ui realitas, perbedaan cara dalam memahami
pengetahuan yang dapat diterima secara epistemologis. Kedua
perbedaan ini pada akhirnya menghasilkan kesimpulan yang
bertolak belakang tentang semesta.1
Hampir semua pendapat dan pandangan di atas
menunjukkan pertentangan dan ketidaksesuaian antara sains dan
agama dengan berbagai latar belakang dan argumen. Latar
belakang dan argumen ini mencakup ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Di samping ketiga hal ini , persoalan sosial
budaya, politik dan kekuasaan, pemahaman keagamaan, serta
intelektualitas menjadi faktor lain yang menyebabkan terjadinya
konflik agama dan sains.
Sains dan agama sama-sama berupaya untuk mencari
kebenaran dan mengungkap realitas serta menjelaskan fenomena
dengan metodologi, pendekatan dan perspektif yang berbeda.
Keduanya tentu saja dapat saling memahami dan melengkapi
untuk mewujudkan kesejahteraan manusia dan kelestarian
lingkungan. Sains dan agama ibarat otak kanan dan otak kiri yang
memiliki fungsi dan ranah yang berbeda namun saling
melengkapi.1
Agama dan sains secara fundamental terpisah dan berbeda
bukan karena keduanya sebagai antitesis satu dengan yang
lainnya, tapi memang keduanya dalam beberapa hal dipahami
sebagai sesuatu yang sifat dan realitasnya berbeda. Untukmendapatkan kesimpulan yang jelas tetang relasi sains dan agama,
perlu dilihat dan dipahami terlebih dahulu perbedaan yang
fundamental antara sains dan agama.
Sains dan agama bukanlah dua hal yang bertentangan dan
memiliki paradigma ekslusif, namun keduanya saling melengkapi
karena agama memberi informasi yang bersifat spiritual
terhadap sifat dari realitas.
1 Freeman J. Dyson juga sependapat
bahwa sains dan agama yaitu saling melengkapi.1
Bagi Wolff-Michael Roth, dialog antara sains dan agama
tidak dapat mengatasi kontradiksi antara keduanya baik
kontradiksi internal maupun eksternal. Dialog hanya dapat
memberi pemahaman yang lebih baik terhadap eksistensi dan
peran sains dan agama dalam kehidupan manusia. Meskipun
demikian, dialog sains dan agama membutuhkan komitmen yang
seirus bagi semua pihak terkait untuk memahami tujuan dari
dialog ini yaitu sebagai alat untuk menghubungkan
perbedaan sains dan agama.1
Perdebatan sains modern dan agama tidak hanya dilihat
dari sisi konflik. Banyak juga pemikir dan ilmuwan yang melihat
relasi yang positif antara sains dan agama. Bagi David Deming,
pemahaman terhadap kebenaran (truth) sebagai sebuah kesatuan
dapat membantu kesatuan antara sains dan agama.1 Berbagai
konsep kebenaran tradisional mengandung nilai-nilai kesesuaian
antara sains dan agama. Sains dan agama merupakan dua sistem
pengetahuan yang didasarkan atas epistemologi yang berbeda.
Baik sains maupun agama sama-sama mengklaim sebagai suatu
sistem pengetahuan yang lengkapDominasi sains yang memuncak pada abad ke-1 pada
akhirnya meruntuhkan pandangan dunia abad pertengahan yaitu
agama dan termasuk filsafat. Berbeda dengan agama, filsafat lebih
mudah merekonstruksi dan memodifikasi dirinya dan membagi
menjadi dua aliran pemikiran besar. Aliran yang pertama yaitu
positivisme logis mendukung sepenuhnya pengembangan sains.
aliran kedua yaitu idealisme mengesampingkan sains dan
mengaggap sains hanya terkait dengan kebenaran yang bersifat
empiris semata. Bagi idealisme, hanya filsafat yang hanya mampu
menangkap realitas hakiki.1 1
David Martin menganggap bahwa konsekuensi sosial dari
perubahan teknologi menghasilkan konsekuensi tidak langsung
dari sains terhadap agama. Konsekuensi studi historis seperti
kritik terhadap kitab suci memberi konsekuansi langsung dan
lebih besar dibandingkan sains. Martin pada dasarnya ingin
menunjukkan bahwa kemajuan sains tidak terlalu berdampak
signifikan terhadap berkurangnya peran agama, keyakinan, dan
moralitas. Meskipun demikian, ia tidak membantah tetap ada
konsekuensi dari perkembangan sains terhadap agama secara tidak
langsung dan tidak konsisten.1
Sebagian besar pembahasan atau studi tentang hubungan
sains dan agama yaitu terkait dengan sejarah pemikiran ilmiah
dan hubungannya dengan agama dominan seperti dampak teori
Darwin terhadap ajaran Kristen. Adapun kajian tentang
bagaimana konsep agama tentang sains sangat sedikit sekali.1
Kreasionis atau para ilmuwan yang menganut paham bahwa alam
ini berasal dari proses penciptaan berupaya untuk
mengintegrasikan ranah sains dan agama. Mereka berusaha untuk
menggabungkan dua cara pemahaman yang terpisah antara sains
dan agama ke dalam sebuah epistemologi tunggal.1
John Horgan dengan mengutip Stent berpendapat bahwa
kemajuan sains dapat memberi kontribusi semakin jelasnya
peran agama pada masa yang akan datang ketimbang menghilangkan peran agama sama sekali seperti yang diharapkan
oleh sebagian saintis. Agama merupakan pembimbing moral
karena manusia yaitu yaitu subjek moral. Oleh karena itu tugas
agama pada dasarnya lebih pada bidang moral.1 Horgan dengan
memakai pendekatan Popper1 menyatakan bahwa jika
saintis sangat meyakini akan kebenaran teorinya, maka
berhentilah pencarian terhadap kebenaran. Hal itu merupakan
sebuah tragedi, karena menurut Popper, pencarian kebenaran
menjadikan kehidupan manusia tepat. Mencari kebenaran dan
pengetahuan sama halnya dengan agama dan tidak dapat
dihentikan.1 Popper mayakini bahwa sains tidak akan pernah
dapat menjawab makna dan tujuan dari semesta, oleh karena
itulah ia tidak pernah menolak agama sepenuhnya, meskipun ia
mengabaikan agama pada waktu mudanya.1
Perkembangan sains yang bersifat materialistik dan
positifistik pada dasarnya mampu sedikit dihambat dengan
berkembangnya Idealisme Jerman dan Romatisisme pada abad ke-
1 , namun munculnya positivisme logis menghancurkan
keduanya. Materialisme yang sebelumnya juga dihambat perkembangannya oleh filsafat bahasa dianggap sebagai satusatunya filsafat yang konsisten dengan sains kontemporer.1
Objek sains secara ontologis yaitu data empiris yang
harus dihubungkan dengan teori. Hubungan data empiris yang
diobservasi dan teori yang digunakan disebut dengan interaksi
kognisial antara observasi dan teori. Dengan kata lain, teori sangat
berperanan penting untuk menentukan fakta dalam sains. Inilah
yang disebut Ryle sebagai konsep-konsep saintifik bersifat
‚termuati teori (theory laden) dibandingkan bersifat deskriptif.1 Sains
modern membatasi objeknya pada hal-hal fisik yang bersifat
empiris, sementara hal-hal yang bersifat metafisika tidak dapat
dijadikan objek ilmu. Ontologi dalam filsafat ilmu yaitu suatu
hal yang sangat penting dan diperlukan. Sebuah ilmu dapat
ditetapkan sebagai ilmu mesti memiliki dasar ontologi,
epistemologi, dan aksiologi yang jelas.
Dalam konteks sains sosial yang berkembang di Barat,
Zaidi menganalisis pemikiran Wilhelm Dilthey dan Max Weber.
Meskipun Dilthey menolak validitas pemikiran yang bersifat
metafisik dan keagamaan, tapi konsep hermeneutik Dilthey
tentang Geisteswissenschaften sangat terkait dengan masalah
transenden-immanent. Seperti halnya Dilthey, Weber
memperkenalkan ilmu-ilmu kemanusiaan modern yang
memberi kontribusi terhadap konsep profan dan cenderung
menghindar dari metafisika.
1 1
Relasi sains dan agama baik dengan memakai
pendekatan teologis, filosofis, maupun ilmiah cenderung bersifat
berbeda, reduksionis dan dualistis serta sangat sesuai dengan
pemikiran modern.
1 Netralitas sains menyebabkan ia dapat
ditransmisikan antar manusia dan peradaban tanpa memandang
perbedaan tata nilai.
