seperti perang di negara ini . 

Demikian yang dikatakan Imam Abu Bakar al-Baqillani. Dalam sejarah 

disebutkan bahwa para sahabat nabi sepakat tentang kepemimpinan 

Khalid bin Walid dalam perang Yarmuk padahal ada sahabat yang 

lebih layak untuk kepemimpinan itu, yakni Abu Ubaidah bin Jarrah.19

4. Mengangkat orang yang tidak tepat sebab  adanya hubungan 

kekeluargaan atau adanya pemerdekaan, atau adanya pertemanan, 

atau sebab  berasal dari kampung yang sama, atau sebab  adanya 

gratifikasi atau sogokan yang diambil darinya baik berupa harta barang 

atau manfaat maka sungguh ia telah menghianati Allah dan Rasul-

Nya.20 Nabi tidak pernah mengistimewakan salah seorang keluarganya 

untuk menjabat suatu jabatan struktural atau fungsional. Bahkan ia 

sendiri tidak pernah memilah-milah sahabatnya. saat  nabi memilih 

panglima perang, beliau memilih Usama, bukannya memilih kerabat 

terdekatnya. Beliau memilih Usama bin Zaid sebab  ia memang layak 

untuk memangku jabatan itu. Standar yang dijadikan acuan oleh Nabi 

dalam memilih seorang pejabat yaitu  kelayakan bukan sebab  yang 

lain. Hal ini  dapat dipahami dari penegasan Nabi kepada Abu 

Zar al-Gifari saat  meminta jabatan, namun  Nabi tidak memberinya 

sebab  dianggap tidak mampu.

5. Soal jabatan politik, Nabi tidak pernah menunjukkan isyarat 

mempersiapkan pengganti atau putra/putri mahkota yang akan 

menggantikan dirinya sebagai kepala pemerintahan di Madinah, 

meskipun ia mempunyai beberapa kerabat dekat. Nabi mempunyai 

anak perempuan, Fatimah di samping suaminya, Ali atau keluarga 

dekat lainnya. Bisa saja ia paksakan salah seorang di antaranya menjadi 

pewaris tahta pemerintahan namun  itu tidak pernah dilakukan. 

Seandainya saja memang ada yang telah ditetapkan oleh Nabi sebagai 

penggantinya di kemudian hari, maka pasti para sahabatnya akan 

menjelaskan dan menyatakan hal ini  saat  Nabi meninggal. 

namun  semua itu tidak terjadi. Maka dari itu, perselisihan yang 

terjadi di tsakifah bani saidah hanya seputar siapa yang akan menjadi 

khalifah. 

6. Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah pertama menggantikan Nabi 

padahal beliau sendiri tidak pernah meminta apalagi memaksa kalau 

dirinya yang harus melanjutkan dan mengambil alih perjuangan Nabi. 

Bahkan pada awalnya beliau menawarkan ke Umar bin Khattab tapi 

Umar justru mengatakan kepadanya: bukalah kedua tanganmu wahai 

Abu Bakar, lalu Umar membaiat beliau bersama dengan para sahabat 

yang hadir pada saat itu. Nanti keesokan harinya barulah kemudian 

beliau dibaiat oleh para sahabat yang lain baik yang berasal dari 

Makkah (muhajirin) maupun penduduk asli Madinah (anshar).

7. Diriwayatkan oleh Abdul Malik bin Umair bahwa pernah suatu saat  

Umar bin Khattab mengatakan: barang siapa yang mempekerjakan 

seseorang semata-mata sebab  hubungan kekerabatan dan 

persahabatan maka sungguh ia telah menghianati Allah, rasul-

Nya dan orang-orang Mukmin. Diceritakan juga oleh Imran bin 

Sulaim bahwa Umar bin Khattab pernah berkata: barang siapa yang 

mempekerjakan seorang yang jahat, dan dia tahu bahwa itu orang 

jahat maka sesungguhnya orang ini  sama dengan dirinya.22 


HADIS TENTANG

KEPEMIMPINAN ORANG QURAIYS

 َ

Sukain bin Abdul Aziz mengatakan: Sayyar bin Salamah Abu 

al-Minhal telah menceritakan kepada kami bahwa dirinya telah 

datang/masuk bersama dengan bapakku ke Abarzah dan dikedua 

telingaku terdapat dua anting-anting karna waktu itu aku masih 

kecil. Nabi bersabda: Kekuasaan/pemerintahan dari Quraiys ada 

tiga selama mereka melakukan tiga hal. Selama mereka berkuasa 

mereka berlaku adil; dan jika dimintai kasih sayangnya maka 

mereka akan mengasihi; dan jika mereka berjanji maka mereka 

akan memenuhi janjinya. Barangsiapa di antara mereka yang 

tidak melakukan hal ini  maka Allah, malaikat; dan semua 

orang akan melaknatnya.


Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi bersabda: Para pemimpin 

dari Quraiys, sebab  jika mereka yang berkuasa/memimpin maka 

mereka adil, dan jika mereka berjanji maka mereka menepati 

janji; dan jika mereka dimintai untuk menyayangi maka mereka 

akan menyayangi.

ُ

Dari Anas bin Malik, Nabi bersabda: Para pemimpin dari Quraiys.

َ

Dari Ali, bahwasanya Nabi bersabda seperti yang aku ketahui: 

Dahulukanlah orang-orang Quraiys, dan janganlah engkau 

mendahuluinya, seandainya bukan sebab  keangkuhan orang-

orang Quraiys maka pasti aku akan menyampaikan kepadanya 

tentang kelebihan yang mereka miliki di sisi Allah.


