Kaum Muslimin sepakat bahwa hadis
merupakan sumber ajaran Islam kedua
sesudah Al-Qur’an. Banyak kita jumpai ayat
Al–Qur’an dan hadis yang memberi
pengertian bahwa hadis merupakan sumber
hukum Islam selain Al–Qur’an. Keduanya,
Al-Qur’an dan hadis merupakan dua sumber
hukum pokok syariat Islam yang tetap, dan
orang Islam tidak akan mungkin, bisa
memahami syariat Islam secara mendalam
dan lengkap tanpa kembali kepada kedua
sumber Islam ini . Seorang mujtahid dan
seorang ulama pun tidak diperbolehkan
hanya mencukupkan diri dengan mengambil
salah satu dari keduanya. Hadis itu sendiri
secara istilah adalah segala peristiwa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
baik perkataan, perbuatan dan apa yang
didiamkan nabi. Untuk Al-Qur’an semua
periwayatannya berlangsung secara
mutawatir. Sedangkan periwayatan hadis
sebagian berlangsung secara mutawatir dan
sebagian lagi berlangsung secara ahad.
Namun sangat disayangkan
keberadaan hadis yang benar-benar berasal
dari Rasulullah Saw, dinodai oleh munculnya
hadis-hadis maudhu (palsu) yang sengaja
dibuat-buat oleh orang-orang tertentu dengan
tujuan dan motif yang beragam, dan
disebarkan ditengah-tengah masyarakat oleh
sebagian orang dengan tujuan yang beragam
pula. Meyakini dan mengamalkan hadis
maudhu merupakan kekeliruan yang besar,
karena meskipun ada hadis maudlu yang
isinya baik, namun kebanyakan hadis palsu itu
bertentangan dengan jiwa dan semangat
Islam, lagi pula pembuatan hadis maudlu
merupakan perbuatan dusta kepada Nabi
Muhammad Saw.
Dari sinilah muncul berbagai
persoalan, karena sebagian orang berusaha
memanfaatkan hadis untuk kepentingan
diri sendiri. Mereka sengaja
mengatasnamakan Rasulullah untuk meraih
keuntungan dengan membuat hadis palsu
atau mawḍū’.
B. Hasil dan Pembahasan
1. Pengertian Hadis Maudhu’
Hadis mauḍū’ berasal dari dua suku
kata bahasa Arab yaitu al-Hadis dan al-
Mawḍū’. al-Hadis dari segi bahasa
mempunyai beberapa pengertian seperti baru
(al-jadīd) dan cerita (al-khabar). (Ajaj al-
Khatib, 2001, hal. 27).
Apabila dilihat dari segi bahasa, kata
maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari
kata عضو عيضي . Kata عضو memiliki
beberapa makna, antara lain:
(menggugurkan): اقسلٍاا ط
(meninggalkan) : كترلا (memalsukan dan
mengada-adakan) : ءاترفلٍاا و فلاتخلٍاا Arti
yang paling tepat disandarkan pada kata
al-Maudhu’ supaya menghasilkan makna
yang dikehendaki yaitu telah membuat. Oleh
karena itu maudhu’ (di atas timbangan isim
maf’ul –benda yang dikenai perbuatan)
mempunyai arti yang dibuat.
Adapun pengertian maudhu’ menurut
istilah ulama hadis yaitu:
وه ام بسن لىاٍ لوسرلا لص ى الله هيلع
و لس م اقلاتخاو و باذك اهم لم هلقي وأ هلعفي وأ
هرقي
Artimya: “Sesuatu yang dinisbahkan kepada
Rasulullah Saw dengan cara mengada-ada
dan dusta , yaitu yang tidak pernah beliau
sabdakan, beliau kerjakan maupun beliau
taqrirkan”. ( Ajaj Al-Khatib, Ushul al Hadist
1981:415)
Para ahli hadis mendefinisikan
bahwa Hadis Maudhu adalah: Hadis yang
diciptakan dan dibuat-buat oleh orang-orang
pendusta dan kemudian dikatakan bahwa itu
hadis Rasulullah Saw. (Subhi Shalih, Ulumul
hadts wa Musthalahuhu,: 263)
Dari pengertian di atas dapat kita
simpulkan bahwa Hadist maudhu’ adalah
segala sesuatu (riwayat) yang disandarkan
pada Nabi Muhammad Saw, baik perbuatan,
perkataan, maupun taqrir secara di buat-buat
atau disengaja dan sifatnya mengada-ada atau
berbohong. Tegasnya hadis maudhu adalanh
hadis yang diada-ada atau dibuat-buat (Ajaj
al-Khatib, Ushulul Hadis : 415).
Hadis semacam ini tentu saja tidak
benar dan tidak dapat diterima tanpa
terkecuali, sebab ini sesungguhnya bukan
hadis, tindakan demikian adalah merupakan
pendustaan terhadap Nabi Muhammad Saw.
yang pelakunya diancam dengan neraka. dan
hadis ini haram untuk disampaikan pada
masyarakat umum kecuali hanya sebatas
memberi penjelasan dan contoh bahwa
hadist ini adalah maudhu’ (palsu).
Hadis maudhu’ ini yang paling
buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif
lainnya. Ia menjadi bagian tersendiri diantara
pembagian hadis oleh para ulama yang
terdiri dari: shahih, hasan, dhaif dan
maudhu’. Maka maudhu’ menjadi satu
bagian tersendiri. (al-Qathan, 2005, 145).