1 Kebenaran agama yang bersumber pada wahyu bersifat objektif dan universal. Untuk membuktikan
kebenaran ini dibutuhkan akal. Oleh karena itu, pada
dasarnya akal dan wahyu memiliki kesesuaian dan saling
menunjang. Hal ini menunjukan adanya kerjasama antara sains
dan agama. Konsep seperti itu tidak ditemukan dalam mentalitas
manusia modern. Sains hanya digunakan untuk mengeksplorasi
fakta-fakta empiris dan mengenyampingkan agama. Agama
dianggap sebagai mitos dan kajiannya harus mengikuti teori-teori
ilmiah. Kebenaran agama dalam modernitas dianggap subjektif,
evolutif dan relatif.1
Dalam konteks relasi agama dan sains, ontologi dibedakan
menjadi ontologi monistik dan ontologi pluralistik. Ontologi
monistik memiliki pandangan bahwa makna religius sebagai fakta
yang sifatnya dapat dibuktikan sendiri dan pasti. Kebenaran
agama bersifat mutlak dan pasti sehingga penemuan sains pada
dasarnya memperkuat kebenaran agama dan kitab suci, jika
ada penemuan sains bertentangan dengan agama, maka yang
ditolak yaitu sains. Sementara ontologi pluralistik berpandangan
bahwa makna religius memiliki banyak kategori yang tekait
dengan simbol, fakta, metafora dan sebagainya. Semua kategori
ini dapat dimediasi dengan kesadaran manusia dan sifat tidak
pasti. Interpretasi terhadap konsep keagamaan dan kitab suci
bersifat relatif. Sains dan alam merupakan sumber dari kebenaran
Tuhan dan Tuhan menciptakan alam dengan segala
keteraturannya.1
Monisme merupakan jembatan baru antara sains dan
agama, termasuk dengan filsafat.1 Konflik antara sains dan
agama tidak mungkin terjadi jika masing-masing dilihat dan
ditempatkan secara epistemologis sesuai dengan ranahnya. Sains
berada ranah pengetahuan murni sedangkan agama pada ranah moral murni.1 Konflik antara agama dan sains yang terjadi dalam
sejarah seperti pada masa Galileo sebenarnya lebih merupakan
tumbal atau korban dari kekuasaan politik.1 Agama dan sains
memakai sudut pandang yang bertolak belakang secara
diametris dalam menggambarkan dunia. Untuk memahami realitas
yang sebenarnya dan menyeluruh, agama cenderung mengabaikan
inderawi dan rasio. Berbeda dengan agama, sains hanya berupaya
menggambarkan realitas objektif secara parsial dengan
memakai indera dan kesadaran.1
Pemisahan epistemologis antara sains dan agama pada
awal abad ke-1 menjadikan sains memiliki otonomi tersendiri
meskipun mendapatkan tantangan yang keras dari teolog Kristen
tradisional. Para ilmuan seperti Newton dan Keppler berupaya
menghindari peranan pandangan keagamaan tradisional di
antaranya doa dan mujizat dalam menjelaskan fenomena alam.
Fenomena alam hanya dapat dijelaskan melalui hukum alam
dengan cara experimen dan penghitungan matematis.1
Berbeda dengan tipologi konflik dan independensi/
kontras,model relasi dialog menjadi alternatif yang memuaskan
baik bagi sains maupun agama. Jerry A. Coyne menjelaskan
bahwa salah satu argumen para agamawan tentang perlunya dialog
antara sains dan agama yaitu ungkapan Einstein tentang sains
dan agama. Ungkapan ini yaitu sains tanpa agama lumpuh,
dan agama tanpa sains buta. Menurut Coyne, ungkapan Einstein
ini telah dipahami di luar dari konteksnya oleh sebagian
besar pemuka agama. Pandangan Einstein ini didasari oleh
kekagumannya terhadap alam semesta. Einstein yaitu seorang
panteis yang memahami adanya kesatuan Tuhan dan alam. Alam
mengandung nilai-nilai dan unsur-unsur keilahian. Kebutaaan ilmu
tanpa agama bagi Einstein yaitu sains mesti diawali dan didasari
oleh kekaguman dan keingintahuan terhadap alam.1 1
Sains modern di Barat berkembang seiring dengan
perkembangan kapitalisme. Kapitalisme ini pada dasarnya
memiliki ideologi sekular yang memisahkan agama dan negara.
Ideologi sekular inilah yang juga berimbas pada pemisahan sains
dan agama.1
Steve Bruce tidak setuju dengan pandangan bahwa
sekularisasi merupakan akibat langsung dari sains modern.
Memudarnya peran dan kepercayaan orang terhadap agama di
Barat pada abad modern lebih disebabkan oleh berbagai kesalahan
dan kelemahan ajaran Kristen itu sendiri. Sains dapat menjelaskan
dengan baik dan rasional berbagai pertanyaan tentang fenomena
alam ketimbang kitab suci (agama). Teori heliosentris dan evolusi
dalam sains lebih jelas dan rasional dibandingkan teori geosentris
dan penciptaan yang diakui oleh agama. Lebih jauh Bruce
menyimpulkan bahwa relasi sains termasuk teknologi sering
dipahami secara tidak tepat. Sains dan teknologi tidaklah
membuat seseorang menjadi ateis.1 Pandangan Bruce ini
tentu saja tidak sepenuhnya dapat diterima karena memang pada
kenyataannya ada ilmuwan dan filsuf yang jelas-jelas
menyatakan dirinya ateis atau paling tidak agnotis. Oleh karena
itu, upaya untuk mencari dan memahami relasi sains dan agama
terutama di Barat meningkat.
Berbeda dengan pandangan Bruce ini , Vadaradja
berpendapat bahwa signifikasi dan manfaat terhadap upaya
mencari hubungan antara sains dan agama mulai dipertanyakan
oleh saintis dan teolog, bahkan jumlahnya semakin lama
mengalami peningkatan. Keraguan ini mengakibatkan
sebagian saintis dan teolog lain berupaya mencari pendekatan
alternatif dalam menghadapi persoalan relasi sains dan agama.1
Berdasarkan uraian tentang berbagai konsep relasi sains
dan agama, relasi sains dan agama tidak hanya persoalan pro dan kontra ataupun harmoni dan konflik tapi juga terkait dengan
persoalan yang lebih kompleks termasuk persoalan filosofis,
sosiologis, dan kultural. Untuk lebih jelasnya bagaimana pola
tipologi relasi sains dan agama dapat dilihat pada diagram di
bawah ini.
Diagram ini menunjukkan bahwa dari tiga
pandangan tentang relasi sains dan agama ada kesamaan dan
irisan yang jelas. Irisan ini yaitu konflik, bebas, dan
interaksi baik secara lemah sperti dialog dan kontak maupun kuat
seperti integrasi, konfirmasi, dan rekonsilasi.
E. Islamisasi Sains, Sains Islam, dan Integrasi Sains dan Islam
Perdebatan Islam dan Sains pada masa kejayaan Islam
tidak begitu populer, apalagi mempertentangkan keduanya.
Kekuasaan khalifah yang didukung oleh para filsuf yang saintis
atau saintis yang filsuf menjadi penopang utama terhadap
perkembangan sains di dunia Islam. Mereka dapat menguasai sains
yang berkembang dan menerapkannya dalam kehidupan
warga
Di saat Barat mengalami kemajuan yang pesat dalam
sains, perkembangan sains di dunia Islam mengalami kemunduran
dan stagnan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Perdebatan
tentang sains dan agama yang terjadi di Barat, juga merembet ke
dunia Islam padahal perdebatan antara sains dan agama pada masa
keemasan Islam tidak begitu hangat dan populer. Pada masa
ini , perdebatan teologis dan filosofis lebih dominan tentangperan dan fungsi akal dan wahyu. Persoalan lebih terfokus pada
ilmu aqliyah dan naqliyah. Pada masa kontemporer, umat Islam
seolah-olah terjebak untuk memasuki wilayah perdebatan sains
dan agama yang berkembang di Barat.
