Selasa, 26 November 2024

sain Alquran 12


 ui realitas, perbedaan cara dalam memahami 

pengetahuan yang dapat diterima secara epistemologis. Kedua 

perbedaan ini  pada akhirnya menghasilkan kesimpulan yang 

bertolak belakang tentang semesta.1  

Hampir semua pendapat dan pandangan di atas 

menunjukkan pertentangan dan ketidaksesuaian antara sains dan 

agama dengan berbagai latar belakang dan argumen. Latar 

belakang dan argumen ini  mencakup ontologi, epistemologi, 

dan aksiologi. Di samping ketiga hal ini , persoalan sosial

budaya, politik dan kekuasaan, pemahaman keagamaan, serta 

intelektualitas menjadi faktor lain yang menyebabkan terjadinya 

konflik agama dan sains.

Sains dan agama sama-sama berupaya untuk mencari 

kebenaran dan mengungkap realitas serta menjelaskan fenomena 

dengan metodologi, pendekatan dan perspektif yang berbeda. 

Keduanya tentu saja dapat saling memahami dan melengkapi 

untuk mewujudkan kesejahteraan manusia dan kelestarian 

lingkungan. Sains dan agama ibarat otak kanan dan otak kiri yang 

memiliki fungsi dan ranah yang berbeda namun saling 

melengkapi.1  

Agama dan sains secara fundamental terpisah dan berbeda 

bukan karena keduanya sebagai antitesis satu dengan yang 

lainnya, tapi memang keduanya dalam beberapa hal dipahami 

sebagai sesuatu yang sifat dan realitasnya berbeda. Untukmendapatkan kesimpulan yang jelas tetang relasi sains dan agama, 

perlu dilihat dan dipahami terlebih dahulu perbedaan yang 

fundamental antara sains dan agama. 

Sains dan agama bukanlah dua hal yang bertentangan dan 

memiliki paradigma ekslusif, namun keduanya saling melengkapi 

karena agama memberi  informasi yang bersifat spiritual

terhadap sifat dari realitas.

1   Freeman J. Dyson juga sependapat 

bahwa sains dan agama yaitu  saling melengkapi.1  

Bagi Wolff-Michael Roth, dialog antara sains dan agama 

tidak dapat mengatasi kontradiksi antara keduanya baik 

kontradiksi internal maupun eksternal. Dialog hanya dapat 

memberi  pemahaman yang lebih baik terhadap eksistensi dan 

peran sains dan agama dalam kehidupan manusia. Meskipun 

demikian, dialog sains dan agama membutuhkan komitmen yang 

seirus bagi semua pihak terkait untuk memahami tujuan dari 

dialog ini  yaitu sebagai alat untuk menghubungkan 

perbedaan sains dan agama.1  

Perdebatan sains modern dan agama tidak hanya dilihat 

dari sisi konflik. Banyak juga pemikir dan ilmuwan yang melihat 

relasi yang positif antara sains dan agama. Bagi David Deming, 

pemahaman terhadap kebenaran (truth) sebagai sebuah kesatuan 

dapat membantu kesatuan antara sains dan agama.1   Berbagai 

konsep kebenaran tradisional mengandung nilai-nilai kesesuaian 

antara sains dan agama. Sains dan agama merupakan dua sistem 

pengetahuan yang didasarkan atas epistemologi yang berbeda. 

Baik sains maupun agama sama-sama mengklaim sebagai suatu 

sistem pengetahuan yang lengkapDominasi sains yang memuncak pada abad ke-1  pada 

akhirnya meruntuhkan pandangan dunia abad pertengahan yaitu 

agama dan termasuk filsafat. Berbeda dengan agama, filsafat lebih 

mudah merekonstruksi dan memodifikasi dirinya dan membagi 

menjadi dua aliran pemikiran besar. Aliran yang pertama yaitu 

positivisme logis mendukung sepenuhnya pengembangan sains. 

aliran kedua yaitu idealisme mengesampingkan sains dan 

mengaggap sains hanya terkait dengan kebenaran yang bersifat 

empiris semata. Bagi idealisme, hanya filsafat yang hanya mampu 

menangkap realitas hakiki.1 1

David Martin menganggap bahwa konsekuensi sosial dari 

perubahan teknologi menghasilkan konsekuensi tidak langsung 

dari sains terhadap agama. Konsekuensi studi historis seperti 

kritik terhadap kitab suci memberi  konsekuansi langsung dan 

lebih besar dibandingkan  sains. Martin pada dasarnya ingin 

menunjukkan bahwa kemajuan sains tidak terlalu berdampak 

signifikan terhadap berkurangnya peran agama, keyakinan, dan 

moralitas. Meskipun demikian, ia tidak membantah tetap ada 

konsekuensi dari perkembangan sains terhadap agama secara tidak 

langsung dan tidak konsisten.1  

 

Sebagian besar pembahasan atau studi tentang hubungan 

sains dan agama yaitu  terkait dengan sejarah pemikiran ilmiah 

dan hubungannya dengan agama dominan seperti dampak teori 

Darwin terhadap ajaran Kristen. Adapun kajian tentang 

bagaimana konsep agama tentang sains sangat sedikit sekali.1  

Kreasionis atau para ilmuwan yang menganut paham bahwa alam 

ini berasal dari proses penciptaan berupaya untuk 

mengintegrasikan ranah sains dan agama. Mereka berusaha untuk 

menggabungkan dua cara pemahaman yang terpisah antara sains 

dan agama ke dalam sebuah epistemologi tunggal.1  

John Horgan dengan mengutip Stent berpendapat bahwa 

kemajuan sains dapat memberi  kontribusi semakin jelasnya 

peran agama pada masa yang akan datang ketimbang menghilangkan peran agama sama sekali seperti yang diharapkan 

oleh sebagian saintis. Agama merupakan pembimbing moral

karena manusia yaitu  yaitu  subjek moral. Oleh karena itu tugas 

agama pada dasarnya lebih pada bidang moral.1   Horgan dengan 

memakai  pendekatan Popper1   menyatakan bahwa jika 

saintis sangat meyakini akan kebenaran teorinya, maka 

berhentilah pencarian terhadap kebenaran. Hal itu merupakan 

sebuah tragedi, karena menurut Popper, pencarian kebenaran 

menjadikan kehidupan manusia tepat. Mencari kebenaran dan 

pengetahuan sama halnya dengan agama dan tidak dapat 

dihentikan.1   Popper mayakini bahwa sains tidak akan pernah 

dapat menjawab makna dan tujuan dari semesta, oleh karena 

itulah ia tidak pernah menolak agama sepenuhnya, meskipun ia 

mengabaikan agama pada waktu mudanya.1  

Perkembangan sains yang bersifat materialistik dan 

positifistik pada dasarnya mampu sedikit dihambat dengan 

berkembangnya Idealisme Jerman dan Romatisisme pada abad ke-

1 , namun munculnya positivisme logis menghancurkan 

keduanya. Materialisme yang sebelumnya juga dihambat perkembangannya oleh filsafat bahasa dianggap sebagai satu￾satunya filsafat yang konsisten dengan sains kontemporer.1  

Objek sains secara ontologis yaitu  data empiris yang 

harus dihubungkan dengan teori. Hubungan data empiris yang 

diobservasi dan teori yang digunakan disebut dengan interaksi 

kognisial antara observasi dan teori. Dengan kata lain, teori sangat 

berperanan penting untuk menentukan fakta dalam sains. Inilah 

yang disebut Ryle sebagai konsep-konsep saintifik bersifat 

‚termuati teori (theory laden) dibandingkan  bersifat deskriptif.1   Sains 

modern membatasi objeknya pada hal-hal fisik yang bersifat 

empiris, sementara hal-hal yang bersifat metafisika tidak dapat 

dijadikan objek ilmu. Ontologi dalam filsafat ilmu yaitu  suatu 

hal yang sangat penting dan diperlukan. Sebuah ilmu dapat 

ditetapkan sebagai ilmu mesti memiliki dasar ontologi, 

epistemologi, dan aksiologi yang jelas. 

Dalam konteks sains sosial yang berkembang di Barat, 

Zaidi menganalisis pemikiran Wilhelm Dilthey dan Max Weber. 

Meskipun Dilthey menolak validitas pemikiran yang bersifat 

metafisik dan keagamaan, tapi konsep hermeneutik Dilthey 

tentang Geisteswissenschaften sangat terkait dengan masalah 

transenden-immanent. Seperti halnya Dilthey, Weber 

memperkenalkan ilmu-ilmu kemanusiaan modern yang 

memberi  kontribusi terhadap konsep profan dan cenderung 

menghindar dari metafisika.

1 1

Relasi sains dan agama baik dengan memakai  

pendekatan teologis, filosofis, maupun ilmiah cenderung bersifat 

berbeda, reduksionis dan dualistis serta sangat sesuai dengan 

pemikiran modern.