Abdullah Ibnu Umar berkata: bahwa Nabi bersabda: Kekuasaan 

ini akan senantiasa dipegang orang-orang Quraiys selama masih 

ada dua orang manusia yang hidup.َ

Dari Muawiah, berkata: aku telah mendengar Nabi bersabda: 

Sesungguhnya perkara ini (kepemimpinan dan kekuasaan) 

hanyalah untuk kaum Quraiys, dan tidaklah seseorang memusuhi 

mereka kecuali Allah akan menyungkurkan wajahnya selama 

mereka (Quraiys) menegakkan agama.

Makna dan Kandungan Hadis

1. Berdasar pada hadis yang disebutkan di atas maka ulama Islam pada 

umumnya termasuk Ahlussunnah, semua sekte Syiah, sebagian besar 

kelompok Mu’tazilah, dan mayoritas Murjiah mengatakan bahwa 

seorang kepala negara di dalam literatur Islam harus berasal dari suku 

Quraiys.29 

2. Kelompok Khawarij secara keseluruhan mengatakan bahwa 

kepemimpinan tertinggi dalam suatu negara (imamah atau khilafah) 

bisa saja dijabat oleh selain kaum Quraiys. Mereka menyatakan bahwa 

Islam tidak membedakan seseorang baik dari sisi keturunannya, jenis 

ras dan sukunya, maupun warna kulitnya. Semuanya sama saja selama 

mereka konsisten dengan al-Qur’an dan hadis Nabi; dan memang 

layak untuk menjabat sebagai pemimpin. Mereka berdalil dengan satu 

riwayat yang disebutkan oleh Imam al-Bagdadi bahwa orang-orang 

Islam telah membai’at Nafi bin al-Azraq, al-Qatariy bin al-Fuja’ah, 

Najdah, dan Atiyah padahal mereka semua bukanlah keturunan 

Quraiys.30 Bahkan sebagian ulama dari kalangan Mu’tazilah misalnya 

Dirar bin Amru al-Gatfaniy mengatakan bahwa jika berkumpul dua 

calon pemimpin negara yang satunya berasal dari suku Quraiys dan 

yang lainnya yaitu  seorang Habasyah maka yang harus diutamakan 

yaitu  yang dari Habasyah sebab  sangat mudah dicopot bila 

melanggar aturan yang semestinya dipatuhi.31 Berbeda dengan tokoh 

Mu’tazilah yang lain seperti al-Ka’biy (Abu al-Qasim bin Muhammad 

al-Ka’biy wafat 319 H) mengatakan bahwa dalam kondisi stabil seorang 

dari suku Quraiys tetap harus didahulukan daripada yang lain, namun  

jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka boleh saja pemimpin tertinggi 

itu bukan dari kalangan Quraiys.

3. Sebagian ulama kontemporer seperti Abdul Aziz Izzat al-Khayyat33 

menjelaskan sebab perbedaan ulama Islam klasik tentang keharusan 

seorang pemimpin tertinggi dalam suatu negara dari kalangan 

Quraiys. Menurutnya, hadis yang mengatakan bahwa pemimpin harus 

dari kalangan Quraiys yaitu  sesuatu yang tidak dapat dipastikan 

terkait garis keturunan. Selain itu, hadis ini  bertentangan 

dengan hadis yang lain yang menyatakan bahwa orang-orang Islam 

itu semuanya sama. Bahkan hadis tentang kepemimpinan Quraiys 

hanya menunjukkan sebatas kemuliaan yang mereka miliki termasuk 

penyampaian kepada semua bahwa memang merekalah yang pertama 

kali memeluk Islam dan mendakwahkannya sebab  mereka sangat 

dekat dengan Nabi sejak awal turunnya wahyu.34 

4. Terlepas apakah hadis yang menunjukkan bahwa pemimpin di awal 

Islam harus berasal dari Quraiys dengan pemahaman secara tekstual, 

ataukah hadis ini  hanya berupa penegasan akan kemuliaan 

yang dimiliki orang-orang Qurays ketimbang yang lain dengan 

pemahaman secara kontekstual. namun  yang pasti yaitu  bahwa 

dalam suatu komunitas warga  mesti ada seorang pemimpin 

yang bertanggung jawab terhadap segala urusan warga  secara 

umum sesuai dengan pendapat mayoritas ulama seperti yang telah 

disinggung sebelumnya. 


HADIS TENTANG

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

َ

Dari Abu Bakarah, berkata: aku telah mendengar Nabi bersabda: 

Tidak akan beruntung suatu kaum menyerahkan/menyandarkan 

urusannya kepada seorang perempuan.

 َ

Dari Abu Bakarah, berkata: Allah telah memberi manfaat padaku 

dengan kalimat yang telah aku dengar dari Nabi sesudah  hampir 

saja aku bergabung bersama dengan ashabul jamal dan berperang 

bersama mereka. Suatu berita sampai kepada Nabi bahwa 

penduduk Persia telah mengangkat putri raja sebagai penguasa 

di tengah mereka. Nabi bersabda: Tidak akan beruntung suatu 

kaum menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan.

Makna dan Kandungan Hadis

1. berdasar  hadis di atas mayoritas ulama fiqh37 mengatakan bahwa 

perempuan tidak diperkenankan menjadi kepala negara. Salah satu 

alasannya yaitu  sebab  pemimpin tertinggi di dalam Islam bebannya 

sangat berat seperti memimpin pasukan militer saat  terjadi perang.38 

Di antara ulama yang mengatakan tidak boleh seorang perempuan 

menjadi pemimpin tertinggi dalam suatu negara ialah Imam Abu 

Hamid al-Gazali, Imam al-Qalqasyandi, dan Imam Ibnu Abidin.39 

Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer seperti Muhammad 

Abduh, dan Muhammad bin Tahir Ibnu Asyur. 