Menurut Sukran, Bediuzzaman Said Nursi sangat tidak
setuju dengan pertentangan antara sains dan agama seperti yang
terjadi di Barat. Konflik antara sains dan agama yang terjadi di
Barat lebih disebabkan oleh pemikiran Barat pacsa renaisans yang
epistemologi bersifat dikotomis. Dalam Islam, sains dan agama
tidak perlu dipertentangkan, bahkan menurut Nursi, melalui
metode tafsir al-Quran yang dikembangkan dan diperbaharui
terus, sains dapat digunakan untuk membuktikan kebenaran
agama.1
Bigliardi menilai tidaklah tepat memakai tipologi
Barbour dalam menganalisis relasi Islam dan sains karena analisis
Barbour ini hanya terfokus pada relasi sains dan agama
Kristen. Khusus dalam konteks integrasi, ia menyimpulkan tiga
konsep integrasi. Pertama yaitu integrasi general antara sains
dan agama yang tidak memadai digunakan sebagai alat kritik
untuk menganalisis debat Islam dan sains. Kedua konsep integrasi
sains dan agama Barbour tidak memiliki kontribusi terhadap
persoalan relasi sains dan Islam. Terakhir, konsep integrasi
Barbour cenderung salah arah.1 Hubungan Islam dan sains yaitu
harmoni meskipun analisis dan pendekatan yang digunakan
berbeda-beda.1
Pandangan di atas tampaknya sejalan dengan dengan
pendapat Muzaffar Iqbal. Model perdebatan relasi sains dan
agama yang terjadi di dunia Barat (Kristiani) tidak dapat digiring
begitu saja ke dunia Islam tanpa memberi penilaian dan
catatan kritis. Hal itu disebabkan oleh sifat (nature), dasar agama, epistemologi antara Barat (Kristiani) dan Islam jauh berbeda.
Diskursus tentang relasi sains dan agama pada warga muslim
juga telah berlangsung dalam berbagai perspektif, mulai dari
perspektif sosiologis, historis, metafisis serta saintifik itu sendiri.
Pada era kontemporer, persoalan relasi agama dan sains terkait
perspektif dan metodologi yang digunakan menjadi pertanyaan
penting. Perdebatan sains dan agama di Barat telah berlangsung
sejak akhir masa kegelapan di Barat (the dark of middle age).1
Relasi sains dan agama dalam peradaban Islam yaitu
kompleks. Kompleksitas ini berakar dari dinamika dan
perjalanan panjang antara konteks lokal, kekuasaan politik,
otoritas keagamaan, perlindungan, persaingan antar elit termasuk
komitmen epistemologis individu dari pemikir dan ilmuwan di
dunia Islam itu sendiri.1 Islam jika dipahami sebagai sebuah
ajaran yang mengandung prinsip-prinsip yang valid, ideal,
permanen dan statis tidak akan dapat merekonsiliasi dirinya
dengan paradigma sains yang baru dan dominan saat ini. Sama
halnya dengan yang terjadi pada agama lain khususnya Kristen
pada awal abad modern. Sebaliknya, jika Islam dipahami sebagai
sebuah keyakinan yang dinamis dan hidup (living), maka ia akan
dapat merespon perubahan paradigma sains yang begitu cepat,
luas, dan terus menerus. Lebih jauh, Islam akan dapat
merekonsiliasi dan mengakomodasi dirinya dalam konteks
tertentu dan bersifat temporer dengan perkembangan sains dan
pemikiran dewasa ini seperti yang terjadi dalam sejarah.1
Fethullah Gulen, menurut Osman Bakar, berpendapat
bahwa sains tidak dapat lepas atau terpisah dari agama. Menurut
Bakar, bagi Gulen sains dan agama tidak pernah dianggap sejajar
dalam Islam, tapi sains harus mengacu dan mengambil inspirasi
dari al-Quran dan Hadis. Ia membagi kebenaran dalam dua bentuk
yaitu absolute truth dan relative truth. Kebenaran yang absolut
ada pada al-Quran dan sifatnya tetap, sedang kebenaran
relatif ada pada sains yang sifatnya berubah. Kedua kebenaran itu tidak akan bertentangan jika sains secara prinsipil
mengacu kepada kebenaran mutlak yaitu al-Quran dan Hadis.1 1
Islam yang berlandaskan tauhid semestinya dijadikan sumber
semangat pengembangan sains. Sains yang dimaksud tidak hanya
natural sains tapi semua jenis sains yang tidak dapat dipisahkan
dari nilai dan kesadaran religius dan spiritual.
1 Asimilasi yang
cepat dari sains klasik pada awal perkembangan peradaban Islam
dalam pandangan Jamal al-Din al-Afghani menjadi bukti bahwa
Islam itu sendiri memiliki semangat keilmuan yang tinggi dan
secara inheren sesuai dengan sains.1
Perkembangan sains di Barat yang begitu pesat
memengaruhi perkembangan sains pada warga Muslim.
Sebagian pemikir Islam berupaya mengikuti alur pengembangan
sains di Barat dan menerapkan di dunia Islam, namun sebagian
lagi berupaya menolak sains Barat yang bersifat empiris,
rasionalis, positif, dan sekular. Akibatnya, muncullah perdebatan
di dunia Islam, tentang bagaimana sains dan Islam dipahami.
Kekhawatiran akan arus sekularisasi memunculkan berbagai
pemikiran tentang sains dan Islam seperti konsep Islamisasi sains,
sains Islam, intergrasi sains dan Islam.
Sekularisasi, serangan positivisme dan empirisme di Barat
awal abad pencerahan tidak terjadi di dunia Islam karena Islam
memiliki basis metafisis yang kuat. Sains sekular secara tegas di
luar agama dan metafisika Islam. Dunia Islam tidak mengenal
sains sekular. Sains kealaman dalam konteks tertentu bagian
disiplin ilmu keagamaan. Sains integrasi dengan agama, Islam
menolak saintisme.
Diskursus Islamisasi ilmu pengetahuan pada dunia Islam
berlangsung pada akhir abad ke-1 dan awal abad ke- .
Semangat Islamisasi ilmu pengetahuan ini dilatarbelakangi oleh
adanya upaya dari para pembaharu di dunia Islam untuk kembali
kepada sumber utama ajaran Islam yaitu al-Quran dan Sunnah,
membuka pintu ijtihad dan mengurangi taqlid serta
mengembangkan pemikiran yang relevan dengan modernitas
seiring dengan perkembangan sains dan teknologi. Islamisasi
pengetahuan dan reformasi sistem pendidikan jauh sebelumnya
telah disuarakan dengan tegas oleh Abul A’la Mawdudi pada
pertengahan tahun 1 an melalui pidato dan tulisan-tulisannya.
Ia yaitu salah seorang tokoh yang mengemukakan teori
Islamisasi ilmu-ilmu kemanusiaan (human sciences) dan
kontekstualisasi pendidikan Islam.
1
Gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan berkembang
Amerika dan Malaysia. Perdebatan Islamisasi ilmu pengetahuan
dengan konsep kunci Islam, pengetahuan, relevansi, dan
autentisitas dikonstruksi dan dikontestasi secara beragam.
Perdebatan indigenisasi, dan nativisasi yang masing-masingnya
memberi jawaban yang berbeda terhadap perdebatan Islamisasi
Ilmu Pengetahuan. Islamisasi Ilmu Pengetahuan secara
epistemologis agak sulit untuk didefinisikan. Islamisasi ilmu
pengetahuan dalam konteks institusional dan nasional
memberi dampak yang signifikan terhadap penerapan sains
secara filosofis.
Islamisasi sains merupakan suatu yang penting dan
bermakna karena baik secara ontologis maupun epistemologis
ada perbedaan yang sangat fundamental sains Barat modern
dengan konsep sains dalam Islam. Sains modern secara ontologis
membatasi objek kajiannya pada materi yang bersifat empiris dan
dapat diobservasi saja, sementara Islam memandang objek kajian
sains tidak hanya yang empiris atau fisik saja tapi juga hal-hal
yang bersifat metafisik. Secara epistemologis, sumber
pengetahuan bagi sains modern yaitu panca indera dan dibantu
oleh akal dalam proses penalaran, sedangkan Islam mengakui
panca indera, akal, dan intuisi termasuk wahyu sebagai sumber
pengetahuan. Di samping secara ontologis dan epistemologis,
Islamisasi sains juga sangat diperlukan karena sains modern telah
menyebabkan dampak teologis yang cukup serius yaitu adanya
sebagian saintis yang berdasarkan pendekatan saintifiknya
menjadi sekular dan bahkan sampai menolak untuk mengakui
Tuhan atau ateis.1
Islamisasi ilmu pengetahuan dapat dijelaskan melalui
filsafat sains yang terdiri dari aspek ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Secara ontologis, integrasi sains dalam bentuk
pengakuan asal semua pengetahuan berasal dari Tuhan. Secara
epistemologi, integrasi dalam bentuk pengakuan keberagaman
karakter dan teori khususnya pengetahuan keagamaan dan sains.