1   Netralitas sains menyebabkan ia dapat 

ditransmisikan antar manusia dan peradaban tanpa memandang 

perbedaan tata nilai.

1   Kebenaran agama yang bersumber pada wahyu bersifat objektif dan universal. Untuk membuktikan 

kebenaran ini  dibutuhkan akal. Oleh karena itu, pada 

dasarnya akal dan wahyu memiliki kesesuaian dan saling 

menunjang. Hal ini menunjukan adanya kerjasama antara sains 

dan agama. Konsep seperti itu tidak ditemukan dalam mentalitas 

manusia modern. Sains hanya digunakan untuk mengeksplorasi 

fakta-fakta empiris dan mengenyampingkan agama. Agama 

dianggap sebagai mitos dan kajiannya harus mengikuti teori-teori 

ilmiah. Kebenaran agama dalam modernitas dianggap subjektif, 

evolutif dan relatif.1  

Dalam konteks relasi agama dan sains, ontologi dibedakan 

menjadi ontologi monistik dan ontologi pluralistik. Ontologi 

monistik memiliki pandangan bahwa makna religius sebagai fakta 

yang sifatnya dapat dibuktikan sendiri dan pasti. Kebenaran 

agama bersifat mutlak dan pasti sehingga penemuan sains pada 

dasarnya memperkuat kebenaran agama dan kitab suci, jika 

ada  penemuan sains bertentangan dengan agama, maka yang 

ditolak yaitu  sains. Sementara ontologi pluralistik berpandangan 

bahwa makna religius memiliki banyak kategori yang tekait 

dengan simbol, fakta, metafora dan sebagainya. Semua kategori 

ini  dapat dimediasi dengan kesadaran manusia dan sifat tidak 

pasti. Interpretasi terhadap konsep keagamaan dan kitab suci 

bersifat relatif. Sains dan alam merupakan sumber dari kebenaran 

Tuhan dan Tuhan menciptakan alam dengan segala 

keteraturannya.1  

Monisme merupakan jembatan baru antara sains dan 

agama, termasuk dengan filsafat.1   Konflik antara sains dan 

agama tidak mungkin terjadi jika  masing-masing dilihat dan 

ditempatkan secara epistemologis sesuai dengan ranahnya. Sains 

berada ranah pengetahuan murni sedangkan agama pada ranah moral murni.1   Konflik antara agama dan sains yang terjadi dalam 

sejarah seperti pada masa Galileo sebenarnya lebih merupakan 

tumbal atau korban dari kekuasaan politik.1   Agama dan sains

memakai  sudut pandang yang bertolak belakang secara 

diametris dalam menggambarkan dunia. Untuk memahami realitas

yang sebenarnya dan menyeluruh, agama cenderung mengabaikan 

inderawi dan rasio. Berbeda dengan agama, sains hanya berupaya 

menggambarkan realitas objektif secara parsial dengan 

memakai  indera dan kesadaran.1  

Pemisahan epistemologis antara sains dan agama pada 

awal abad ke-1  menjadikan sains memiliki otonomi tersendiri 

meskipun mendapatkan tantangan yang keras dari teolog Kristen 

tradisional. Para ilmuan seperti Newton dan Keppler berupaya 

menghindari peranan pandangan keagamaan tradisional di 

antaranya doa dan mujizat dalam menjelaskan fenomena alam. 

Fenomena alam hanya dapat dijelaskan melalui hukum alam

dengan cara experimen dan penghitungan matematis.1  

Berbeda dengan tipologi konflik dan independensi/

kontras,model relasi dialog menjadi alternatif yang memuaskan 

baik bagi sains maupun agama. Jerry A. Coyne menjelaskan 

bahwa salah satu argumen para agamawan tentang perlunya dialog 

antara sains dan agama yaitu  ungkapan Einstein tentang sains 

dan agama. Ungkapan ini  yaitu  sains tanpa agama lumpuh, 

dan agama tanpa sains buta. Menurut Coyne, ungkapan Einstein 

ini  telah dipahami di luar dari konteksnya oleh sebagian 

besar pemuka agama. Pandangan Einstein ini  didasari oleh 

kekagumannya terhadap alam semesta. Einstein yaitu  seorang 

panteis yang memahami adanya kesatuan Tuhan dan alam. Alam 

mengandung nilai-nilai dan unsur-unsur keilahian. Kebutaaan ilmu 

tanpa agama bagi Einstein yaitu  sains mesti diawali dan didasari 

oleh kekaguman dan keingintahuan terhadap alam.1 1

Sains modern di Barat berkembang seiring dengan 

perkembangan kapitalisme. Kapitalisme ini  pada dasarnya 

memiliki ideologi sekular yang memisahkan agama dan negara. 

Ideologi sekular inilah yang juga berimbas pada pemisahan sains 

dan agama.1  

Steve Bruce tidak setuju dengan pandangan bahwa 

sekularisasi merupakan akibat langsung dari sains modern. 

Memudarnya peran dan kepercayaan orang terhadap agama di 

Barat pada abad modern lebih disebabkan oleh berbagai kesalahan 

dan kelemahan ajaran Kristen itu sendiri. Sains dapat menjelaskan 

dengan baik dan rasional berbagai pertanyaan tentang fenomena 

alam ketimbang kitab suci (agama). Teori heliosentris dan evolusi 

dalam sains lebih jelas dan rasional dibandingkan teori geosentris 

dan penciptaan yang diakui oleh agama. Lebih jauh Bruce 

menyimpulkan bahwa relasi sains termasuk teknologi sering 

dipahami secara tidak tepat. Sains dan teknologi tidaklah 

membuat seseorang menjadi ateis.1   Pandangan Bruce ini  

tentu saja tidak sepenuhnya dapat diterima karena memang pada 

kenyataannya ada  ilmuwan dan filsuf yang jelas-jelas 

menyatakan dirinya ateis atau paling tidak agnotis. Oleh karena 

itu, upaya untuk mencari dan memahami relasi sains dan agama 

terutama di Barat meningkat.

Berbeda dengan pandangan Bruce ini , Vadaradja 

berpendapat bahwa signifikasi dan manfaat terhadap upaya 

mencari hubungan antara sains dan agama mulai dipertanyakan 

oleh saintis dan teolog, bahkan jumlahnya semakin lama 

mengalami peningkatan. Keraguan ini  mengakibatkan 

sebagian saintis dan teolog lain berupaya mencari pendekatan 

alternatif dalam menghadapi persoalan relasi sains dan agama.1  

Berdasarkan uraian tentang berbagai konsep relasi sains 

dan agama, relasi sains dan agama tidak hanya persoalan pro dan kontra ataupun harmoni dan konflik tapi juga terkait dengan 

persoalan yang lebih kompleks termasuk persoalan filosofis, 

sosiologis, dan kultural. Untuk lebih jelasnya bagaimana pola 

tipologi relasi sains dan agama dapat dilihat pada diagram di 

bawah ini.

Diagram ini  menunjukkan bahwa dari tiga 

pandangan tentang relasi sains dan agama ada  kesamaan dan 

irisan yang jelas. Irisan ini  yaitu  konflik, bebas, dan 

interaksi baik secara lemah sperti dialog dan kontak maupun kuat 

seperti integrasi, konfirmasi, dan rekonsilasi. 

E. Islamisasi Sains, Sains Islam, dan Integrasi Sains dan Islam

Perdebatan Islam dan Sains pada masa kejayaan Islam 

tidak begitu populer, apalagi mempertentangkan keduanya. 

Kekuasaan khalifah yang didukung oleh para filsuf yang saintis 

atau saintis yang filsuf menjadi penopang utama terhadap 

perkembangan sains di dunia Islam. Mereka dapat menguasai sains 

yang berkembang dan menerapkannya dalam kehidupan 

warga  

Di saat Barat mengalami kemajuan yang pesat dalam 

sains, perkembangan sains di dunia Islam mengalami kemunduran 

dan stagnan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Perdebatan 

tentang sains dan agama yang terjadi di Barat, juga merembet ke 

dunia Islam padahal perdebatan antara sains dan agama pada masa 

keemasan Islam tidak begitu hangat dan populer. Pada masa 

ini , perdebatan teologis dan filosofis lebih dominan tentangperan dan fungsi akal dan wahyu. Persoalan lebih terfokus pada 

ilmu aqliyah dan naqliyah. Pada masa kontemporer, umat Islam 

seolah-olah terjebak untuk memasuki wilayah perdebatan sains 

dan agama yang berkembang di Barat. 