Menamakan hadis maudhu -yang di
negara kita dikenal hadis palsu-dengan
sebutan hadis tidak menjadi masalah,
dengan sebuah catatan. Di antaranya, saat
menyampaikan hadis ini harus
diumumkan bahwa ia adalah hadis palsu.
Oleh sebab itu, berdasar istilah yang benar,
hadis maudhu’ tidak boleh dikategorikan
sebagai hadis walaupun disandarkan kepada
hadis dhaif.
2. Sejarah Kemunculan Hadis Maudhu’
Masuknya penganut agama lain
ke Islam, sebagai hasil dari penyebaran
dakwah ke pelosok dunia, secara tidak
langsung menjadi faktor awal dibuatnya
hadis-hadis maudhu’. Tidak bisa dipungkiri
bahwa sebagian dari mereka memeluk Islam
karena benar-benar ikhlas dan tertarik dengan
kebenaran ajaran Islam. Namun ada
juga segolongan dari mereka yang
menganut Islam hanya karena terpaksa
mengalah kepada kekuatan Islam pada masa
itu.
Golongan inilah yang kemudian
senantiasa menyimpan dendam dan dengki
terhadap Islam dan kaum muslimin.
Kemudian mereka menunggu peluang yang
tepat untuk menghancurkan dan
menimbulkan keraguan di dalam hati orang
banyak terhadap Islam.Peluang ini
terjadi pada masa pemerintahan Khalifah
Usman bin Affan (w.35H), yang memang
sangat toleran terhadap orang lain. Imam
Muhammad Ibnu Sirrin (33-110 H)
menuturkan, ”Pada mulanya umat Islam
apabila mendengar sabda Nabi Saw
berdirilah bulu roma mereka. Namun
sesudah terjadinya fitnah (terbunuhnya
Ustman bin Affan), apabila mendengar
hadis mereka selalu bertanya, dari manakah
hadis itu diperoleh? Apabila diperoleh dari
orang-orang Ahlsunnah, hadis itu diterima
sebagai dalil dalam agama Islam. Dan
apabila diterima dari orang-orang penyebar
bid’ah, hadis itu ditolak”. (Ya’kub, 2004, 82)
Terjadinya pertikaian politik yang
terjadi pada akhir masa pemerintahan
khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali
bin Abi Thalib merupakan awal adanya
benih-benih fitnah, yang memicu munculnya
pemalsuan hadis, namun pada masa ini belum
begitu meluas karena masih banyak sahabat
ulama yang masih hidup dan mengetahui
dengan penuh yakin akan kepalsuan suatu
hadist. Para sahabat ini mengetahui bahaya
dari hadist maudhu’ karena ada ancaman
yang keras dikeluarkan oleh Nabi SAW
terhadap orang yang memalsukan hadist,
Namun pada masa sesudahnya, yaitu pada
akhir pemerintahan Khalifah Bani Umayyah
pemalsuaan hadis mulai marak , baik yang
dibuat oleh ummat Islam sendiri,
maupunyang dibuat oleh orang diluar Islam.
Menurut penyaksian Hammad bin Zayyad
ada 14.000 hadis maudhu. Abdul Karim
al Auja mengaku telah membuat 4.000 Hadis
maudhu.
Terpecahnya ummat Islam menjadi
beberapa golongan politik dam keagamaan
menjadi pemicu munculnya hadis maudhu.
Masing-masing pengikut kelompok ada
yangberusaha memperkuat kelompoknya
dengan mengutip dalil dalil dari Al Qur’an
dan hadis, menafsirkan/men’ tawilkan Al
Qur’an dan hadis menyimpang dari arti
sebenarnya, sesuak denagan keinginan
mereka. Jika mereka tidak dapat menemukan
yang demikian itu maka membuat hadis
dengan cara mengada-ada atau berbohong
atas diri Rasulullah Saw. Maka muncullah
hadis-hadis tentang keutamaan para khalifah
(secara berlebihan) dan para pemimpin
golongan dan mazhab (Ajaj al Khatib : 416)
Menurut Subhi Shalih, hadis maudhu
mulai muncul sejak tahun 41 H, yaitu saat
terjadi perpecahan antara Ali bin Abi Thalib
yang didukung oleh penduduk Hijaz dan Irak
dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang
didukung oleh penduduk Syria dan Mesir,
Ummat Islam terbagi kepada beberapa
firqah: Syi’ah, Khawarij dan Jumhur. Karena
itu menurut Subhi Shaleh, bahwa tmbulnya
Firqah-firqah dan mazhab merupakan sebab
yang paling penting bagi timbulnya usaha
mengada –ada habar dan hadis.
Diantara orang yang memainkan
peranan dalam hal ini adalah Abdullah bin
Saba’, seorang Yahudi yang mengaku
memeluk Islam. Dengan berdalih membela
Sayyidina Ali dan Ahlul Bait, ia
berkeliling ke segenap pelosok daerah untuk
menabur fitnah.
Ia berdakwah bahwa Ali yang lebih
layak menjadi khalifah dari pada Usman
bahkan Abu Bakar dan Umar. Alasannya Ali
telah mendapat wasiat dari Nabi s.a.w. Hadis
palsu yang ia buat berbunyi: “Setiap Nabi itu
ada penerima wasiatnya dan penerima
wasiatku adalah Ali.” Kemunculan Ibnu Saba’
ini disebutkan terjadi pada akhir
pemerintahan Usman.
Untungnya, penyebaran hadis
maudhu’ pada waktu itu belum gencar
karena masih banyak sahabat utama yang
mengetahui dengan persis akan kepalsuan
sebuah hadis. Khalifah Usman sebagai
contohnya, saat tahu hadis maudhu’
yang dibuat oleh Ibnu Saba’, beliau
langsung mengusirnya dari Madinah. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Khalifah Ali
bin Abi Thalib.