2. Sebagian yang lain mengatakan bahwa perempuan boleh saja 

menjadi kepala negara. Mereka memahami hadis ini  di atas 

dalam konteks tertentu dan kasuistik yakni saat  putri raja Persia 

menggantikan ayahnya sebagai penguasa. sebab  itu, mereka melihat 

bahwa hadis ini  di atas tidak berlaku secara umum.40

3. Yusuf Qardawi mengemukakan beberapa alasan terkait dengan 

tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin seperti kepala 

negara, 1) adanya faktor fisik dan naluri. Menurutnya, perempuan 

diciptakan untuk mengemban tugas keibuan, mengasuh, dan 

mendidik anak. Itulah sebabnya perempuan memiliki perasaan 

yang peka dan emosional. Dengan naluri kewanitaan ini, wanita 

biasanya menonjolkan perasaan emosi dari pada penalaran dan 

hikmah; 2) faktor kodrati. Perempuan tidak terlalu tepat memangku 

jabatan dalam urusan umum, sebab perubahan fisiknya selalu terjadi 


sebab  menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui anak. Semua 

ini membuat fisik, psikis, dan pemikiran perempuan tidak mampu 

mengemban tugasnya di luar rumah tangganya.41 

4. Bagi ulama yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi 

pemimpin tertinggi pada waktu yang sama mereka menjelaskan 

bahwa dalam kondisi tertentu jika ternyata ada seorang perempuan 

yang menjadi pemimpin tertinggi maka kepemimpinannya tetap 

dianggap sah namun  dianggap sebagai kepemimpinan darurat. Artinya, 

kepemimpinannya tetap diterima hanya saja bila memungkinkan 

secepatnya harus diadakan pemilihan kepala negara yang baru. 

5. Adapun jabatan perempuan sebagai hakim (Qadhi) oleh sebagian 

ulama diperbolehkan seperti Imam Ibnu Jarir Attabari dalam suatu 

riwayat. Menurutnya, perempuan boleh menjadi hakim dan dapat 

menangani semua perkara baik masalah perdata maupun masalah 

pidana. Laki-laki tidaklah menjadi syarat dalam masalah kehakiman, 

sebab  menurutnya perempuan bisa jadi mufti di mana tugas pokoknya 

yaitu  menjelaskan hukum-hukum agama, sementara hakim juga 

memiliki tugas yang sama. 

6. Sementara yang lain mengatakan bahwa perempuan juga tidak boleh 

menjabat sebagai hakim walau menangani kasus tertentu. sebab nya, 

mereka berpandangan bahwa seorang kepala negara jika mengangkat 

seorang perempuan menjadi hakim maka dianggap berdosa. namun  

bagaimana hukumnya jika seandainya pengangkatannya sudah 

terlanjur dan telah memutuskan perkara yang ada? Sebagian 

dari mereka mengatakan bahwa keputusannya tetap tidak boleh 

dilaksanakan walau dalam kasus tertentu. namun  di sisi lain para ulama 

Hanafiah berpandangan bahwa jika perempuan terlanjur diangkat 

sebagai hakim oleh penguasa tertinggi lalu ia memutuskan perkara 

yang berkaitan dengan masalah yang boleh baginya menjadi saksi 

maka keputusannya boleh dilaksanakan namun  yang mengangkatnya 

berdosa.42 sebab  itulah ulama Hanafiah tetap tidak membolehkan 

melaksanakan keputusan seorang hakim perempuan jika terkait 

dengan kasus pidana dan kriminal atau dalam bahasa fiqh disebut 

al-hudud wa addima’

7. Walau kepemimpinan perempuan dalam urusan tertentu seperti 

menjadi kepala negara telah dinyatakan tidak sah menurut mayoritas 

ulama. Namun di sisi lain, bukan berarti bahwa mereka sama sekali 

tidak boleh menjabat dalam urusan tertentu sebab  mereka juga 

diberi hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki, misalnya 

menjadi seorang ahli fatwa (mufti). Aisyah misalnya sebagai isteri 

Nabi, banyak sahabat yang belajar agama kepadanya sesudah  Nabi 

mengatakan kepada para sahabatnya: Ambillah setengah agamamu 

dari khumaira’ ini, yakni Aisyah. Bahkan pada masa pemerintahan 

Umar bin Khattab, seorang perempuan bernama al-Syifa yang 

memiliki kepandaian dalam tulis-menulis ditugasi oleh Umar untuk 

menjadi petugas khusus menangani pasar di Madinah. 

 


HADIS TENTANG 

MEREBUT KEKUASAAN DENGAN KUDETA

 

Dari Abdullah bin Amru bin Ash, mengatakan: Nabi bersabda: 

Barangsiapa yang telah membaiat (mengangkat) seorang 

pemimpin lalu ia menyerahkan urusan sepenuhnya kepadanya 

maka hendaklah ia menaatinya jika ia mampu. Dan jika datang 

yang lain merongrongnya (ingin mengambil kekuasaan itu 

darinya) maka tebaslah batang lehernya.

Makna dan Kandung Hadis

1. Seorang pemimpin yang merebut kekuasan dengan cara pemaksaan 

atau kudeta dalam fiqh siyasah disebut al-kahru wal-istiylaau. 

2. Kelompok Khawarij dan Mu’tazilah mengatakan bahwa pengangkatan 

seorang pemimpin hanya boleh dengan bai’at dan terlepas dari cara-

cara pemaksaan dan kekerasan


3. Para ulama ahlussunnah waljama’ah mengatakan bahwa seseorang 

yang merebut kekuasaan dengan cara pemaksaan dan kudeta 

hukumnya yaitu  sah. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: barang 

siapa yang mengalahkan suatu komunitas dengan pedang sehingga ia 

menjadi penguasa (khalifah) maka tidak boleh bagi siapa pun yang 

beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk tinggal di rumahnya 

kecuali ia harus mengakui orang ini  sebagai pemimpinnya.46 

Bahkan seandainya yang melakukan kudeta yaitu  perempuan lalu 

kemudian berhasil menjadi pemimpin maka kepemimpinannya juga 

dianggap sah.