Menurut Sukran, Bediuzzaman Said Nursi sangat tidak 

setuju dengan pertentangan antara sains dan agama seperti yang 

terjadi di Barat. Konflik antara sains dan agama yang terjadi di 

Barat lebih disebabkan oleh pemikiran Barat pacsa renaisans yang 

epistemologi bersifat dikotomis. Dalam Islam, sains dan agama 

tidak perlu dipertentangkan, bahkan menurut Nursi, melalui 

metode tafsir al-Quran yang dikembangkan dan diperbaharui 

terus, sains dapat digunakan untuk membuktikan kebenaran 

agama.1  

Bigliardi menilai tidaklah tepat memakai  tipologi 

Barbour dalam menganalisis relasi Islam dan sains karena analisis 

Barbour ini  hanya terfokus pada relasi sains dan agama 

Kristen. Khusus dalam konteks integrasi, ia menyimpulkan tiga 

konsep integrasi. Pertama yaitu  integrasi general antara sains 

dan agama yang tidak memadai digunakan sebagai alat kritik 

untuk menganalisis debat Islam dan sains. Kedua konsep integrasi 

sains dan agama Barbour tidak memiliki kontribusi terhadap 

persoalan relasi sains dan Islam. Terakhir, konsep integrasi 

Barbour cenderung salah arah.1   Hubungan Islam dan sains yaitu  

harmoni meskipun analisis dan pendekatan yang digunakan 

berbeda-beda.1  

Pandangan di atas tampaknya sejalan dengan dengan 

pendapat Muzaffar Iqbal. Model perdebatan relasi sains dan 

agama yang terjadi di dunia Barat (Kristiani) tidak dapat digiring 

begitu saja ke dunia Islam tanpa memberi  penilaian dan 

catatan kritis. Hal itu disebabkan oleh sifat (nature), dasar agama, epistemologi antara Barat (Kristiani) dan Islam jauh berbeda. 

Diskursus tentang relasi sains dan agama pada warga  muslim

juga telah berlangsung dalam berbagai perspektif, mulai dari 

perspektif sosiologis, historis, metafisis serta saintifik itu sendiri. 

Pada era kontemporer, persoalan relasi agama dan sains terkait 

perspektif dan metodologi yang digunakan menjadi pertanyaan 

penting. Perdebatan sains dan agama di Barat telah berlangsung 

sejak akhir masa kegelapan di Barat (the dark of middle age).1  

Relasi sains dan agama dalam peradaban Islam yaitu  

kompleks. Kompleksitas ini  berakar dari dinamika dan 

perjalanan panjang antara konteks lokal, kekuasaan politik, 

otoritas keagamaan, perlindungan, persaingan antar elit termasuk 

komitmen epistemologis individu dari pemikir dan ilmuwan di 

dunia Islam itu sendiri.1   Islam jika dipahami sebagai sebuah 

ajaran yang mengandung prinsip-prinsip yang valid, ideal, 

permanen dan statis tidak akan dapat merekonsiliasi dirinya 

dengan paradigma sains yang baru dan dominan saat ini. Sama 

halnya dengan yang terjadi pada agama lain khususnya Kristen

pada awal abad modern. Sebaliknya, jika Islam dipahami sebagai 

sebuah keyakinan yang dinamis dan hidup (living), maka ia akan 

dapat merespon perubahan paradigma sains yang begitu cepat, 

luas, dan terus menerus. Lebih jauh, Islam akan dapat 

merekonsiliasi dan mengakomodasi dirinya dalam konteks 

tertentu dan bersifat temporer dengan perkembangan sains dan 

pemikiran dewasa ini seperti yang terjadi dalam sejarah.1  

Fethullah Gulen, menurut Osman Bakar, berpendapat 

bahwa sains tidak dapat lepas atau terpisah dari agama. Menurut 

Bakar, bagi Gulen sains dan agama tidak pernah dianggap sejajar 

dalam Islam, tapi sains harus mengacu dan mengambil inspirasi 

dari al-Quran dan Hadis. Ia membagi kebenaran dalam dua bentuk 

yaitu absolute truth dan relative truth. Kebenaran yang absolut 

ada  pada al-Quran dan sifatnya tetap, sedang kebenaran 

relatif ada  pada sains yang sifatnya berubah. Kedua kebenaran itu tidak akan bertentangan jika sains secara prinsipil 

mengacu kepada kebenaran mutlak yaitu al-Quran dan Hadis.1 1

Islam yang berlandaskan tauhid semestinya dijadikan sumber 

semangat pengembangan sains. Sains yang dimaksud tidak hanya 

natural sains tapi semua jenis sains yang tidak dapat dipisahkan 

dari nilai dan kesadaran religius dan spiritual.

1  Asimilasi yang 

cepat dari sains klasik pada awal perkembangan peradaban Islam

dalam pandangan Jamal al-Din al-Afghani menjadi bukti bahwa 

Islam itu sendiri memiliki semangat keilmuan yang tinggi dan 

secara inheren sesuai dengan sains.1  

Perkembangan sains di Barat yang begitu pesat 

memengaruhi perkembangan sains pada warga  Muslim. 

Sebagian pemikir Islam berupaya mengikuti alur pengembangan 

sains di Barat dan menerapkan di dunia Islam, namun sebagian 

lagi berupaya menolak sains Barat yang bersifat empiris, 

rasionalis, positif, dan sekular. Akibatnya, muncullah perdebatan 

di dunia Islam, tentang bagaimana sains dan Islam dipahami. 

Kekhawatiran akan arus sekularisasi memunculkan berbagai 

pemikiran tentang sains dan Islam seperti konsep Islamisasi sains, 

sains Islam, intergrasi sains dan Islam. 

Sekularisasi, serangan positivisme dan empirisme di Barat 

awal abad pencerahan tidak terjadi di dunia Islam karena Islam 

memiliki basis metafisis yang kuat. Sains sekular secara tegas di 

luar agama dan metafisika Islam. Dunia Islam tidak mengenal 

sains sekular. Sains kealaman dalam konteks tertentu bagian 

disiplin ilmu keagamaan. Sains integrasi dengan agama, Islam 

menolak saintisme.

Diskursus Islamisasi ilmu pengetahuan pada dunia Islam 

berlangsung pada akhir abad ke-1  dan awal abad ke-  . 

Semangat Islamisasi ilmu pengetahuan ini dilatarbelakangi oleh 

adanya upaya dari para pembaharu di dunia Islam untuk kembali 

kepada sumber utama ajaran Islam yaitu al-Quran dan Sunnah, 

membuka pintu ijtihad dan mengurangi taqlid serta 

mengembangkan pemikiran yang relevan dengan modernitas 

seiring dengan perkembangan sains dan teknologi. Islamisasi 

pengetahuan dan reformasi sistem pendidikan jauh sebelumnya 

telah disuarakan dengan tegas oleh Abul A’la Mawdudi pada 

pertengahan tahun 1   an melalui pidato dan tulisan-tulisannya.

Ia yaitu  salah seorang tokoh yang mengemukakan teori

Islamisasi ilmu-ilmu kemanusiaan (human sciences) dan 

kontekstualisasi pendidikan Islam.

1  

Gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan berkembang 

Amerika dan Malaysia. Perdebatan Islamisasi ilmu pengetahuan 

dengan konsep kunci Islam, pengetahuan, relevansi, dan 

autentisitas dikonstruksi dan dikontestasi secara beragam. 

Perdebatan indigenisasi, dan nativisasi yang masing-masingnya 

memberi  jawaban yang berbeda terhadap perdebatan Islamisasi 

Ilmu Pengetahuan. Islamisasi Ilmu Pengetahuan secara 

epistemologis agak sulit untuk didefinisikan. Islamisasi ilmu 

pengetahuan dalam konteks institusional dan nasional 

memberi  dampak yang signifikan terhadap penerapan sains 

secara filosofis. 

Islamisasi sains merupakan suatu yang penting dan 

bermakna karena baik secara ontologis maupun epistemologis 

ada  perbedaan yang sangat fundamental sains Barat modern 

dengan konsep sains dalam Islam. Sains modern secara ontologis 

membatasi objek kajiannya pada materi yang bersifat empiris dan 

dapat diobservasi saja, sementara Islam memandang objek kajian 

sains tidak hanya yang empiris atau fisik saja tapi juga hal-hal 

yang bersifat metafisik. Secara epistemologis, sumber 

pengetahuan bagi sains modern yaitu  panca indera dan dibantu 

oleh akal dalam proses penalaran, sedangkan Islam mengakui 

panca indera, akal, dan intuisi termasuk wahyu sebagai sumber 

pengetahuan. Di samping secara ontologis dan epistemologis,

Islamisasi sains juga sangat diperlukan karena sains modern telah 

menyebabkan dampak teologis yang cukup serius yaitu adanya 

sebagian saintis yang berdasarkan pendekatan saintifiknya 

menjadi sekular dan bahkan sampai menolak untuk mengakui 

Tuhan atau ateis.1  

 

Islamisasi ilmu pengetahuan dapat dijelaskan melalui 

filsafat sains yang terdiri dari aspek ontologi, epistemologi, dan 

aksiologi. Secara ontologis, integrasi sains dalam bentuk 

pengakuan asal semua pengetahuan berasal dari Tuhan. Secara 

epistemologi, integrasi dalam bentuk pengakuan keberagaman 

karakter dan teori khususnya pengetahuan keagamaan dan sains. 