Para sahabat tahu akan larangan
keras dari Rasulullah terhadap orang yang
membuat hadis palsu sebagaimana sabda
beliau: “Siapa saja yang berdusta atas
namaku dengan sengaja, maka dia telah
mempersipakan tempatnya di dalam neraka.
(Abu Syahbah, 1988, 20)
”Meski begitu, kelompok ini
terus mencari peluang yang ada,
terutama sesudah pembunuhan Khalifah
Usman. Dari sini muncullah kelompok-
kelompok tertentu yang ingin menuntut
balas atas kematian Usman dan kelompok
yang mendukung Ali, maupun yang tidak
memihak kepada kedua kelompok
ini . Dari kelompok inilah
kemudian menyebabkan timbulnya hadis-
hadis yang menunjukkan kelebihan
kelompok masing-masing untuk
mempengaruhi orang banyak.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Tawus bahwa pernah suatu saat
dibawakan kepada Ibnu Abbas suatu buku
yang di dalamnya berisi keputusan-
keputusan Ali. Ibnu Abbas kemudian
menghapusnya kecuali sebagian (yang tidak
dihapus). Sufyan bin Uyainah menafsirkan
bagian yang tidak dihapus itu sekadar sehasta.
Imam al-Dzahabi juga
meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr,
katanya: “Aku mendengar Ali berkata di
Siffin: Semoga Allah melaknati mereka
(yaitu golongan putih yang telah
menghitamkan) karena telah merusak
hadis -hadis Rasulullah.”
Menyadari hal ini, para sahabat
mulai memberi perhatian terhadap
hadis yang disebarkan oleh seseorang.
Mereka tidak akan mudah menerimanya
sekiranya ragu akan kesahihan hadis itu.
Imam Muslim dengan sanadnya
meriwayatkan dari Mujahid (w.104H)
sebuah kisah yang terjadi pada diri Ibnu
Abbas : “Busyair bin Kaab telah datang
menemui Ibnu Abbas lalu menyebutkan
sebuah hadis dengan berkata “Rasulullah
telah bersabda”, “Rasullulah telah
bersabda”. Namun Ibnu Abbas tidak
menghiraukan hadis itu dan juga tidak
memandangnya. Lalu Busyair berkata
kepada Ibnu Abbas “Wahai Ibnu Abbas !
Aku heran mengapa engkau tidak mau
mendengar hadis yang aku sebut. Aku
menceritakan perkara yang datang dari
Rasulullah namun engkau tidak mau
mendengarnya. Ibnu Abbas lalu menjawab:
“Kami dulu apabila mendengar seseorang
berkata “Rasulullah bersabda”, pandangan
kami segera kepadanya dan telinga-telinga
kami kosentrasi mendengarnya. namun
sesudah orang banyak mulai melakukan yang
baik dan yang buruk, kita tidak menerima
hadis dari seseorang melainkan kami
mengetahuinya.”
Sesudah zaman sahabat, terjadi
penurunan dalam penelitian dan kepastian
hadis. Ini menyebabkan terjadinya
periwayatan dan penyebaran hadis yang
secara tidak langsung turut menyebabkan
berlakunya pendustaan terhadap Rasulullah
dan sebagian dari sahabat. Ditambah
lagi dengan konflik politik umat Islam yang
semakin hebat, telah membuka peluang bagi
golongan tertentu yang coba mendekatkan
diri dengan pemerintah dengan cara
membuat hadis.
Sebagai contoh, pernah terjadi
pada zaman Khalifah Abbasiyyah, hadis-
hadis maudhu’ dibuat demi mengambil
hati para khalifah. Diantaranya seperti
yang terjadi pada Harun al-Rasyid, di
mana seorang lelaki yang bernama Abu
al-Bakhtari (seorang qadhi) masuk
menemuinya saat ia sedang menerbangkan
burung merpati. Lalu ia berkata kepada Abu
al-Bakhtari : “Adakah engkau menghafal
sebuah hadis berkenaan dengan burung ini?
Lalu dia meriwayatkan satu hadis,
katanya: “Bahwa Nabi Shaalaluulahu alai
wa salam selalu menerbangkan burung
merpati.” Harun al-Rasyid menyadari
kepalsuan hadis ini lalu
menghardiknya dan berkata: “Jika engkau
bukan dari keturunan Quraisy, pasti
aku akan mengusirmu.” (Abu Syahbah, 23)
Peristiwa seperti ini juga terjadi
di zaman Khalifah al-Mahdi (W.169H)
di mana ada seorang lelaki bernama
Ghiyath bin Ibrahim masuk menemui
khalifah yang sedang bermain dengan
burung merpati. Lalu Ghiyath
meriwayatkan satu hadis kepada khalifah:
“Tidak ada pertandingan melainkan pada
anak panah atau kuda atau burung.” Dia
sebenarnya telah menambah ‘atau burung’
untuk mengambil hati Khalifah al-Mahdi.
Diriwayatkan bahwa Khalifah al-Mahdi
berkata kepada Ibrahim saat dia
melangkah keluar: “Aku bersaksi bahwa
belakang tengkukmu adalah tengkuk
seorang pendusta.” Selepas itu khalifah
memerintahkan supaya menyembelih
burung itu. Pendustaan dalam hadis ini
hanya terjadi pada lafaz yang akhir saja
(atau burung). Lafaz-lafaz hadis yang lain
thabit (sah) karena diriwayatkan oleh Imam
Ahmad (W.241H) dan ashab sunan-sunan
yang lain.