Secara axiologi, perlunya penekanan bahwa penerapan
pengetahuan harus sejalan dengan etika, moral, dan ajaran
Islam.1
Salah satu masalah serius yang dibawa oleh globalisasi
atau westernisasi dalam bentuk pandangan ilmiah modern yaitu
dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekular (umum).
Persoalan dikotomi ini dapat diatasi dengan memperkuat dan
memperdalam filsafat Islam. Di samping itu, filsafat Islam juga
dapat memberi jawaban berbagai pandangan dan kritik Barat
terhadap agama. Upaya ini tentu saja tidak akan berhasil sebelum
para pemikir Islam mampu merumuskan dan mengembangkan
tradisi ilmiah sendiri yang handal. Tradisi ilmiah seperti itu akan
mampu dicapai dengan cara salah satunya melalui kajian yang
kritis dan kreatif terhadap warisan intelektual Islam masa lalu.1
Prinsip-prinsip pemikiran sekular berbeda dan dalam
banyak hal bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Fondasi
utama dari sekularisme yaitu rasionalisme, saintisme, dan
humanisme, sedangkan fondasi utama ajaran Islam yaitu
teosentris, penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, keyakinan
akan kembali kembali kepada Tuhan, serta hari akhir.Perdebatan lain selain islamisasi sains yaitu wacana
sains Islam. Sains Islam merupakan kajian yang amat kaya dan
menarik, namun tidak memperoleh tempat dan perhatian yang
memadai baik dari perguruan tinggi Islam maupun umum. Sains
Islam memiliki peran yang sangat penting sebagai pandangan
dunia alternatif untuk mengimbangi dominasi epistemologi Barat
yang tidak selamanya cocok dengan konsep Islam. Oleh karena
itu, sains Islam termasuk epistemologinya sangat penting menjadi
objek kajian kefilsafatan masa depan karena begitu banyaknya
karya-karya penting dalam sains Islam yang telah dihasilkan oleh
ilmuwan dan pemikir Muslim seperti Ibn Sina, Ar-Razi, dan Ibn
Nafis.
Secara ontologi dan epistemologi sulit mencari demarkasi
(batas) antara sains sekular dan sains Islam, sementara dalam
axiologi cukup banyak ilmuwan Islam mempersoalkan sains Islam
dan islamisasi sains. Sains tentu saja berkembang terus dan sangat
terkait sekali dengan perubahan dan perkembangan paradigma
seperti yang dikatakan Thomas Kuhn.
Sains Islam, menurut
George Saliba, yaitu sains yang dikembangkan oleh peradaban
Islam bukan dalam konteks Islam sebagai agama dan ia lebih
banyak menyoroti dalam bidang astronomi.
Perbedaan yang mendasar perkembangan sains di dunia Islam
dan Barat yaitu peran agama. Dalam sejarah awal Islam, Universitas
didirikan untuk tidak menentang agama yang diatur dan dikendalikan
oleh negara, sementara di barat, pendirian universitas awal di Itali,
Perancis, dan Inggris dalam rangka memperkuat peran agama/geraja atau
dengan kata lain universitas didirikan dalam rangka memperkokoh
kekuasaan gereja/agama. Perbedaan kedua, pengembangan sains dan
teknologi di Barat sebagai upaya membantu kolonialisme, sementara
dalam dunia Islam pengembangan sains dan teknologi tidak banyak
untuk upaya kolonialisme.
Istilah sains Islam (Islamic Science) menurut George
Saliba yaitu sains yang dibangun dan dikembangkan dalam
peradaban Islam (Islamic Civilization), istilah ini bukanlah
mengacu sebagai sebuah disiplin ilmu. Istilah yang dikenal dalam bahasa Arab yaitu al-’ulu>m al-islami>ya. Dengan kata lain, ia
menjelaskan bahwa kata Islamic mengacu pada makna Islam
sebagai sebuah peradaban, bukan pada makna Islam sebagai
sebuah agama. Umat Islam pada dasarnya mewarisi filsafat dan
sains Yunani yang disesuaikan dengan ajaran Islam, sementara
Barat tidak dapat menemukan keunggulan filsafat dan sains
Yunani ini .
Dibandingkan Islamisasi, Ziauddin Sardar cenderung
memakai istilah Sains Islam (Islamic Science) berdasarkan
empat argumen. Pertama, peradaban yang berbeda menghasilkan
sains yang berbeda dan distingtif. Kedua, sains Islam secara
historis memiliki identitas yang distingtif yang terlihat dari sifat
dan karakternya yang unik. Ketiga, sains Barat secara inheren
bersifat destruktif dan merupakan ancaman bagi kemanusiaan.
Keempat, sains Barat tidak dapat memenuhi syarat dan kebutuhan
spiritual, kultural, dan fisikal dari warga Muslim. Sains
merupakan salah satu bagian dari rekonstruksi peradaban Islam.
Pengembangan sains ini harus dengan melakukan
rekonstruksi epistemologis terlebih dahulu. Nasim Butt
sepertinya menyetujui Ziauddin Sardar bahwa inti paradigma
sains Islam yaitu tauhid, khilafah, dan ibadah. Pengembangan
sains Islam mestinya meningkatkan keadilan dan kesejahteraan
dan meredam kezaliman. Riset dan pengembangan sains Islam
tidak bersifat destruktif dalam arti luas.
Sejarawan melihat secara berbeda tentang peran agama
terhadap sains. Pertama, kebijakan mihna dari Khalifah alMa’mun yang mamaksakan paham rasional Mu’tazilah justru
menjadi bumerang kehancuran khalifah serta secara tidak
langsung menghancurkan obsesinya terhadap pengembangan
sains. Kedua, kebijakan mihna justru menjadi faktor utama perkembangan sains di dunia Islam awal termasuk berkembangnya
sufisme al-Ghazali dan Ibn Arabi yang tidak anti sains.
Saliba termasuk tidak sependapat bahwa kemunduran
sains di dunia Islam akibat serangan al-Ghazali terhadap filsafat.
Hal itu dibuktikan dengan setelah al-Ghazali masih banyak
muncul ilmuwan-ilimuan muslim yang hebat. Di antara ilmuwan
ini yaitu Jazari> (1 ) dalam bidang mekanika, Athi>r al-Di>n
al-Abhari> (1 ) Mu’ayyad al-Di>n al-’Urd}i> (w.1 ), Nasir al-Di>n
al-Thusi (w.1 ), Qutb al-Di>n al-Shi>ra>zi> (w.1 11), Ibn al S{ha>t}ir
(w.1 ), dan al-Qushji> (w.1 ) dalam bidang logika,
matematika, dan astronomi, Kama>l al-Di>n al-Fa>risi> (w.1 )
dalam bidang optik, Ibn al-Bait}a>r (w.1 ) dalam bidang farmasi,
serta Ibn al-Nafi>s (w.1 ) dalam bidang kedokteran. 1
Solusi al-Ghazali yang ditawarkan pada kitabnya Ih{ya>’
‘ulu>m al-di>n tentu saja menghilangkan segala bentuk sumber
potensial adanya konflik antara sains dan agama dalam Islam. Hal
itu karena konsep ilmu yang ia tawarkan yaitu kepatuhan total dan
tulus pada kehendak Tuhan sebagai dasar untuk melakukan
penelusuran ilmu dan filsafat. 11
Islamisasi sains menurut Kuntowijoyo terkesan reaktif.
Oleh karena itu, ia tidak setuju dengan proyek Islamisasi sains. Ia
lebih cenderung untuk memakai istilah pengilmuan Islam.