Secara axiologi, perlunya penekanan bahwa penerapan 

pengetahuan harus sejalan dengan etika, moral, dan ajaran 

Islam.1  

Salah satu masalah serius yang dibawa oleh globalisasi 

atau westernisasi dalam bentuk pandangan ilmiah modern yaitu  

dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekular (umum). 

Persoalan dikotomi ini  dapat diatasi dengan memperkuat dan 

memperdalam filsafat Islam. Di samping itu, filsafat Islam juga 

dapat memberi  jawaban berbagai pandangan dan kritik Barat 

terhadap agama. Upaya ini tentu saja tidak akan berhasil sebelum 

para pemikir Islam mampu merumuskan dan mengembangkan 

tradisi ilmiah sendiri yang handal. Tradisi ilmiah seperti itu akan 

mampu dicapai dengan cara salah satunya melalui kajian yang 

kritis dan kreatif terhadap warisan intelektual Islam masa lalu.1  

Prinsip-prinsip pemikiran sekular berbeda dan dalam 

banyak hal bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Fondasi 

utama dari sekularisme yaitu  rasionalisme, saintisme, dan 

humanisme, sedangkan fondasi utama ajaran Islam yaitu  

teosentris, penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, keyakinan 

akan kembali kembali kepada Tuhan, serta hari akhir.Perdebatan lain selain islamisasi sains yaitu  wacana 

sains Islam. Sains Islam merupakan kajian yang amat kaya dan 

menarik, namun tidak memperoleh tempat dan perhatian yang 

memadai baik dari perguruan tinggi Islam maupun umum. Sains 

Islam memiliki peran yang sangat penting sebagai pandangan 

dunia alternatif untuk mengimbangi dominasi epistemologi Barat 

yang tidak selamanya cocok dengan konsep Islam. Oleh karena 

itu, sains Islam termasuk epistemologinya sangat penting menjadi 

objek kajian kefilsafatan masa depan karena begitu banyaknya 

karya-karya penting dalam sains Islam yang telah dihasilkan oleh 

ilmuwan dan pemikir Muslim seperti Ibn Sina, Ar-Razi, dan Ibn 

Nafis.   

Secara ontologi dan epistemologi sulit mencari demarkasi 

(batas) antara sains sekular dan sains Islam, sementara dalam 

axiologi cukup banyak ilmuwan Islam mempersoalkan sains Islam

dan islamisasi sains. Sains tentu saja berkembang terus dan sangat 

terkait sekali dengan perubahan dan perkembangan paradigma

seperti yang dikatakan Thomas Kuhn.

   Sains Islam, menurut 

George Saliba, yaitu  sains yang dikembangkan oleh peradaban 

Islam bukan dalam konteks Islam sebagai agama dan ia lebih 

banyak menyoroti dalam bidang astronomi.

   

Perbedaan yang mendasar perkembangan sains di dunia Islam 

dan Barat yaitu  peran agama. Dalam sejarah awal Islam, Universitas 

didirikan untuk tidak menentang agama yang diatur dan dikendalikan 

oleh negara, sementara di barat, pendirian universitas awal di Itali, 

Perancis, dan Inggris dalam rangka memperkuat peran agama/geraja atau 

dengan kata lain universitas didirikan dalam rangka memperkokoh 

kekuasaan gereja/agama. Perbedaan kedua, pengembangan sains dan 

teknologi di Barat sebagai upaya membantu kolonialisme, sementara 

dalam dunia Islam pengembangan sains dan teknologi tidak banyak 

untuk upaya kolonialisme.   

Istilah sains Islam (Islamic Science) menurut George 

Saliba yaitu  sains yang dibangun dan dikembangkan dalam 

peradaban Islam (Islamic Civilization), istilah ini bukanlah 

mengacu sebagai sebuah disiplin ilmu. Istilah yang dikenal dalam bahasa Arab yaitu al-’ulu>m al-islami>ya. Dengan kata lain, ia 

menjelaskan bahwa kata Islamic mengacu pada makna Islam 

sebagai sebuah peradaban, bukan pada makna Islam sebagai 

sebuah agama.    Umat Islam pada dasarnya mewarisi filsafat dan 

sains Yunani yang disesuaikan dengan ajaran Islam, sementara 

Barat tidak dapat menemukan keunggulan filsafat dan sains 

Yunani ini .   

Dibandingkan Islamisasi, Ziauddin Sardar cenderung 

memakai  istilah Sains Islam (Islamic Science) berdasarkan 

empat argumen. Pertama, peradaban yang berbeda menghasilkan 

sains yang berbeda dan distingtif. Kedua, sains Islam secara 

historis memiliki identitas yang distingtif yang terlihat dari sifat 

dan karakternya yang unik. Ketiga, sains Barat secara inheren 

bersifat destruktif dan merupakan ancaman bagi kemanusiaan. 

Keempat, sains Barat tidak dapat memenuhi syarat dan kebutuhan 

spiritual, kultural, dan fisikal dari warga  Muslim.    Sains 

merupakan salah satu bagian dari rekonstruksi peradaban Islam. 

Pengembangan sains ini  harus dengan melakukan 

rekonstruksi epistemologis terlebih dahulu.    Nasim Butt 

sepertinya menyetujui Ziauddin Sardar bahwa inti paradigma

sains Islam yaitu  tauhid, khilafah, dan ibadah. Pengembangan 

sains Islam mestinya meningkatkan keadilan dan kesejahteraan 

dan meredam kezaliman. Riset dan pengembangan sains Islam 

tidak bersifat destruktif dalam arti luas.   

Sejarawan melihat secara berbeda tentang peran agama 

terhadap sains. Pertama, kebijakan mihna dari Khalifah al￾Ma’mun yang mamaksakan paham rasional Mu’tazilah justru 

menjadi bumerang kehancuran khalifah serta secara tidak 

langsung menghancurkan obsesinya terhadap pengembangan 

sains. Kedua, kebijakan mihna justru menjadi faktor utama perkembangan sains di dunia Islam awal termasuk berkembangnya 

sufisme al-Ghazali dan Ibn Arabi yang tidak anti sains.   

 

Saliba termasuk tidak sependapat bahwa kemunduran 

sains di dunia Islam akibat serangan al-Ghazali terhadap filsafat. 

Hal itu dibuktikan dengan setelah al-Ghazali masih banyak 

muncul ilmuwan-ilimuan muslim yang hebat. Di antara ilmuwan 

ini  yaitu  Jazari> (1   ) dalam bidang mekanika, Athi>r al-Di>n 

al-Abhari> (1   ) Mu’ayyad al-Di>n al-’Urd}i> (w.1   ), Nasir al-Di>n 

al-Thusi (w.1   ), Qutb al-Di>n al-Shi>ra>zi> (w.1 11), Ibn al S{ha>t}ir 

(w.1   ), dan al-Qushji> (w.1   ) dalam bidang logika, 

matematika, dan astronomi, Kama>l al-Di>n al-Fa>risi> (w.1   ) 

dalam bidang optik, Ibn al-Bait}a>r (w.1   ) dalam bidang farmasi, 

serta Ibn al-Nafi>s (w.1   ) dalam bidang kedokteran. 1 

Solusi al-Ghazali yang ditawarkan pada kitabnya Ih{ya>’ 

‘ulu>m al-di>n tentu saja menghilangkan segala bentuk sumber 

potensial adanya konflik antara sains dan agama dalam Islam. Hal 

itu karena konsep ilmu yang ia tawarkan yaitu kepatuhan total dan 

tulus pada kehendak Tuhan sebagai dasar untuk melakukan 

penelusuran ilmu dan filsafat. 11

Islamisasi sains menurut Kuntowijoyo terkesan reaktif. 

Oleh karena itu, ia tidak setuju dengan proyek Islamisasi sains. Ia 

lebih cenderung untuk memakai  istilah pengilmuan Islam. 