4. Merebut kekuasaan dengan pemaksaan dan kudeta dianggap juridis 

sebab  dikhawatirkan terjadi pertumpahan darah antara yang 

dikudeta dan yang mengkudeta. Alasannya sebab  hukum agama 

harus dilaksanakan dan dibumikan; dan hal itu hanya dapat terlaksana 

bila ada yang memimpin.

5. Imam Nawawi pernah mengatakan bahwa pengangkatan seorang 

pemimpin dapat dilakukan dengan tiga cara termasuk dengan 

cara kudeta. Bila seorang pemimpin meninggal lalu kemudian ada 

seorang yang memenuhi syarat memaksa warga  dengan pasukan 

tentaranya maka kepemimpinannya dianggap sah. Jika yang memaksa 

itu tidak memenuhi syarat kepemimpinan misalnya ia seorang fasik 

maka kepemimpinannya dianggap sah.49 Walau kepemimpinannya 

disebut kepemimpinan darurat.50 Di samping itu kekuasaan ini  

juga dinamai khilafah gair kamilah51 atau hukumatu amril waki.52 

6. Merebut kekuasaan dengan cara kudeta dianggap sebagai pengecualian 

agar tidak terjadi fitnah dan pertumpahan darah yang lebih banyak. 

Imam Abu Hamid al-Gazali mengatakan bahwa addarurat tubiyhu 

almahzurat (sesuatu yang darurat membolehkan sesuatu tidak 

dibolehkan).

7. Sebagian sarjana Muslim mengatakan bahwa pencetus sistem ini 

di atas di dalam sejarah Islam yaitu  Muawiyah bin Abi Sufyan.

8. Dalam fiqh Islam semua ulama sepakat bahwa seorang non Muslim 

yang merebut kekuasaan tertinggi dengan cara kudeta tidak boleh 

dibiarkan. Artinya syarat “Islam” bagi seorang pemimpin dalam 

konteks agama merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar 

dan harus diberhentikan walau dengan kekuatan senjata.55

9. Agar kepemimpinan yang direbut dengan cara kudeta dapat diakui 

maka para ulama tata negara Islam menyatakan bahwa kekuasaan 

ini  dapat diterima dengan dua unsur utama yakni unsur waki’i 

(faktor kondisi dan kenyataan) dan unsur syar’i (faktor hukum agama). 

Unsur waki’iy dapat diartikan sebagai suatu kekuatan yang dimiliki 

oleh pemimpin yang merebut kekuasaan dengan cara kudeta. Dengan 

kekuatan ini , ia mampu menguasai semua wilayah kekuasaan 

yang masuk dalam kepemimpinannya. sebab  itu, bila ia tidak mampu 

mengendalikan semua wilayah yang ada dalam kekuasaannya maka 

ia dianggap pemberontak. Yang kedua yaitu  unsur syar’i yakni 

pengakuan warga  terkait dengan kepemimpinan itu sendiri. 

Hal ini dapat dilakukan dengan cara semua warga  menyatakan 

dukungannya kepada pemimpin ini  dengan membai’atnya 

sekalipun hanya sebatas formalitas.

HADIS TENTANG

MEMINTA JABATAN

 َ

Dari Abu Zar, mengatakan: wahai baginda Nabi, angkatlah aku 

sebagai pejabat, lalu ia mengatakan: Nabi memukulkan tangannya 

ke pundakku sambil mengatakan: “Wahai Abu Zar, aku melihatmu 

sangat lemah, dan sesungguhnya yang engkau minta itu yaitu  

amanah; dan sesungguhnya hal itu di hari kemudian yaitu  

kehinaan dan penyesalan kecuali yang mengambil/menjabatnya 

sebab  layak dan menunaikannya dengan baik dan sempurna.


Dari Abu Hurairah, mengatakan: Nabi bersabda: Sesungguhnya 

kalian akan sangat berambisi terhadap jabatan/kekuasaan, dan 

sesungguhnya jabatan/kekuasaan itu di hari kiamat akan menjadi 

kerugian dan penyesalan, maka sebaik-baiknya orang yaitu  yang 

menyusui, dan sejelek-jeleknya orang yaitu  yang berhenti/tidak 

menyusui lagi.

َ

Dari Abu Burdah, dari Abu Musa, mengatakan: aku bersama 

dengan dua dari anak pamanku telah masuk menemui Nabi, 

lalu salah satu dari keduanya mengatakan: wahai baginda Nabi, 

angkatlah kami sebagai pejabat dari beberapa jabatan yang 

diberikan oleh Allah padamu. Nabi mengatakan: Demi Allah, kami 

tidak mengangkat/memberi  jabatan ini kepada seseorang 

yang memintanya atau yang optimis terhadapnya.

Dari Abdurrahman bin Samurah, bahwasanya Nabi bersabda: 

Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta kepemimpinan. 

sebab  jika engkau diberi sebab  memintanya niscaya akan 

dibebankan kepadamu, dan tidak akan ditolong oleh Allah. namun  

jika diberikan kepadamu tanpa memintanya niscaya engkau akan 

ditolong oleh Allah. 

Makna dan Kandungan Hadis

1. Berdasar pada hadis di atas bahwa Nabi tidak gampang memberi  

suatu jabatan tertentu kepada sahabat apalagi jika mereka meminta 

seperti yang diceritakan oleh Abu Musa al-Asy’ari tentang kedua anak 

pamannya yang datang kepada Nabi. Selain itu juga misalnya Abu Zar 

al-Gifari saat  datang kepada Nabi agar diberi tugas khusus. Nabi pun 

mengatakan kepadanya aku melihatmu sangat lemah, pekerjaan itu 

yaitu  amanah; dan akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali 

bila menjabat sebab  layak dan menunaikannya dengan baik dan 

sempurna. sebab  itu, sebaiknya jabatan tidak diminta agar Allah 

selalu berkenan untuk memberi  petunjuknya untuk berbuat yang 

lebih baik.