Gerakan keilmuan Islam harus bergerak dari teks menuju konteks,
yaitu dari teks suci al-Quran menuju konteks sosial dan ekologis
manusia. Kemudian gerakan selanjutnya membangun paradigma
Islam sebagai paradigma ilmu integralistik yang menyatukan ilmu
dan agama (wahyu). Usaha terakhir yaitu dengan menjadikan
Islam sebagai ilmu. 1 Fazlur Rahman bahkan menganjurkan tidak
perlu tertarik untuk merumuskan bagaimana untuk membentuk
pengetahuan Islam. Hal yang paling penting baginya, umat Islam perlu
membangun pemikiran yang konstruktif dan positif namun tetap
berpedoman pada al-Quran. Baginya pengembangan pemikiran Islam
yang demikian akan mampu menilai dan mengkritisi tradisi sendiri dan
tradisi Barat sebagai langkah awal penemuan pengetahuan yang baru
sampai akhirnya mencapai tujuan yang benar dari intelektualisme
Islam. 1
Dalam persoalan agama sebagai sumber nilai bagi sains,
Djamaluddin Ancok melihat juga ada dua pemahaman yang
berbeda. Yang pertama menjadikan agama sebagai alat
pembenaran atau justifikasi dan yang kedua menjadikan agama
sebagai hipotesis. Kelompok pertama berupaya menemukan
kesesuaian fenomena dan teori-teori sains dengan agama dan kitab
suci. Pada sisi lain, kelompok kedua berupaya menemukan
beberapa konsep dan ajaran agama menjadi hipotesis ilmu dan
diuji kebenarannya dengan metode-metode sains. Kedua
pandangan sama-sama memiliki kelemahan. Pandangan pertama
terkesan sekedar pencocokan sains dengan agama, sedangkan
pandangan kedua terjebak pereduksian terhadap agama jika
hipotesis tidak atau belum dapat dibuktikan kebenarannya oleh
sains. Sebagai sintesa dari kedua pandangan ini , agama
dijadikan sebagai motivator, petunjuk, pemberi kerangka dasar,
sumber, dan pemelihara nilai bagi sains. 1 Perdebatan tentang
hubungan yang harmoni sains dan Islam pada dasarnya yang paling
dominan yaitu islamisasi sains, bahkan pemikiran tentang sains Islam
pada dasarnya yaitu salah bentuk dari islamisasi sains. Konsep
Islamisasi sains ini dibagi ke dalam empat arus utama yaitu konsep
Sardar, Nasr, al-Faruqi dan Bucaille.
1
Keempat pola Islamisasi sains ini di atas yaitu
dikategorikan sebagai generasi awal dalam diskursus Islam dan
sains. Bigliardi dengan menganalisis pemikiran Steinberg
menguraikan beberapa tokoh yang disebut dengan generasi baru.
Pemikir-pemikir ini yaitu Golshani, Altaie, Guiderdoni, dan
Guessoum. Kedua generasi ini memiliki perbedaan yang
cukup penting dalam melihat relasi Islam dan sains. Pertama,
generasi baru lebih mendalami dan lebih fokus mendiskusikan
sains, karena latar belakang profesi mereka yaitu saintis,
meskipun generasi lama juga menguasai sains namun mereka
cenderung menghindar untuk mendiskusikan sains modern lebih dalam. Kedua, generasi baru memakai metode yang lebih
dinamis dan interdisiplier dalam menganalisis Islam dan sains.
Ketiga, generasi baru memakai pendekatan pluralistik dalam
konteks kultural dan agama. 1
Secara singkat, pembahasan pada bab ini menunjukkan
pentingnya peran epistemologi dalam membentuk pandangan
dunia suatu peradaban dalam hal ini peradaban Islam dan Barat.
Epistemologi juga menentukan paradigma sains yang berkembang.
Secara historis, perdebatan epistemologi relasi sains dan agama
dalam Islam yang pada masa awal Islam tidak begitu banyak
terjad. Akibat dari pengaruh diskursus relasi sains dan agama di
Barat terutama abad modern, maka persolan relasi sains dan
agama juga menjadi agenda yang menarik di dunia Islam. relasi
sains dan agama di Barat pada masa modern lebih cenderung
konflik atau paling tidak masing-masing berdiri sendiri atau
kontras. Seiring dengan munculnya kesadaran pentingnya makna
dan spiritualitas, relasi sains dan agama dapat berupa dialog atau
bahkan integrasi. Di dunia Islam, perdebatan relasi sains dan
agama akibat distorsi modernitas dan sains modern juga
berlangsung. Untuk menjaban persoalan ini , para pemikir
Muslim berupaya merumuskan konsep relasi sains dan agama yang
berbeda dengan Barat. Konsep yang berkembang ini
Islamisasi pengetahuan dan sains, sains Islami, integrasi,
rekonsiliasi dengan segala variasi, kelebihan dan kekurangannya.
A. Dinamika Intelektual dan Konsep Epistemologi
Nidhal Guessoum
1. Biografi Singkat
Nidhal Guessoum (selanjutnya disebut Guessoum) lahir
pada September 1 di Aljazair. Ia yaitu seorang ilmuwan
sekaligus pemikir Islam kontemporer yang memiliki keahlian di
bidang Astrofisika. Guessoum menulis buku dan banyak artikel
jurnal tentang Islam dan sains. Ia mengajar di American Sarjakh
University, Uni Emirat Arab sejak tahun . Guessoum berasal
dari keturunan Aljazair. Ia memperoleh Gelar Doktor Astrofisika
Teoretis pada tahun 1 dan Master Fisika pada tahun 1 dari
The University of California di San Diego Amerika Serikat. Ia
sebelumnya menamatkan pendidikan sarjana di bidang fisika
teoretis tahun 1 di Université des Sciences et de la
Technologie d’Alger, Aljazair. Ia juga pernah mengikuti program
penelitian post doctor dan sebagai ilmuwan tamu (visiting
scholar) di NASA’ s Goddard Space Flight Center.
1
Sebagian besar aktivitas Guessoum sebagai seorang
ilmuwan bergerak di bidang keahliannya yaitu astrofisika dan
astronomi. Dalam kapasitasnya sebagai seorang ilmuwan,
Guessoum banyak mendapatkan undangan untuk berbicara dalam
berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar, konferensi, termasuk
sebagai professor tamu di beberapa universitas di Amerika,
Perancis, Inggris dan beberapa negara di Timur Tengah.
Guessoum menjalin banyak kerjasama dengan berbagai
institusi terutama di Perancis sehingga ia dapat menghasilkan
banyak artikel dalam bidang astrofisika. Guessoum juga banyak
terlibat dalam berbagai organisasi professional keilmuan yaitu
International Astronomical Union, International Society for
Science and Religion (member of the executive committee), dan
Islamic Crescents Observation Project (vice-president).
Keterlibatan Guessoum dalam dunia akademik juga
dibuktikan dengan banyak karyanya yang dimuat dalam berbagai
jurnal ilmiah internasional. Hal yang menarik yaitu ia tidak
hanya menulis dan mengembangkan spesialisasi keilmuannya tapi
juga memiliki perhatian dan menulis terkait dengan relasi sains
dan agama dalam perspektif filosofis. Perhatian dan
ketertarikannya terhadap sains di dunia Islam tentu saja tidak
terlepas dari dinamika intelektual dan fondasi epistemologi
sebagai pandangan dunia (world view) yang ia miliki.
Dari berbagai dinamika intelektual Guessoum, ia pantas
dijadikan sebagai salah satu referensi tentang perdebatan relasi
sains dan agama dalam Islam karena keterlibatannya tidak hanya
secara teoretis tapi juga praktis.
Guessoum seperti yang ia jelaskan sendiri tumbuh dan
berkembang di tengah lingkungan sosio kultural yang sangat ketat
dalam menjalankan ajaran Islam serta sangat menghargai ilmu.
Guessoum sejak kecil sudah terbiasa dengan suasana kehidupan
dan lingkungan intelektual. Ayahnya yaitu seorang penghapal al-
Qur’an (hafiz al-Quran) yang mendapatkan gelar doktor dalam
filsafat dari Cairo University dan Sorbone University. Ayahnya
kemudian menjadi dekan fakultas studi agama di University of
Algiers. Ibunya yaitu master di bidang literatur Arab. Fasilitas
perpusatakaan di rumah yang dilengkapi berbagai literatur baik
sains, agama, maupun filsafat menjadikan Guessoum dan saudarasaudaranya memiliki kepekaan pengembangan ilmu yang tinggi.
Keempat saudaranya memiliki profesi yang beragam yaitu
ilmuwan, dokter dan guru sains. Mereka semua dibekali dengan
filsafat rasionalisme, sains modern, dan pandangan keislaman
yang holistik.
Kemampuan intelektualnya menjadi lebih terasah karena
ia dibesarkan dalam keluarga yang memakai bahasa Perancis
dan Arab. Setelah menginjak masa remaja ia mempelajari dan
mendalami bahasa Inggris. Yang menarik dari kehidupan
Guessoum yaitu meskipun secara formal ia mendalami ilmu
fisika dengan spesialisasi astrofisika, ia juga banyak membaca
buku-buku keislaman dan filsafat khususnya filsafat yang terkait
dengan relasi sains dan agama.
Ia yaitu seorang ilmuwan
Muslim yang berupaya untuk mencari keseimbangan antara
mengkritik dogma pada satu sisi dan tetap menghargai teologi
pada sisi lain.