Gerakan keilmuan Islam harus bergerak dari teks menuju konteks, 

yaitu dari teks suci al-Quran menuju konteks sosial dan ekologis 

manusia. Kemudian gerakan selanjutnya membangun paradigma 

Islam sebagai paradigma ilmu integralistik yang menyatukan ilmu 

dan agama (wahyu). Usaha terakhir yaitu  dengan menjadikan 

Islam sebagai ilmu. 1  Fazlur Rahman bahkan menganjurkan tidak 

perlu tertarik untuk merumuskan bagaimana untuk membentuk 

pengetahuan Islam. Hal yang paling penting baginya, umat Islam perlu 

membangun pemikiran yang konstruktif dan positif namun tetap 

berpedoman pada al-Quran. Baginya pengembangan pemikiran Islam 

yang demikian akan mampu menilai dan mengkritisi tradisi sendiri dan 

tradisi Barat sebagai langkah awal penemuan pengetahuan yang baru 

sampai akhirnya mencapai tujuan yang benar dari intelektualisme 

Islam. 1 

Dalam persoalan agama sebagai sumber nilai bagi sains, 

Djamaluddin Ancok melihat juga ada  dua pemahaman yang 

berbeda. Yang pertama menjadikan agama sebagai alat 

pembenaran atau justifikasi dan yang kedua menjadikan agama 

sebagai hipotesis. Kelompok pertama berupaya menemukan 

kesesuaian fenomena dan teori-teori sains dengan agama dan kitab 

suci. Pada sisi lain, kelompok kedua berupaya menemukan 

beberapa konsep dan ajaran agama menjadi hipotesis ilmu dan 

diuji kebenarannya dengan metode-metode sains. Kedua 

pandangan sama-sama memiliki kelemahan. Pandangan pertama 

terkesan sekedar pencocokan sains dengan agama, sedangkan 

pandangan kedua terjebak pereduksian terhadap agama jika  

hipotesis tidak atau belum dapat dibuktikan kebenarannya oleh 

sains. Sebagai sintesa dari kedua pandangan ini , agama 

dijadikan sebagai motivator, petunjuk, pemberi kerangka dasar, 

sumber, dan pemelihara nilai bagi sains. 1  Perdebatan tentang 

hubungan yang harmoni sains dan Islam pada dasarnya yang paling 

dominan yaitu  islamisasi sains, bahkan pemikiran tentang sains Islam

pada dasarnya yaitu  salah bentuk dari islamisasi sains. Konsep 

Islamisasi sains ini  dibagi ke dalam empat arus utama yaitu konsep 

Sardar, Nasr, al-Faruqi dan Bucaille.

 1 

Keempat pola Islamisasi sains ini  di atas yaitu  

dikategorikan sebagai generasi awal dalam diskursus Islam dan 

sains. Bigliardi dengan menganalisis pemikiran Steinberg 

menguraikan beberapa tokoh yang disebut dengan generasi baru. 

Pemikir-pemikir ini  yaitu  Golshani, Altaie, Guiderdoni, dan 

Guessoum. Kedua generasi ini  memiliki perbedaan yang 

cukup penting dalam melihat relasi Islam dan sains. Pertama, 

generasi baru lebih mendalami dan lebih fokus mendiskusikan 

sains, karena latar belakang profesi mereka yaitu  saintis, 

meskipun generasi lama juga menguasai sains namun mereka 

cenderung menghindar untuk mendiskusikan sains modern lebih dalam. Kedua, generasi baru memakai  metode yang lebih 

dinamis dan interdisiplier dalam menganalisis Islam dan sains. 

Ketiga, generasi baru memakai  pendekatan pluralistik dalam 

konteks kultural dan agama. 1 

 

Secara singkat, pembahasan pada bab ini menunjukkan 

pentingnya peran epistemologi dalam membentuk pandangan 

dunia suatu peradaban dalam hal ini peradaban Islam dan Barat. 

Epistemologi juga menentukan paradigma sains yang berkembang. 

Secara historis, perdebatan epistemologi relasi sains dan agama

dalam Islam yang pada masa awal Islam tidak begitu banyak 

terjad. Akibat dari pengaruh diskursus relasi sains dan agama di 

Barat terutama abad modern, maka persolan relasi sains dan 

agama juga menjadi agenda yang menarik di dunia Islam. relasi 

sains dan agama di Barat pada masa modern lebih cenderung 

konflik atau paling tidak masing-masing berdiri sendiri atau 

kontras. Seiring dengan munculnya kesadaran pentingnya makna 

dan spiritualitas, relasi sains dan agama dapat berupa dialog atau 

bahkan integrasi. Di dunia Islam, perdebatan relasi sains dan 

agama akibat distorsi modernitas dan sains modern juga 

berlangsung. Untuk menjaban persoalan ini , para pemikir 

Muslim berupaya merumuskan konsep relasi sains dan agama yang 

berbeda dengan Barat. Konsep yang berkembang ini  

Islamisasi pengetahuan dan sains, sains Islami, integrasi, 

rekonsiliasi dengan segala variasi, kelebihan dan kekurangannya.



A. Dinamika Intelektual dan Konsep Epistemologi 

Nidhal Guessoum 

1. Biografi Singkat

Nidhal Guessoum (selanjutnya disebut Guessoum) lahir 

pada   September 1    di Aljazair. Ia yaitu  seorang ilmuwan

sekaligus pemikir Islam kontemporer yang memiliki keahlian di 

bidang Astrofisika. Guessoum menulis buku dan banyak artikel 

jurnal tentang Islam dan sains. Ia mengajar di American Sarjakh 

University, Uni Emirat Arab sejak tahun     . Guessoum berasal 

dari keturunan Aljazair. Ia memperoleh Gelar Doktor Astrofisika

Teoretis pada tahun 1    dan Master Fisika pada tahun 1    dari 

The University of California di San Diego Amerika Serikat. Ia 

sebelumnya menamatkan pendidikan sarjana di bidang fisika 

teoretis tahun 1    di Université des Sciences et de la 

Technologie d’Alger, Aljazair. Ia juga pernah mengikuti program 

penelitian post doctor dan sebagai ilmuwan tamu (visiting 

scholar) di NASA’ s Goddard Space Flight Center.

1

Sebagian besar aktivitas Guessoum sebagai seorang 

ilmuwan bergerak di bidang keahliannya yaitu astrofisika dan 

astronomi. Dalam kapasitasnya sebagai seorang ilmuwan, 

Guessoum banyak mendapatkan undangan untuk berbicara dalam 

berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar, konferensi, termasuk 

sebagai professor tamu di beberapa universitas di Amerika, 

Perancis, Inggris dan beberapa negara di Timur Tengah.

Guessoum menjalin banyak kerjasama dengan berbagai 

institusi terutama di Perancis sehingga ia dapat menghasilkan 

banyak artikel dalam bidang astrofisika. Guessoum juga banyak

terlibat dalam berbagai organisasi professional keilmuan yaitu 

International Astronomical Union, International Society for 

Science and Religion (member of the executive committee), dan 

Islamic Crescents Observation Project (vice-president).

 

Keterlibatan Guessoum dalam dunia akademik juga 

dibuktikan dengan banyak karyanya yang dimuat dalam berbagai 

jurnal ilmiah internasional. Hal yang menarik yaitu  ia tidak 

hanya menulis dan mengembangkan spesialisasi keilmuannya tapi 

juga memiliki perhatian dan menulis terkait dengan relasi sains

dan agama dalam perspektif filosofis. Perhatian dan 

ketertarikannya terhadap sains di dunia Islam tentu saja tidak 

terlepas dari dinamika intelektual dan fondasi epistemologi

sebagai pandangan dunia (world view) yang ia miliki.

Dari berbagai dinamika intelektual Guessoum, ia pantas 

dijadikan sebagai salah satu referensi tentang perdebatan relasi

sains dan agama dalam Islam karena keterlibatannya tidak hanya 

secara teoretis tapi juga praktis. 

Guessoum seperti yang ia jelaskan sendiri tumbuh dan 

berkembang di tengah lingkungan sosio kultural yang sangat ketat 

dalam menjalankan ajaran Islam serta sangat menghargai ilmu.

Guessoum sejak kecil sudah terbiasa dengan suasana kehidupan 

dan lingkungan intelektual. Ayahnya yaitu  seorang penghapal al-

Qur’an (hafiz al-Quran) yang mendapatkan   gelar doktor dalam 

filsafat dari Cairo University dan Sorbone University. Ayahnya 

kemudian menjadi dekan fakultas studi agama di University of 

Algiers. Ibunya yaitu  master di bidang literatur Arab. Fasilitas 

perpusatakaan di rumah yang dilengkapi berbagai literatur baik 

sains, agama, maupun filsafat menjadikan Guessoum dan saudara￾saudaranya memiliki kepekaan pengembangan ilmu yang tinggi. 

Keempat saudaranya memiliki profesi yang beragam yaitu 

ilmuwan, dokter dan guru sains. Mereka semua dibekali dengan 

filsafat rasionalisme, sains modern, dan pandangan keislaman 

yang holistik. 

Kemampuan intelektualnya menjadi lebih terasah karena 

ia dibesarkan dalam keluarga yang memakai  bahasa Perancis 

dan Arab. Setelah menginjak masa remaja ia mempelajari dan 

mendalami bahasa Inggris. Yang menarik dari kehidupan 

Guessoum yaitu  meskipun secara formal ia mendalami ilmu 

fisika dengan spesialisasi astrofisika, ia juga banyak membaca 

buku-buku keislaman dan filsafat khususnya filsafat yang terkait 

dengan relasi sains dan agama.

 

Ia yaitu  seorang ilmuwan

Muslim yang berupaya untuk mencari keseimbangan antara 

mengkritik dogma pada satu sisi dan tetap menghargai teologi

pada sisi lain.