2. Menjadi seorang pejabat memang menyenangkan apalagi jika jabatan 

itu sangat strategis, di samping dapat mengangkat derajat sosial 

seseorang di mata orang lain, juga dapat mendatangkan banyak materi. 

namun  pada waktu yang sama, jika seseorang tidak siap secara mental 

maka boleh jadi jabatan yang sedang ia emban akan menjadi petaka 

baginya akibat ketidakmampuannya untuk mengendalikan diri dari 

hal-hal yang dapat merusak seperti penyelewengan, menyalahgunakan 

wewenang, dan korupsi yang kemudian menggiring dirinya untuk 

berurusan dengan hukum.

3. Disebutkan dalam kitab fathul al-bari’ bahwa: “ambisi untuk 

memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan salah satu faktor 

yang dapat mendorong seseorang untuk saling membunuh. Hingga 

tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-

kemaluan wanita, yang kemudian memicu  terjadinya kerusakan 

yang besar di muka bumi”. 

4. Dalam syarah kitab riyadu assalihin disebutkan bahwa: “seseorang 

yang meminta jabatan biasanya sebab  ingin meninggikan dirinya di 

hadapan orang lain, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. 

Tentu saja tujuan seperti itu sangat tidak baik. sebab nya, balasan 

yang akan didapatkan ialah kalau dirinya tidak akan mendapatkan 

bagiannya di akhirat. sebab  itu, seseorang dilarang meinta jabatan”.

5. Disebutkan juga dalam kitab yang sama bahwa: “makna ucapan Nabi 

kepada sahabatnya Abu Zar al-Gifari yaitu  bahwa beliau melarang 

Abu Zar menjadi seorang pemimpin sebab  ia memiliki sifat lemah, 

sementara kepemimpinan membutuhkan seorang sosok yang kuat 

lagi terpercaya. Kuat sebab  ia memiliki kekuasaan dan perkataan 

yang dapat didengar dan ditaati, dan tentu saja seorang pemimpin 

yang kuat akan dapat menunaikan hak-hak Allah, dan tidak akan 

melampaui batas-batas-Nya”.

6. Dalam syarah sahih muslim, Imam Nawawi menjelaskan terkait 

dengan hadis yang berkaitan sahabat Nabi, Abu Zar al-Gifari. Beliau 

mengatakan: Hadis ini merupakan pokok yang mulia untuk menjauhi 

kepemimpinan ini . Adapun kehinaan dan penyesalan akan 

diperoleh oleh orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak 

pantas dengan kedudukan ini , atau ia mungkin pantas namun 

tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya sehingga Allah 

menghinakannya di hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan 

menyesali kesia-siaan yang dilakukannya. Berbeda dengan orang yang 

pantas menjadi pemimpin dan berlaku adil, maka akan mendapatkan 

keutamaan yang besar sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa 

hadis yang lain seperti: “ada tujuh golongan yang akan dilindungi oleh 

Allah di hari kiamat, di antaranya yaitu  pemimpin yang adil”. 

      

HADIS TENTANG 

TIDAK IKUT DALAM PEMILIHAN (GOLPUT)

َ

Dari Muawiyah berkata: aku mendengar Nabi bersabda: 

Barangsiapa yang meninggal dan ia tidak pernah memilih 

(mengangkat) seorang pemimpin maka matinya dianggap mati 

jahiliah.

َ

Dari Ibnu Umar mengatakan: aku telah mendengar Nabi bersabda: 

Barangsiapa yang meninggal tanpa Imam (pemimpin) maka ia 

mati seperti mati jahiliah; dan barangsiapa yang mencabut (tidak 

taat) kepada pemimpin maka ia di hari kiamat tidak memiliki 

hujjah (pembela).

َ

Dari Abdullah Ibnu Umar berkata: Abdullah Ibnu Umar 

datang kepada Abdullah Ibnu Muti’, sesudah  ia melihatnya, ia 

mengatakan: berilah Abdurrahman sebuah bantal. Lalu ia 

mengatakan: sesungguhnya aku datang bukan untuk duduk, 

namun  aku datang kepadamu untuk menyampaikan sebuah hadis 

yang aku dengarkan dari Nabi. Beliau bersabda: Barangsiapa yang 

mencabut (tidak taat) kepada pemimpin maka ia akan menemua 

Allah di hari kemudian dalam keadaan tidak ada hujjah (pembela); 

dan barangsiapa yang meninggal dan ia tidak pernah memilih 

(mengangkat) seorang pemimpin maka matinya dianggap mati 

jahiliah. 

Makna dan Kandungan Hadis

1. Pada dasarnya ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum 

mengangkat seorang pemimpin/presiden. Mayoritas ulama 

mengatakan bahwa mengangkat seorang pemimpin hukumnya 

wajib, baik dalam situasi aman tenteram, maupun dalam keadaan 

tidak aman atau genting. Pendapat kedua mengatakan bahwa 

mengangkat seorang pemimpin hukumnya tidak wajib dalam semua 

kondisi. Pendapat ketiga mengatakan bahwa mengangkat seorang    

pemimpin hukumnya wajib bila dalam keadaan kacau, namun  tidak 

wajib jika dalam situasi aman tenteram. Sedangkan pendapat keempat 

mengatakan bahwa mengangkat seorang pemimpin hukumnya wajib 

dalam keadan aman, dan tidak wajib jika dalam keadaan genting.64 

2. Melihat perbedaan di atas, pendapat yang paling kuat yaitu  

pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa mengangkat 

seorang pemimpin/presiden hukumnya wajib baik dalam situasi 

aman tenteram, maupun dalam keadaan tidak aman atau genting. 