Tahap penyebaran hadis-hadis
maudhu’ pada zaman ini masih sedikit
dibanding zaman-zaman berikutnya. Ini
karena masih banyak para tabiin yang
menjaga hadis-hadis dan menjelaskan
mana yang lemah dan yang sahih. Ini
juga karena zaman mereka masih
dianggap hampir sama dengan zaman Nabi
SAW dan disebut oleh beliau sebagai
diantara sebaik-baik zaman. Pengajaran-
pengajaran serta wasiat dari Nabi masih
segar dikalangan para tabaiin yang
menyebabkan mereka dapat mengetahui
kepalsuan sebuah hadis.
3. Penyebab Munculnya Hadist Maudhu’
Bertitik tolak dari hadis-hadis
maudhu yang tersebar, nampaknya motivasi
dan tujuan pembuatan hadis maudhu
bervariasi, diantaranya :
a. Faktor Politik
Pertentangan di antara umat Islam
timbul sesudah terjadinya pembunuhan
terhadap khalifah Utsman bin Affan oleh
para pemberontak dan kekhalifahan
digantikan oleh Ali bin Abi Thalib
menyebabkan Umat Islam pada masa itu
terpecah-belah menjadi beberapa
golongan, seperti golongan yang ingin
menuntut bela terhadap kematian khalifah
Utsman dan golongan yang mendukung
kekhalifahan Ali (Syi’ah). sesudah perang
Siffin, muncul pula beberapa golongan
lainnya, seperti Khawarij dan golongan
pendukung Muawiyyah, masing-masing
mereka mengklaim bahwa kelompoknya
yang paling benar sesuai dengan ijtihad
mereka, masing- masing ingin
mempertahankan kelompoknya, dan
mencari simpati massa yang paling besar
dengan cara mengambil dalil Al-Qur’an
dan Hadist. Jika tidak ada dalil yang
mendukung kelompoknya, mereka
mencoba mentakwilkan dan memberi
interpretasi (penafsiran) yang terkadang
tidak layak. Sehingga mereka membuat
suatu hadist palsu seperti Hadist - Hadist
tentang keutamaan para khalifah,
pimpinan kelompok, dan aliran-aliran
dalam agama. Yang pertama dan yang
paling banyak membuat hadist maudhu’
adalah dari golongan Syi’ah dan Rafidhah.
Kelompok syi’ah membuat hadis tentang
wasiat nabi bahwa Ali adalah orang yang
paling berhak menjadi khalifah sesudah
beliau dan mereka menjatuhkan orang-
orang yang dianggap lawan-lawan
politiknya, yaitu Abu Bakar, Umar, dan
lain-lain. Diantara hadis maudlu ini :
ييصو و عقوم يرس و تيفيلخ في يلهأ
يرخ نم فلخأ يدعب يلع
Artinya: “Yang menerima
wasiatku, dan yang menjadi tempat
rahasiaku dan penggantiku dari
keluargaku adalah Ali.
Di pihak Mu’awiyah ada pula
yang membuat hadis maudhu sebagai
berikut:
ءانملاا دنع ةللا لاث هث ناا ليبرجو اعمو هيو
Artinya: “ Orang yang dapat
dipercaya disisi Allah ada tiga yaitu: Aku,
Jibril dan Mu’awiyah”.
b. Faktor Kebencian dan permusuhan
Keberhasilan dakwah Islam
myebabkan masuknya pemeluk agama
lain kedalam Islam, namun ada diantara
mereka ada yang masih menyimpan
dendam dan sakit hati melihat kemajuan
Islam. Mereka inilah yang kemudian
membuat hadis-hadis maudhu. Golongan
ini terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi,
Majusi, dan Nasrani yang senantiasa
menyimpan dendam dan benci terhadap
agama Islam. Mereka tidak mampu untuk
melawan kekuatan Islam secara terbuka
maka mereka mengambil jalan yang
buruk ini, yaitu menciptakan sejumlah
hadist maudhu’ dengan tujuan merusak
ajaran Islam dan menghilangkan
kemurnian dan ketinggiannya dalam
pandangan ahli fikir dan ahli ilmu.
Diantara hadis yang dibuat kelompok ini
yaitu:
رَظَّنلا ََلىإِ َِهجْوَلا َِليْمَِلجا ةدَابَعِ
Artinya: “Melihat (memandang)
kepada muka yang indah, adalah ibadat”.
ابَلْا ََْ ْْ نْذِجنا ءافَشِ ك ل ٍَءىْشَ
Artinya: “Buah terong itu,
penawar bagi segala penyakit”.
Ada yang berpendapat bahwa
faktor ini merupakan faktor awal
munculnya hadist maudhu’. Hal ini
berdasarkan peristiwa Abdullah bin Saba’
yang mencoba memecah-belah umat
Islam dengan mengaku kecintaannya
kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bukti
bahwa ia adalah seorang Yahudi yang
berpura-pura memeluk agama Islam. Oleh
sebab itu, ia berani menciptakan hadist
maudhu’ pada saat masih banyak sahabat
ulama masih hidup.
Berikut ada beberapa tokoh
terkenal yang membuat hadist maudhu’
dari kalangan orang zindiq ini, adalah:
1) Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah
membuat sekitar 4000 hadist
maudhu’tentang hukum halal haram,
ia membuat hadis untuk
menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Akhirnya,
ia dihukum mati olen Muhammad
bin Sulaiman, Walikota Bashrah.
2) Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub,
yang dihukum bunuh oleh Abu Ja’far
Al-Mashur.
3) Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang
akhirnya dihukum mati oleh Khalid
bin Abdillah.
c. Faktor Kebodohan
Ada golongan dari ummat Islam
yang suka beramal ibadah namun kurang
memahami agama, mereka membuat at
hadist-hadis maudlu (palsu) dengan tujuan
menarik orang untuk berbuat lebih baik
dengan cara membuat hadis yang berisi
dorongan-dorongan untuk meningkatkan
amal dengan menyebutkan kelebihan dan
keutamaan dari amalan tertentu tanpa
dasar yang benar melalui hadist targhib
yang mereka buat sendiri. Biasanya hadis
palsu semacam ini menjanjikan pahala
yang sangat besar kepada perbuatan kecil.
Mereka juga membuat hadis maudhu
(palsu) yang berisi dorongan untuk
meninggalkan perbuatan yang
dipandangnya tidak baik dengan cara
membuat hadis maudhu yang memberi
ancaman besar terhadap perbutan salah
yang sepele.
Diantaranya hadis palsu itu :
لضفا ميالاا موي ةفرع اذا قفاو موي ةعملجا وهو
لضفا نم ينعبس ةجح في يرغ ةعجم
Artinya: “Seutama-utama hari
adalah hari wukuf di Arafah, apabila
(hari wukuf di arafah) bertepatan dengan
hari jum’at, maka hari itu lebih utama
daripada tujuh puluh haji yang tidak
bertepatan dengan hari jum’at.”
Menurut Al-Qur’an yang
dimaksud haji akbar adalah ibadah haji itu
sendiri ( Al-Qur’an Surah At-taubah : 3)
dengan pengertian bahwa ibadah umrah
disebut dengan haji kecil. Hadis maudhu
itu dibuat oleh muballig/guru agama yang
ingin memberi nilai lebih kepada ibadah
haji yang wukufnya bertepatan dengan
hari jum’at.
d. Fanatisme yang keliru
Sikap sebagian penguasa Bani
Umayah yang cenderung fanatisme dan
rasialis, telah ikut mendorong kalangan
Mawali untuk membuat hadis-hadis palsu
sebagai upaya untuk mempersamakan
mereka dengan orang-orang Arab.
Misalnya:
ضغبا ملاكلا لىإ الله ةيسرافلا… ملاكو لهأ
ةنلجا ةيبرعلا
Artinya: “Percakapan yang
paling dimurkai Allaha dalah bahasa
Persia dan bahasa penghuni surga adalah
bahasa Arab”
Selain itu, Fanatisme Madzhab
dan Teologi juga menjadi faktor
munculnya hadis palsu, seperti yang
dilakukan oleh para pengikut Madzhab
Fiqh dan Teologi, diantaraya:
نم عفر هدي في عوكرلا لاف ةلاص هل
Artinya: “Barang siapa yang
mengangkat tangannya saat ruku’, maka
tiadalah shalat baginya”
Hadis ini diduga dibuat oleh
pengikut mazhab yang tidak mengangkat
tangan saat ruku’.
e. Faktor Popularitas dan Ekonomi
Sebagian tukang cerita yang ingin
agar apa yang disampaikan nya menarik
perhatian orang, dia berusaha
mengumpulkan orang dengan cara
membuat hadis-hadis palsu yang
membuat masyarakat suka dan tertarik
kepada mereka, menggerakkan keinginan,
juga memberi harapan bagi mereka.
Misalnya:
نم لاق هلإلآ لاإ الله, قلخ الله نم ك ل ةملك
اط ارئ, هراقنم نم بهذ هشيرو نم ناجرم
Artinya: “Barang siapa membaca
la ilaha illallah, niscaya Allah
menjadikan dari tiap-tiap kalimatnya
seekor burung, paruhnya dari emas dan
buahnya dari marjan”.
Demikian juga para pegawai dan
tokoh masyarakat yang ingin mencari
muka (menjilat ) kepada penguasa
membuat hadsi-hadis maudhu untuk
tujuan supaya lebih dekat dengan
penguasa agar mendapatkan fasilitas
tertentu atau popularitas saja. Misalnya
Ghiyadh Ibn Ibrahim saat datang
kepada khalifah Al Mahdi yang pada saat
itu sedang mengadu burung merpati,
Ghiyadh memalsukan hadis berikut:
لا قبس إ لا في ليصن وأ ح ف وأ رفاح
حانجوا
Artinya: “Tidak ada perlombaan
kecuali pada panah, unta kuda dan urung”
Kata “ Janah” adalah tambahan
yang dibuat oleh Ghiyadh untuk menarik
simpati dari Khalifah al Mahdi. Para
pedagang barang-barang tertentu juga
membuat hadis- hadis palsu tentang
keutamaan barang dagangannya misalnya.
كيدلا ضيبلاا بييبح بيبحو بييبح ليبرج
" Artinya: Ayam putih adalah
kekasihku dan kekasih oleh kekasihku
Jibril”
Hasbi Assiddiqy menjelaskan
bahwa golongan yang membuat hadis
maudhu itu ada sembilan golongan yaitu:
1) Zanadiqah (orang orang zindiq)
2) Penganut-penganut bid’ah.
3) Orang-orang dipengaruhi fanatik
kepartaian
4) Orang-orang yang ta’ashshub kepada
kebangsaan, kenegerian dan
kkeimanan.
5) Orang-orang yang
dipengaruhta’ashshub mazhab.