 . Pengaruh Ibn Rushd terhadap Karakter dan Fondasi 

Epistemologi Guessoum 

Karakter dan fondasi epistemologi atau pandangan dunia 

(world view) seseorang turut ditentukan oleh tidak hanya 

keluarga, pendidikan, sosial budaya tapi juga oleh pemikiran dari 

tokoh-tokoh yang dikaguminya. 

Para ilmuwan dan filosof besar Muslim seperti al-Biruni, 

al-Khawarizmi, Ibn Khaldun, Ibn Sina, dan Ibn Rushd pada 

dasarnya telah membangun fondasi sains modern yang luar biasa. 

Berbagai konsep dan temuan yang mereka kembangkan menjadi 

titik tolak dan rujukan dalam perkembangan sains sesudahnya. 

Perdebatan filosofis, teologis dan praktis terhadap perkembangan 

pemikiran termasuk sains pada masa ini  menjadi pandangan 

dunia (world view) bagi peradaban Islam. Oleh karena itu, suatu 

hal yang tidak mengherankan bahwa sebagian besar pemikir dan

ilmuwan muslim kontemporer sangat mengagumi fondasi 

epistemologi mereka serta berupaya menjadikan arah dan dasar 

pengembangan pemikiran dan sains dewasa ini termasuk 

Guessoum 

Guessoum sangat mengagumi Ibn Rushd. Kekaguman 

ini  yaitu  warisan intelektual dari ayahnya, karena ayahnya 

sendiri menulis disertasi tentang konsep waktu dalam filsafat Ibn 

Rushd untuk menyelesaikan doktornya di Cairo University, 

kemudian menulis disertasi tentang konsep waktu dalam 

pemikiran Arab modern untuk mendapatkan gelar doktor dari the 

University of Sorbonne.

  Oleh karena itu, tidak mengherankan jika 

Guessoum sangat terkesan dengan pemikiran Ibn Rushd, 

pemikiran Arab dan sains sehingga menjadi acuan dan dasar 

pemikiran dan karya-karyanya.

Guessoum menjadikan Ibnu Rushd sebagai pemikir yang 

memberi banyak inspirasi dan pengaruh terhadap 

intelektualitasnya terutama terkait dengan hubungan filsafat dan 

agama. Ibnu Rushd baginya seperti sebagai ‚a guiding spirit‛.  

Ibn Rushd telah memberi  arah untuk melakukan explorasi 

tentang persoalan hubungan antara sains modern, Islam, dan 

pemikiran modern. Pemikiran Ibn Rushd bersifat revolusioner 

karena telah berupaya menyatukan akal dengan inti ajaran Islam. 

Secara objektif, dari perspektif apapun filsafat ataupun sains tidak 

dapat dipertentangkan dengan agama. 

Dalam konteks dengan modernitas, banyak pemikir 

termasuk termasuk Muhammad Abid al-Jabiri memandang bahwa 

karangka berfikir Ibnu Rushd lebih kuat mendorong modernitas 

dibandingkan dengan al-Ghazali. Berbeda dengan pandangan 

ini , Basit Bilal Khosul melihat peran dan kontribusi al￾Ghazali lebih besar pengaruhnya terhadap pemikiran modern 

dalam Islam. 

 Terlepas dari perbedaan pendapat ini , peran

pemikiran Ibnu Rushd dalam konteks mendorong perkembangan 

pemikiran modern dalam Islam sulit untuk dibantah dan tidak 

dapat diabaikan. 

Dengan mengutip Armstrong, Guessoum menekankan 

besarnya pengaruh Ibn Rushd terhadap pemikiran Musa bin 

Maimun baik karena berinteraksi atau belajar secara langsung 

maupun melalui karya-karyanya. Guessoum menggambarkan 

betapa iklim budaya yang kaya dari Andalusia dan berperan besar 

membentuk serta mengasah intelektualitas dan kehebatan Ibn 

Rushd. Ibn Rushd mendapatkan penghargaan yang sangat 

istimewa baik di Barat maupun Timur.

 

Ibn Rushd telah merumuskan kategori penting tentang 

tiga bentuk diskursus yang berbeda yaitu filosofis, dialektis, dan 

retoris.1  Menurut Zainun Kamal, kausalitas (sebab akibat) yaitu  

bentuk rasionalitas pemikiran Ibnu Rushd. Kausalitas inilah yang 

menjadi asas ilmu alam dan filsafat rasional. Renaisans atau 

kebangkitan Eropa/Barat ditandai dengan berkembangnya ilmu 

alam dan rasionalisme ini . Oleh karena itu, pandangan bahwa 

Ibnu Rushd memberi  inspirasi dan kontribusi bagi kemajuan 

Barat sulit dibantah.11

Dari beberapa pendapat di atas menunjukkan dengan jelas 

betapa perkembangan sains termasuk sains modern memiliki 

keterkaitan yang sangat jelas dengan pemikiran Ibn Rushd. Hal 

yang perlu ditekankan di sini yaitu  tentu saja sains modern yang 

berkembang di Barat juga memiliki kelemahan dan penyimpangan 

dari prinsip dasar pemikiran Ibn Rushd. Reduksionisme sains 

modern ke dalam paradigma cartesian-newtonian atau 

rasionalistik mekanistik menjadi penyimpangan terbesar dari sains 

modern.

Guessoum sangat meyakini bahwa pemikiran Ibn Rushd 

yang menyatakan bahwa akal dan wahyu, serta filsafat dan agama 

tidaklah bertentangan melainkan keduanya saling mendukung 

yaitu  sebuah pemikiran yang sulit dibantah dan sudah jelas. 

Lebih jauh, bahwa wahyu tidaklah bertentangan dengan akal 

(sains saat ini), namun jika ada wahyu yang terkesan bertentangan

dengan akal, maka wahyu ini  mesti dipahami dan ditafsirkan 

secara allegoris.1 

Pendekatan teologis Ibn Rushd dan Thomas Aquinas 

(1   -1   ) yaitu  sangat menentukan meskipun memberi  

pengaruh yang sangat kecil bagi warga  awam dan pemikir 

ortodoks.1  Dalam konteks teologis, Guessoum menyamakan 

peran yang besar bagi pemahaman agama secara rasional antara 

Ibnu Rushd dan Thomas Aquinas. Thomas Aquinas sendiri 

memang banyak mendapatkan inspirasi dari Ibn Rushd dalam 

pandangan rasionalnya dalam agama Kristen.

Ibn Rushd memandang bahwa bentuk penalaran 

demonstratif yang tertinggi tidak bertentangan dengan prinsip￾prinsip ajaran Islam. Filsuf yaitu  orang yang paling mampu 

memahami secara tepat pesan-pesan yang bersifat allegoris dalam 

al-Qur’an.

1  Pemikiran Ibn Rushd memiliki kontribusi yang sangat 

besar di Eropa, meskipun di dunia Islam pemikirannya cenderung 

diabaikan. Salah satu kontribusi yang sangat penting dari 

pemikiran Ibn Rushd yaitu  terhadap perkembangan hermeneutik

terutama hermeneutik kritis dan kontekstual di Jerman. 

Interpretasi alegoris dan metafora yang menjadi inti pemikiran Ibn 

Rushd dalam memahami kitab suci sangat sesuai dengan 

hermeneutik Scheilemacher, Dilthey, dan Gadamer.

Dari uraian di atas, pengaruh dan peran Ibn Rushd dalam 

membentuk karakter intelektual dan fondasi epistemologi atau 

pandangan dunia (world view) Guessoum sangat besar. 

 . Orientasi Pemikiran 

Guessoum mengkritik ketidakpedulian ilmiah bangsa 

Arab. Ia mengkritik tentang pemahaman ilmiah terhadap mukjizat 

dan metode penyembuhan dengan memakai  terapi 

keagamaan. Pendekatan ini menurutnya tidak jelas dan campur

aduk, setidaknya pada bidang kedokteran.1  Minimnya perhatian 

umat Islam di Arab terhadap perkembangan sains menjadi alasan 

mengapa Guessoum mengkaji hubungan sains dan Islam. 

Secara historis, sains khususnya astronomi di dunia Arab 

mengalami kemundurun akibat kecenderungan negara-negara Arab 

yang lebih mengutamakan bidang perminyakan karena lebih 

menguntungkan. Di samping itu, sebagian besar pemerintahan

negara-negara Arab kurang mengutamakan proyek-proyek 

peningkatan riset sains dan teknologi. Dalam bidang publikasi 

ilmiah dan riset termasuk astronomi, negara-negara Arab 

tertinggal jauh dibandingkan dengan Turki, Iran, dan Israel.1 

Pembahasan tentang sains Arab paling tidak meliputi dua 

dimensi utama yaitu kegagalan sains Arab menjadi sains modern 

seperti yang terjadi di Barat dan penurunan secara signifikan 

praktek dan pemikiran ilmiah dalam peradaban Islam-Arab setelah 

abad ke-1 .1  Tentu saja pandangan ini  perlu dianalisis 

secara kritis. Sains yang mestinya dikembangkan di dunia Islam 

tidak mesti harus sama seperti sains modern di Barat yang 

memiliki paradigma inti (core paradigm) yang berbeda dengan 

sains yang berkembang pada puncak kejayaan Islam. Suatu hal

yang tidak dapat dipungkiri, pengembangan sains di dunia Islam 

setelah abad ke-1  jauh mengalami kemerosotan. Oleh karena 

itulah, perlu dirumuskan paradigma dan upaya rekonstruksi sains 

di dunia Islam.