. Pengaruh Ibn Rushd terhadap Karakter dan Fondasi
Epistemologi Guessoum
Karakter dan fondasi epistemologi atau pandangan dunia
(world view) seseorang turut ditentukan oleh tidak hanya
keluarga, pendidikan, sosial budaya tapi juga oleh pemikiran dari
tokoh-tokoh yang dikaguminya.
Para ilmuwan dan filosof besar Muslim seperti al-Biruni,
al-Khawarizmi, Ibn Khaldun, Ibn Sina, dan Ibn Rushd pada
dasarnya telah membangun fondasi sains modern yang luar biasa.
Berbagai konsep dan temuan yang mereka kembangkan menjadi
titik tolak dan rujukan dalam perkembangan sains sesudahnya.
Perdebatan filosofis, teologis dan praktis terhadap perkembangan
pemikiran termasuk sains pada masa ini menjadi pandangan
dunia (world view) bagi peradaban Islam. Oleh karena itu, suatu
hal yang tidak mengherankan bahwa sebagian besar pemikir dan
ilmuwan muslim kontemporer sangat mengagumi fondasi
epistemologi mereka serta berupaya menjadikan arah dan dasar
pengembangan pemikiran dan sains dewasa ini termasuk
Guessoum
Guessoum sangat mengagumi Ibn Rushd. Kekaguman
ini yaitu warisan intelektual dari ayahnya, karena ayahnya
sendiri menulis disertasi tentang konsep waktu dalam filsafat Ibn
Rushd untuk menyelesaikan doktornya di Cairo University,
kemudian menulis disertasi tentang konsep waktu dalam
pemikiran Arab modern untuk mendapatkan gelar doktor dari the
University of Sorbonne.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
Guessoum sangat terkesan dengan pemikiran Ibn Rushd,
pemikiran Arab dan sains sehingga menjadi acuan dan dasar
pemikiran dan karya-karyanya.
Guessoum menjadikan Ibnu Rushd sebagai pemikir yang
memberi banyak inspirasi dan pengaruh terhadap
intelektualitasnya terutama terkait dengan hubungan filsafat dan
agama. Ibnu Rushd baginya seperti sebagai ‚a guiding spirit‛.
Ibn Rushd telah memberi arah untuk melakukan explorasi
tentang persoalan hubungan antara sains modern, Islam, dan
pemikiran modern. Pemikiran Ibn Rushd bersifat revolusioner
karena telah berupaya menyatukan akal dengan inti ajaran Islam.
Secara objektif, dari perspektif apapun filsafat ataupun sains tidak
dapat dipertentangkan dengan agama.
Dalam konteks dengan modernitas, banyak pemikir
termasuk termasuk Muhammad Abid al-Jabiri memandang bahwa
karangka berfikir Ibnu Rushd lebih kuat mendorong modernitas
dibandingkan dengan al-Ghazali. Berbeda dengan pandangan
ini , Basit Bilal Khosul melihat peran dan kontribusi alGhazali lebih besar pengaruhnya terhadap pemikiran modern
dalam Islam.
Terlepas dari perbedaan pendapat ini , peran
pemikiran Ibnu Rushd dalam konteks mendorong perkembangan
pemikiran modern dalam Islam sulit untuk dibantah dan tidak
dapat diabaikan.
Dengan mengutip Armstrong, Guessoum menekankan
besarnya pengaruh Ibn Rushd terhadap pemikiran Musa bin
Maimun baik karena berinteraksi atau belajar secara langsung
maupun melalui karya-karyanya. Guessoum menggambarkan
betapa iklim budaya yang kaya dari Andalusia dan berperan besar
membentuk serta mengasah intelektualitas dan kehebatan Ibn
Rushd. Ibn Rushd mendapatkan penghargaan yang sangat
istimewa baik di Barat maupun Timur.
Ibn Rushd telah merumuskan kategori penting tentang
tiga bentuk diskursus yang berbeda yaitu filosofis, dialektis, dan
retoris.1 Menurut Zainun Kamal, kausalitas (sebab akibat) yaitu
bentuk rasionalitas pemikiran Ibnu Rushd. Kausalitas inilah yang
menjadi asas ilmu alam dan filsafat rasional. Renaisans atau
kebangkitan Eropa/Barat ditandai dengan berkembangnya ilmu
alam dan rasionalisme ini . Oleh karena itu, pandangan bahwa
Ibnu Rushd memberi inspirasi dan kontribusi bagi kemajuan
Barat sulit dibantah.11
Dari beberapa pendapat di atas menunjukkan dengan jelas
betapa perkembangan sains termasuk sains modern memiliki
keterkaitan yang sangat jelas dengan pemikiran Ibn Rushd. Hal
yang perlu ditekankan di sini yaitu tentu saja sains modern yang
berkembang di Barat juga memiliki kelemahan dan penyimpangan
dari prinsip dasar pemikiran Ibn Rushd. Reduksionisme sains
modern ke dalam paradigma cartesian-newtonian atau
rasionalistik mekanistik menjadi penyimpangan terbesar dari sains
modern.
Guessoum sangat meyakini bahwa pemikiran Ibn Rushd
yang menyatakan bahwa akal dan wahyu, serta filsafat dan agama
tidaklah bertentangan melainkan keduanya saling mendukung
yaitu sebuah pemikiran yang sulit dibantah dan sudah jelas.
Lebih jauh, bahwa wahyu tidaklah bertentangan dengan akal
(sains saat ini), namun jika ada wahyu yang terkesan bertentangan
dengan akal, maka wahyu ini mesti dipahami dan ditafsirkan
secara allegoris.1
Pendekatan teologis Ibn Rushd dan Thomas Aquinas
(1 -1 ) yaitu sangat menentukan meskipun memberi
pengaruh yang sangat kecil bagi warga awam dan pemikir
ortodoks.1 Dalam konteks teologis, Guessoum menyamakan
peran yang besar bagi pemahaman agama secara rasional antara
Ibnu Rushd dan Thomas Aquinas. Thomas Aquinas sendiri
memang banyak mendapatkan inspirasi dari Ibn Rushd dalam
pandangan rasionalnya dalam agama Kristen.
Ibn Rushd memandang bahwa bentuk penalaran
demonstratif yang tertinggi tidak bertentangan dengan prinsipprinsip ajaran Islam. Filsuf yaitu orang yang paling mampu
memahami secara tepat pesan-pesan yang bersifat allegoris dalam
al-Qur’an.
1 Pemikiran Ibn Rushd memiliki kontribusi yang sangat
besar di Eropa, meskipun di dunia Islam pemikirannya cenderung
diabaikan. Salah satu kontribusi yang sangat penting dari
pemikiran Ibn Rushd yaitu terhadap perkembangan hermeneutik
terutama hermeneutik kritis dan kontekstual di Jerman.
Interpretasi alegoris dan metafora yang menjadi inti pemikiran Ibn
Rushd dalam memahami kitab suci sangat sesuai dengan
hermeneutik Scheilemacher, Dilthey, dan Gadamer.
1
Dari uraian di atas, pengaruh dan peran Ibn Rushd dalam
membentuk karakter intelektual dan fondasi epistemologi atau
pandangan dunia (world view) Guessoum sangat besar.
. Orientasi Pemikiran
Guessoum mengkritik ketidakpedulian ilmiah bangsa
Arab. Ia mengkritik tentang pemahaman ilmiah terhadap mukjizat
dan metode penyembuhan dengan memakai terapi
keagamaan. Pendekatan ini menurutnya tidak jelas dan campur
aduk, setidaknya pada bidang kedokteran.1 Minimnya perhatian
umat Islam di Arab terhadap perkembangan sains menjadi alasan
mengapa Guessoum mengkaji hubungan sains dan Islam.
Secara historis, sains khususnya astronomi di dunia Arab
mengalami kemundurun akibat kecenderungan negara-negara Arab
yang lebih mengutamakan bidang perminyakan karena lebih
menguntungkan. Di samping itu, sebagian besar pemerintahan
negara-negara Arab kurang mengutamakan proyek-proyek
peningkatan riset sains dan teknologi. Dalam bidang publikasi
ilmiah dan riset termasuk astronomi, negara-negara Arab
tertinggal jauh dibandingkan dengan Turki, Iran, dan Israel.1
Pembahasan tentang sains Arab paling tidak meliputi dua
dimensi utama yaitu kegagalan sains Arab menjadi sains modern
seperti yang terjadi di Barat dan penurunan secara signifikan
praktek dan pemikiran ilmiah dalam peradaban Islam-Arab setelah
abad ke-1 .1 Tentu saja pandangan ini perlu dianalisis
secara kritis. Sains yang mestinya dikembangkan di dunia Islam
tidak mesti harus sama seperti sains modern di Barat yang
memiliki paradigma inti (core paradigm) yang berbeda dengan
sains yang berkembang pada puncak kejayaan Islam. Suatu hal
yang tidak dapat dipungkiri, pengembangan sains di dunia Islam
setelah abad ke-1 jauh mengalami kemerosotan. Oleh karena
itulah, perlu dirumuskan paradigma dan upaya rekonstruksi sains
di dunia Islam.