6) Para Qushshas ( ahli riwayat
dongeng).
7) Para ahli TaSawuf zuhhad yang
keliru.
8) Orang-orang yang mencarai
pengahrgaan pembesar negeri.
9) Orang –orang yang ingin
memegahkan dirinya dengandapat
meriwayatkan hadis yang diperoleh
orang lain. ( Hasbi Ashshiqqiqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis:
255)
4. Ciri-ciri Hadis Maudhu’
Indikasi ke-maudhu’an hadist
adakalanya berkaitan dengan rawi/ sanad dan
mungkin pula berkaitan dengan matan.
a. Ciri yang berkaitan dengan rawi
/sanad:
(1) Periwayatnya dikenal sebagai
pendusta, dan tidak ada jalur lain yang
periwayatnya tsiqoh meriwayatkan
hadist itu. Misalnya, saat saad ibn
Dharif mendapati anaknya pulang
sekolah sedang menangis dan
mengatakan bahwa dia dipukul
gurunya, maka Saad ibn Dharif
berkata : Bahwa Nabi Saw bersabda:
Artinya: "Guru anak kecil itu adalah
yang paling jahat diantara kamu,
merekka paling sedikit kasih
sayangnya kepada anak yatim dan
paling kasar terhadap orang miskin."
Al Hafdz Ibnu Hibban mengatakan
bakwa Saad ibn Dharif adalah seorang
pendusta/ pemalsu hadis. ( Mustahafa
Zahri, Kunci memahami Musthalahul
Hadis : 101)
(2) Periwayatnya mengakui sendiri
membuat hadist ini . Maisarah ibn
Abdirrabih al Farisi mengaku bahwa
dia telah membuat hadis maudhu
tentang keutamaan Al Qur’an, dan ia
juga mengaku membuat hadis maudhu
tentang keutamman Ali ibn Abi
Tahalib sebanyak 70 buah hadis.
(3) Ditemukan indikasi yang semakna
dengan pengakuan orang yang
memalsukan hadist, seperti seorang
periwayat yang mengaku
meriwayatkan hadist dari seorang guru
yang tidak pernah bertemu dengannya.
Karena menurut kenyataan sejarah
guru ini dinyatakannya wafat
sebelum ia sendiri lahir. Misanlnya,
Ma’mun ibn Ahmad al Harawi
mengaku mendengar hadis dari
Hisyam ibn Hammar. Al hafiz ibn
Hibban menanyakan kapan Ma’mun
datang ke Syam? Ma’mun menjawab:
tahun 250. Maka ibnu Hibban
mengatakan banwa Hisyam ibn
Ammar wafat tahun 254. Ma’mun
menjawab bahwa itu Hisyam ibn
Ammar yang lain.
b. Ciri-ciri yang berkaitan dengan
Matan
Kepalsuan suatu hadis dapat
dilihat juga pada matan, berikut ciri-
cirinya:
(1) Kerancuan redaksi atau
Kerusakan maknanya.
(2) Berkaitan dengan kerusakan
makna ini , Ibnu Jauzi
berkata: Saya sungguh malu
dengan adanya pemalsuan hadis.
Dari sejumlah hadis palsu, ada
yang mengatakan: “ Siapa yang
salat, ia mendapatkan 70 buah
gedung, pada setiap gedung ada
70.000 kamar, pada setiap kamar
ada 70 000 tempat tidur, pada
setiap tempat tidur ada 70 000
bidadari. Perkataaan ini adalah
rekayasa yang tak terpuji.
(3) sesudah diadakan penelitian
terhadap suatu hadis ternyata
menurut ahli hadis tidak ada
dalam hafalan para rawi dan
tidak ada dalam kitab-kitab
hadis. Misalnya perkataan yang
berbunyi:
الله ذخا قاثيلما يلع لك
نمؤم نا ضغبي ىلع انم قف يلعو
لك انم قف نا نا ضغبي لك نمؤم
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah
mengambil Janji kepada setiap
orang mukmin untuk membenci
kepada setiap munafik, dan
kepada setiap munafik untuk
membenci kepada setiap
mukmin”
(4) Perkataan diatas tidak diketahui
sumbernya. Hadisnya menyalahi
ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan, seperti ketentuan akal,
tidak dapat ditakwil, ditolak oleh
perasaan, kejadian empiris dan
fakta sejarah. Misalnya
perkataan yang berbunyi:
اذا سشطع لجرلا دنع ثيدلحا
ليلدوهف هقدص
Artinya “Jika seseorang
bersin saat membacakan suatu
hadis, maka itu menandakan
bahwa pembicaraanya benar”
(5) Hadisnya bertentangan dengn
petunjuk Al-Quran yang pasti.
Misalnya:
دلو نازلا لخديلا ةنلجا ليا ةعيس ءانبا
Artinya: “ Anak zina
tidak masuk syurga hingga tujuh
turunan”
Hadis ini
bertentangan dengan ayat Al
Qur’an: Artinya: “dan seorang
yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain[526].
Kemudian kepada Tuhanmulah
kamu kembali, dan akan
diberitakan-Nya kepadamu apa
yang kamu perselisihkan."(QS
Al An’am :164)
Musthafa Assiba’i memuat tujuh
macam ciri Hadis palsu yaitu:
(1) Susunan Gramatikanya sangat jelek.
(2) Maknanya sangat bertentangan
dengan akal sehat.
(3) Menyalahi Al qur’an yang telah jelas
maksudnya.
(4) Menyalahi kebenaran sejarah yang
telah terkenal di zaman Nabi Saw.