Upaya yang dilakukan oleh pemikir dan ilmuwan Islam 

untuk melakukan rekonstruksi pemikiran sains termasuk 

mododologi dan epistemologi sains itu sendiri harus mendapat 

perhatian serius dari umat Islam. Sangat sedikit dari umat Islam 

mengikuti perkembangan pemikiran sains apalagi mencoba 

mempelajari dan menganalisa epistemologi pemikiran dari para 

tokoh ini . Hadiah nobel dalam sains yang diperoleh oleh 

ilmuwan muslim seperti Abdul Salam dan Ahmed Zewail pada 

dasarnya yaitu  sains yang mereka kembangkan di Barat dan tidak 

banyak yang mempertanyakan filsafat sains dan nilai-nilai 

keislaman apa yang menjadi dasar pemikiran mereka.1  Oleh

karena itulah, pemikiran dan upaya nyata untuk memperdalam dan 

merumuskan epistemologi dan filsafat sains di dunia Islam perlu 

dikembangkan dan diperbanyak. 

Upaya ini  pada dasarnya telah dirintis dan dibangun 

oleh banyak pemikir dan ilmuwan besar di dunia Islam. Menurut 

Dimitri Gutas, fondasi epistemologi sains dan filsafat di Arab 

pada abad pertengahan terdiri dari dua model yaitu sains aplikatif 

(applied sciences) dan sains teoretis (theoritical sciences). 

Epistemologi sains aplikatif yaitu  fungsionalis yang didasarkan 

pada pengalaman dan observasi. Berbeda dengan sains aplikatif, 

epistemologi sains teoretis yaitu  geometris dan sillogistik.  

Pandangan ini  tampaknya belum lengkap jika dibandingkan 

dengan pendapat Muhammad Abid al-Jabiri. Sains aplikatif itu 

lebih dekat pada ilmu-ilmu yang didasarkan pada epistemologi 

burhan>i, sedangkan sains teoretis lebih dekat kepada ilmu-ilmu 

yang didasarkan pada epistemologi baya>ni. Satu jenis ilmu lagi 

yang tidak kalah pentingnya yaitu  ilmu-ilmu illluminatif yang 

didasarkan pada epistemologi ‘irfa>ni. 

Diskursus sains Islam dengan berbagai ragamnya seperti 

yang dikembangkan oleh Nasr, al-Attas, Sardar, al-Faruqi, 

Bucaille, dan yang lainnya lebih cenderung kepada perdebatan 

persoalan teologis (theological) dibandingkan  keilmuan (scientific). 

Sebagian besar berupaya untuk menonjolkan dan memperkuat 

peran dan kontribusi keyakinan dan nilai-nilai keagamaan dalam 

merumuskan sains Islam. Upaya dan pemikiran ini  patut 

diberikan apresiasi yang tinggi. Terlepas dari hal ini , Irfan 

Habib mempertanyakan yang dibutuhkan umat Islam hanya 

konsep-konsep demikian. Ia berpandangan bahwa yang 

dibutuhkan umat Islam dewasa ini bukanlah sains Islam atau 

konsep-konsep keilmuan Islam lainnya yang bersifat ekslusif, tapi 

sains dalam peradaban Islam yang bersifat inklusif dan 

berkembang lintas peradaban.

Sebelum para pemikir di atas menekankan betapa 

pentingnya sains, para pemikir Muslim sebelumnya telah banyak 

menyuarakan bagaimana pentingnya sains dan ilmu-ilmu rasional 

bagi kemajuan umat Islam. Ernest Renan, Jamaluddin al-Afghani

dan Mustafa Kemal pada prinsipnya sangat menekankan peran dan 

kesesuaian antara ajaran Islam dan sains serta modernitas. Oleh 

karena itu, mereka sangat menentang dogma, tradisi yang statis 

(jumud), taqlid, dan irrasionalitas yang dapat menghambat 

perkembangan sains atau penerimaan terhadap ilmu-ilmu rasional. 

Hal yang penting perlu diketahui bahwa, masing-masing tokoh 

ini  tentu saja memiliki perbedaan seperti Mustafa Kemal 

mendukung liberalisme dan sekulerisme.

  

Guessoum membagi diskursus Islam dan sains yang begitu 

luas dan kompleks menjadi tiga dimensi. Pertama yaitu  dimensi 

sejarah yang membahas tentang perkembangan sains pada 

peradaban Islam. Kedua yaitu  dimensi aplikasi praktis yang 

membahas tentang penggunaan sains dalam warga  Islam 

seperti penanggalan dan pengobatan. Ketiga yaitu  dimensi 

konseptual yang mendiskusikan tentang relasi sains dan Islam 

baik konflik, harmoni maupun terpisah.  

 

Pada kesempatan lain, Guessoum membagi dua tipe 

terkait dengan masalah perjumpangan sains dan agama dalam hal 

ini Islam yaitu level elit akademik dan level publik. Kelompok 

pertama cenderung membahas relasi sains modern dan agama 

secara filosofis dengan mencari prinsip-prinsip mendasar dari 

kedua komponen ini . Kelompok pertama ini berupaya 

membangun pandangan filosofis dan keagamaan tersendiri sesuai 

dengan pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang digunakan 

boleh jadi liberal, konservatif, rasional, mistikal dan sebagainya. 

Para pemikir yang termasuk kelompok elit akademik ini antara 

lain yaitu  Seyyed Hossein Nasr, Muzaffar Iqbal, Ziauddin 

Sardar, Mehdi Golshani, Muhammad Abdus Salam, Pervez 

Hoodbhoy dan Taner Edis. Berbeda dengan kelompok pertama, 

kelompok kedua yaitu  berasal dari para dai dan warga  

umum. Mereka membahas tentang relasi sains modern dan Islam

secara lebih luas seperti di sekolah, media, dan toko buku. 

Persoalan yang dibahas oleh kelompok ini yaitu  berbagai 

penemuan ilmiah dan perkembangan teknologi seperti Teori Big 

Bang, Teori Evolusi Darwin, kloning dan sebagainya.  

Hampir senada dengan Guessoum, Ibrahim Kalin 

membagi perdebatan Islam dan sains terkait dengan dua 

komponen penting. Komponen pertama yaitu  berhubungan 

dengan kepentingan dan kebutuhan praktis bagi negara-negara 

yang mayoritas penduduknya muslim. Pemerintah pada negara 

ini  menyediakan anggaran yang besar untuk membangun 

sarana dan prasarana pendidikan, riset dan teknologi. Tujuan 

yaitu  mengurangi jarak yang begitu jauh antara umat Islam dan 

bangsa Barat dalam hal sains dan teknologi. Ia mencontohkan di 

antara negara ini  yaitu  Turki dan Malaysia. Komponen 

kedua yaitu  ranah pembahasan Islam dan sains secara intelektual 

dan filosofis. Dalam konteks ini, warga  muslim khususnya 

para pemikir dan ilmuwannya mengkaji dasar filosofis sains 

modern dan tradisi keilmuan dalam Islam sebagai alternatif 

memahami fenomena alam.  

Mengapa persoalan relasi sains dan agama khususnya 

Islam menjadi menarik dan banyak diminati terutama akhir abad 

ke-   dan awal ke- 1. Guessoum memberi  alasan terhadap 

pertanyaan ini. Pertama, munculnya daya tarik yang baru terhadap 

Islam seiring dengan perkembangan politik dunia dewasa ini. 

Kedua, meningkatnya jumlah penganut Islam di Barat sedangkan 

peradaban Islam tidak begitu dikenal sebelumnya di Barat. Ketiga, 

kemajuan sains yang signifikan dalam Islam pada masa kejayaan 

Islam dalam sejarah dan relevansinya dengan kebudayaan Islam 

serta relasi sains dan agama

B. Kritik dan Pandangan Guessoum terhadap Sains Modern dan 

Agama 

Masalah yang paling utama ketika membahas tentang 

sains yaitu  masalah definisi karena sampai saat ini belum ada 

definisi sains yang dapat disepakati dan dapat diterima oleh semua 

kalangan. Guessoum sebagai langkah awal biasanya 

mendefinisikan sains sebagai upaya manusia untuk membangun 

penjelasan-penjelasan objektif terhadap dunia sekitar. Definisi 

ini  memiliki beberapa aspek-aspek penting dan juga 

kelemahan. Aspek-aspek penting ini  yaitu  usaha 

membangun penjelasan objektif, hasil konstruksi manusia, dan 

upaya menggambarkan dunia seluas mungkin. Pada sisi lain, 

kelemahan definisi yaitu  tidak ada ketegasan apakah sains hanya 

dibatasi terhadap kealaman atau juga termasuk semua fenomena 

lain yang dapat diteliti seperti psikologi, sosial, keagamaan, dan 

sejarah. Di samping itu, definisi ini  tidak menjelaskan sifat 

dari konstruksi objektif yang dimaksud.  