Alasannya yaitu  sebab  kehidupan manusia tidak mungkin 

menjadi baik, aman, sejahtera dan saling menghargai satu sama 

lain kecuali dengan kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah 

mereka. Kehadiran seorang pemimpin akan sangat menentukan 

kesepahaman hidup dalam suatu komunitas warga  yang plural 

termasuk yang berkaitan dengan pemberlakuan hukum. Pendapat 

inilah yang kemudian diperpegangi oleh kebanyakan ulama termasuk 

para ulama Syiah, semua Murjiah, mayoritas Mu’tazilah, dan semua 

ulama Sunni. sebab  itu Nabi menyatakan bahwa barangsiapa yang 

meninggal tanpa pemimpin maka ia mati seperti mati jahiliah; dan 

barangsiapa yang tidak taat kepada pemimpin maka ia di hari kiamat 

tidak memiliki pembela.

3. Sebagian pakar mengatakan bahwa mengangkat seorang pemimpin 

semestinya diserahkan saja kepada para ahli dan profesional sebab  

merekalah yang dapat melihat lebih jauh siapa yang paling cocok. 

namun  kenyataannya justru diserahkan kepada semua orang yang 

telah memenuhi syarat secara hukum yang berlaku padahal belum 

tentu semuanya mengerti tentang siapa yang semestinya dipilih. Di 

sisi lain, adanya parlemen yang dijumpai di berbagai negara dewasa 

ini yang telah menampung para wakil-wakil rakyat yang kemudian 

diserahi kewenangan termasuk memilih pemimpin seperti yang 

masih berlaku di beberapa negara sekarang ini ternyata juga masih 

belum dapat dikatakan sebagai cara yang paling tepat walau wakil-

wakil ini  memenuhi kualifikasi serta pengetahuan politik yang 

mapan. Alasannya yaitu  anggota parlemen secara keseluruhan 

hanya mewakili sebagian besar warga  yang memilihnya 

sebab  yang lainnya tidak ikut berpartisipasi secara aktif. Akibatnya 

terjadi keberpihakan sebagian anggota parlemen baik terhadap 

partai yang diwakilinya maupun terhadap konsetuennya saja tanpa 

memperhatikan aspirasi orang-orang yang memang sejak awal 

tidak memilihnya.65 Selain itu, seringnya terjadi kecurangan dalam 

pemilihan di lain sisi, dan banyaknya hal-hal yang terjadi menyalahi 

regulasi yang telah ditetapkan terkait dengan proses pemilihan 

itu sendiri seperti money politik yang kesemuanya menjadi faktor 

terkikisnya nilai-nilai kejujuran baik pada diri si pemilih maupun pada 

diri yang dipilih. sebab nya sebagian sarjana Muslim melihat bahwa 

sistem pengangkatan seorang presiden dalam konteks pemerintahan 

modern seperti pemilihan secara langsung oleh rakyat, pemilihan 

melalui anggota parlemen, pemilihan melalui lembaga swadaya, atau 

dengan melalui lembaga khusus yang anggota-anggotanya berasal 

dari beberapa elemen warga  seperti yang pernah diberlakukan 

di Amerika tidak dapat dikatakan sebagai cara yang paling tepat dan 

ideal dengan alasan, antara lain:66 (1) tidak semua anggota warga  

memahami secara baik siapa yang paling layak dan tepat untuk 

diangkat menjadi pemimpin; (2) kalau pun ada yang memahami 

secara baik bahwa yang paling layak diangkat menjadi pemimpin 

yaitu  si A atau si B, namun  terkadang jumlahnya jauh lebih sedikit 

daripada yang tidak paham meski tingkat pemahaman ekonomi, 

politik, budaya dan peradaban bangsa ini  terbilang maju. 

4. Melihat kenyataan yang ada memang masih banyak anggota dari 

suatu elemen warga  tidak memahami secara baik arti dan 

tujuan pengangkatan seorang pemimpin sehingga sampai dewasa  

ini masih sering terjadi hal-hal yang tidak diharapkan terutama di 

negara yang masih terbilang sangat terbelakang dari segi ekonomi dan 

politik. Dengan demikian, dalam konteks fiqh, cara yang paling ideal 

dalam mengangkat seorang pemimpin yaitu  melalui orang-orang 

yang tidak diragukan kemampuannya, kejujurannya, loyalitasnya 

terhadap semua yang berkaitan dengan kepentingan warga . 

Mereka yaitu  orang-orang yang paling tepat untuk diserahi tugas 

mengangkat seorang pemimpin.

5. Golput merupakan sebuah fenomena politik yang sangat dipengaruhi 

oleh faktor, 1) golput muncul disebabkan sebab  adanya rasa kecewa 

yang diderita oleh sebagian warga  akibat harapan-harapan 

mereka seringkali tidak dipenuhi termasuk oleh lembaga eksekutif 

dan lembaga legislatif. sebab  itu mereka justru berkeyakinan bahwa 

partisipasi dalam suatu pemilihan tidaklah penting sebab  bisa jadi 

caleg-caleg yang ada tidak ada yang lebih dari yang lain. Sehingga 

menurut mereka, siapa pun yang naik hasilnya sama saja. Dengan 

begitu, mereka tidak akan maksimal bekerja untuk kepentingan rakyat, 

apalagi kepentingan agama. Bahkan sebab  fenomena seperti ini, tidak 

jarang di antara mereka ada yang menganggap bahwa berpartisipasi 

dalam pemilu yang tidak memberi  signfikansi yaitu  dosa besar 

sebab  menurut mereka sama halnya dengan berpartisipasi dalam 

sebuah tindak kejahatan. (2) munculnya golput sebab  dipicu oleh 

adanya kesadaran global bahwa partisipasi publik bukanlah sebuah 

kewajiban, namun  itu hanyalah hak rakyat semata.67 Alasan-alasan 

yang diungkapkan itu tentu saja kontradiksi dengan hadis-hadis yang 

disebutkan yang pada intinya menegaskan bahwa golput (golongan 

putih) dalam suatu pemilihan dianggap sebagai sesuatu yang tidak 

baik, bahkan haram hukumnya sebab  adanya ancaman yang begitu 

besar bagi pelakunya.