Upaya yang dilakukan oleh pemikir dan ilmuwan Islam
untuk melakukan rekonstruksi pemikiran sains termasuk
mododologi dan epistemologi sains itu sendiri harus mendapat
perhatian serius dari umat Islam. Sangat sedikit dari umat Islam
mengikuti perkembangan pemikiran sains apalagi mencoba
mempelajari dan menganalisa epistemologi pemikiran dari para
tokoh ini . Hadiah nobel dalam sains yang diperoleh oleh
ilmuwan muslim seperti Abdul Salam dan Ahmed Zewail pada
dasarnya yaitu sains yang mereka kembangkan di Barat dan tidak
banyak yang mempertanyakan filsafat sains dan nilai-nilai
keislaman apa yang menjadi dasar pemikiran mereka.1 Oleh
karena itulah, pemikiran dan upaya nyata untuk memperdalam dan
merumuskan epistemologi dan filsafat sains di dunia Islam perlu
dikembangkan dan diperbanyak.
Upaya ini pada dasarnya telah dirintis dan dibangun
oleh banyak pemikir dan ilmuwan besar di dunia Islam. Menurut
Dimitri Gutas, fondasi epistemologi sains dan filsafat di Arab
pada abad pertengahan terdiri dari dua model yaitu sains aplikatif
(applied sciences) dan sains teoretis (theoritical sciences).
Epistemologi sains aplikatif yaitu fungsionalis yang didasarkan
pada pengalaman dan observasi. Berbeda dengan sains aplikatif,
epistemologi sains teoretis yaitu geometris dan sillogistik.
Pandangan ini tampaknya belum lengkap jika dibandingkan
dengan pendapat Muhammad Abid al-Jabiri. Sains aplikatif itu
lebih dekat pada ilmu-ilmu yang didasarkan pada epistemologi
burhan>i, sedangkan sains teoretis lebih dekat kepada ilmu-ilmu
yang didasarkan pada epistemologi baya>ni. Satu jenis ilmu lagi
yang tidak kalah pentingnya yaitu ilmu-ilmu illluminatif yang
didasarkan pada epistemologi ‘irfa>ni.
Diskursus sains Islam dengan berbagai ragamnya seperti
yang dikembangkan oleh Nasr, al-Attas, Sardar, al-Faruqi,
Bucaille, dan yang lainnya lebih cenderung kepada perdebatan
persoalan teologis (theological) dibandingkan keilmuan (scientific).
Sebagian besar berupaya untuk menonjolkan dan memperkuat
peran dan kontribusi keyakinan dan nilai-nilai keagamaan dalam
merumuskan sains Islam. Upaya dan pemikiran ini patut
diberikan apresiasi yang tinggi. Terlepas dari hal ini , Irfan
Habib mempertanyakan yang dibutuhkan umat Islam hanya
konsep-konsep demikian. Ia berpandangan bahwa yang
dibutuhkan umat Islam dewasa ini bukanlah sains Islam atau
konsep-konsep keilmuan Islam lainnya yang bersifat ekslusif, tapi
sains dalam peradaban Islam yang bersifat inklusif dan
berkembang lintas peradaban.
Sebelum para pemikir di atas menekankan betapa
pentingnya sains, para pemikir Muslim sebelumnya telah banyak
menyuarakan bagaimana pentingnya sains dan ilmu-ilmu rasional
bagi kemajuan umat Islam. Ernest Renan, Jamaluddin al-Afghani
dan Mustafa Kemal pada prinsipnya sangat menekankan peran dan
kesesuaian antara ajaran Islam dan sains serta modernitas. Oleh
karena itu, mereka sangat menentang dogma, tradisi yang statis
(jumud), taqlid, dan irrasionalitas yang dapat menghambat
perkembangan sains atau penerimaan terhadap ilmu-ilmu rasional.
Hal yang penting perlu diketahui bahwa, masing-masing tokoh
ini tentu saja memiliki perbedaan seperti Mustafa Kemal
mendukung liberalisme dan sekulerisme.
Guessoum membagi diskursus Islam dan sains yang begitu
luas dan kompleks menjadi tiga dimensi. Pertama yaitu dimensi
sejarah yang membahas tentang perkembangan sains pada
peradaban Islam. Kedua yaitu dimensi aplikasi praktis yang
membahas tentang penggunaan sains dalam warga Islam
seperti penanggalan dan pengobatan. Ketiga yaitu dimensi
konseptual yang mendiskusikan tentang relasi sains dan Islam
baik konflik, harmoni maupun terpisah.
Pada kesempatan lain, Guessoum membagi dua tipe
terkait dengan masalah perjumpangan sains dan agama dalam hal
ini Islam yaitu level elit akademik dan level publik. Kelompok
pertama cenderung membahas relasi sains modern dan agama
secara filosofis dengan mencari prinsip-prinsip mendasar dari
kedua komponen ini . Kelompok pertama ini berupaya
membangun pandangan filosofis dan keagamaan tersendiri sesuai
dengan pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang digunakan
boleh jadi liberal, konservatif, rasional, mistikal dan sebagainya.
Para pemikir yang termasuk kelompok elit akademik ini antara
lain yaitu Seyyed Hossein Nasr, Muzaffar Iqbal, Ziauddin
Sardar, Mehdi Golshani, Muhammad Abdus Salam, Pervez
Hoodbhoy dan Taner Edis. Berbeda dengan kelompok pertama,
kelompok kedua yaitu berasal dari para dai dan warga
umum. Mereka membahas tentang relasi sains modern dan Islam
secara lebih luas seperti di sekolah, media, dan toko buku.
Persoalan yang dibahas oleh kelompok ini yaitu berbagai
penemuan ilmiah dan perkembangan teknologi seperti Teori Big
Bang, Teori Evolusi Darwin, kloning dan sebagainya.
Hampir senada dengan Guessoum, Ibrahim Kalin
membagi perdebatan Islam dan sains terkait dengan dua
komponen penting. Komponen pertama yaitu berhubungan
dengan kepentingan dan kebutuhan praktis bagi negara-negara
yang mayoritas penduduknya muslim. Pemerintah pada negara
ini menyediakan anggaran yang besar untuk membangun
sarana dan prasarana pendidikan, riset dan teknologi. Tujuan
yaitu mengurangi jarak yang begitu jauh antara umat Islam dan
bangsa Barat dalam hal sains dan teknologi. Ia mencontohkan di
antara negara ini yaitu Turki dan Malaysia. Komponen
kedua yaitu ranah pembahasan Islam dan sains secara intelektual
dan filosofis. Dalam konteks ini, warga muslim khususnya
para pemikir dan ilmuwannya mengkaji dasar filosofis sains
modern dan tradisi keilmuan dalam Islam sebagai alternatif
memahami fenomena alam.
Mengapa persoalan relasi sains dan agama khususnya
Islam menjadi menarik dan banyak diminati terutama akhir abad
ke- dan awal ke- 1. Guessoum memberi alasan terhadap
pertanyaan ini. Pertama, munculnya daya tarik yang baru terhadap
Islam seiring dengan perkembangan politik dunia dewasa ini.
Kedua, meningkatnya jumlah penganut Islam di Barat sedangkan
peradaban Islam tidak begitu dikenal sebelumnya di Barat. Ketiga,
kemajuan sains yang signifikan dalam Islam pada masa kejayaan
Islam dalam sejarah dan relevansinya dengan kebudayaan Islam
serta relasi sains dan agama
B. Kritik dan Pandangan Guessoum terhadap Sains Modern dan
Agama
Masalah yang paling utama ketika membahas tentang
sains yaitu masalah definisi karena sampai saat ini belum ada
definisi sains yang dapat disepakati dan dapat diterima oleh semua
kalangan. Guessoum sebagai langkah awal biasanya
mendefinisikan sains sebagai upaya manusia untuk membangun
penjelasan-penjelasan objektif terhadap dunia sekitar. Definisi
ini memiliki beberapa aspek-aspek penting dan juga
kelemahan. Aspek-aspek penting ini yaitu usaha
membangun penjelasan objektif, hasil konstruksi manusia, dan
upaya menggambarkan dunia seluas mungkin. Pada sisi lain,
kelemahan definisi yaitu tidak ada ketegasan apakah sains hanya
dibatasi terhadap kealaman atau juga termasuk semua fenomena
lain yang dapat diteliti seperti psikologi, sosial, keagamaan, dan
sejarah. Di samping itu, definisi ini tidak menjelaskan sifat
dari konstruksi objektif yang dimaksud.