Pada dasarnya memang tidak ada kesepakatan para ahli 

dan ilmuwan tentang sains yang paling tepat. Secara umum, sains 

dipahami sebagai seperangkat pengetahuan tentang suatu objek 

tertentu yang diperoleh dengan memakai  metode tertentu dan 

dapat diuji kebenarannya serta bermanfaat bagi manusia. Definisi 

ini  tentu saja masih bersifat umum. Hal yang terpenting dari 

pengertian ini  telah mencakup semua aspek dan dasar 

filosofis yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Definisi sains yang lebih tepat menurut Guessoum yaitu  

yang dikemukakan oleh Ziauddin Sardar. Sains yaitu  seperangkat 

upaya penelusuran keilmuan yang teratur, sistematis, dan terarah 

didasarkan pada eksperimen dan empirisme serta membuahkan

hasil yang dapat diterapkan dan diulang berlaku secara universal

melintasi segala bentuk kebudayaan. Definisi ini  secara 

implisit membatasi sains pada ranah kealaman saja. 

Bagi Guessoum, ciri utama sains terletak pada proses dan 

metodenya yang disebut dengan metode ilmiah. Metode ilmiah 

meliputi observasi terhadap fenomena, mengkonstruksi secara 

mental penjelasan ataupun hipotesis, mengasumsikan penjelasan 

atau hipotesis ini  sehingga dapat diuji dan diprediksi akan 

mengandung kebenaran, serta menguji kebenaran hipotesis

ataupun menggantinya dengan hasil yang baru setelah melakukan 

percobaan dan observasi secara tepat. Langkah-langkah ini  

tidak sempurna karena mengabaikan unsur subjektifitas manusia 

dalam mengkonstuksi hipotesis dan tidak menekankan bagaimana

peran warga  ilmiah atau proses peer review.

  

Pertanyaan berikutnya apakah yang dimaksud sains 

dewasa ini yaitu  sains secara universal yang mencakup semua 

sains yang telah dikembangkan sejak masa klasik sampai sekarang 

dan mencakup semua budaya serta peradaban atau yang dimaksud 

hanya sains modern yang dikembangkan oleh Barat saja. Bangsa 

Cina, India, Yunani, Babilonia, dan Arab juga telah mengalami 

masa kejayaannya dalam sains khususnya dan peradaban 

umumnya.  

Para saintis dan Sejarawan sains memiliki perbedaan 

pandangan tentang lahirnya sains atau tepatnya sains modern. 

Para saintis dan pemikir Barat pada umumnya berpandangan 

bahwa sains modern lahir sejak renaisans tepatnya sejak revolusi 

Copernicus dan serangan Galileo terhadap Aristotelisme. Pada sisi 

lain, pemikir dan ilmuwan Muslim dan sebagian non-Muslim 

cenderung berprinsip bahwa bagian esensial atau fondasi sains 

modern jelas telah ada pada kemajuan peradaban Islam-Arab. Di 

antara pemikir Muslim yang berpandangan demikian yaitu  

Ziauddin Sardar. Menurut Sardar, umat Islam telah 

mengembangkan prinsip dan dasar sains modern karena hal 

ini  yaitu  bagian dari tuntutan ajaran Islam yang ada  

dalam al-Quran. Bagi Sardar, metode ilmiah yang digunakan 

dewasa ini yaitu  pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan 

Muslim seperti Ibn Sina, al-Biruni dan sebagainya.  

Mehdi Golshani memandang sains modern merupakan 

warisan dari peradaban Islam. Guessoum mempertanyakan 

pandangan Sardar dan Golshani ini  karena hal ini  

melahirkan jenis lain sentrisme budaya. Jika peradaban lain seperti 

peradaban Babilonia dan Cina dapat membuktikan perkembangan 

sains pada masanya begitu pesat, maka tidak tertutup 

kemungkinan sains modern muncul pada masa kejayaan peradaban 

mereka. Dengan mengutip Sarton, Guessoum berpandanganbahwa semua peradaban termasuk peradaban Islam memiliki 

kontribusi penting dalam perkembangan dan sejarah sains. 1

 

Pandangan kontroversial lain yaitu  bahwa sains modern 

lahir sejalan dengan munculnya agama monoteistik dan 

memudarnya politeistik. Pandangan ini tentu saja sulit diterima 

karena akan terjadi klaim dari masing-masing agama monoteistik 

terutama Islam dan Kristen. Bagi Guessoum, pendapat Chittick 

bahwa sains modern tidak muncul pada peradaban Islam perlu 

mendapat perhatian karena sains modern jelas bersifat sekular, 

dikotomis, dan materialistik serta sangat berbeda dengan 

peradaban Islam yang mengutamakan nilai-nilai keabadian dan 

transendental.  

Sains modern yang bersifat materialistik di Barat pada 

dasarnya tidak berhasil mengkonstruksi peradaban lain seperti 

India, Cina dan Islam menjadi sains yang materialistik meskipun 

ketiga peradaban ini  yaitu  peradaban besar dan memiliki 

banyak keunggulan dibandingkan dengan Barat sebelum abad ke-

1 . Kegagalan sains modern dalam mengubah paradigma 

peradaban lain terutama dalam ranah non saintifik dari budaya 

yang meliputi hukum, agama, filsafat, teologi dan sejenisnya.  

Sains sebagai sebuah konstruksi keilmuan tentu memiliki 

landasan metafisik. Landasan metafisik yang dimaksud yaitu  

prinsip-prinsip yang mendasar sebagai landasan pengembangan 

sains. Dalam perkembangan sains, landasan metafisik sains 

beragam mulai dari materialistik, teistik, dan islamik 

(materialistic, theistic, and Islamic science). Dasar metafisik sains 

ini  sangat tergantung dari kecenderungan seseorang atau 

komunitas untuk merumuskan dasar filsofis sains ini .   Inilah 

mungkin salah satu contoh pentingnya paradigma seperti yang 

dijelaskan Kuhn pada masa sains normal. 

Brooke juga mengapresiasi Guessoum yang tidak 

mendukung pandangan sebagian besar pemikir Islam yang 

cenderung menganggap bahwa kemajuan sains pada abad modern 

yaitu  jiplakan atau salinan dari kemajuan sains di dunia Islam 

sebelumnya serta korban dari sikap represif agamawan (Kristen) terhadap sains. Padahal, menurut Brooke, nilai-nilai dan ajaran 

Kristen juga memiliki kontribusi terhadap perkembangan sains 

abad ke-1  dan 1 . Pada sisi lain, pemikir Barat juga memiliki 

kecenderungan untuk mengurangi dan mempertanyakan orisinali￾tas keilmuan para filsuf dan ilmuwan Muslim yang luar biasa 

antara abad ke-  sampai abad ke-1  serta merupakan koreksi dan 

pemindahan warisan Yunani. Kedua pandangan ini  pada 

dasarnya mempertentangkan peran agama terhadap perkembangan 

sains dari tradisi Islam dan Kristen.  Analisis Brooke ini  

tentu saja dilandasi oleh adanya sikap inklusif Guessoum, bahkan 

mungkin Guessoum memiliki pandangan perennial terhadap 

agama meski hanya terbatas pada agama Kristen.

Pandangan dunia (world view) sains modern yaitu  

sebuah struktur metafisika yang unik. Pandangan dunia 

keilmuannya yaitu  berdasarkan atas asumsi yang ada  dalam 

hukum alam dan kemampuan manusia untuk memahaminya.  

Huff menyebut bahwa revolusi ilmiah yang terjadi pada 

abad ke-1  dan 1  yaitu  sebuah revolusi metafisik yang 

mendalam. Revolusi ini  hanya terjadi di Barat bukan di 

dunia Islam ataupun Cina.  

Sains modern cenderung dianggap berawal dari 

dikembangkannya cara kerja keilmuan induksi yang menggantikan 

deduksi. Francis Bacon pada umumnya dianggap sebagai peletak 

dasar dan pengembang induksi, padahal beberapa abad sebelum 

Bacon, al-Biruni telah memakai  metode induksi dan 

memperdebatkannya dengan Ibn Sina yang mempertahankan 

metode deduksi. Dominasi metode induksi sebagai dasar sains 

membawa pandangan naturalisme secara metodologis sehingga 

persoalan supranatural dan sejenisnya akan ditolak dalam 

diskursus ilmiah. Pandangan dan penggunaan pendekatan induksi 

dan naturalisme seharusnya dilakukan dan dikembangkan 

sema