6. Golput sendiri oleh para pakar memiliki pengertian yang luas di 

antaranya: pertama: tidak menentukan pilihan. Kedua: mencoblos 

lebih dari satu pilihan. Ketiga: tidak memilih sebab n alasan sedang 

merantau. Tentu saja dari beberapa pengertian yang disebutkan 

tentang golput, Islam secara khusus menyikapi hal itu dengan 

penegasan bahwa golput merupakan indikasi ketidaktaatan seseorang 

kepada aturan yang ada. Bukankah Nabi sudah menjelaskan secara 

panjang lebar tentang pentingnya mengangkat seorang pemimpin. 

Bahkan al-Qur’an sendiri menyatakan dengan jelas bahwa: taatilah 

Allah dan rasul-Nya, dan ulil amri diantara kalian. (QS. Annisa: 59). 

Ulil amri dalam ayat ini  oleh kebanyakan ulama dimaksudkan 

sebagai pemerintah. sebab nya, mentaati aturan dan kebijakan 

pemerintah merupakn hal yang harus diindahkan selama aturan 

ini  tidak bertentangan secara transenden dengan nilai-nilai 

Islam itu sendiri.

7. Pada tahun 2009, Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam pertemuannya 

di Padang Panjang Sumatera Barat telah mengeluarkan fatwa tentang 

haramnya golput. Fatwa ini  didukung oleh beberapa MUI yang 

ada di beberapa daerah. sebab  itu, sebagai seorang muslim, dan 

sebagai warga negara yang baik tidak akan pernah mengambil sikap 

golput dalam setiap pesta demokrasi sebab  memilih dan mengangkat 

seorang pemimpin hukumnya wajib seperti yang telah dijelaskan. 

Dalam kaedah fiqh disebutkan: “mala yatimmul wajibu illa bihi fahuwa 

wajibun”. Sesuatu yang menjadi sempurna sebab nya, maka ia menjadi 

wajib. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sebuah negara akan 

sempurna bila memiliki seorang pemimpin, maka memilih seorang 

pemimpin hukumnya wajib alias tidak boleh golput. Itulah sebabnya 

sebagian pakar mengatakan bahwa negara tanpa pemerintah akan 

hancur, demikian kurang lebih yang pernah dikatakan oleh Syeh Said 

Muhammad Ramadhan al-Buthi ketua umum persatuan ulama bilad 

Syam (Suriah). 

      

HADIS TENTANG

PEMIMPIN yaitu  MANUSIA BIASA

َ

Dari Ali bin al-Husain, Nabi bersabda: Janganlah engkau sekalian 

mengangkat aku (derajat) melebihi hakku, sesungguhnya Allah 

telah menjadikan Aku sebagai hamba-Nya sebelum menjadikan 

Aku sebagai Nabi.

 

Sufyan mengatakan: telah sampai kepadaku bahwasanya Nabi 

bersabda: Janganlah engkau sekalian berlebihan memujiku 

seperti orang Nasrani memuji Isa Ibnu Maryam, namun  katakanlah: 

hamba Allah dan rasul-Nya.

َ

Dari Ibnu Mas’ud, seorang lelaki berbicara dengan Nabi pada 

hari fathu Makkah (pembebasan/pembukaan kota Makkah) lalu 

ia gemetar, maka Nabi mengatakan kepadanya: Santai saja, aku 

ini yaitu  anak seorang perempuan dari Quraiys yang memakan 

daging dendeng.

 َ

Dari Ummu Salamah, Nabi bersabda: Sesungguhnya aku yaitu  

manusia seperti kalian, dan sesungguhnya engkau sekalian 

mengadukan perkara kepadaku, maka semoga bukti di antara 

kalian jauh lebih baik dari yang lain sehingga aku dapat 

memutuskan perkaranya sesuai dengan yang aku dengar, maka 

barangsiapa yang perkaranya telah aku putuskan untuknya 

maka janganlah yang lain menuntutnya/mengambilnya 

sebab  sesungguhnya yang aku berikan padanya yaitu  bagian 

(potongan) dari api neraka.


Makna dan Kandungan Hadis

1. Berdasar pada hadis di atas dapat dipahami bahwa seorang pemimpin 

statusnya yaitu  manusia biasa. Mereka sama sekali tidak ada 

bedanya dengan warga nya. sebab  itu Nabi memberi  

pelajaran kepada para sahabatnya agar mereka tidak mengangkat 

Nabi ke derajat yang melebihi haknya, seperti yang telah dilakukan 

oleh orang-orang Nasrani terhadap Isa ibnu Maryam. Nabi hanyalah 

seorang hamba sebelum Allah mengangkatnya sebagai seorang Nabi. 

Seorang sahabat pernah berbicara dengan Nabi dengan gemetar, 

lalu Nabi mengatakan kepadanya: Biasa-biasa saja, aku ini hanyalah 

seorang anak dari seorang perempuan Quraiys yang juga memakan 

daging dendeng.