Pada dasarnya memang tidak ada kesepakatan para ahli
dan ilmuwan tentang sains yang paling tepat. Secara umum, sains
dipahami sebagai seperangkat pengetahuan tentang suatu objek
tertentu yang diperoleh dengan memakai metode tertentu dan
dapat diuji kebenarannya serta bermanfaat bagi manusia. Definisi
ini tentu saja masih bersifat umum. Hal yang terpenting dari
pengertian ini telah mencakup semua aspek dan dasar
filosofis yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Definisi sains yang lebih tepat menurut Guessoum yaitu
yang dikemukakan oleh Ziauddin Sardar. Sains yaitu seperangkat
upaya penelusuran keilmuan yang teratur, sistematis, dan terarah
didasarkan pada eksperimen dan empirisme serta membuahkan
hasil yang dapat diterapkan dan diulang berlaku secara universal
melintasi segala bentuk kebudayaan. Definisi ini secara
implisit membatasi sains pada ranah kealaman saja.
Bagi Guessoum, ciri utama sains terletak pada proses dan
metodenya yang disebut dengan metode ilmiah. Metode ilmiah
meliputi observasi terhadap fenomena, mengkonstruksi secara
mental penjelasan ataupun hipotesis, mengasumsikan penjelasan
atau hipotesis ini sehingga dapat diuji dan diprediksi akan
mengandung kebenaran, serta menguji kebenaran hipotesis
ataupun menggantinya dengan hasil yang baru setelah melakukan
percobaan dan observasi secara tepat. Langkah-langkah ini
tidak sempurna karena mengabaikan unsur subjektifitas manusia
dalam mengkonstuksi hipotesis dan tidak menekankan bagaimana
peran warga ilmiah atau proses peer review.
Pertanyaan berikutnya apakah yang dimaksud sains
dewasa ini yaitu sains secara universal yang mencakup semua
sains yang telah dikembangkan sejak masa klasik sampai sekarang
dan mencakup semua budaya serta peradaban atau yang dimaksud
hanya sains modern yang dikembangkan oleh Barat saja. Bangsa
Cina, India, Yunani, Babilonia, dan Arab juga telah mengalami
masa kejayaannya dalam sains khususnya dan peradaban
umumnya.
Para saintis dan Sejarawan sains memiliki perbedaan
pandangan tentang lahirnya sains atau tepatnya sains modern.
Para saintis dan pemikir Barat pada umumnya berpandangan
bahwa sains modern lahir sejak renaisans tepatnya sejak revolusi
Copernicus dan serangan Galileo terhadap Aristotelisme. Pada sisi
lain, pemikir dan ilmuwan Muslim dan sebagian non-Muslim
cenderung berprinsip bahwa bagian esensial atau fondasi sains
modern jelas telah ada pada kemajuan peradaban Islam-Arab. Di
antara pemikir Muslim yang berpandangan demikian yaitu
Ziauddin Sardar. Menurut Sardar, umat Islam telah
mengembangkan prinsip dan dasar sains modern karena hal
ini yaitu bagian dari tuntutan ajaran Islam yang ada
dalam al-Quran. Bagi Sardar, metode ilmiah yang digunakan
dewasa ini yaitu pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan
Muslim seperti Ibn Sina, al-Biruni dan sebagainya.
Mehdi Golshani memandang sains modern merupakan
warisan dari peradaban Islam. Guessoum mempertanyakan
pandangan Sardar dan Golshani ini karena hal ini
melahirkan jenis lain sentrisme budaya. Jika peradaban lain seperti
peradaban Babilonia dan Cina dapat membuktikan perkembangan
sains pada masanya begitu pesat, maka tidak tertutup
kemungkinan sains modern muncul pada masa kejayaan peradaban
mereka. Dengan mengutip Sarton, Guessoum berpandanganbahwa semua peradaban termasuk peradaban Islam memiliki
kontribusi penting dalam perkembangan dan sejarah sains. 1
Pandangan kontroversial lain yaitu bahwa sains modern
lahir sejalan dengan munculnya agama monoteistik dan
memudarnya politeistik. Pandangan ini tentu saja sulit diterima
karena akan terjadi klaim dari masing-masing agama monoteistik
terutama Islam dan Kristen. Bagi Guessoum, pendapat Chittick
bahwa sains modern tidak muncul pada peradaban Islam perlu
mendapat perhatian karena sains modern jelas bersifat sekular,
dikotomis, dan materialistik serta sangat berbeda dengan
peradaban Islam yang mengutamakan nilai-nilai keabadian dan
transendental.
Sains modern yang bersifat materialistik di Barat pada
dasarnya tidak berhasil mengkonstruksi peradaban lain seperti
India, Cina dan Islam menjadi sains yang materialistik meskipun
ketiga peradaban ini yaitu peradaban besar dan memiliki
banyak keunggulan dibandingkan dengan Barat sebelum abad ke-
1 . Kegagalan sains modern dalam mengubah paradigma
peradaban lain terutama dalam ranah non saintifik dari budaya
yang meliputi hukum, agama, filsafat, teologi dan sejenisnya.
Sains sebagai sebuah konstruksi keilmuan tentu memiliki
landasan metafisik. Landasan metafisik yang dimaksud yaitu
prinsip-prinsip yang mendasar sebagai landasan pengembangan
sains. Dalam perkembangan sains, landasan metafisik sains
beragam mulai dari materialistik, teistik, dan islamik
(materialistic, theistic, and Islamic science). Dasar metafisik sains
ini sangat tergantung dari kecenderungan seseorang atau
komunitas untuk merumuskan dasar filsofis sains ini . Inilah
mungkin salah satu contoh pentingnya paradigma seperti yang
dijelaskan Kuhn pada masa sains normal.
Brooke juga mengapresiasi Guessoum yang tidak
mendukung pandangan sebagian besar pemikir Islam yang
cenderung menganggap bahwa kemajuan sains pada abad modern
yaitu jiplakan atau salinan dari kemajuan sains di dunia Islam
sebelumnya serta korban dari sikap represif agamawan (Kristen) terhadap sains. Padahal, menurut Brooke, nilai-nilai dan ajaran
Kristen juga memiliki kontribusi terhadap perkembangan sains
abad ke-1 dan 1 . Pada sisi lain, pemikir Barat juga memiliki
kecenderungan untuk mengurangi dan mempertanyakan orisinalitas keilmuan para filsuf dan ilmuwan Muslim yang luar biasa
antara abad ke- sampai abad ke-1 serta merupakan koreksi dan
pemindahan warisan Yunani. Kedua pandangan ini pada
dasarnya mempertentangkan peran agama terhadap perkembangan
sains dari tradisi Islam dan Kristen. Analisis Brooke ini
tentu saja dilandasi oleh adanya sikap inklusif Guessoum, bahkan
mungkin Guessoum memiliki pandangan perennial terhadap
agama meski hanya terbatas pada agama Kristen.
Pandangan dunia (world view) sains modern yaitu
sebuah struktur metafisika yang unik. Pandangan dunia
keilmuannya yaitu berdasarkan atas asumsi yang ada dalam
hukum alam dan kemampuan manusia untuk memahaminya.
Huff menyebut bahwa revolusi ilmiah yang terjadi pada
abad ke-1 dan 1 yaitu sebuah revolusi metafisik yang
mendalam. Revolusi ini hanya terjadi di Barat bukan di
dunia Islam ataupun Cina.
Sains modern cenderung dianggap berawal dari
dikembangkannya cara kerja keilmuan induksi yang menggantikan
deduksi. Francis Bacon pada umumnya dianggap sebagai peletak
dasar dan pengembang induksi, padahal beberapa abad sebelum
Bacon, al-Biruni telah memakai metode induksi dan
memperdebatkannya dengan Ibn Sina yang mempertahankan
metode deduksi. Dominasi metode induksi sebagai dasar sains
membawa pandangan naturalisme secara metodologis sehingga
persoalan supranatural dan sejenisnya akan ditolak dalam
diskursus ilmiah. Pandangan dan penggunaan pendekatan induksi
dan naturalisme seharusnya dilakukan dan dikembangkan
sema