(5) Bersesuaian dengan pendapat orang
yang meriwayatkannya, sedang
orang ini terkenal sangat fanatic
terhadap mazhabnya.
(6) Mengandung suatu perkara yang
seharusnya perkara ini
diberitakan oleh orang banyak, namun
ternyata diberitakan oleh seorang
saja.
(7) Mengandung berita tentang perberian
pahala yang besat untuk perbuatan
kecil, atau ancaman siksa yang berat
terhadap suatu perbuatan yang tidak
berarti (Syuhudi Ismail : 178).
Menurut Hasbi Ashshddiqy, ciri
Hadis palsu apabila:
(1) Maknanya berlawanan dngan hal-hal
yang mudah dipahami.
(2) Berlawanan dengan ketentuan umum
dan akhlak atau menyalahi kenyataan.
(3) Berlawanan denga ilmu kedokteran.
(4) Menyalahi peraturan- peaturan akal
terhadap Allah.
(5) Menyalahi ketentuan Allah dalam
menjadikan alam.
(6) Mengandung dongengan- dongengan
yang tidak dibenarkan akal.
(7) Menyalahi keterangan Al Qur’an
yang terang tegas.
(8) Menyalahi kaedah umum.
(9) Menyalahi hakikat sejarah yang telah
terkenal dimasa Nabi Saw.
(10) Sesuai dengan mazhab yang
dianut perawi, sedang perawi itu orang
sangat fanatik mazhabnya.
(11) Menerangkan urusan yang
seharusnya kalau ada dinukilkan oleh
orang banyak.
(12) Menerangkan pahala yang
sangat besar terhadap suatu
perbuatan kecil atau siksaan yang
amat besar terhadap suatu amal yang
tak berarti: (Hasbi Ashshiddiqy,
pokok-pokok ilmu Dirayah
Hadis: .369-374)
5. Hukum Meriwayatkan Hadist
Maudlu
Diharamkan meriwayatkan hadis
maudhu dengan menyandarkannya kepada
Nabi Saw, kecuali hanya memberi contoh
tentang hadis maidlu dengan menjelaskan
kepalsuannya.Kerena meriwayatkan hadis
maudlu adalah satu bentuk dusta kepa nabi
Saw. Nabi Saw bersabda:
.» َْنمَوَ ََبذَكَ ََّيلَعَ ََتم ََع ادًم ََف ََبتَ َيلْ ََّو َأْ
هدَعَقْمَ ََنمِ لا َِر َّنا
Artinya: “Siapa yang berdusta
terhadapku dengan sengaja maka hendaklah
dia menempati tempatnya di neraka ”(HR.
Bukhari)
Keharaman meriwayatkan hadis
Maudhu ini, berlaku pada semua keadaan,
baik yang berkaitan dengan hal hukum,
certera, targhib-tarhib (dorongan kebaikan,
ancaman keburukan) juga yang berkaitan
dengan lainnya. Nabi Saw bersabda:
َْنمَ ََثَّدحَ ٍَثيدَِبِِ ََو ََوه ي ى َْ رَ هَّنَأ َِذكَ ،ب
ََف ََوه ََحأَ د ا ََّذكَلْ ينبِا
Artinya: “Siapa yang
menceriterakan suatu hadis (tentang aku)
dan dia tahu bahwa itu dusta, maka dia
termasuk golongan pendusta”(HRAhmad :
18211)
6. Penanggulangan dan pemberantasan
Hadis Maudhu
Para ulama mengambil langkah yang
sangat baik untuk memberantas dan
memerangi pemalsu hadi serta berusaha
menanggulangi dan menghindarkan bahaya
para pemalsu hadis.Untuk itu, mereka
menggunakan berbagai cara yang sangat baik
diantaranya sebagai berikut:
a. Meneliti karakteristik para rawi
dengan mengamati tingkah laku dan
riwayat mereka.
b. Memberi peringatan keras kepada
para pendusta dan mengungkap
kejelekan mereka, dengan
mengumumkan kedustaan mereka
kepada para pemuka masyarakat.
c. Pencarian sanad hadis, sehingga
mereka tidak menerima hadis yang
tidak bersanad, bahkan hadis yang
demikian mereka anggap sebagai
hadis yang batil.
d. Menguji kebenaran hadis dengan
membandingkannya dengan riwayat
yang melalui jalur lain dan hadi-
hadis yang telah diakui
keberadaannya.
e. Menetapkan pedoman-pedoman
untuk mengungkapkan hadis
maudhu’.
f. Menyusun kitab himpunan hadis-
hadis maudhu’ untuk memberi
penerangan dan peringatan kepada
masyarakt tentang keberadaan hadis-
hadis ini .
7. Akibat Munculnya Hadis Maudhu
Tersebarnya hadis Maudlu di tengah-
tengah masyarakat, meskipun ada hadis
maudlu yang isinya baik , namun banyak
diantaranya yang membawa dampak negative
(akibat) antara lain:
a. Menimbulkan dan mempertajam
perpecahan di kalangan ummat Islam.
Suatu mazhab/golongan yang
diserang oleh pihak / golongan lain dengan
menggunakan hadis palsu, berusaha membela
dan mempertahankan kelompoknya, dan
bahkan dengan balas menyerang kelompok
penyerangnya dengan membuat hadis palsu
juga. Akibatnya terjadilah saling menyerang
dan merendahkan. Ini berakibat pada
semakin tajamnya perpecahan dikalangan
ummat Islam.