2. sebab  pemimpin juga yaitu  manusia biasa seperti yang lain maka ia 

pun harus tunduk kepada aturan dan hukum yang berlaku. sebab  itu, 

jika ia melanggar aturan yang ada maka ia pun harus dihukum seperti 

yang lain. Imam Ibnu Qudamah telah menjelaskan bahwa hukum 

qisas antara pemimpin dengan rakyat tetap berlaku. Hal yang sama 

ditegaskan oleh Imam al-Qurtubi kalau ulama sudah sepakat bahwa 

penguasa pun dihukum bila melakukan hal-hal yang mencederai 

rakyatnya. Itulah sebabnya mengapa para sahabat Nabi seperti Abu 

Bakar, Umar bin Khattab, dan Amru bin Ash menghukum para 

aparatnya yang telah melakukan kesalahan. Semua itu menandakan 

bahwa pemerintahan di dalam Islam bukan pemerintahan otoriter; 

dan seorang penguasa yaitu  manusia biasa sehingga tampuk 

kekuasaan yang diamanahkan kepadanya tidak bersifat absolut. 

3. sebab  pemimpin di dalam Islam yaitu  manusia biasa maka 

pemerintahan di dalam Islam juga disebut sebagai pemerintahan sipil 

dan bukan pemerintahan yang berbau ketuhanan atau biasa disebut 

dengan pemerintahan teokrasi. Teokrasi secara epistemologi yaitu  

suatu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh seseorang dengan 

mengatasnamakan Tuhan. Itulah sebabnya, seorang pemimpin 

mengklaim dirinya mendapatkan kekuasaan dari Tuhan. Islam sebagai 

agama memang sering dikaitkan dengan ke-Tuhanan yang apabila 

dilihat dalam konteks sistem kekuasaan, berhubungan erat dengan 

teokrasi. Walau demikian, pemerintahan Islam tidak dapat disebut 

dengan pemerintahan teokrasi seperti yang dikatakan oleh sebagian 

orientalis yang memaksa warga  untuk tunduk secara mutlak 

kepada penguasa.

4. Munculnya ide teokrasi untuk menggambarkan praktek mengenai 

sistem kekuasaan raja sekaligus mengklaim dirinya sebagai utusan 

Tuhan, jelmaan Tuhan, atau jelmaan para dewa yang bersifat 

supranatural.73 Akibatnya, semua perkataan raja dianggap identik 

dengan perkataan Tuhan yang tidak boleh dibantah. Raja dan 

keluarganya menjadi subjek yang suci yang tidak mungkin melakukan 

kesalahan sekecil apapun, “the king can do no wrong”. Hal seperti inilah 

yang berkembang di Eropa dan juga di seluruh dunia seperti dengan 

munculnya konsep ‘raja-dewa’ dalam tradisi Hindu di India, dan ‘raja-

pendeta’ dalam tradisi bangsa-bangsa Eropa yang apabila diilmiahkan 

biasa dikaitkan dengan doktrin teokrasi yang berlumur kekejaman 

dan penindasan terhadap rakyat

5. Sebagian pakar mengatakan bahwa pemerintah kerap melakukan 

legitimasi atas kebijakannya yang menyengsarakan rakyat dengan 

mengatasnamakan Tuhan. Hal ini terjadi di daratan Eropa pada 

abad pertengahan, dimana gereja mengatasnamakan Tuhan dalam 

mempertahankan “ideologi ketuhanan” mereka yang banyak 

merugikan orang lain. Mereka menganggap orang yang tidak sepaham 

dengan ‘ideologi ketuhanan’ mereka sebagai kaum heretics (kafir). 

Mereka melakukan penyiksaan, penganiayaan, dan bahkan sampai  

pada pembunuhan besar-besaran pada orang-orang yang tidak 

sepaham dengannya. 

6. Tentu saja teokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan tidak ada 

hubungannya dengan Islam, sebab Islam telah ada sekitar sepuluh 

abad sebelum adanya teori teokrasi yang lahir untuk menjustifikasi 

kekuasaan para raja-raja non Muslim di Eropa. Di dalam Islam, semua 

orang sama. Nabi sendiri tidak pernah mengklaim dirinya sebagai 

raja, bahkan dalam menjalankan dakwahnya penuh susah payah, dan 

sering mendapat intimidasi dari pihak Quraiys sehingga tidak heran 

bila Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Nabi harus dipatuhi bukan 

sebab  beliau seorang penguasa, akan namun  sebab  beliau yaitu  

utusan Allah untuk manusia (rasulullah ilannasi).

7. Muhammad Abduh mengatakan: khalifah di kalangan orang Muslim 

bukanlah seorang yang terjaga dari kesalahan dan dosa (ma’sum); 

dan bukan juga orang yang mendapatkan wahyu. Dengan dasar ini, 

agama tidak memberi  kekhususan kepada mereka, termasuk 

mengangkat mereka ke derajat tertentu. Mereka tidak ada bedanya 

dengan yang lain. Orang-orang hanya berbeda dengan kejernihan 

akalnya dan kebenarannya dalam hukum. Selain itu, ia hanya dapat 

ditaati selama mengindahkan nilai-nilai agama yang bersumber 

dari al-Qur’an dan hadis. Bila ia melenceng dari kedua nilai-ini  

maka orang-orang Islam harus menasehatinya. Orang-orang Islam lah 

yang mengangkatnya sebagai pemimpin, dan mereka pulalah yang 

memberhentikan dari jabatannya.

8. Mahmud Syaltut mengatakan bahwa seorang penguasa bukanlah 

orang yang terjaga dari kesalahan dan dosa; dan bukan juga orang 

yang mendapat wahyu; dan ia tidak memiliki kelebihan dalam melihat 

dan memahami sesuatu. Ia hanya dapat memberi nasehat dan arahan, 

menegakkan hukum sesuai dengan yang digariskan oleh Allah. Dalam 

tugasnya ia sebagai wakil umat, ditaati selama ia melaksanakan 

tugasnya sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh Allah; dan bila 

ia m