Tajamnya pertentangan ini tentu
akan melemahkan persatuan dan kesatuan
ummat Islam dan bahkan dapat
mengakibatkan ummat Islam menjadi
bercerai berai. Akibat semacam ini sungguh
sangat tidak diharapkan, karena ummat Islam
disuruh untuk bersatu,
b. Mencemarkan pribadi Rasulullah
Saw
Munculnya hadis-hadis Maudlu yang
isinya kadang-kadang bertentangan dengan
akal sehat, logika yang benar dan fakta yang
ada, dapat mencemarkan pribadi Rasulullah
Saw. Karena dari hadis-hadis palsu itu
tergambar bahwa Rasulullah Saw seolah-olah,
pelupa, bodoh, egois dan kekanak-kanakan.
Hal ini sangat bertentanagn dengan fakta
pribadi Rasulullah Saw yang sebenarnya.
Dari fakta sejarah diketahui bahwa
Rasulullah Saw diakui memiliki kecerdasan,
keluhuran budi dan kemuliaannya,
pengakuan itu tidak hanya datang dari para
sahabat dan orang-orang mukmin saja, namun
juga para penentang dan musuh-musuh
beliau.
Membuat sebuah perkataan,
kemudian menyandarkannya kepada
Rasulullah Saw adalah sebuah kesalahan
besar dan sangat berbahaya. Dampaknya
dapat menimpa dirinya sendiri dan juga
orang lain. Rasulullah Saw memberi
ultimatum yang tegas kepada mereka yang
berani berdusta terhadap beliau dengan
sabdanya:
َْنمَوَ ََبذَكَ ََّيلَعَ ََتم ََع ًَدم ا ََف ََبتَ َيلْ
ََّو َأْ هدَعَقْمَ ََنمِ لا َِر َّنا .
Artinya: “Siapa yang berdusta
terhadapku dengan sengaja maka hendaklah
dia menempati tempatnya di neraka” (Shahih
Bukhari. Juz I h.38)
c. Mengaburkan pemahaman terhadap
Islam.
Sebagaimana disebutkan terdahulu
bahwa sumber Islam sesudah Al-Qur’an
adalah Hadist Rasulullah Saw. Dalam hal ini
tentulah bahwa nilai-nilai keislaman yang
menjadi pedoman bagi ummat Islam banyak
bersumber dari Al Hadis.
Kalau hadis yang menjadi sumber itu
palsu, berbeda dan bahkan bertentangan
dengan Islam yang sebenarnya, akan
terjadilah pemahaman yang salah terhadap
Islam, sehingga Islam tidak dapat diakui dan
dipercaya sebagai agama fitrah yang dapat
membimbing dan membawa manusia untuk
mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan
dunia dan akhirat.
Akibat semacam ini dapat kita lihat
sekarang, bahwa masyarakat Islam tidak
sepenuhnya menjadikan Islam sebagai
pedoman hidupnya, hal ini mungkin
disebabkan mereka belum yakin sepenuhnya
terhadap Islam.
Golongan dari luar Islam yang ingin
mempelajari Islam, bila mereka mendapatkan
informasi tentang Islam dari sumber yang
salah (palsu) mungkin perhatian mereka
terhadap Islam akan berkurang, atau mungkin
pula mereka meremehkan dan
mencemoohkannya karena menganggap
Islam tidak logis, tidak masuk akal karena
bertentangan dengan data dan fakta yang ada.
d. Melemahkan jiwa dan semangat
keislaman.
Salah paham terhadap Islam, dapat
menimbulkan keraguan dan kebimbangan
terhadap Islam menyelimuti ummat Islam
yang tentu saja hal ini dapat membawa akibat
yang fatal yaitu melemahnya jiwa dan
semangat keislaman. Bila jiwa dan semangat
keislaman ini lemah, maka dikuatirkan
kekuatan yang ada pada ummat Islam akan
lumpuh, sehingga ummat Islam tidak lagi
menjadi Ummat yang disegani sebagaimana
ummat Islam terdahulu yang sanggup
mengalahkan lawan meskipun jumlah mereka
jauh lebih sedikit disbanding dengan jumlah
lawan yang jauh lebih banyak, sebagaimana
disebutkan dalam Al qur’an:
Artinya: “Hai Nabi, Kobarkanlah
semangat Para mukmin untuk berperang.
jika ada dua puluh orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. dan
jika ada seratus orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan seribu dari pada orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang
tidak mengerti (QS AL anfal : 65).
Kemenangan yang diperoleh ummat
Islam yang minoritas saat itu terhadap orang
kafir yang mayoritas, disebabkan karena
ummat Islam saat itu mempunyai jiwa
semangat Islam yang kuat dan mantap.
namun bila jiwa dan semangat Islam sudah
lemah, maka meskipun dalam kaadaan
mayoritas, tentu kekalahan yang didapat
nauzubillahi min zalik.
Dari keterangan di atas bisa kita
ambil kesimpulan bahwa hadis maudhu’
merupakan sebuah ancaman besar bagi umat
Islam. Hukuman para ulama yang ditujukan
kepada pembuat hadis dan penyebarnya,
cukup memberi gambaran kepada kita bahwa
hal itu merupakan suatu perkara yang harus
mendapat perhatian serius. Untuk
menghindari terjerumusnya pada perkara
yang tidak ringan itu, kaum muslimin
hendaknya serius mendeteksi hadis-hadis
palsu. Sebab hadis ini terus sudah
banyak beredar di kalangan umat Islam
khususnya di tanah air. Jika tidak, akan
banyak umat Islam yang terpedaya oleh
janji-janji kosong yang disebarkan oleh
golongan yang tidak bertanggungjawab.